Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Aparat Kepolisian Yang

hanya melanggar hukum pidana serta menodai wewenangnya tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi dan merusak hubungan antara masyarakat dan seluruh sistem peradilan pidana. 66

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Aparat Kepolisian Yang

Melakukan Tindakan Tembak Ditempat Tidak Sesuai Prosedur. Seorang aparat kepolisian adalah manusia penting dalam pergaulan modern saat ini, karena ia mempunyai kekuasaan yang besar dan bisa menggunakan kekuasaannya itu, ia dapat menangkap orang, menggeledah, dan berbicara di hadapan orang banyak untuk memberikan petunjuk-petunjuk agar orang-orang tersebut mentaati hukum maupun peraturan-peraturan yang ada, dan hal tersebut berlainan dengan pola kehidupan orang sipil pada umumnya. 67 Pekerjaan polisi memberi banyak kesempatan kepada aparat kepolisian untuk melakukan kekejaman. Instrumen kekuasaan dan kekejaman merupakan bagian penting dari peralatan kerja polisi. Aaparat kepolisian membutuhkan instrument tersebut untuk mendukung penangkapan atau membela diri, dan masyarakat mengetahui bahwa penggunaan kekuasaan merupakan bagian dari mandate hukum pada polisi. Sayangnya, sebagian petugas bertindak melebihi mandate hukum mereka dan menggunakan kekuatan yang tidak beralasan dan tidak perlu untuk mencapai akhir yang sah maupun tidak sah. 68 Pada dasarnya setiap tindakan petugas Kepolisian yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu sangatlah perlu adanya upaya-upaya yang harus dilakukan agar 66 Ibid, hal.10 67 DPM. Sitompul. Op.Cit., hal.130 68 Thomas Barker. Op.Cit., hal. 191 Universitas Sumatera Utara khususnya dalam pelaksanaan tindakan keras Kepolisian berupa tembak ditempat tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Diantaranya ada beberapa upaya- upaya yang harus dilakukan untuk mengontrol tindakan tembak ditempat diantaranya dalam hal aturan hukum, fasilitas , dan budaya hukum. Tindakan yang beretika seperti dikehendaki filsafat, tindakan terkendali seperti dikehendaki profesionalisme dan tindakan yang bersifat perlindungan yang diharapkan oleh masyarakat umum, sama-sama bertujuan untuk menghindakan kesewenangan dari kekerasan, pelanggaran hak azasi manuzia dan antipati masyarakat. Tindakan itu haruslah menghiasi, menjiwai dan mengarahkan kekuasaan, posisi dan perlengkapan serta persenjataan yang diberikan kepadanya itu untuk memaksimalkan pelayanan. Rasa tanggung jawabnya kepada hukum, moral dan kemanusiaan haruslah menjadi semangat pengabdiannya. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa, penegakan hukum pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi kebijakan yang membuat keputusan hukum secara ketat diatur undang-undang melainkan juga berdasarkan kebijaksanaan antara hukum dan etika. Oleh karena itu pertimbangan secara nyata hanya dapat diterapkan selektif dan masalah penanggulangan kejahatan. Dengan demikian dalam menerapkan diskresi harus mempertimbangkan beberapa faktor, apabila penegak hukum bertindak, apakah ada pihak-pihak lain yang akan mengalami gangguan, adakah akan menghasilkan situasi yang lebih baik daripada sebelumnya, apabila penegak hukum terpaksa melanggar perintah atasan untuk memperbaiki keadaan yang dapat menimbulkan akibat lain. Apalagi bila hal Universitas Sumatera Utara tersebut dikaitkan dengan kekuasaan Polri yang menyangkut tugas, fungsi dan wewenang. 69 Setiap anggota Polri saat melaksanakan tugas senantiasa mengandung konflik antar peran. Personil Polri yang ditugaskan memerangi kejahatan reserse dituntut sikap dan watak curiga waspada,teliti, cermat namun harus mudah bergaul dengan berbagai kelompok sosial, Watak tegas dan keras dibutuhkan untuk dapat menghadapi pelaku kejahatan atau penjahat. Sementara itu personil Polri yang bertugas memelihara ketertiban dituntut watak sabar namun konsisten, pemaaf, welas asih, serta ramah, karena yang dihadapi adalah warga yang patuh hukum dan sebagian lagi adalah masyarakat yang tidak sabaran antri, sehingga mengganggu ketertiban. Selanjutnya , personil Polri yang ditugasi menindak pembangkang dituntut sikap dan watak ulet, tabah dan sabar menghadapi perlawanan. 70 Tembak di tempat oleh aparat Kepolisian terhadap tersangka pelaku tindak pidana merupakan penerapan diskresi Kepolisian dalam pelaksanaan tugas represif dan penerapan asas kewajiban Kepolisian. Asas kewajiban Kepolisian ini memberikan keabsahan bagi tindakan kepolisian yang bersumber pada kekuasaan atau kewenangan umum. Kewajiban aparat kepolisian untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum memungkinkan melakukan tindakan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi ditujukan demi hukum yang universal. 69 Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat . Bandung: Refika Aditama, hal.140 70 Jurnal Srigunting. Op.Cit., Universitas Sumatera Utara Persoalan dapat timbul dilihat dari segi negatifnya bilamana pelaksanaan wewenang itu : 71 1. Melampaui batas wewenang abuse of power 2. Tidak mengindahkan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Undang- undang. 3. Merugikan orang lain atau pihak-pihak 4. Tidak sesuai dengan kebijaksanaan sosial, kriminal dan atau pimpinan 5. Diskriminatif, kasar dan sewenang-wenang serta dilakukan dengan maksud untuk kepentingan diri atau kelompoknya 6. Tidak ada alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban itu. Sesungguhnya penggunaan senjata api haruslah sangat sensitif dan selektif, tidak disetiap kondisi penangangan kejahatan Polisi harus menunjukkan, menodongkan bahkan meletuskan senjata api miliknya. Dalam pasal 2 ayat 2 Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 menyatakan bahwa: “Tujuan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian adalah: mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang sedang berupaya atau sedang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum; mencegah pelaku kejahatan atau tersangka melarikan diri atau melakukan tindakan yang membahayakan anggota Polri atau masyarakat; melindungi diri atau masyarakat dari ancaman perbuatan atau perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menimbulkan luka parah atau mematikan; atau melindungi kehormatan kesusilaan atau harta benda diri sendiri atau masyarakat dari serangan yang melawan hak danatau mengancam jiwa manusia.” Jadi, hanya dalam keadaan tertentu sajalah senjata api dapat diperlihatkan, ditodongkan atau bahkan digunakan untuk menembak oleh aparat kepolisian. 71 DPM. Sitompul. Op.Cit, hal.121 Universitas Sumatera Utara Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa patokan yang dapat dipakai sebagai ukuran kriteria untuk menilai bahwa kekuasaan dalam bentuk kekerasan telah terjadi digunakan secara tidak pada tempatnya, yaitu : 72 a. Apabila seorang aparat kepolisian menyerang seseorang secara fisik kemudian gagal untuk melakukan penahanan; penggunaan kekuasaan yang wajar diikuti oleh penahanan; b. Apabila seorang warga negara yang pada waktu ditahan tidak melakukan perlawanan, baik dengan perbuatan maupun kata-kata ; kekerasan hanya digunakan jika diperlukan untuk melakukan penahanan; c. Apabila seorang aparat kepolisian, sekalipun pada waktu itu ada perlawanan terhadap usaha penahanan, masih bisa dengan mudah diatasi melalui cara-cara lain; d. Apabila sejumlah aparat kepolisian ada pada tempat kejadian dan bisa membantu dengan cara menggiring warga negara bersangkutan ke kantor, tempat penahanan atau kamar interogasi. e. Apabila seseorang yang ditahan itu diborgol dan tidak berusaha untuk lari atau melakukan perlawanan dengan kekerasan; f. Apabila warga negara melawan, tetapi penggunaan kekerasan masih saja berlangsung, sekalipun orang tersebut sudah ditundukkan. Pasal 48 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang ImplementasiPrinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan 72 Muladi. Op.Cit., hal.139 Universitas Sumatera Utara Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mengatur bagaimana prosedur penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian sebagai berikut; “Setiap petugas Polri dalam melakukan tindakan kepolisian dengan menggunakan senjata api harus memedomani prosedur penggunaan senjata api sebagai berikut: 1. Petugas memahami prinsip penegakan hukum legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas. 2. Sebelum menggunakan senjata api petugas harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara : a Menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas. b Memberikan peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya. c Memberikan waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi. 3. Dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak perlu dilakukan.” Pelanggaran akan pasal ini tentunya akan memberikan sanksi bagi aparat kepolisian yang melakukan tembak di tempat tidak sesuai prosedur, seperti tertulis pada Pasal 142 ayat 1 Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentangPengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa; “Setiap Pegawai Negeri pada Polri, jika terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Kapolri ini, diberikan sanksi sesuai dengan pelanggaran menurut golongan jenis: a. hukum pidana; b. peraturan disiplin Polri; dan c. etika profesi kepolisian.” Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesiamenyatakan bahwa; Universitas Sumatera Utara “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin danatau hukuman disiplin.” Pasal 8 dinyatakan bahwa; “Tindakan disiplin yang dimaksud dapat berupa teguran lisan danatau tindakan fisik, namun tindakan disiplin ini tidak menghapus kewenangan Ankum untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin. Hukuman yang dimaksud pada Pasal 8 dinyatakan dalam Pasal 9 yang berbunyi : “Hukuman disiplin yang dimaksud diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 dapat berupa : a. teguran tertulis; b. penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 satu tahun; c. penundaan kenaikan gaji berkala; d. penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 satu tahun; e. mutasi yang bersifat demosi; f. pembebasan dari jabatan; g. penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 dua puluh satu hari. Tindakan aparat kepolisian yang melakukan tembak ditempat tidak sesuai prosedur merupakan suatu pelanggaran kode etik kepolisian oleh aparat tersebut, sesuai dengan isi Pasal 1 ayat 8 Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No.14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara RI yang menyatakan; “pelanggaran adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh Anggota Polri yang bertentangan dengan Kode Etik Profesi Polri.” Kode Etik Profesi Polri yang selanjutnya disingkat KEPP adalah norma- norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis yang berkaitan dengan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, patut, atau tidak patut dilakukan oleh Anggota Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab jabatan.Don L. Kooken menegaskan bahwa Kode Etik yang baik itu harus selalu memenuhi unsur: Universitas Sumatera Utara 1. mengangkat kedudukan profesi Kepolisian dalam pandangan masyarakat dan untuk membuat kepercayaan masyarakat pada kepolisiannya. 2. Mendorong Polisi agar lebih bertanggungjawab. 3. Mengembangkan dan memelihara dukungan dan kerjasama dari masyarakat pada tugas-tugas kepolisian. 4. Menggalang suasana kebersamaan internal Kepolisian untuk menciptakan pelayanan yang baik bagi masyarakat. 5. Menciptakan kerjasama dan koordinasi yang harmonis dengan sesame aparat, pemerintah guna mencapai keuntungan bersama. 6. Menempatkan pelaksanaan tugas polisi sebagai profesi terhormat dan memandangnya sebagai sarana berharga dan terbaikuntuk mengabdi pada masyarakat. 73 Aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai dengan prosedur tidak langsung dapat dijatuhi hukuman. Aparat kepolisian tersebut harus diperiksa terlebih dahulu oleh pihak yang berwenang menurut peraturan yang berlaku, untuk mengetahui letak kesalahan aparat kepolisian tersebut sehingga hukuman yang dijatuhkan atas aparat kepolisian tersebut merupakan keputusan yang seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Ayat 1 : “Sebelum menjatuhkan hukuman disiplin, Ankum wajib memeriksa lebih dahulu anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disangka melakukan pelanggaran disiplin itu.” 73 Kunarto. 1997. Tri Brata Catur Prasetya. Jakarta : Cipta Manunggal., hal.5 Universitas Sumatera Utara ayat 2 : Pejabat yang berwenang memeriksa pelanggaran disiplin adalah: a. Atasan yang berhak menghukum Ankum, b. Atasan langsung, c. Atasan tidak langsung, d. Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau e. Pejabat lain yang ditunjuk oleh Ankum. Proses disipliner Kepolisian melahirkan suatu tindakan administratif serius yang memiliki pengaruh penting terhadap keamanan dan karir seorang petugas. Dikarenakan luasnya pengaruh tindakan disipliner, proses dan hasilnya menjadi sasaran penyelidikan yang cermat. Jika Kepolisian salah menjatuhkan tindakan disipliner terhadap aparat kepolisian, kepercayaan masyarakat sipil akan instansi Kepolisian akan berkurang bahkan tidak menaruh kepercayaan lagi terhadap hukum dalam menegakkan keadilan. Oleh karena itu penting bagi instansi Kepolisian untuk memiliki sistem disipliner yang dirancang dengan baik, obyektif, adil, dan disusun dengan cermat dan dinyatakan jelas dalam kebijakan dan prosedur formal. 74 Jika setelah melalui pemeriksaan suatu pengaduan diterima, maka kelompok atau individu yang ditugaskan akan menilai sanksi atas pelanggaran peraturan tersebut. Sanksi disipliner biasanya bergantung pada keseriusan dan situasi sekitar pelanggaran peraturan tersebut, faktor-faktor yang mengganggu dan merugikan, dan sejarah pribadi aparat kepolisian. Sanksi yang mungkin dijatuhkan mencakup pemecatan, penurunan pangkat, skors dari tugas, penempatan dalam 74 Thomas Barker., Op.Cit., hal. 523 Universitas Sumatera Utara masa percobaan, pemindahan tugas, pelatihan, peringatan, atau bimbingan dan pengawasan. 75 1. Pemecatan Pemecatan adalah pemutusan total dari dinas Kepolisian termasuk gaji, keuntungan dan tanggung jawab timbale balik antara petugas dan Kepolisian. Ini merupakan keputusan yang terberat dalam proses pemeriksaan administratif dan dalam pemeriksaan selanjutnya. Meskipun demikian, terkadang tindakan ini merupakan satu-satunya pilihan dalam kasus-kasus serius tertentu. 2. Penurunan pangkat Penurunan pangkat adalah penurunan dari posisi organisasi yang diakui secara formal yang menentukan wewenang terhadap anggota organisasi lainnya. Sebagai hukuman, penurunan pangkat merupakan sanksi serius, karena mengakibatkan berkurangnya penghasilan, turunnya status, dan pertanggungjawaban dalam perkembangan karir. 3. Hukuman Skors Hukuman Skors adalah hukuman apabila seorang aparat kepolisian dibebaskan dari tugas tanpa gaji untuk periode waktu tertentu yang biasanya tidak lebih dari empat minggu. Selama masa skors petugas tidak memiliki wewenang sebagai petugas polisi dan dalam banyak yuridiksi bahkan tidak ddapat bekerja dalam suatu pekerjaan “di luar tugas” yang mungkin membutuhkan wewenang polisi. Sementara si petugas tidak memiliki wewenang atau gaji, biasanya tunjangan personil masih diberikan. 75 Ibid., hal.542 Universitas Sumatera Utara 4. Hukuman Percobaan Hukuman percobaan adalah hukuman dimana petugas tetap bertugas, menerima gaji dan tunjangan, tetapi statusnya berubah karena dugaan penyelewengan yang kemudian diterima mungkin, akan mengakibatkan dijatuhkannya hukuman skors atau pemecatan. Hukuman ini paling sering diberikan kepada petugas yang sudah mengikuti rehabilitasi pecandu alcohol, petugas yang terlalu sering mangkir dari kerja, aparat kepolisian yang banyak terkena pengaduan ringan tidak professional ataupun tidak ramah dan keadaan- keadaan lain yang serupa. 5. Pemindahan tugas Biasanya sanksi pemindahan tugas dijatuhkan dalam kasus dimana seorang aparat kepolisian terlibat dalam penyelewengan yang berhubungan dengan penguasaannya yang sekarang. Pemindahan tugas dapat berupa penarikan seorang aparat kepolisian keluar dari posisi dari fungsi yang dijalankannya ke fungsi lain, ataupun pemindahan lokasi tugas dari suatu kota ke kota lain. 6. Pelatihan Jika pelanggaran peraturan atau prosedur yang dilakukan seorang aparat kepolisian merupakan akibat dari penyalahgunaan jabatan, maka dijatuhkan sanksi pelatihan tambahan tentang subjek masalah yang berhubungan dengan penyelewengan tersebut. Dalam hal ini instansi Kepolisian harus menanggung sebagian tanggung jawabdan memberikan serangkaian tindakan perbaikan. 7. Peringatan Universitas Sumatera Utara Suatu peringatan adalah hukuman ketika seorang petugas secara resmi mendapat peringatan karena perilakunya. Peringatan tersebut dalam bentuk tertulis, biasanya dari seorang komandan kepala unit, dan salinan tersebut dimasukkan dalam arsip personalia aparat kepolisian yang mendapat peringatan tersebut. Surat peringatan ini akan dijadikan pertimbangan dalam evaluasi kenaikan pangkat dan juga keputusan hukuman untuk kejadian penyelewengan di masa datang. 8. Bimbingan dan Pengawasan Sanksi berupa dialog dengan aparat kepolisian berkenaan dengan masalah yang biasanya berhubungan dengan faktor-faktor penampilan dan prosedur. Bimbingan dan pengawasan bukan merupakan bagian dari catatan personalia resmi pegawai, meskipun begitu, pengawas harus membuat catatan sebagai referensi yang mungkin penting dalam masalah disipliner di masa datang. Meskipun demikian, sanksi ini merupakan sanksi disipliner yang sering digunakan. Bimbingan dan pengawasan adalah apa yang oleh orang sering didengar sebagai teguran lisan. Dalam menentukan peraturan dan prosedur administratif sebagai dasar- dasar tindakan disiplin, yang penting adalah bahwa Kepolisian meyakini adanya peraturan yang mematuhi standar peraturan yang sesungguhnya. Semua peraturan harus jelas, spesifik, dan terkait dengan kebutuhan masyarakat yang sah. Peraturan tersebut secara mendasar harus adil dan tidak memberikan beban yang tidak Universitas Sumatera Utara realistis terhadap petugas sebagai hasil dari penugasan Kepolisiannya atau bahkan mungkin peraturan tersebut melanggar hak-hak petugas. 76 Tindakan tembak ditempat tidak sesuai prosedur oleh aparat kepolisian tidak hanya memberikan dampak sanksi administratif atau tindakan disiplin dari institusi Kepolisian bagi aparat kepolisian tersebut tetapi juga dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini terjadi apabila aparat kepolisian tersebut salah sasaran dan mengakibatkan orang tersebut terluka parah atau bahkan meninggal dunia akibat tindakan tembak ditempat tersebut. Dalam KUHP tidak ada diatur mengenai tindak pidana penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur, akan tetapi dalam KUHP telah diatur dengan tegas batasan bagi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan berupa tindakan kekerasan yaitu dalam pasal 49 ayat 1 yang menyatakan dengan tegas bahwa : “barang siapa melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.” Berdasarkan peraturan ini, maka suatu perbuatan berupa tindakan kekerasan yang dilakukan karena keadaan terpaksa tidak dikenai hukuman akan tetapi tindakan kekerasan yang dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat 1 dapat dijatuhi hukuman. Disamping pada Pasal 49 ayat 1 diatas, batasan untuk melakukan suatu perbuatan berupa tindakan kekerasan juga diatur dalam Pasal 50 KUHP, yang dengan tegas menyatakan bahwa: “barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang- undang tidak boleh dihukum.” 76 Ibid, hal. 531 Universitas Sumatera Utara Hal ini berarti bahwa setiap orang yang melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan peratutan undang-undang tidak boleh dihukum akan tetapi apabila perbuatan tersebut dilakukan bukan untuk menjalankan peraturan undang-undang, pelakunya dapat dikenai hukuman. Berdasarkan asas legalitas, telah terbentuk suatu peratutan internasional yang mengatur tentang prosedur penggunaan senjata api bagi setiap penegak hukum yang berlaku secara khusus, yaitu Resolusi PP 34168 Dewan Umum PBB tentang prinsip-prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata api bagi aparat penegak hukum yang diadopsi dari kongres PBB ke-8 tentang perlindungan kejahatan dan perilaku terhadap pelanggar hukum di Havana Kuba. Sebagai salah satu anggota PBB, maka Indonesia wajib mematuhi peraturan ini. Dalam prinsip nomor 9 Resolusi PBB No.34168 tentang Prinsip-Prinsip Penggunaan Kekerasan dan Senjata api dinyatakan dengan tegas bahwa : “anggota polisi tidak boleh menggunakan senjata api untuk melawan orang yang dihadapi, kecuali dalam rangka membela diri atau membela orang lain ketika menghadapai ancaman nyawa atau luka yang parah, dan untuk mencegah kejahatan lain yang mengancam nyawa.” Jadi apabila hal-hal yang disebutkan pada prinsip nomor 9 diatas tidak diperhatikan dan dipatuhi oleh aparat kepolisian dalam menggunakan senjata api, maka tindakan aparat kepolisian tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan yang berlaku, dan harus mendapat sanksi atas perbuatannya tersebut sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas profesi yang dijalankannya. Ditinjau dari prinsip nomor 9 Resolusi PP 34168 Dewan Umum PBB tentang prinsip-prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata api bagi aparat Universitas Sumatera Utara penegak hukum, dapat ditentukan unsurr-unsur dari tindak pidana penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur, antara lain : 1. Bahwa telah ada suatu tindakan sewenang-wenang dari aparat kepolisian yaitu penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur pada saat berhadapan dengan seseorang yang disuga melakukan tindak pidana atau pada saat berhadapan dengan masyarakat sipil ketika tindakan tersebut dilakukan dengan menggunakan senjata apiyang dimiliki oleh aparat untuk mendukung tugasnya 2. Bahwa tindakan aparat yang menggunakan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur dilakukan pada saat melaksanakan tugas atau pada saat aparat sedang bertugas di lapangan. 3. Bahwa tindakan aparat yang menggunakan senjata api yang tidak sesuai prosedur bertentangan dengan ketentuan internasional yang telah ditetapkan oleh Dewan Umum PBB. 4. Bahwa perbuatan menggunakan senjata api yang tidak sesuai prosedur merupakan tindakan penggunaan kekerasan yang berlebihan sehingga bertentangan dengan ketentuan mengenai batasan-batasan menggunakan kekerasan dan senjata api bagi aparat ketika melaksanakan tugasnya. Penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur telah melanggar pasal 4 dan 33 ayat 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 4 menyatakan : “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut Universitas Sumatera Utara atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.” Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka tindakan kepolisian yang sewenang- wenang berupa penggunaan senjata api yang tidak sesuai prosedur merupakan tindakan yang mengurangi hak hidup seseorang karena penembakan yang mengakibatkan luka atau tewasnya seseorang jelas merupakan perampasan hak hidup dari seseorang. Pasal 33 ayat 1 menyatakan : “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.” Berdasarkan peraturan ini, tindakan aparat kepolisian yang menggunakan senjata api tidak sesuai prosedur merupakan tindakan penyiksaan dan tidak manusiawi karena aparat kepolisian dalam tindakannya tidak memperhatikan dan menghormati hak hidup seseorang. Hal ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum sehingga merupakan tindak pidana. Aparat kepolisian yang melakukan tembak di tempat tidak sesuai dengan prosedur dapat diberikan sanksi pidana sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas tugas yang diembannya. Pasal pidana yang dapat dikenakan terhadap aparat kepolisian yang melakukan tembak ditempat tidak sesuai prosedur ialah pasal yang mengatur tentang kejahatan terhadap nyawa, antara lain: 77 1. Pasal 338 KUHP “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” 77 DPM. Sitompul Op.Cit., hal.135 Universitas Sumatera Utara 2. Pasal 359 KUHP “barangsiapa karena kesalahannya kealpaannya menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” 3. Pasal 360 KUHP Ayat 1: “barangsiapa karena kesalahannya kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Ayat 2: “barangsiapa karena kesalahannya kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.” Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 52 KUHP, bagi seorang pegawai negeri yang melanggar kewajibannya dalam jabatannya karena melakukan perbuatan yang boleh dihukum, maka hukumannya ditambah sepertiga dari hukuman pokok. Ketentuan ini tentu berlaku bagi seorang aparat kepolisian Indonesia karena polisi merupakan bagian dari pegawai negeri sebagaimana diatur dalam pasal 92 KUHP. Dapat dilihat bahwa setiap aparat kepolisian yang melakukan tindakan tembak ditempat tidak sesuai prosedur dapat dikenakan sanksi administratif dan tindakan disiplin dari institusi Kepolisian sesuai dengan peraturan yang berlaku, namun tidak menutup kemungkinan aparat kepolisian tersebut untuk dikenakan juga sanksi pidana. Hal ini tentunya diputuskan oleh pihak yang berwenang untuk memutus setelah diadakannya pemeriksaan terlebih dahulu untuk mengetahui apa yang menyebabkan aparat kepolisian tersebut bertindak tidak sesuai dengan prosedur dan bagaimana dampak atas perbuatannya. Sehingga dengan demikian hal-hal tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak yang Universitas Sumatera Utara berwenang untuk memutuskan memberikan sanksi administratif atau tindakan disiplin yang bagaimana bterhadap aparat kepolisian tersebut, atau memberikan sanksi administratif disertai sanksi pidana. Universitas Sumatera Utara BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dokumen yang terkait

Kajian Asas Praduga Tidak Bersalah Atau Presumption Of Innocence Terhadap Tembak Mati Di Tempat Tersangka Pelaku Tindak Pidana Terorisme

3 37 80

Kajian Yuridis Tentang Kewenangan Tembak Di Tempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah

3 86 106

SKRIPSI PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH DALAM PROSES Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Pembunuhan Di Polres Brebes.

0 1 13

PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DI POLRES BREBES Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Pembunuhan Di Polres Brebes.

0 1 22

PENERAPAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA.

0 0 1

Kajian Yuridis Tentang Kewenangan Tembak Di Tempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah

0 0 7

Kajian Yuridis Tentang Kewenangan Tembak Di Tempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah

0 0 1

Kajian Yuridis Tentang Kewenangan Tembak Di Tempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah

0 0 36

Kajian Yuridis Tentang Kewenangan Tembak Di Tempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah

0 0 27

Kajian Yuridis Tentang Kewenangan Tembak Di Tempat Oleh Aparat Kepolisian Terhadap Tersangka Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tidak Bersalah

0 0 3