BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.doc
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Konstruksi tambak
Kontruksi tambak yang terdapat di PT. Indonusa Yudha Perwita adalah tambak tanah yang dilapisi dengan plastik mulsa pada pematang tambak. Tujuan penggunaan plastik ini adalah untuk mencegah longsor pada saat hujan serta menahan abrasi oleh air tambak itu sendiri. Petakan tambak di PT. Indonusa Yudha Perwita berjumlah 36 petak. Dengan luasan tambak bervariasi mulai dari 2000 m2 hingga 5000m2. Setiap sudut petakan dibentuk melengkung, dengan tujuan untuk mengurangi sudut mati dan mendukung sirkulasi air yang membentuk arus yang berputar dan memusatkan kotoran untuk tersedimentasi di tengah dasar tambak agar kotoran dapat lebih mudah terbuang melalui pipa pembuangan. Layout tambak di PT. Indonusa Yudha Perwita disajikan dalam gambar 6 dan 7.
(2)
Gambar 7. Layout Tampak Atas Tambak PT. Indonusa Yudha Perwita Setiap petakan tambak didukung oleh saluran air yang dibagi menjadi dua yaitu saluran pemasukan (inlet) serta pembuangan (outlet). Saluran inlet berupa parit yang mengalir ke setiap tambak dengan pipa 6 inchi di setiap sisinya yang mengarah ke tambak (Gambar 8).
(3)
4.2 Sistem Pengairan
Sumber air yang digunakan untuk proses pembesaran udang vaname di PT. Indonusa Yudha Perwita yaitu air laut, yang di ambil langsung dari laut dengan menggunakan pipa PVC berukuran 12 inchi sepanjang 100 meter dari pinggir pantai dengan pompa pada ujungnya. Air yang diambil langsung dari laut selanjutnya ditampung terlebih dahulu ke dalam tandon dengan tujuan untuk mengendapkan bahan – bahan tersuspensi yang ikut terbawa saat proses pengambilan air laut. Selain menggunakan air laut, terdapat sumur bor sebagai sumber air tawar untuk proses pengenceran air laut menjadi payau. Proses pengisian air pada petakan tambak yaitu dengan mengambil air yang berada di kolam penampungan atau tandon dengan menggunakan pompa berukuran 6 inchi yang selanjutnya air akan dialirkan langsung pada petakan tambak melalui saluran parit yang mengarah ke tiap-tiap petakan.
Gambar 9. Pompa Air Laut Dan Tambak Tandon
Saluran pembuangan atau saluran outlet merupakan salah satu bagian penting untuk menstabilkan kualitas air. Saluran outlet dimulai dari petakan tambak yang dihubungkan menggunakan pipa paralon ke saluran outlet akhir. Saluran outlet akhir merupakan saluran akhir pembuangan yang akan menghubungkan ke sungai. Lebar saluran outlet akhir yaitu sekitar 2 m.
(4)
4.3 Pengelolaan Kualitas Air Tambak
Dalam proses pembesaran udang vaname, kualitas air tambak sangat berpengaruh untuk mendukung pertumbuhan udang vaname. Untuk itu, kualitas air tambak perlu diperiksa secara teratur untuk mengetahui dan tetap menjaga agar kondisi perairan tambak tetap dalam kondisi optimal. Adapun parameter yang di amati di PT. Indonusa Yudha Perwita, yaitu DO, pH, salinitas, suhu, nitrit amonia dan alkalinitas. Hasil pengamatan parameter kualitas air tambak di PT. Indonusa Yudha Perwita disajikan dalam tabel 6.
Tabel 6. Parameter Kualitas Air tambak selama budidaya
Parameter Nilai Pengamatan Referensi (Zakaria, 2010)
Suhu 0C 26,7 – 32,7 26 – 32
DO (ppm) 3,1 – 6,53 ≥ 3 ppm
pH 7,3 – 8,5 7,5 – 8,5
Salinitas (ppt) 17 – 31 15 – 30
Nitrit (ppm) 0,1 – 10 ≤ 0,1
TAN (ppm) 0 – 1,6 < 2 ppm
Alkalinitas (ppm) 125 – 200 ≥ 150
4.3.1 Pengelolaan Oksigen Terlarut
Pengukuran oksigen terlarut menggunakan DO meter, dilakukan 2 kali sehari pada pagi hari pukul 05.00 WIB dan malam hari pada pukul 07.00 WIB. Kisaran DO pada pagi hari yaitu 3,43 - 5,48 ppm, sedangkan untuk DO pada malam hari yaitu 3,1 - 6,53 ppm. Pengukuran DO pada pagi hari sebelum matahari terbit dilakukan untuk mengetahui nilai DO terendah sebelum terjadinya proses fotosintesis. Sedangkan pengukuran pada malam hari dilakukan untuk mengetahui nilai DO yang dihasilkan dari proses fotosintesis pada pagi hingga sore hari serta untuk menentukan standar keamanan DO tambak pada malam hari. Jika pada saat pengukuran malam hari nilai DO < 3 ppm, maka dilakukan
(5)
treatment untuk menjaga kelarutan oksigen di perairan tambak. Fluktuasi DO pada petak E1 dapat dilihat pada grafik (Gambar 10).
Gambar 10. Grafik Pengukuran DO Selama Budidaya
Kondisi DO tertinggi yang diperoleh dari pengukuran sore hari yaitu 6,53 ppm pada DOC ke 85. Kondisi ini disebabkan karena pada pagi hingga sore hari ada peran phytoplankton yang melakukan proses fotosintesis sehingga menghasilkan oksigen di dalam air. Selain itu, proses difusi oleh kincir juga berperan dalam tingkat kelarutan oksigen di dalam air.
Menurut Farida (2011) persentase jumlah oksigen di atmosfer adalah sebanyak 20,94 %. Selain itu, Difusi oksigen dari atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air diam (stagnan) atau adanya pergolakan massa air akibat arus atau angin. Pada kondisi air diam, difusi terjadi apabila tekanan parsial udara lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan parsial permukaan perairan (Anggriawan dkk, 2013).
Pada siang hari phytoplankton menyumbang 60 % oksigen diperairan tambak, namun pada malam hari phytoplankton juga mengambil 57 % oksigen di
(6)
perairan untuk proses respirasi (Edhy, dkk. 2010 dalam Trisma, 2011). Menurut Farida (2011), bila kelimpahan phytoplankton terlalu tinggi maka akan meningkatkan laju fotosintesis pada siang hari, namun laju respirasi saat malam hari dapat meningkat pula. Hal itu disebabkan karena pada malam hari
phytoplankton melakukan proses respirasi.
Pada proses budidaya di PT. Indonusa Yudha Perwita, sering ditemui beberapa masalah yang terkait dengan kelarutan oksigen di dalam air. Kelarutan oksigen rendah sering ditemui pada malam hari yang ditandai dengan naiknya udang ke permukaan air. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kelimpahan plankton yang terlalu tinggi (blooming) dan jumlah padat tebar yang terlalu tinggi (padat) seiring bertambahnya ABW udang tersebut. Jika dibiarkan tanpa adanya treatment untuk menanggulangi masalah kelarutan oksigen yang rendah dapat berbahaya bagi udang, karena dapat menyebabkan kematian massal akibat kekurangan oksigen.
Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk pemeliharaan udang minimal yaitu 4 ppm atau ≥ 3 ppm (Haliman dan Adijaya 2005, dalam Zakaria, 2010). Pada saat di lapangan, kondisi yang terjadi jika muncul masalah akibat rendahnya oksigen terlarut di perairan tambak dapat dilihat dengan naiknya udang ke permukaan air. Adapun pengaruh yang ditimbulkan akibat kekurangan oksigen pada perairan tambak menurut Farida (2011) adalah sebagai berikut :
a) Terganggunya proses respirasi pada udang.
b) Terhambatnya proses metabolisme dalam tubuh udang, sehingga laju pertumbuhan udang akan terganggu, bahkan dapat menyebabkan kematian.
(7)
c) Aktivitas bakteri aerob untuk mendekomposisi bahan orgaik akan mengalami penurunan, sehinga dapat menyebabkan turunnya kualitas air akibat menumpuknya bahan organik (Miyatsu, 2002 dalam Farida 2011). Penanggulangan yang dilakukan jika terjadi masalah kekurangan oksigen di tambak khususnya pada malam hari yaitu dengan cara penambahan air, pemberian kapur berupa kapur pertanian (CaCO3) dengan dosis 5 - 10 ppm serta penambahan jumlah kincir. Tujuan dari pengapuran yaitu untuk mengikat CO2 yang dihasilkan dari proses respirasi ataupun dari proses dekomposisi bahan organik yang mengendap di tambak (Farida, 2011).
Jika jumlah oksigen terlarut rendah (≤ 3 ppm), maka dapat diberikan aplikasi San-O2. Jumlah dosis San-O2 yang diberikan yaitu 0,6 kg / 1000 m2 (jika DO < 3 ppm) atau 1,9 kg / 1000 m2 ( DO < 2 ppm). Cara pemberian aplikasi San-O2 ini yaitu dengan mengencerkan kedalam 10 liter air atau secukupnya kemudian disebar secara merata di sekeliling tambak yang kekurangan oksigen. Pemberian San-O2 hanya diberikan jika kondisi oksigen terlarut sudah mendekati titik kritis. Keuntungan dari penggunaan San-O2 ini yaitu dapat menambah oksigen terlarut secara cepat di perairan tambak sehingga dapat memenuhi kebutuhan oksigen terlarut bagi udang di perairan tambak.
4.3.2 Pengelolaan Nilai pH
Nilai pH air yaitu keadaan yang menggambarkan kondisi keasaman di dalam perairan. Faktor – faktor yang mempengaruhi pH air antara lain DO, pH sumber air, pH dasar tambak, kondisi bahan organik di dasar tambak, alkalinitas, serta cuaca (Farida, 2011).
(8)
Pengukuran pH air dilakukan setiap hari yaitu pada pagi hari pukul 07.00 WIB serta siang hari pukul 02.30 WIB. Pengamatan pH pada pagi hari dilakukan karena, pada malam hari terjadi proses respirasi oleh organisme aquatik dimana proses tersebut menghasilkan CO2. CO2 yang dihasilkan dari proses tersebut bersifat asam dan menyebabkan pH air menjadi turun. Sedangkan pada siang hari
phytoplankton melakukan proses fotosintesis dimana dalam proses tersebut
phytoplankton membutuhkan CO2 yang pada akhirnya CO2 di perairan menjadi
berkurang, itulah sebabnya pH air menjadi naik. Kisaran pH tambak E1 pada pagi hari yaitu 7 – 8,3 sedangkan pada siang hari yaitu 7,3 – 8,5. Data pengukuran pH harian ditampilkan dalam bentuk grafik (Gambar 11).
Gambar 11. Grafik hasil pengukuran pH harian
Pada pagi hari pH air cenderung rendah dibandingkan dengan siang hari. Kondisi ini terjadi karena pada malam hari setiap organisme akuatik menghasilkan CO2 dalam proses respirasi, sehingga kandungan CO2 di perairan tambak menjadi meningkat dan akhirnya menyebabkan pH air menjadi asam. Hal ini sesuai juga dengan pernyataan Kordi dan Tanjung (2010) dalam Trinando
(9)
(2015) bahwa semakin banyak CO2 yang dihasilkan dari proses respirasi maka secara bertahap akan melepaskan ion H+ sehingga menyebabkan kondisi perairan menjadi asam. Kondisi itulah yang menyebabkan perbedaan nilai pH pada pagi dan siang hari. Pengaruh pH rendah pada udang yaitu menyebabkan kulit udang (karapas) menjadi lunak (soft shell) dan angka kehidupannya menjadi rendah (Farida, 2011).
Ketika pH turun mendekati angka 7,0 dilakukan pengapuran dengan kapur pertanian (CaCO3) dengan dosis 5 – 10 ppm, sebaliknya jika pH terlalu tinggi (melewati 8,5) maka dilakukan beberapa tindakan sesuai dengan penyebabnya. Beberapa tindakan tersebut adalah sebagai berikut (tabel 7).
Tabel 7. Tindakan yang dilakukan berdasarkan penyebabnya pada saat pH air naik
Penyebab Tindakan
Cuaca sangat panas Operasional kincir dimaksimalkan Phytoplankton pekat Pengenceran dari tandon (menurunkan
kecerahan 5 cm per hari)
BGA (Blue Green Algae) Menggeser dominansi BGA dengan diatom dengan pemberian kaptan di pagi hari dan mensupport pertumbuhan diatom di sore hari . 5 - 10 ppm .
Dinoflagellata/Red Tide Pemberian kaptan di sore atau malam
hari (5-10 ppm) sampai plankton bergeser, untuk menurunkan Phosphat Sumber : PT. Indonusa Yudha Perwita
Menurut Trisma (2011), pengapuran akan meningkatan ketersedian karbon untuk fotosintesis. Pemberian kapur dapat mengikat CO2 dalam perairan terutama pada malam hari CO2 dapat mempengaruhi kelarutan oksigen di perairan. Penebaran kapur juga dapat meningkatkan pH perairan dan juga berguna untuk memperbaiki kondisi pH dasar tambak. Pengapuran juga dapat meningkatkan laju
(10)
aktivitas mikroorganisme dan merangsang penguraian bahan organik oleh bakteri pengurai ( Trisma, 2011).
Pengaruh DO terhadap perubahan pH dapat di temukan pada siang hari terutama saat cuaca sedang cerah. Menurut Yusuf (2001) pada siang hari,
phytoplankton melakukan proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis,
phytoplankton menggunakan CO2. CO2 di dalam air bersifat asam, jika
phytoplankton menggunakan CO2 untuk proses fotosintesis maka kondisi pH air
tambak akan mengalami kenaikan. Karena banyak CO2 yang digunakan untuk proses fotosintesis
4.3.3 Pengelolaan Salinitas
Fluktuasi harian salinitas pada petak pembesaran udang dipertahankan tidak lebih dari 3 ppt untuk menghindari stress pada udang, untuk itu fungsi tandon sebagai wadah persediaan air dapat digunakan untuk menekan fluktuasi salinitas pada tambak. Pengamatan salinitas dilakukan secara ex-situ dengan membawa botol sampel yang berisi sampel air dari setiap tambak. Kemudian pengukuran salinitas dilakukan di laboratorium. Salinitas harian pada tambak udang dapat dilihat pada tambak E1 (Gambar 12).
(11)
Gambar 12. Hasil pengukuran salinitas harian
Berdasarkan hasil pengukuran salinitas (Gambar 5), kisaran salinitas yaitu 17- 31 ppt. Nilai salinitas pada awal pemeliharaan lebih tinggi dibanding hari berikutnya yaitu 31 ppt. Selama proses pemeliharaan (DOC 0 – 130) terjadi penurunan salinitas secara bertahap. Penurunan salinitas tetap dijaga pada kisaran optimal, yaitu 15 – 30 ppt (Zakaria, 2012) ini dilakukan bertujuan supaya udang vaname dapat tumbuh secara optimal. Karena jika salinitas terlalu tinggi ( > 35 ppt) dapat menyebabkan udang mengalami pertumbuhan yang lambat karena dapat mengganggu keseimbangan ionic dan osmoregulasi udang didalam air.
Pada proses budidaya penurunan nilai salinitas hingga 18 ppt. Hal ini terjadi akibat cuaca, turunnya hujan juga dapat mengakibatkan salinitas menurun. Nilai penurunan salinitas ini masih dalam kisaran optimal, yaitu 15 – 30 ppt (Zakaria, 2010). Kondisi cuaca panas terus menerus juga dapat menyebabkan salinitas menjadi naik. Hal itu disebabkan karena pada saat cuaca panas air pada tambak akan mengalami proses penguapan yang menyebabkan salinitas menjadi naik. Hal ini berbahaya jika dibiarkan terus menerus, karena dapat menyebabkan kondisi perairan tambak menjadi hypersaline (Zakaria, 2010). Selain itu pengurangan dan penambahan air tambak juga dapat mempengaruhi salinitas pada perairan tambak. Sehingga untuk mempertahankan salinitas air tambak, dilakukan penambahan air tawar pada saat pengisian dengan air laut supaya salinitas tetap terjaga pada kondisi optimal. Pada hasil pengamatan pertumbuhan (lampiran 6) dengan nilai penurunan salinitas udang tetap mengalami pertumbuhan yang baik hingga mencapai panen.
Salinitas perairan tambak sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain banyaknya sungai yang bermuara di sekitar lokasi pertambakan, curah hujan,
(12)
dan musim. Menurut Farida (2011), Salinitas memiliki pengaruh yang relatif kecil terhadap organisme yang bersifat euryhaline (mampu beradaptasi terhadap rentan salinitas yang tinggi). Pengaruh salinitas menjadi besar apabila terjadi perubahan secara mendadak. Salinitas yang terlalu tinggi juga dapat menyebakan udang vaname kesulitan untuk moulting, sehingga seringkali menyebabkan pertumbuhan udang menjadi lebih lambat (Budi, 2004 dalam Farida, 2011).
4.3.4 Pengelolaan Suhu
Suhu air tambak sangat tergantung pada kondisi cuaca. Suhu merupakan parameter lingkungan yang secara langsung dapat mempengaruhi metabolisme, konsumsi oksigen dan pertumbuhan. Suhu perairan tentu berbeda pada pagi dan malam hari, namun jika terjadi fluktuasi yang sangat tinggi dan cepat akan menyebabkan udang menjadi stress. Hal itu pula berdampak pada kekebalan tubuh serta kesehatan udang untuk itu perlu dilakukan usaha untuk mengurangi tingkat fluktuasi yang tinggi di tambak.
Pengukuran suhu dilakukan setiap hari, Pengamatan suhu dilakukan bersamaan pada saat pengukuran DO. Kisaran suhu pada tambak E1 di PT. Indonusa Yudha Perwita pada pagi hari yaitu 26,7o C – 30,9oC, sedangkan pada malam hari yaitu 27,3oC – 32,7oC. Hasil pengukuran suhu tambak pada grafik E1 (Gambar 13).
(13)
Gambar 13. Grafik hasil pengukuran suhu harian
Kondisi suhu tertinggi selama pemeliharaan udang vaname yaitu sebesar 32,7oC dan terendah yaitu 26,7oC. Salah satu faktor yang mempengaruhi suhu yaitu cahaya matahari, selain itu cuaca dan musim juga mempengaruhi suhu di perairan tambak (Trinando, 2015). Suhu tertinggi di perairan tambak diluar kisaran optimum (optimal 26 – 30oC). Namun demikian kondisi tersebut tidak menyebabkan gangguan pada udang karena peningkatan suhu terjadi secara bertahap. Menurut Boyd (1981) dalam Trinando (2015) udang akan mengalami kematian jika peningkatan suhu terjadi secara drastis. Kematian terjadi karena kejutan suhu yang fluktuatuf sehingga membutuhkan banyak energi untuk beradaptasi. Semakin tinggi suhu, tingkat kelarutan oksigen semakin rendah, namun berbanding terbalik dengan tingkat konsumsi oksigen. Semakin tinggi suhu maka tingkat konsumsi oksigen semaki tinggi (Boyd, 1981 dalam Trinando, 2015).
Udang vaname dapat tumbuh baik jika berada pada kondisi suhu optimum (26-32oC) Suhu terendah saat pengamatan yaitu 26,6oC. Nilai ini masih dalam kisaran optimum. Jika suhu < 25oC akan berpengaruh terhadap proses respirasi dan metabolisme dalam tubuh udang yang dapat mempengaruhi pertumbuhan (Kordi dan Tanjung, 2010 dalam Trinando, 2015). Dari hasil pengamatan pertumbuhan (lampiran 6) kondisi suhu perairan tambak selama masa pemeliharaan mendukung pertumbuhan udang vaname secara optimal hingga panen.
Pengelolaan suhu air dapat dilakukan dengan pengoptimalan penggunaan kincir. Selain sebagai penyuplai oksigen terlarut di perairan juga berfungsi sebagai
(14)
alat bantu untuk menciptakan suhu yang homogen sehingga mencegah adanya lapisan suhu bawah dan atas (thermocline) karena dalam tingkat suhu yang fluktuatif akan menyebabkan pengadukan dasar tambak (upwelling) sehingga senyawa – senyawa toksik yang berada di dasar tambak akan terangkat dan dapat mengganggu aktiftas udang, terutama dalam respirasi (Trinando, 2015).
Menurut Farida (2011), Cara yang dapat dilakukan untuk memperkecil fluktuasi suhu yang tinggi yaitu diperlukan adanya partikel hidup atau mati yang dapat menyerap panas dan menyimpannya hingga malam. Phytoplankton
merupakan salah satu jawaban yang dapat membantu penyimpanan energi panas tersebut, sehingga fungsi phytoplankton tidak hanya sebagai penyuplai oksigen bagi udang tetapi juga sebagai stabilisher suhu di perairan tambak.
4.3.5 Amonia dan Nitrit
Amonia (NH3) dan Nitrit (NO2) merupakan senyawa yang terbentuk dari unsur N, amonia dan nitrit dihasilkan dari sisa metabolisme udang yang bersumber dari pakan yang diberikan. Pengukuran amoniak dan nitrit menggunakan testkit secara berkala sekali dalam seminggu. Nilai amonia berkisar antara 0 – 1,6 ppm sedangkan untuk nitrit 0,1 – 10 ppm (Gambar 14)
(15)
Gambar 14. Grafik hasil pengukuran Amonia dan Nitrit
Pada DOC 129 nilai nitrit mencapai 10 ppm, sedangkan amonia mencapai 0,8 ppm. Hal ini disebabkan karena pada DOC 129 sudah memasuki minggu akhir pemeliharaan. Penumpukan bahan organik akibat dari pakan bertambah yaitu dari sisa feses serta sisa pakan di perairan tambak. Ketika bahan organik mengalami penumpukan, nitrat dan amonia akan meningkat. Akumulasi sisa pakan yang sebagian besar komponennya adalah protein akan mengakibatkan meningkatnya konsentrasi amonia serta nitrit (Izzati, 2011). Pada hasil pengamatan peningkatan nilai nitrit hingga 10 ppm pada DOC 129 tidak berpengaruh pada pertumbuhan udang vaname, dapat dilihat pada hasil pengamatan pertumbuhan (lampiran 6) udang vaname tetap mengalami pertumbuhan yang baik. Pemberian probiotik untuk proses nitrifikasi tidak dilakukan, hal itu disebabkan karena sudah mencapai minggu akhir pemeliharaan. Pada tahap ini langkah antisipasi yang dilakukukan yaitu membuang bahan organik yang menumpuk di central melalui pipa pembuangan.
Menurut Subandriyo (1996), pakan udang dengan kandungan protein tinggi (.>30%) akan menghasikan limbah dengan kandungan nitrogen yang tinggi pula, dalam hal ini tentu sangat berpotensi untuk menghasilkan amonia yang beracun bagi udang. NH3 sangat tergantung pada nilai pH dan suhu perairan (Boyd, 1990 dalam Yuniasari, 2009). Semakin tinggi suhu dan pH air, persentase NH3 semakin tinggi (Boyd, 1990 dalam Yuniasari, 2009).
Nitrit merupakan bentuk nitrogen yang relatif tidak stabil dan mudah teroksidasi, walaupun dalam konsentrasi rendah, nitrit bersifat toksik bagi udang dan organisme akuatik lainnya (Metcalf dan Eddy, 1991 dalam Yuniasari, 2009).
(16)
Nitrit merupakan produk awal dari proses nitrifikasi dimana ion amonium dioksidasi oleh bakteri Nitrosomonas menjadi nitrit.
Pengelolaan NH3 dan NO2 pada perairan tambak di PT. Indonusa Yudha Perwita adalah dengan pemberian probiotik berupa super NB. Pemberian super NB ini dilakukan 1 kali setiap minggu dengan dosis 0,5 – 1 ppm. Tujuan pemberian super NB adalah untuk membantu proses nitrifikasi untuk mereduksi kompenen nitrogen (amonia) menjadi nitrit dan nitrat (EPA, 2002 dalam
Yuniasari, 2009). Nitrifikasi berlangsung melalui 2 tahapan reaksi, tahap pertama yaitu oksidasi amonium menjadi nitrit yang dilakukan oleh mikroba pengoksidasi amonium (Niitrosomonas sp), dan pada tahap kedua yaitu oksidasi nitrit oleh mikroba pengoksidasi nitrit (Nitrobacter sp).
Gambar 15. Pemberian Super NB pada tambak
Menurut EPA (2002) dalam Yuniasari (2009) pertumbuhan bakteri nitrifikasi dipengaruhi oleh konsentrasi amonia, suhu, pH, cahaya, konsentrasi oksigen, dan komposisi bakteri. Sedangkan faktor – faktor yang mempengaruhi nitrifikasi menurut Ripple (2003) dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Faktor-faktor yang mempengaruhi nitrifikasi
Parameter Keterangan
Dissolved oxygen (DO) Nitrifikasi mengkonsumsi oksigen dalam jumlah besar.
(17)
mengoksidasi 1 mg amonia. Untuk dapat bekerja bakteri nitrifikasi membutuhkan DO minimal 2 mg/l Kandungan BOD Bakteri nitrifikasi akan kalah berkompetensi dengan
bakteri heterotrof dalam perebutan DO dan nutrien. Oleh karenanya agar proses nitrifikasi dapat mengambil alih, maka BOD terlarut harus dikurangi hingga nilainya turun menjadi 20-30 mg/l untuk mengurangi kompetensi tersebut.
pH pH ideal untuk bakteri nitrifikasi adalah 7,5 – 8,5, tetapi bakteri masih dapat beradaptasi pada pH diluar kisaran Suhu Suhu optimal 20 – 35oC, proses nitrifikasi akan
melambat drastis pada suhu dibawah 5oC
Rentan terhadap toksin Bakteri nitrifikasi sensitif terhadap pencemar (ex: logam berat). Bakteri nitrifikasi menjadi yang pertama mati jika ada pencemaran
Sumber : Ripple (2003 dalam Yuniasari, 2009)
4.3.6 Alkalinitas
Alkalinitas adalah total dari unsur basa yang terkandung dan biasanya setara dengan kalsium karbonat, Alkalinitas dalam air berbentuk karbonat dan bikarbonat. Ketersediaan ion basa karbonat dan bikarbonat dalam air merupakan parameter utama alkalinitas. Alkalinitas perairan berpengaruh pada pertumbuhan plankton, mempengaruhi pH air, dan akhirnya mempengaruhi pertumbuhan dan produksi budidaya. Standar alkalinitas di PT. Indonusa Yudha Perwita adalah 80 – 200 ppm, kisaran tersebut sudah berada pada kisaran optimal dimana kisaran optimal alkalinitas yang baik untuk perairan tambak adalah ≥ 80 ppm, nilai alkalinitas pada tambak E1 dapat dilihat pada grafik (Gambar 16).
(18)
Gambar 16. Nilai alkalinitas pada tambak E1
Selama masa pemeliharan, fluktuasi alkalinitas selalu dalam kisaran optimal. Pengelolaan alkalinitas di PT. Indonusa Yudha perwita dilakukan dengan pengapuran rutin sebanyak 3 hari sekali. Menurut Yukasono (2001), pemberian kapur pada perairan tambak berperan untuk meningkatkan alkalinitas serta memperbaiki sistem buffer pH. Alkalinitas < 20 ppm tidak bagus untuk pertumbuhan phytoplankton. Alkalinitas optimal untuk perairan tambak udang yaitu > 80 ppm. Sewaktu kapur diberikan kedalam air Ca menaikkan hardness dan CO3 menaikkan alkalinitas, kenaikan alkalinitas meningkatkan ketersediaan CO2 untul proses fotosinstesa (Yukasono, 2001).
Pada siang hari, phytoplankton memanfaatkan CO2 untuk proses fotosintesis, berkurangnya CO2 karena digunakan phytoplankton lebih cepat dibanding dengan proses pergantiannya. Pengurangan CO2 menyebabkan pH air meningkat. Hal ini terjadi karena ada perubahan dalam reaksi kesetimbangan. Jika CO2 berkurang, maka HCO3- akan bereaksi menghasilkan CO2 untuk proses fotosintesis, proses ini dapat menghindari terjadinya peningkatan pH secara drastis. Jika HCO3- berkurang, maka CO32- akan bereaksi untuk menghasilkan CO2 dan H2O ( Yusuf, 2001).
Kondisi alkalinitas yang rendah sangat berbahaya apabila terjadi terus menerus, karena dapat menyebabkan pH menjadi tidak stabil (Edhy, 2005 dalam
Trinando, 2015). Untuk menjaga kestabilan alkalinitas ( > 80ppm) dilakukan pengapuran secara rutin setiap 3 hari sekali dengan dosis pengapuran sebanyak 5 – 10 ppm. Aplikasi kapur dalam tambak dapat meningkatkan alkalinitas air (Edhy,
(19)
2005). Dengan demikian nilai alkalinitas dapat dikembalikan pada kisaran optimal sehingga tidak menyebabkan nilai pH berubah terlalu ekstrim yang dapat membahayakan kelangsungan hidup serta pertumbuhan udang vaname.
4.4 Pengamatan Pertumbuhan 4.4.1 MBW (Mean Body Weight)
Pengamatan pertumbuhan berat rata-rata udang vaname dilakukan setiap satu minggu sekali, MBW dapat dilihat dalam grafik (Gambar 17).
Gambar 17. Grafik MBW udang hasil pemeliharaan
Berdasarkan grafik pertumbuhan yang ditunjukan (gambar 17) MBW udang vaname pada akhir pemeliharaan sudah mencapai bobot 27,26 gram/ekor pada DOC 140. Bobot tersebut jika menurut ketentuan di PT. Indonusa Yudha Perwita sudah mencapai size panen, dimana size udang pada DOC ke 140 atau pada saat panen mencapai size 37, artinya dalam 1 kg udang terdapat 37 ekor udang vaname.
(20)
Hasil pengukuran MBW setiap minggu selalu ada kenaikan berat rata-rata, hal itu didukung pula oleh parameter kualitas air selama budidaya. Pada masa pemeliharaan salinitas serta DO perairan dan suhu berada di kisaran optimal udang vanameuntuk tumbuh, yakni salinitas 17 - 32 ppt, DO 3,1 – 6,53 ppm serta suhu 26,6 – 32,70 C. Menurut Supono (2011) MBW udang vaname pada DOC 120 adalah 18,3 gram, sedangkan hasil pengamatan pertumbuhan perminggu di PT. Indonusa Yudha Perwita pada DOC 119 MBW yang didapat yaitu 20,8 gram. Ini membuktikan dengan parameter kualitas air yang optimal akan mendukung pertumbuhan yang optimal pula. Asmawi (1983) dalam Hardiansyah (2015) menyatakan bahwa kualitas perairan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pertumbuhan organisme yang hidup di air.
4.4.2 ADG (Average Daily Growth)
ADG merupakan pertambahan berat harian rata-rata untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan udang vaname dalam periode waktu tertentu. Setiap minggunya udang vaname selalu mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan setiap harinya dipengaruh oleh parameter kualitas air yang baik, pada waktu pemeliharaan. Perhitungan ADG dilakukan setelah didapat hasil pengamatan MBW. Hasil dari perhitungan ADG pada sampling dilihat dalam grafik (Gambar 18).
(21)
Gambar 18. Grafik nilai ADG udang vanamei
Rata – rata ADG hingga DOC 130 yaitu 0,22. Nilai ADG yang didapat cukup baik, karena menurut Supono (2011) rata – rata nilai ADG hingga DOC 130 yaitu 0,17. Pada DOC 77, nilai ADG udang vaname sebesar 0,15 kemudian terus meningkat hingga pada DOC 119 yaitu 0,38 . peningkatan nilai ADG ini berkaitan dengan kualitas air tambak selama pemeliharaan seperti suhu (lampiran 3) dan DO (lampiran 4). Dimana nilai pengamatan DO dan suhu di perairan tambak berada pada kisaran optimal yaitu DO > 3 ppm, Suhu 26 – 320C (Zakaria, 2012) .
Nilai parameter kualitas air yang lain seperti pH dan salinitas juga berada dikisaran yang baik untuk pertumbuhan udang vaname. Alkalinitas juga memegang peranan penting untuk mendukung pertumbuhan udang vaname. Kisaran alkalinitas selama masa pemeliharaan yaitu 125 – 200 ppm, Dimana kisaran optimal alkalinitas untuk mendukung pertumbuhan udang vaname yaitu > 80 ppm (Zakaria, 2012). Dengan nilai alkalinitas yang optimal akan menjaga kestabilan air yang dapat mempengaruhi kualitas air secara keseluruhan (Yusuf, 2001). Karena untuk udang dapat tumbuh secara optimal tentunya didukung oleh kualitas air yang optimal pula. Namun dengan kecepatan ADG yang fluktuatif tetap dapat menghasilkan MBW sesuai dengan target perusahaan pada akhir pemeliharaan.
(1)
Nitrit merupakan produk awal dari proses nitrifikasi dimana ion amonium dioksidasi oleh bakteri Nitrosomonas menjadi nitrit.
Pengelolaan NH3 dan NO2 pada perairan tambak di PT. Indonusa Yudha Perwita adalah dengan pemberian probiotik berupa super NB. Pemberian super NB ini dilakukan 1 kali setiap minggu dengan dosis 0,5 – 1 ppm. Tujuan pemberian super NB adalah untuk membantu proses nitrifikasi untuk mereduksi kompenen nitrogen (amonia) menjadi nitrit dan nitrat (EPA, 2002 dalam Yuniasari, 2009). Nitrifikasi berlangsung melalui 2 tahapan reaksi, tahap pertama yaitu oksidasi amonium menjadi nitrit yang dilakukan oleh mikroba pengoksidasi amonium (Niitrosomonas sp), dan pada tahap kedua yaitu oksidasi nitrit oleh mikroba pengoksidasi nitrit (Nitrobacter sp).
Gambar 15. Pemberian Super NB pada tambak
Menurut EPA (2002) dalam Yuniasari (2009) pertumbuhan bakteri nitrifikasi dipengaruhi oleh konsentrasi amonia, suhu, pH, cahaya, konsentrasi oksigen, dan komposisi bakteri. Sedangkan faktor – faktor yang mempengaruhi nitrifikasi menurut Ripple (2003) dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Faktor-faktor yang mempengaruhi nitrifikasi
Parameter Keterangan
Dissolved oxygen (DO) Nitrifikasi mengkonsumsi oksigen dalam jumlah besar. Bakteri nitrifikasi membutuhkan 4,6 mg O2 untuk
(2)
Kandungan BOD Bakteri nitrifikasi akan kalah berkompetensi dengan bakteri heterotrof dalam perebutan DO dan nutrien. Oleh karenanya agar proses nitrifikasi dapat mengambil alih, maka BOD terlarut harus dikurangi hingga nilainya turun menjadi 20-30 mg/l untuk mengurangi kompetensi tersebut.
pH pH ideal untuk bakteri nitrifikasi adalah 7,5 – 8,5, tetapi bakteri masih dapat beradaptasi pada pH diluar kisaran Suhu Suhu optimal 20 – 35oC, proses nitrifikasi akan
melambat drastis pada suhu dibawah 5oC
Rentan terhadap toksin Bakteri nitrifikasi sensitif terhadap pencemar (ex: logam berat). Bakteri nitrifikasi menjadi yang pertama mati jika ada pencemaran
Sumber : Ripple (2003 dalam Yuniasari, 2009)
4.3.6 Alkalinitas
Alkalinitas adalah total dari unsur basa yang terkandung dan biasanya setara dengan kalsium karbonat, Alkalinitas dalam air berbentuk karbonat dan bikarbonat. Ketersediaan ion basa karbonat dan bikarbonat dalam air merupakan parameter utama alkalinitas. Alkalinitas perairan berpengaruh pada pertumbuhan plankton, mempengaruhi pH air, dan akhirnya mempengaruhi pertumbuhan dan produksi budidaya. Standar alkalinitas di PT. Indonusa Yudha Perwita adalah 80 – 200 ppm, kisaran tersebut sudah berada pada kisaran optimal dimana kisaran optimal alkalinitas yang baik untuk perairan tambak adalah ≥ 80 ppm, nilai alkalinitas pada tambak E1 dapat dilihat pada grafik (Gambar 16).
(3)
Gambar 16. Nilai alkalinitas pada tambak E1
Selama masa pemeliharan, fluktuasi alkalinitas selalu dalam kisaran optimal. Pengelolaan alkalinitas di PT. Indonusa Yudha perwita dilakukan dengan pengapuran rutin sebanyak 3 hari sekali. Menurut Yukasono (2001), pemberian kapur pada perairan tambak berperan untuk meningkatkan alkalinitas serta memperbaiki sistem buffer pH. Alkalinitas < 20 ppm tidak bagus untuk pertumbuhan phytoplankton. Alkalinitas optimal untuk perairan tambak udang yaitu > 80 ppm. Sewaktu kapur diberikan kedalam air Ca menaikkan hardness dan CO3 menaikkan alkalinitas, kenaikan alkalinitas meningkatkan ketersediaan CO2 untul proses fotosinstesa (Yukasono, 2001).
Pada siang hari, phytoplankton memanfaatkan CO2 untuk proses fotosintesis, berkurangnya CO2 karena digunakan phytoplankton lebih cepat dibanding dengan proses pergantiannya. Pengurangan CO2 menyebabkan pH air meningkat. Hal ini terjadi karena ada perubahan dalam reaksi kesetimbangan. Jika CO2 berkurang, maka HCO3- akan bereaksi menghasilkan CO2 untuk proses fotosintesis, proses ini dapat menghindari terjadinya peningkatan pH secara drastis. Jika HCO3- berkurang, maka CO32- akan bereaksi untuk menghasilkan CO2 dan H2O ( Yusuf, 2001).
Kondisi alkalinitas yang rendah sangat berbahaya apabila terjadi terus menerus, karena dapat menyebabkan pH menjadi tidak stabil (Edhy, 2005 dalam Trinando, 2015). Untuk menjaga kestabilan alkalinitas ( > 80ppm) dilakukan pengapuran secara rutin setiap 3 hari sekali dengan dosis pengapuran sebanyak 5 – 10 ppm. Aplikasi kapur dalam tambak dapat meningkatkan alkalinitas air (Edhy,
(4)
sehingga tidak menyebabkan nilai pH berubah terlalu ekstrim yang dapat membahayakan kelangsungan hidup serta pertumbuhan udang vaname.
4.4 Pengamatan Pertumbuhan 4.4.1 MBW (Mean Body Weight)
Pengamatan pertumbuhan berat rata-rata udang vaname dilakukan setiap satu minggu sekali, MBW dapat dilihat dalam grafik (Gambar 17).
Gambar 17. Grafik MBW udang hasil pemeliharaan
Berdasarkan grafik pertumbuhan yang ditunjukan (gambar 17) MBW udang vaname pada akhir pemeliharaan sudah mencapai bobot 27,26 gram/ekor pada DOC 140. Bobot tersebut jika menurut ketentuan di PT. Indonusa Yudha Perwita sudah mencapai size panen, dimana size udang pada DOC ke 140 atau pada saat panen mencapai size 37, artinya dalam 1 kg udang terdapat 37 ekor udang vaname.
(5)
Hasil pengukuran MBW setiap minggu selalu ada kenaikan berat rata-rata, hal itu didukung pula oleh parameter kualitas air selama budidaya. Pada masa pemeliharaan salinitas serta DO perairan dan suhu berada di kisaran optimal udang vaname untuk tumbuh, yakni salinitas 17 - 32 ppt, DO 3,1 – 6,53 ppm serta suhu 26,6 – 32,70 C. Menurut Supono (2011) MBW udang vaname pada DOC 120 adalah 18,3 gram, sedangkan hasil pengamatan pertumbuhan perminggu di PT. Indonusa Yudha Perwita pada DOC 119 MBW yang didapat yaitu 20,8 gram. Ini membuktikan dengan parameter kualitas air yang optimal akan mendukung pertumbuhan yang optimal pula. Asmawi (1983) dalam Hardiansyah (2015) menyatakan bahwa kualitas perairan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pertumbuhan organisme yang hidup di air.
4.4.2 ADG (Average Daily Growth)
ADG merupakan pertambahan berat harian rata-rata untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan udang vaname dalam periode waktu tertentu. Setiap minggunya udang vaname selalu mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan setiap harinya dipengaruh oleh parameter kualitas air yang baik, pada waktu pemeliharaan. Perhitungan ADG dilakukan setelah didapat hasil pengamatan MBW. Hasil dari perhitungan ADG pada sampling dilihat dalam grafik (Gambar 18).
(6)
Rata – rata ADG hingga DOC 130 yaitu 0,22. Nilai ADG yang didapat cukup baik, karena menurut Supono (2011) rata – rata nilai ADG hingga DOC 130 yaitu 0,17. Pada DOC 77, nilai ADG udang vaname sebesar 0,15 kemudian terus meningkat hingga pada DOC 119 yaitu 0,38 . peningkatan nilai ADG ini berkaitan dengan kualitas air tambak selama pemeliharaan seperti suhu (lampiran 3) dan DO (lampiran 4). Dimana nilai pengamatan DO dan suhu di perairan tambak berada pada kisaran optimal yaitu DO > 3 ppm, Suhu 26 – 320C (Zakaria, 2012) .
Nilai parameter kualitas air yang lain seperti pH dan salinitas juga berada dikisaran yang baik untuk pertumbuhan udang vaname. Alkalinitas juga memegang peranan penting untuk mendukung pertumbuhan udang vaname. Kisaran alkalinitas selama masa pemeliharaan yaitu 125 – 200 ppm, Dimana kisaran optimal alkalinitas untuk mendukung pertumbuhan udang vaname yaitu > 80 ppm (Zakaria, 2012). Dengan nilai alkalinitas yang optimal akan menjaga kestabilan air yang dapat mempengaruhi kualitas air secara keseluruhan (Yusuf, 2001). Karena untuk udang dapat tumbuh secara optimal tentunya didukung oleh kualitas air yang optimal pula. Namun dengan kecepatan ADG yang fluktuatif tetap dapat menghasilkan MBW sesuai dengan target perusahaan pada akhir pemeliharaan.