Latar belakang Karakteristik Penderita Kelainan Refraksi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan dari 1 Januari 2012 Sampai 31 Desember 2012

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Mata merupakan salah satu organ panca indra yang sangat besar fungsinya yang dianugrahkan oleh Allah S.W.T. Tetapi terdapat beberapa jenis penyakit dan kelainan yg dapat membuat mata tidak dapat berfungsi dengan sempurna salah satunya adalah kelainan refraksi. Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada retina, dimana terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina atau tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata. Kelainan refraksi dapat dikenali dalam tiga bentuk, iaitu myopia, hipermetropia dan astigmatisma Ilyas, 2006. Kelainan refraksi sebagai satu penyebab buta tidak pernah mendapat perhatian dikalangan masyarakat. Banyak negara di dunia menyatakan kelainan refraksi akan menjadi penyebab buta yang bisa dirawat kedua terbesar setelah katarak Rakhi Dandona Lalit Dandona, 2001. Kelainan refraksi dapat terjadi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain umur, jenis kelamin, ras, dan lingkungan. Dalam satu penelitian menyatakan genetik juga memegang peranan besar pada miopia dan hipermetropia Hammond et al , 2001. World health organization WHO, 2010 menyatakan jumlah orang yang cacat penglihatan di dunia adalah 285 juta dengan 39 juta orang buta dan 247 juta dengan low vision, dimana 43 dari jumlah cacat penglihatan penyebabnya adalah refraksi tidak terkoreksi. Di Indonesia terdapat sekitar 1,5 atau 3,6 juta penduduknya mengalami kebutaan. Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit SIRS pada tahun 2011, gangguan refraksi merupakan penyebab kebutaan paling tinggi, yaitu dengan 198.036 pasien diikuti dengan katarak dan glaukoma, masing-masing 94.582 dan 25.175 pasien Yulianus, 2013. Menurut Riset Kesehatan Dasar Riskesdas yang dilakukan pada tahun 2007 menyatakan bahwa di Indonesia proporsi penurunan ketajaman penglihatan pada usia 6 tahun keatas sebesar 4,8 dan 0,9 mengalami kebutaan Depkes, 2008, Sedangkan di Provinsi Sumatera proporsi penurunan ketajaman penglihatan sebesar 4,5 dan 0,7 mengalami kebutaan Depkes, 2008. Menurut perhitungan World health organization WHO, tanpa ada tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap kelainan refraksi, hal ini akan mengakibatkan jumlah penderita akan semakin meningkat. Kenyataan ini sangat kontradiktif dengan pentingnya hak asasi manusia yakni hak memperoleh penglihatan yang optimal right to sight yang harus terjamin ketersediaannya. Dengan latar belakang tersebut, maka terdapat program kerjasama antara International Agency for the Prevention of Blindness IAPB dengan WHO yang telah ditandatangani oleh lebih dari 40 negara termasuk Indonesia, “Vision 2020 : Right to Sight ”, yang merupakan gagasan dari seluruh dunia berupa upaya kesehatan untuk menanggulangi masalah gangguan penglihatan termasuk kelainan refraksi dan kebutaan yang dapat dicegah atau direhabilitasi dengan dasar keterpaduan upaya dan bertujuan untuk menurunkan jumlah kebutaan pada tahun 2020 Dunway Berger, 2001. Dala m program “Vision 2020 : Right to Sight” terdapat 4 prinsip utama, yaitu eye health promotion, prevention of eye disease, curative intervention, dan rehabilitation. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut diperlukan usaha dari tiap wilayah dan kerja sama tim, dimana kegiatan skrining diperlukan sebagai langkah awal dalam penuntasan masalah kebutaan secara global Thulasiraj et al, 2001. Begitu juga di Indonesia pada tahun 2003, Departemen Kesehatan RI bersama organisasi profesi Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia PERDAMI telah mengupayakan penanggulangan gangguan penglihatan termasuk kelainan refraksi tersebut Tsan, 2010. Kelainan refraksi bukan hanya menggangu produktivitas dan mobilitas penderitanya, tetapi juga menimbulkan dampak sosial ekonomi bagi lingkungan, keluarga, masyarakat, dan negara dalam menghadapi pasar bebas. Apabila keadaan ini tidak ditangani secara menyeluruh, akan terus berdampak negatif terhadap perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajarannya, yang selanjutnya akan mempengaruhi mutu, kreativitas dan produktivitas kerja. Yang akan mengganggu laju pembangunan ekonomi nasional yang kini dititikberatkan pada pengembangan dan penguatan usaha kecil menengah untuk mengentaskan golongan ekonomi lemah dari kemiskinan RENSTRANAS PGPK, 2005.

1.2 Rumusan Masalah