Aspek Hukum Perlindungan Konsumen
sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 3
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dalam kaiatannya dengan hubungan perniagaan antara konsumen dengan
pelaku usaha akan terkati dengan obyek perjanjian. Obyek perjanjian tersebut bisa merupakan suatu barang ataupun jasa yang diperjanjikan.
Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat
dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 4
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sedangkan jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 5 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Selanjutnya, dalam perkembangan perlindungan terhadap konsumen
dikenal dua adagium, yaitu Caveat emptor dan Caveat venditor. Caveat emptor adalah istilah Latin untuk let the buyer aware konsumen harus
berhati-hati. Hal ini berarti bahwa sebelum konsumen membeli sesuatu, maka ia harus waspada terhadap kemungkinan adanya cacat pada barang.
Menurut doktrin caveat emptor, produsen atau penjual dibebaskan dari kewajiban untuk memberitahu kepada konsumen tentang segala hal yang
menyangkut barang yang hendak diperjualbelikan. Apabila konsumen memutuskan untuk membeli suatu produk, maka ia harus menerima produk
itu apa adanya. Awal abad XIX mulai disadari bahwa caveat emptor tidak
dapat dipertahankan lagi, apalagi untuk melindungi konsumen. Berdasarkan
doktrin Caveat Venditor bahwa produsen tidak hanya bertanggung jawab
kepada konsumen atas dasar tanggung jawab kontraktual. Karena produknya ditawarkan kepada semua orang, maka timbul kepentingan bagi masyarakat
untuk mendapatkan jaminan keamanan jika menggunakan produk yang bersangkutan. Kepentingan masyarakat itu adalah bahwa produsen yang
menawarkan produknya
pada masyarakat,
harus memperhatikan
keselamatan, ketrampilan, dan kejujuran dalam kegiatan transaksional yang dilakukannya. Oleh karena itulah kemudian berkembang doktrin caveat
venditor let the producer aware yang berarti bahwa produsen harus berhati- hati. Doktrin ini menghendaki agar produsen, dalam memproduksi dan
memasarkan produknya, berhati-hati dan mengindahkan kepentingan masyarakat luas.
Doktrin caveat venditor menuntut produsen untuk memberikan informasi yang cukup kepada konsumen tentang produk yang bersangkutan.
Apabila hal itu tidak dilakukan maka produsen wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh produknya.
Selanjutnya dalam perlindungan konsumen, hubungan hukum antara produsen dan konsumen dapat terjadi melalui perjanjian yang langsung
melibatkan kedua belah pihak. Pada umumnya transaksi semacam ini hanya dilakukan untuk barang-barang buatan rumah tangga yang diproduksi dalam
jumlah yang tidak begitu besar. Melalui hukum perjanjian, konsumen dapat dilindungi dari perilaku produsen. Apabila produsen tidak memenuhi
kewajiban yang telah diperjanjikan, maka konsumen berhak untuk mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi. Dengan syarat bahwa
perjanjian antara produsen dan konsumen, prestasi yang harus dipenuhi dapat diukur baik jumlah, berat, jenis, dan sebagainya.
Pada mulanya, transaksi perdagangan dilakukan secara langsung antara produsen dan konsumen, dimana produsen menyerahkan barang
yang diproduksinya langsung kepada konsumen yang langsung membayar harga barang. Namun transaksi semacam itu saat ini sudah jarang sekali
dilakukan terutama di perkotaan. Hal ini disebabkan oleh trend perdagangan di mana barang-barang diproduksi secara massal dan melibatkan rantai
perdagangan yang panjang, sehingga konsumen tidak lagi dapat berhubungan langsung dengan produsen
8
. Hubungan kontraktual antara produsen dan konsumen dilakukan secara tidak langsung, maka apabila
produsen tidak memenuhi kewajibannya, konsumen tidak lagi dapat menggugat produsen atas dasar wanprestasi. Konsumen hanya dapat
menggugat produsen atas dasar perbuatan melawan hukum. Terdapat 5 lima prinsip umum perlindungan konsumen dalam aspek
ekonomi tersebut. Sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Prinsip manfaat, merupakan segala upaya perlindungan konsumen harus memberi manfaat bagi konsumen dan pelaku
usaha; 2. Prinsip keadilan, merupakan konsumen dan pelaku usaha
hendaknya mendapat haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;
8
Schiffman, Leon G. et.al, Consumer Behavior Sixth Edition, Prentice Hall International, London, 1997, hlm. 630.
3. Prinsip Keseimbangan, merupakan perlindungan konsumen diharapkan dapat memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha dan pemerintah; 4. Prinsip keamanan dan keselamatan konsumen, merupakan
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam menggunakan suatu produk barang jasa;
5. Prinsip kepastian hukum, merupakan pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Selanjutnya, sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, maka pemerintah
Republik Indonesia harus melakukan tindakan-tindakan yang dapat melindungi konsumen di seluruh Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa setiap anggota masyarakat adalah konsumen. Dengan demikian perlindungan terhadap konsumen dapat diwujudkan
melalui pembentukan peraturan perundang-undangan ataupun melalui keputusan-keputusan tata usaha negara; yang termasuk dalam ruang lingkup
hukum publik. Selain itu pemerintah dapat mengembangkan pendidikan bagi konsumen dan penetapan suatu insentif untuk mendorong perilaku yang
diharapkan oleh pemerintah; dalam hal ini yang menyangkut perlindungan terhadap konsumen.
Transaksi pembayaran yang terjadi antara penjual dengan pembeli terkadang dibuat dalam bentuk kesepakatan standar atau klausula baku yang
isinya ditetapkan secara sepihak oleh penjual. Berdasarkan ketentuan Pasal
18 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, telah ditegaskan bahwa penjual dilarang membuat atau mencantumkan
klausula baku pada setiap perjanjian yang : 1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang
dibeli konsumen; 4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang
dibeli konsumen; 5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang
atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen; 6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat
jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
7. Menyatakan tunduknya konsumen pada peraturan baru, tambahan dan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha
atau penjual dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. menyatakan bahwa konsumen atau pembeli memberi kuasa kepada pelaku usaha atau penjual untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai atau jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Pelaku usaha atau penjual tidak diperkenankan membuat klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara
jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Apabila ketentuan tersebut diatas dilanggar, maka klausula baku termaksud dinyatakan batal
demi hukum. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menegaskan kewajiban-kewajiban pelaku usahan dalam hal ini penjual syang
menawarkan dan menjual suatu produk, yaitu : 1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan
tidak diskriminatif; 4. menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi danatau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang danatau jasa yang berlaku;
5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang danatau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan atau garansi atas barang yang dibuat danatau yang diperdagangkan;
6. memberi kompensasi, ganti rugi, danatau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan atau jasa yang diperdagangkan;memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang danatau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian.