Potensi dan Laju Eksploitasi Sumber Daya Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus Bloch, 1791) di Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Banten

POTENSI DAN LAJU EKSPLOITASI SUMBER DAYA IKAN KURISI
(Nemipterus japonicus Bloch, 1791) DI SELAT SUNDA YANG
DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN

WIDYANTI OCTORIANI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi dan Laju
Eksploitasi Sumber Daya Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus Bloch, 1791) di Selat
Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Banten adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2014
Widyanti Octoriani
NIM C24100049

ABSTRAK
WIDYANTI OCTORIANI. Potensi dan Laju Eksploitasi Sumber Daya Ikan
Kurisi (Nemipterus japonicus Bloch, 1791) di Selat Sunda yang Didaratkan di
PPP Labuan, Banten. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan
MENNOFATRIA BOER.
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan merupakan tempat pendaratan
ikan yang berkembang di sekitar Selat Sunda. Ikan kurisi termasuk jenis ikan
demersal dengan hasil tangkapan paling banyak yaitu 14%. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengkaji kondisi sumber daya ikan kurisi di Selat Sunda. Pada
penelitian ini digunakan model surplus produksi dan metode ELEFAN I. Hasil
menunjukkan bahwa laju eksploitasi ikan kurisi jantan dan betina berturut-turut
adalah 0.87/tahun dan 0.77/tahun. Hasil analisis bioekonomi menunjukkan bahwa
tingkat produksi optimal untuk sumber daya ikan kurisi adalah 1 836.05
ton/tahun; tingkat upaya optimal untuk pemanfaatan sumber daya ikan kurisi 750
trip/tahun; dan rente ekonomi optimal untuk pemanfaatan sumber daya ikan kurisi
mencapai Rp 36 608 932 573/tahun. Saat ini sumber daya ikan kurisi

diindikasikan telah mengalami biological overfishing dan economic overfishing.
Salah satu upaya mengatasinya adalah mengurangi input yang berlebihan dengan
pembatasan upaya tangkap dan pengalihan ikan target.
Kata kunci: Bioekonomi, Ikan kurisi (Nemipterus japonicus), Laju eksploitasi,
PPP Labuan, Selat Sunda.
ABSTRACT
WIDYANTI OCTORIANI. Potential and Exploitation Rate of Threadfin Bream
(Nemipterus japonicus Bloch, 1791) Resources in Sunda Strait which Landed at
PPP Labuan, Banten. Supervised by ACHMAD FAHRUDIN and
MENNOFATRIA BOER.
Labuan Fishing Port is growing fish landing place around the Sunda Strait.
Threadfin Bream include demersal fish with most catch is 14%. The purpose of
this study was to assess the condition of the Threadfin Bream in Sunda Strait. In
this study, used the surplus production models and ELEFAN I methods. The
results showed that exploitation rate of Threadfin Bream males and females
respectively are 0.87/year and 0.77/year. Bioeconomic analysis results showed
that the optimum production level on utilization for Threadfin Bream resourches
was 1 836.05 tons/year; the optimum effort levels on utilizations for Threadfin
Bream resourches was 750 trips/year; and the optimum economic rent levels on
utilizations for Threadfin Bream resourches was Rp 36 608 932 573/year. Now,

Threadfin Bream resourches was indicated has biological overfishing and
economic overfishing. One of the effort to overcome it is to reduce the excessive
input by limiting fishing effort and fish diversion targets.
Keywords: Bioeconomic, Threadfin Bream (Nemipterus japonicus), Exploitation
rate, PPP Labuan, Sunda Strait.

POTENSI DAN LAJU EKSPLOITASI SUMBER DAYA IKAN KURISI
(Nemipterus japonicus Bloch, 1791) DI SELAT SUNDA YANG
DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN

WIDYANTI OCTORIANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Potensi dan Laju Eksploitasi Sumber Daya Ikan Kurisi
(Nemipterus japonicus Bloch, 1791) di Selat Sunda yang
Didaratkan di PPP Labuan, Banten
Nama
: Widyanti Octoriani
NIM
: C24100049
Program studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Disetujui oleh

Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi
Pembimbing I

Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA
Pembimbing II


Diketahui oleh

Dr Ir M Mukhlis Kamal, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi

Potensi dan Laju Eksploitasi Sumber Daya Ikan Kurisi
(Nemipterus japonicus Bloch, 1791) di Selat Sunda yang
Didaratkan di PPP Labuan, Banten
Nama
Widyanti Octoriani
NIM
C24100049
Program studi: Manajemen Sumberdaya Perairan

Disetujui oleh


セ@

Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi
Pembimbing I

Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA
Pembimbing II

MSc

Tanggal Lu1us:

2' 9 0 42 0 1 4

PRAKATA
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat kelimpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini dengan
judul “Potensi dan Laju Eksploitasi Sumber Daya Ikan Kurisi (Nemipterus
japonicus Bloch, 1791) di Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Banten”.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar
Sarjana pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan kali ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan menempuh
studi di departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
2.
Direktur Jendral Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan
Tinggi Negeri (BOPTN), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),
DIPA IPB Tahun Ajaran 2013, kode Mak: 2013. 089. 521219, Penelitian
Dasar untuk Bagian, Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB dengan judul
“Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Beberapa Ikan Ekologis dan
Ekonomis Penting di Perairan Selat Sunda, Provinsi Banten” yang
dilaksanakan oleh Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA (sebagai ketua
peneliti) dan Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi (sebagai anggota peneliti).
3.
Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi selaku pembimbing akademik yang telah

memberi saran selama perkuliahan.
4.
Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi dan Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan saran dalam
penyelesaian skripsi.
5.
Dr Ir Yunizar Ernawati, MS selaku Komisi Pendidikan Program S1 dan
Dr Ir M Mukhlis Kamal, MSc selaku dosen penguji tamu yang telah
memberikan saran dalam penyelesaian skripsi.
6.
Keluarga di rumah yaitu kedua orang tua; Ibu Dwi Fitriyanti dan Bapak
Heru Bagyo Widodo, adik Julio Candra Wijaya, serta eyang atas kasih
sayang, dukungan doa dan materil.
7.
Staff Tata Usaha dan civitas MSP.
8.
Runi, Rana, Agus, Nina, Noor, Nia, Anis, Ajeng, Yuyun, Akrom, Hesvi,
dan seluruh MSP 47.
9.
Desi, Ayu, Lufi, Lala, Ria, Zeri, Wulan, dan seluruh teman kos Chatralaya.

10.
Keluarga Kudus Bogor Menara Kota (KKB MK).
11.
Serta semua pihak yang telah mengambil bagian dalam pemberian
masukan dan saran selama penyusunan skripsi.
Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat kepada semua pihak
sebagaimana mestinya.
Bogor, April 2014
Widyanti Octoriani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
METODE

Lokasi dan Waktu
Alat dan Bahan
Pengumpulan Data
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Proporsi upaya penangkapan
Standarisasi upaya penangkapan
Analisis surplus produksi
Analisis bioekonomi
Maximum Economic Yield (MEY)
Open Access (OA)
Parameter pertumbuhan
Ukuran pertama kali matang gonad
Mortalitas dan laju eksploitasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Deskripsi ikan kurisi
Hasil wawancara
Komposisi hasil tangkapan ikan
Hasil tangkapan ikan kurisi
Upaya penangkapan ikan kurisi

Catch per unit effort (CPUE)
Hubungan catch per unit effort dan effort
Parameter biologi
Analisis bioekonomi
Parameter pertumbuhan
Mortalitas dan laju eksploitasi
Pembahasan
Kondisi sumber daya ikan kurisi di PPP Labuan Banten
Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan kurisi
Upaya pengelolaan pemanfaatan sumber daya ikan kurisi
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

v

vi
vi
vi
1
1
1
2
2
3
3
4
4
4
4
5
5
8
8
9
9
9
10
11
11
11
11
11
12
13
14
14
15
16
17
19
20
20
21
22
23
23
23
23
25
45

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Analisis bioekonomi berbagai rezim pengelolaan perikanan
Parameter biologi ikan kurisi
Parameter ekonomi sumber daya ikan kurisi
Hasil analisis bioekonomi ikan kurisi dengan model Schaefer
Parameter pertumbuhan ikan kurisi
Laju mortalitas dan eksploitasi ikan kurisi di PPP Labuan, Banten

9
15
16
16
18
20

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Diagram alir rumusan masalah
Peta lokasi penelitian
Morfologi ikan kurisi (Nemipterus japonicus)
Komposisi hasil tangkapan ikan yang didaratkan
Komposisi hasil tangkapan ikan demersal
Grafik hasil tangkapan ikan kurisi dengan alat tangkap produktif
Grafik upaya penangkapan ikan kurisi dengan alat tangkap produktif
Grafik catch per unit effort ikan kurisi dengan alat tangkap produktif
Kurva hubungan CPUE dengan effort
Hubungan produksi dan upaya penangkapan
Kurva model bioekonomi
Sebaran frekuensi ikan kurisi betina dengan program ELEFAN I
Sebaran frekuensi ikan kurisi jantan dengan program ELEFAN I
Kurva hasil tangkapan ikan kurisi jantan yang dilinearkan berbasis
data panjang
15 Kurva hasil tangkapan ikan kurisi betina yang dilinearkan berbasis
data panjang

2
3
11
12
12
13
13
14
15
17
17
18
18
19
19

DAFTAR LAMPIRAN
1 Proses penentuan laju mortalitas total (Z) melalui kurva yang
dilinerakan berdasarkan data panjang
2 Daftar pertanyaan (kuesioner) penangkapan ikan kurisi
3 Standarisasi alat tangkap
4 Surplus produksi
5 Hasil analisis bioekonomi
6 Pendugaan pertumbuhan dengan metode ELEFAN I dalam program
FISAT II
7 Ukuran pertama kali matang gonad
8 Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi
9 Laju mortalitas dan eksploitasi ikan kurisi

vi

25
27
30
34
38
39
40
42
43

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan merupakan salah satu tempat
pendaratan ikan yang berkembang di sekitar perairan Selat Sunda. Hal ini
disebabkan PPP Labuan dikelilingi daerah–daerah penangkapan (fishing ground)
yang potensial yaitu Samudra Hindia dan Laut Jawa, sehingga memiliki potensi
perikanan laut yang sangat besar. Hasil tangkapan nelayan yang terdiri dari ikan
pelagis dan ikan demersal bervariasi jumlahnya setiap waktu. Ikan kurisi
merupakan ikan demersal yang ekonomis penting di PPP Labuan dan biasanya
dijual dalam bentuk segar dengan harga Rp 15 000-25 000/kg. Rahardjo et al.
(1999) in Sjafei dan Robiyani (2001) memasukkan ikan ini ke dalam kelompok
komoditas unggulan sekunder lokal. Menurut DKP Pandeglang (2013), ikan
kurisi merupakan ikan dengan tangkapan paling banyak, yaitu mencapai 14% dari
keseluruhan ikan demersal.
Keberadaan ikan kurisi sebagai ikan ekonomis penting dan tingginya
permintaan pasar menyebabkan eksploitasi terhadap ikan kurisi tidak terkendali.
Kegiatan penangkapan ikan kurisi yang dilakukan terus-menerus dapat
mempengaruhi keberlanjutan sumber daya ikan kurisi di Selat Sunda. Oleh
karena itu ikan kurisi menjadi target tangkapan nelayan dengan berbagai jenis alat
tangkap. Beberapa hasil kajian menunjukkan intensitas pemanfaatan sumber daya
ikan kurisi terus meningkat (intensif). Menurut DKP Pandeglang (2013), ikan
kurisi ditangkap berbagai jenis alat tangkap, antara lain payang, pukat cincin,
pukat pantai, bagan, jaring insang, dan dogol. Menurut Rahayu (2012), laju
eksploitasi ikan kurisi di Selat Sunda sudah dalam kondisi tangkap lebih
(overfishing). Indikasi telah terjadinya overfishing terhadap ikan kurisi adalah
daerah penangkapan semakin jauh dan sebagian besar ikan yang tertangkap
berukuran kecil. Hal inilah yang mendorong perlunya suatu pengelolaan sumber
daya ikan kurisi yang sesuai melalui estimasi potensi dan laju eksploitasi agar
keberadaan stok ikan kurisi tetap lestari dan berkelanjutan.

Rumusan Masalah
Sumber daya perikanan mempunyai sifat renewable dan merupakan milik
bersama yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Namun apabila dimanfaatkan
melewati batas lestarinya, akan mengancam keberadaan sumber daya perikanan
tersebut di kemudian hari. Ikan kurisi yang merupakan salah satu ikan dengan
nilai ekonomis dan ekologis tinggi, memiliki hasil tangkapan yang berfluktuasi
dari tahun ke tahun dan dikhawatirkan telah terjadi tangkap lebih. Oleh karena itu,
diperlukan suatu pengelolaan yang tepat untuk mengatasi permasalahan terkait hal
ini.
Menurut DKP Pandeglang (2013), hasil tangkapan tahunan ikan kurisi
kurun waktu 2003-2013 berfluktuasi. Hasil tangkapan ikan kurisi tahun 2003
sampai dengan 2010 cenderung meningkat, namun pada tahun 2011 sampai
dengan tahun 2013 hasil tangkapan ikan kurisi terus menurun. Hasil tangkapan

2
ikan kurisi mulai tahun 2011 hingga 2013 berturut–turut adalah 1 263 ton, 1 198.5
ton, dan 1 192.7 ton. Penurunan hasil tangkapan ikan kurisi selama beberapa
tahun terakhir tersebut mengindikasikan telah terjadi overfishing terhadap sumber
daya ikan kurisi.

Gambar 1 Diagram alir rumusan masalah

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mengkaji kondisi sumber daya ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di PPP
Labuan Banten.
2. Mengestimasi dan menganalisis tingkat pemanfaatan sumber daya ikan
kurisi (Nemipterus japonicus) di PPP Labuan Banten pada kondisi
Maximum Economic Yield (MEY), Maximum Sustainable Yield (MSY),
dan Open Access (OA).
3. Memberikan usulan upaya pengelolaan untuk pemanfaatan sumber daya
ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di PPP Labuan Banten secara
berkelanjutan.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis,
nelayan, pemerintah, dan akademisi:

3
1. Bagi penulis, diharapkan dapat menambah wawasan serta kemampuan selama
berada di departemen Manajemen Sumberdaya Perairan ke dalam kehidupan
sehari-hari sehingga penulis siap untuk menghadapi dunia kerja.
2. Bagi nelayan, diharapkan dapat mencapai keuntungan yang optimal melalui
penetapan aturan dan kebijakan dalam optimalisasi rente ekonomi.
3. Bagi pemerintah, diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
pengambilan kebijakan guna pengelolaan sumber daya ikan kurisi yang
optimal dan berkelanjutan.
4. Bagi akademisi, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan serta
sebagai bahan rujukan untuk penelitian–penelitian selanjutnya.

METODE
Lokasi dan Waktu
Pengambilan data primer dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)
Labuan, Kecamatan Labuan, Provinsi Banten. Waktu pengambilan contoh ikan
dilakukan sebanyak 7 kali mulai bulan Juni 2013 hingga Oktober 2013 dengan
interval waktu 15-20 hari. Kemudian dilakukan pengambilan data sekunder di
DKP Pandeglang. Informasi lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

4
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah penggaris,
timbangan digital, cool box, plastik, alat bedah, kamera digital, peta, dan alat tulis.
Bahan yang digunakan yaitu ikan kurisi (Nemipterus japonicus) dan kuesioner.

Pengumpulan Data
Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari pengambilan contoh dengan metode penarikan contoh acak berlapis
berdasarkan ukuran ikan (besar, sedang, kecil). Panjang rata-rata ikan kurisi
ukuran besar, sedang, dan kecil berturut–turut adalah 300 mm, 200 mm, dan 120
mm. Panjang ikan kurisi yang diukur adalah panjang total dengan menggunakan
penggaris. Bobot ikan kurisi yang ditimbang adalah bobot basah total, dengan
menggunakan timbangan. Pembedahan terhadap ikan kurisi dilakukan untuk
mengetahui jenis kelamin. Identifikasi jenis kelamin ikan kurisi dilakukan di
Laboratorium Biologi Perikanan, Bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan,
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Selain itu, dilakukan wawancara
kepada para nelayan yang menangkap ikan kurisi di Selat Sunda sebagai data
pendukung untuk mengetahui kegiatan penangkapan ikan kurisi.
Proses
wawancara terhadap nelayan dilakukan secara purposive sampling dengan
pertimbangan bahwa responden mampu berkomunikasi dengan baik dalam
pengisian kuesioner. Informasi yang diperoleh dari wawancara antara lain
meliputi:
1. Rata-rata produksi hasil tangkapan per trip
2. Rata-rata biaya operasi penangkapan per trip
3. Rata-rata pendapatan per trip
4. Jumlah trip selama satu tahun
5. Musim dan daerah penangkapan.
Data sekunder yang diperlukan adalah runtun waktu (time series) hasil
tangkapan dan upaya penangkapan selama sebelas tahun terakhir. Data sekunder
diperoleh dari DKP Pandeglang. Selain itu data sekunder juga diperoleh dari
studi literatur yang berkaitan dengan penelitian ini seperti buku, tesis, internet,
dan instansi yang terkait.

Metode Analisis dan Pengolahan Data
Proporsi upaya penangkapan
Setiap alat tangkap menangkap berbagai jenis ikan. Proporsi tahunan upaya
penangkapan (pi) ikan kurisi pada setiap alat tangkap dihitung melalui:
pi =

tangkapan ikan kurisi pada purse seine
tangkapan total ang tertangkap purse seine

ke-i
-

(1)

5
Standarisasi upaya penangkapan
Alat tangkap yang ditetapkan sebagai alat tangkap standar mempunyai
faktor daya tangkap atau fishing power index (FPI) sama dengan satu
(Tampubolon in Tinungki et al. 2004). Standarisasi dilakukan melalui langkahlangkah sebagai berikut:
1. Upaya dan hasil tangkapan dihitung masing-masing hingga tahun ke-i,
dimana i = 1, 2, 3, ………… , n.
2. CPUE dihitung untuk masing – masing upaya.
3. Total upaya yang terbesar dari beberapa jenis upaya dipilih sebagai
standar dalam menghitung fishing power index (FPI).
4. Jika upaya yang diperoleh terbesar misalnya alat tangkap pukat cincin,
maka FPI pukat cincin adalah 1 dan FPI alat tangkap payang dihitung
melalui:
PUE pa ang

(2)

PUE pukat cincin

5. Upaya standar dihitung melalui:
(Upa a pa ang ta un ke-i) FPI pa ang

(Upa a pukat cincin ta un ke-i) FPI pukat cincin

(3)

Analisis surplus produksi
Model surplus produksi yang digunakan adalah Model Schaefer, Fox,
Walter Hilborn, Schnute, dan Clarke Yoshimoto Pooley. Model tersebut
menggunakan pendekatan regresi linear sederhana Y=b0+b1x dan regresi linear
berganda Y= b0+b1x1+b2x2.
Model Schaefer (1954)
Model linear Schaefer berbentuk:
q2

CPUEt = qK+
r
sehingga MSY dan upaya optimum diperoleh melalui:
Eopt = MSY = -

r
2q
kr
4

(4)

(5)
(6)

Pada model Schaefer, regresi pertama yang digunakan adalah
CPUEt = b10+b11Et

(7)

dengan Y = CPUE dan X = Et , sedangkan regresi kedua adalah
Ct = b21Et+b22Et2

(8)

dengan Y = Ct ; X1 = Et dan X2 = Et2.
Parameter q, K, dan r diperoleh melalui:
q = b22

(9)

6
K=
r=

b1

(10)

q

q2

(11)

b11

Ct adalah hasil tangkapan tahun ke-t, Et adalah upaya penangkapan tahun ke-t,
CPUEt adalah hasil tangkapan per satuan upaya tahun ke-t, r adalah parameter
pertumbuhan alami, K adalah daya dukung lingkungan, q adalah koefisien
penangkapan, MSY adalah tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable
Yield), Eopt adalah upaya tangkapan optimal.
Model Fox (1970)
Persamaan model Fox berbentuk
q2

ln CPUEt =
r
sehingga MSY dan upaya optimum diperoleh melalui:
1

Eopt = - (q2

(12)
(13)

r)

MSY = Eopt e q

-1

(14)

Pada model Fox, regresi yang digunakan sama dengan model Schaefer yaitu:
CPUEt = b10+b11Et

(15)

dengan Y = CPUEt dan X = Et.
Parameter q, K, dan r diperoleh melalui:
q = abs (q)
K=

(16)

b1

(17)

q

r=

(18)

abs(q) adalah nilai absolut q pada tahun terakhir (Lampiran 4).
Model Walter Hilborn (1976)
Persamaan model Walter Hilborn berbentuk
CPUEt =

r 1

PUEt 1
r
PUEt qEt

(19)

qk

sehingga MSY dan upaya optimum diperoleh melalui:
Eopt =

r

(20)

2q

MSY =

r 12
4

r

(21)

Pada model Walter Hilborn, regresi yang digunakan adalah
PUEt 1
PUEt

= b10+b11CPUEt+b12Et

(22)

7
PUEt 1
;
PUEt

dengan Y =

X1 = CPUEt dan X2 = Et..

Parameter K, q, dan r diperoleh melalui:
q = - b12
K=b

(23)

b1

(24)

11 b12

r = b10

(25)

Model Schnute (1977)
Persamaan model Schnute berbentuk
r

lnCPUEt+1 =

PUEt

q

PUEt 1

q

2

Et Et 1
2

ln PUEt

(26)

sehingga MSY dan upaya optimum diperoleh melalui:
Eopt = -

r

(27)

2q
r2

MSY = 4

(28)

r

Pada model Schnute, regresi yang digunakan adalah
ln

PUEt 1
PUEt

= b10+b11
PUEt 1
;
PUEt

dengan Y = ln

PUEt

X1 =

PUEt 1

+b12

2
PUEt

PUEt 1
2

Et Et 1
2

dan X2 =

(29)
Et Et 1
2

.

Parameter q, K, dan r diperoleh melalui:
q = - b12
K=b

(30)

b1

(31)

11 b12

r = b10

(32)

Model Clarke Yoshimoto Pooley (1992)
Persamaan model Clark Yoshimoto Pooley berbentuk
lnCPUEt+1 =

2r
2 r

ln q

2-r
2 r

ln

PUEt

q
2 r

Et Et

1

(33)

sehingga MSY dan upaya optimum diperoleh melalui:
Eopt =

r

(34)

q

MSY =

r
4

(35)

Pada model Clark Yoshimoto Pooley, regresi yang digunakan adalah
lnCPUEt+1 = b11 lnCPUEt+b12(E+Et+1)
dengan Y = lnCPUEt+1; X1 = lnCPUEt dan X2 = E+E t+1.
Parameter r, q, dan K diperoleh melalui:

(36)

8
r=

2 1-b11

(37)

1 b11
b

q = - 212r

(38)
2 r
2r

K=

(39)

q

Analisis bioekonomi
Setelah berbagai parameter biologi diketahui, selanjutnya parameter tersebut
dimasukkan ke dalam dugaan parameter ekonomi Gordon. Biaya penangkapan
yang digunakan adalah biaya per trip. Menurut Fauzi (2004), rata-rata biaya
penangkapan dihitung melalui:
c̅ =

∑ ci

(40)

n

̅ adalah biaya penangkapan rata-rata (rupiah per trip), ci adalah biaya
penangkapan nominal responden ke-i, n adalah jumlah responden.
Harga ikan kurisi ditentukan berdasarkan harga ikan kurisi rata-rata melalui
(Fauzi 2004):
p̅ =

∑ pi

(41)

n

̅ adalah harga ikan rata-rata (rupiah per kg), pi adalah harga ikan kurisi responden
ke-i, n adalah jumlah responden.
Jika kedua parameter ekonomi tersebut telah diketahui, maka TR (Total
Revenue), TC (Total Cost), dan keuntungan ekonomi (
diperoleh dengan
persamaan (Fauzi 2004):
TR = p̅C

(42)

TC = c̅E

(43)

= TR – TC

(44)

Maximum Economic Yield (MEY)
Maximum Economic Yield (MEY) adalah produksi yang maksimum secara
ekonomi karena lebih efisien dalam penggunaan faktor produksi (tenaga kerja dan
modal), serta merupakan tingkat upaya yang optimal secara sosial karena tingkat
upaya yang lebih sedikit sehingga lebih bersahabat dengan lingkungan (Fauzi
2004). Menurut Christensen (2009), pengelolaan perikanan rezim MEY lebih
optimal, namun produksinya di bawah MSY. Menurut Dichmont et al. (2009),
operasionalisasi MEY membutuhkan model pengembangan yang menggunakan
aspek stok, biaya, dan harga.

9
Open Access (OA)
Menurut Sobari (2003), open access adalah gambaran kegiatan perikanan
sedemikian sehingga tidak ada yang bertanggung jawab (users) dalam
pemeliharaan kelestarian sumber daya karena nelayan bebas menangkap dimana
saja. Setelah parameter biologi dan ekonomi diperoleh, maka kondisi pengelolaan
perikanan untuk rezim pengelolaan MEY, MSY, dan OA disajikan pada Tabel 1:

Tabel 1 Analisis bioekonomi berbagai rezim pengelolaan perikanan
Variabel
Hasil tangkapan (C)
Tingkat upaya (E)
Rente sumberdaya (
(Fauzi 2004)

r
4

1

MEY


p̅q


r
1
p̅q
2q

p̅qKE 1-

1



p̅q

qE
r

̅

Rezim Pengelolaan
MSY

r
4

r
2q
̅ CMSY-c̅EMSY

Open Access
̅
̅
̅
̅

r

(1
)
q
p̅q
p̅COA-c̅EOA

Parameter pertumbuhan
Pendugaan parameter pertumbuhan (L∞ dan K) menggunakan program
FISAT (FAO-ICLARM Stock Assesment Tools) II versi 1.2.2 dengan metode
ELEFAN I (Electronic Length-Frequency Analysis). Pendugaan terhadap nilai t0
(umur teoritik ikan pada saat panjang sama dengan nol) diperoleh melalui
persamaan Pauly (1983) in Sparre dan Venema (1999):
log (-t0) = 0.3922 – 0.2752 logL∞ – 1.038 logK

(45)

Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (mm), L∞ adalah panjang asimtotik ikan
(mm), K adalah koefisien laju pertumbuhan (mm/satuan waktu), t adalah umur
ikan, t0 adalah umur ikan pada saat panjang sama dengan nol.

Ukuran pertama kali matang gonad
Menurut Udupa (1986), ukuran pertama kali matang gonad dapat diduga
dengan metode Spearman-Karber:
m = Xk + (X/2) – (X/∑pi)

(46)

sehingga
M = antilog m

(47)

dan selang kepercayaan 95% bagi log m dibatasi sebagai:
pi-qi 1/2
ni-1

antilog (m±1.96 x {X2 ∑

(48)

m adalah logaritma panjang ikan pada kematangan gonad pertama, Xk adalah
logaritma nilai tengah kelas panjang yang terakhir ikan matang gonad 100%, x

10
adalah logaritma pertambahan panjang pada nilai tengah, pi adalah proporsi ikan
matang gonad pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang
ke-i, ni adalah jumlah ikan pada kelas panjang ke-i, qi adalah 1-pi, M adalah
panjang ikan pertama kali matang gonad.

Mortalitas dan laju eksploitasi
Parameter mortalitas meliputi mortalitas alami dan mortalitas penangkapan
(Sparre dan Venema 1999). Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva
tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang sedemikian
sehingga diperoleh hubungan:
1, 2

ln

t

1, 2

= h – Z t(

1, 2

(49)

2

Persamaan diatas diduga melalui persamaan regresi linear sederhana y = b0+b1x,
dengan y = ln

1, 2

t

1, 2

sebagai ordinat, x = (

1, 2

2

sebagai absis, dan Z = - b1

(Lampiran 1).
Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris
Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut:
= .8 e p - .152- .279 ln



.6543 ln

.463 ln T

(50)

M adalah laju mortalitas alami (per tahun), L∞ adalah panjang asimtotik pada
persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy (mm), K adalah koefisien pertumbuhan,
t0 adalah umur ikan pada saat panjang sama dengan nol, T adalah suhu rata-rata
permukaan air (ºC).
Setelah laju mortalitas total (Z) dan laju mortalitas alami (M) dihitung, laju
mortalitas penangkapan diperoleh melalui:
F=Z–M

(51)

Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas
penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z):
=

F

(52)

F adalah laju mortalitas penangkapan (per tahun), Z adalah laju mortalitas total
(per tahun), M adalah laju mortalitas alami (per tahun), E adalah laju eksploitasi.

11

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Deskripsi ikan kurisi
Berdasarkan pengamatan, keberadaan ikan kurisi di PPP Labuan tidak
menentu. Ikan kurisi memiliki bentuk tubuh pipih dan warna kuning kemerahan.
Tipe mulut terminal dan memiliki sungut di bagian dagu. Bagian depan kepala
tidak bersisik, sisik dimulai dari pinggiran depan mata dan keping tutup insang.
Morfologi Nemipterus japonicus disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Morfologi ikan kurisi (Nemipterus japonicus)
(Dokumentasi pribadi 2013)

Hasil wawancara
Wawancara dilakukan terhadap sepuluh responden. Hasil yang diperoleh
dari wawancara antara lain adalah harga jual dan biaya penangkapan, lama melaut,
serta daerah penangkapan. Harga jual ikan kurisi berkisar antara Rp 15 000Rp 25 000/kg tergantung ketersediaan, sedangkan biaya penangkapan berkisar
antara Rp 1 000 000-Rp 5 000 000/trip. Waktu nelayan sekali melaut adalah 3-10
hari. Nelayan sering menangkap ikan di sekitar Selat Sunda, namun jika hasil
tangkapan kurang, nelayan berlayar ke daerah lebih jauh seperti Pulau Krakatau
dan Laut Jawa (Lampiran 2).

Komposisi hasil tangkapan ikan
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan merupakan tempat pendaratan
ikan paling besar dan produksinya paling banyak di Kabupaten Pandeglang. Hasil
perikanan yang didaratkan terdiri dari ikan pelagis dan ikan demersal. Menurut
DKP Pandeglang (2013), ikan kurisi termasuk ke dalam lima hasil tangkapan
terbanyak dari keseluruhan ikan yang didaratkan. Informasi komposisi hasil
tangkapan ikan disajikan pada Gambar 4. Ikan pelagis lebih dominan tertangkap

12
daripada ikan demersal. Ikan kurisi merupakan ikan dengan tangkapan paling
banyak, yaitu mencapai 14% dari keseluruhan ikan demersal. Informasi
komposisi hasil tangkapan ikan demersal disajikan pada Gambar 5.

Gambar 4 Komposisi hasil tangkapan ikan yang didaratkan
(DKP Pandeglang 2013)

Gambar 5 Komposisi hasil tangkapan ikan demersal
(DKP Pandeglang 2013)

Terdapat 14 jenis ikan demersal yang menjadi tangkapan nelayan di
Pandeglang. Diantara ikan-ikan tersebut adalah kurisi, peperek, layur, dan
bambangan. Ikan kurisi merupakan jenis ikan demersal dengan tangkapan paling
banyak yaitu sebesar 14 % atau senilai 1192.18 ton.

Hasil tangkapan ikan kurisi
Informasi mengenai hasil tangkapan ikan kurisi dengan alat tangkap
produktif disajikan pada Gambar 6 dan Lampiran 3. Ikan kurisi ditangkap dengan
berbagai alat tangkap. Setelah dilakukan penghitungan proporsi dan standarisasi

13
alat tangkap, alat tangkap payang, pancing, dan pukat cincin merupakan alat
tangkap produktif untuk menangkap ikan kurisi di Selat Sunda. Hasil tangkapan
ikan kurisi terbanyak pada tahun 2005 yang ditangkap dengan pukat cincin. Jika
dibandingkan antara ketiga alat tangkap tersebut, ikan kurisi lebih cenderung
banyak tertangkap oleh pukat cincin.

Gambar 6 Grafik hasil tangkapan ikan kurisi dengan alat tangkap produktif
(DKP Pandeglang 2013)

Upaya penangkapan ikan kurisi
Upaya penangkapan berhubungan dengan alat tangkap produktif yang
digunakan. Informasi upaya penangkapan ikan kurisi dengan alat tangkap
produktif disajikan pada Gambar 7 dan Lampiran 3.

Gambar 7 Grafik upaya penangkapan ikan kurisi dengan alat tangkap produktif
(DKP Pandeglang 2013)

14
Upaya penangkapan ikan kurisi cenderung meningkat. Upaya penangkapan
pukat cincin terhadap ikan kurisi mengalami penurunan pada tahun 2006,
kemudian meningkat hingga tahun 2011. Alat tangkap payang dan pancing pada
tahun 2003 sampai 2007 tidak ada upaya untuk menangkap ikan kurisi. Hal ini
berbanding lurus dengan hasil tangkapan, ketika upaya meningkat maka hasil
tangkapan meningkat begitu pula sebaliknya.

Catch per unit effort (CPUE)
Catch per unit effort menggambarkan tingkat produktivitas upaya
penangkapan. Informasi nilai CPUE tahun 2003-2013 disajikan pada Gambar 8.
Nilai catch per unit effort (CPUE) alat tangkap payang, pancing, dan pukat cincin
berfluktuatif. Nilai CPUE tertinggi dicapai pada tahun 2011 oleh alat tangkap
pancing, namun kemudian mengalami penurunan drastis pada tahun 2012 sebelum
akhirnya meningkat lagi. Nilai CPUE yang semakin tinggi menunjukkan bahwa
tingkat produktivitas alat tangkap yang digunakan semakin tinggi. Secara umum
terlihat bahwa pukat cincin memiliki tingkat produktivitas yang tinggi terhadap
ikan kurisi. Hal ini dikarenakan pukat cincin memiliki daya tangkap paling besar
dibandingkan alat tangkap lainnya.

Gambar 8 Grafik catch per unit effort ikan kurisi dengan alat tangkap produktif
(DKP Pandeglang 2013)

Hubungan catch per unit effort dan effort
Nilai catch per unit effort (CPUE) menggambarkan keadaan stok suatu
sumber daya ikan di alam, sedangkan effort adalah upaya penangkapan yang
dilakukan terhadap sumber daya ikan tersebut. Informasi hubungan antara catch
per unit effort (CPUE) dan effort disajikan pada Gambar 9. Hubungan antara
catch per unit effort (CPUE) dan effort menunjukkan hubungan yang linier
dengan koefisien determinasi 97.07 %.

15

Gambar 9 Kurva hubungan CPUE dengan effort
(DKP Pandeglang 2013)
Hubungan catch per unit effort dengan effort ikan kurisi digambarkan oleh
persamaan y = -0.0033x+4.8892. Berdasarkan persamaan ini diperoleh nilai
intercept sebesar 4.8892 dan nilai slope sebesar -0.0033. Hal ini dapat diartikan
bahwa peningkatan aktivitas penangkapan (effort) akan menurunkan produktivitas
hasil tangkapan (CPUE).

Parameter biologi
Model yang digunakan untuk menduga parameter biologi yaitu model
Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute, dan Clark Yoshimoto Pooley. Informasi
parameter biologi dengan lima model tersebut disajikan pada Tabel 2 dan
Lampiran 4.

Tabel 2 Parameter biologi ikan kurisi
Model
Schaefer
Fox
Walter Hilborn
Schnute
CYP

r
(ton per tahun)
3.8332
0.0757
158.4762
1.3262
12.0611

Parameter biologi
q
K
(ton per trip) (ton per tahun)
0.00260
1 915.9610
0.00005
97 008.3591
0.09960
50.4214
0.00088
7 986.4933
0.01880
342.0099

R2
(%)
97.07
95.68
2.31
4.90
94.73

Koefisien determinasi (R2) kelima model telah diperoleh dan R2 model
Schaefer terbesar yaitu 97.07 %. Dugaan parameter biologi dengan model
Schaefer digunakan untuk analisis bioekonomi.

16
Analisis bioekonomi
Setelah berbagai parameter biologi diketahui, selanjutnya model
dimasukkan ke dalam estimasi parameter ekonomi Gordon-Schaefer. Pendekatan
bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumber daya karena selama ini
permasalahan perikanan terfokus pada memaksimalkan penangkapan, dengan
mengabaikan faktor produksi yang diperlukan dalam usaha perikanan. Parameter
ekonomi seperti biaya operasional dan harga ikan kurisi diperoleh dari hasil
wawancara. Informasi parameter ekonomi yang digunakan pada penelitian ini
disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Parameter ekonomi sumber daya ikan kurisi
Parameter ekonomi
Biaya operasional per trip
Harga jual ikan kurisi per kg
(Wawancara 2014)

Nilai (rupiah)
149 357.15
20 000

Parameter biologi dan ekonomi yang telah diperoleh tersebut digunakan
untuk menentukan jumlah tangkapan lestari, upaya optimum, dan keuntungan
ekonomi pada rezim pengelolaan MEY, MSY, open access, dan aktual. Informasi
hasil analisis bioekonomi disajikan pada Tabel 4 dan Lampiran 5. Upaya
penangkapan pada rezim open access lebih besar daripada pada kondisi MSY,
MEY, dan aktual.

Tabel 4 Hasil analisis bioekonomi ikan kurisi dengan model Schaefer
Variabel
C (ton/tahun)
E (trip/tahun)
Keuntungan (rupiah/tahun)

MEY
1 836.0470
750
36 608 932 573

MSY
1 836.0512
752
36 608 846 900

OA
11.2007
1500
0

Aktual
1 191.2091
953
23 681 981 496

Hasil analisis bioekonomi diperoleh upaya penangkapan pada kondisi
pengelolaan open access di Selat Sunda untuk keseluruhan alat adalah 1 500
trip/tahun. Upaya penangkapan pada rezim MSY, MEY, dan aktual berturut-turut
adalah 752 trip/tahun; 750 trip/tahun; dan 953 trip/tahun. Kemudian hasil
tangkapan yang diperoleh pada kondisi open access sebanyak 11.2007 ton/tahun.
Produksi tangkap pada kondisi MSY, MEY, dan aktual sebanyak 1 836.0512
ton/tahun; 1 836.0470 ton/tahun; dan 1 191.2091 ton/tahun. Keuntungan ekonomi
yang diperoleh pada kondisi MEY, MSY, dan aktual berturut-turut adalah
Rp 36 608 932 573; Rp 36 608 846 900 dan Rp 23 681 981 496. Pada kondisi
open access keuntungan yang diperoleh sama dengan nol (TR=TC). Informasi
hubungan hasil tangkapan dan upaya penangkapan disajikan pada Gambar 10,
selanjutnya kurva model bioekonomi disajikan pada Gambar 11.

17

Gambar 10 Hubungan produksi dan upaya penangkapan

Gambar 11 Kurva model bioekonomi

Pada kurva hubungan hasil tangkapan dan upaya penangkapan, upaya
penangkapan aktual telah melebihi upaya optimal. Pada kondisi tersebut sumber
daya ikan kurisi telah mengalami penurunan. Meskipun dengan upaya yang besar
namun diperoleh hasil tangkapan yang lebih rendah dari kondisi MSY dan MEY.
Hal ini dapat diindikasikan bahwa sumber daya ikan kurisi telah mengalami
overfishing.

Parameter pertumbuhan
Hasil analisis parameter pertumbuhan adalah koefisien pertumbuhan (K),
panjang asimtotik (L∞), umur teoritik ikan saat panjang sama dengan nol (t0) dan
ukuran pertama kali matang gonad (Lm). Informasi parameter pertumbuhan ikan
kurisi disajikan pada Tabel 5, Lampiran 6 dan Lampiran 7. Ikan kurisi betina
memiliki koefisien pertumbuhan (K) 0.31/bulan dan panjang asimtotik 273.00
mm. Koefisien pertumbuhan (K) ikan kurisi jantan adalah 0.13/bulan dan panjang
asimtotik 315.00 mm. Kemudian ukuran ikan kurisi yang seharusnya
bereproduksi (Lm) adalah 267.79 mm untuk jantan dan 213.77 mm untuk betina.

18
Tabel 5 Parameter pertumbuhan ikan kurisi
Sumber

Lokasi

Rahayu
(2012)

Selat
Sunda

Oktaviyani
(2013)

Teluk
Banten

Penelitian ini
(2014)

Selat
Sunda

Contoh ikan
Jantan
Betina
Total
Jantan
Betina
Total
Jantan
Betina

K
(bulan-1)
0.15
0.39
0.25
0.29
0.13
0.31

Parameter Pertumbuhan
L∞
t0
Lm
(mm)
(bulan-1) (mm)
493.36
-0.53
334.32
-0.22
233.00
225.42
-0.39
206.03
-0.33
213.00
315.00
-0.69
267.79
273.00
-0.29
213.77

Sebaran distribusi panjang pada setiap waktu pengambilan contoh diperoleh
dari program ELEFAN I. Informasi sebaran frekuensi panjang ikan kurisi dengan
program ELEFAN I disajikan pada Gambar 12, Gambar 13, dan Lampiran 8.

Gambar 12 Sebaran frekuensi ikan kurisi betina dengan program ELEFAN I

Gambar 13 Sebaran frekuensi ikan kurisi jantan dengan program ELEFAN I

19
Jumlah contoh yang diambil sebanyak 252 ekor jantan dan 172 ekor betina.
Ukuran ikan kurisi jantan dan betina yang dominan tertangkap berturut-turut
adalah ukuran 213-217 mm dan 183-187 mm. Panjang maksimum ikan kurisi
jantan dan betina berturut-turut adalah 302 mm dan 262 mm, sedangkan panjang
minimum ikan kurisi jantan dan betina berturut-turut adalah 128 mm dan 133 mm.

Mortalitas dan laju eksploitasi
Mortalitas merupakan jumlah aktual ikan yang mati pada suatu keadaan
tertentu yang tidak ditentukan sebelumnya (Aziz 1989). Kurva hasil tangkapan
ikan kurisi yang dilinearkan berbasis data panjang disajikan pada Gambar 14,
Gambar 15 dan Lampiran 9.

Gambar 14 Kurva hasil tangkapan ikan kurisi jantan yang dilinearkan berbasis
data panjang

Gambar 15 Kurva hasil tangkapan ikan kurisi betina yang dilinearkan berbasis
data panjang

20
Titik-titik pada kurva merupakan titik-titik yang digunakan dalam analisis
regresi untuk menentukan mortalitas total. Informasi laju mortalitas dan laju
eksploitasi ikan kurisi disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Laju mortalitas dan eksploitasi ikan kurisi di PPP Labuan, Banten
Penelitian ini
Rahayu
(2014)
(2012)
Parameter
Betina Jantan
Betina
Jantan
Mortalitas penangkapan (F)
1.25
1.31
0.65
1.07
Mortalitas alami (M)
0.37
0.20
0.51
0.24
Mortalitas total (Z)
1.62
1.51
1.16
1.31
Eksploitasi (E)
0.77
0.87
0.56
0.81
Satuan: per tahun

Nilai mortalitas penangkapan ikan kurisi jantan dan betina lebih besar
dibandingkan dengan nilai mortalitas alami. Laju eksploitasi (E) ikan kurisi
jantan dan betina berturut-turut adalah 0.87 dan 0.77. Laju eksploitasi ikan kurisi
tersebut meningkat jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Rahayu (2012)
pada lokasi yang sama yaitu 0.56/tahun untuk ikan kurisi betina dan 0.81/tahun
untuk ikan kurisi jantan.

Pembahasan
Kondisi sumber daya ikan kurisi di PPP Labuan Banten
Upaya penangkapan yang merupakan input dalam sistem perikanan
memberikan pengaruh terhadap output yaitu hasil tangkapan. Kondisi upaya
penangkapan yang fluktuatif dapat terjadi kapan saja karena sumber daya
perikanan bersifat open access. Hal ini akan berakibat pada hasil tangkapan yang
diperoleh setiap waktunya, dan mempengaruhi ekonomi lokal karena ikan kurisi
salah satu hasil tangkapan dominan. Hubungan antara CPUE dengan upaya
penangkapan menunjukkan hubungan yang negatif, yaitu semakin tinggi upaya
penangkapan semakin rendah nilai CPUE.
Hubungan negatif tersebut
mengindikasikan bahwa produktivitas alat tangkap ikan kurisi akan menurun
apabila upaya mengalami peningkatan.
Koefisien pertumbuhan (K) didefinisikan sebagai parameter yang
menyatakan kecepatan kurva pertumbuhan dalam mencapai panjang asimtotiknya
(L∞) dari pola pertumbuhan ikan. Semakin tinggi nilai koefisien pertumbuhan,
semakin cepat mencapai panjang asimtotik dan beberapa spesies kebanyakan
diantaranya berumur pendek.
Sebaliknya ikan yang memiliki koefisien
pertumbuhan rendah umurnya semakin tinggi karena lama mencapai panjang
asimtotiknya (Sparre dan Venema 1999). Nilai parameter pertumbuhan pada
penelitian ini berbeda dengan penelitian Rahayu (2012) di lokasi yang sama.
Mengecilnya ukuran ikan kurisi mengindikasikan bahwa pemanfaatan ikan kurisi
telah melampaui batas (over eksploitasi). Parameter pertumbuhan pada penelitian

21
ini berbeda dengan hasil penelitian Oktaviyani (2013) di Teluk Banten. Menurut
Priyanie (2006), kondisi lingkungan tempat hidup ikan berpengaruh kuat terhadap
pertumbuhan ikan. Keadaan lingkungan perairan yang buruk akan mempengaruhi
kisaran ukuran ikan yang tertangkap dalam kaitannya dengan ketersediaan
makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan ikan (Komara 1983 in Brojo dan
Sari 2002).
Tingginya permintaan pasar terhadap ikan kurisi dalam bentuk segar dan
olahan ikan asin menyebabkan aktivitas penangkapan meningkat. Menurut
Gulland (1971) in Pauly (1984), laju eksploitasi optimal suatu sumber daya ikan
sebesar 0.50 dimana besarnya mortalitas alami sama dengan mortalitas
penangkapan. Nilai E yang jauh berbeda dengan 0.5 mengindikasikan bahwa laju
eksploitasi sumber daya ikan kurisi di Selat Sunda berada pada kondisi over
eksploitasi. Kondisi tersebut mengindikasikan pula bahwa penurunan stok ikan
kurisi di Selat Sunda disebabkan oleh tingginya kegiatan penangkapan. Hal ini
juga dapat dibuktikan dengan nilai mortalitas penangkapan yang lebih besar
daripada mortalitas alami. Berdasarkan hasil analisis Lm dan ukuran ikan kurisi
yang tertangkap, overfishing ikan kurisi tergolong growth overfishing dan
recruitment overfishing. Growth overfishing diketahui dari banyaknya ikan kurisi
yang tertangkap sebelum sempat tumbuh mencapai ukuran peningkatan lebih jauh.
Recruitment overfishing diketahui dari banyaknya ikan kurisi dewasa yang
tertangkap sehingga tidak mampu melakukan reproduksi. Selain itu, ikan kurisi
memiliki nilai mortalitas alami dan penangkapan yang berbeda-beda di setiap
wilayah. Menurut Amine (2012), perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan
dalam hal variasi pada struktur populasi dan kondisi lingkungan. Menurut
Charless (1988) in Yew (1996), eksploitasi perikanan demersal tergantung pada
manajemen objektif yang ingin dicapai.
Selama bertahun-tahun tujuan
pengelolaan perikanan mencakup tujuan secara biologi, ekonomi, dan sosial.

Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan kurisi
Menurut Zulbainarni (2012), dugaan parameter biologi perlu diketahui
sebelum dugaan parameter ekonomi karena sumber daya perikanan selalu
bergerak dan bersifat diburu. Lima model surplus produksi yang digunakan
menunjukkan hasil yang berbeda. Koefisien determinasi (R2) model Schaefer
tertinggi yaitu sebesar 97.07 %. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1998) in
Randika (2008), R2 lazim digunakan untuk mengukur goodnes of fit dari model
regresi dan untuk membandingkan tingkat validitas hasil regresi terhadap variabel
independen dalam model, dimana semakin besar nilai R2 menunjukkan bahwa
model tersebut semakin baik. Laju pertumbuhan alami (r) sebesar 3.8332 berarti
populasi sumber daya ikan kurisi akan tumbuh secara alami tanpa ada gangguan
dari gejala alam maupun kegiatan manusia sebesar 3.8332 ton/tahun. Koefisien
daya tangkap (q) sebesar 0.0026 berarti proporsi stok ikan yang dapat ditangkap
oleh satu unit upaya penangkapan adalah 0.0026 ton/trip. Daya dukung (K)
sebesar 1 915.9610 menunjukkan kemampuan ekosistem mendukung produksi
sumber daya ikan kurisi sebesar 1 915.9610 ton/tahun.
Analisis bioekonomi menggunakan parameter biologi (r, q, dan K) yang
diperoleh dari model Schaefer dan parameter ekonomi (biaya dan harga) dari hasil

22
wawancara. Pada kajian bioekonomi Gordon-Schaefer, biaya penangkapan
didasarkan atas asumsi bahwa hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan dan
dianggap konstan, sehingga dalam penelitian ini biaya penangkapan didefinisikan
sebagai biaya variabel per trip dan dianggap konstan. Tabel 4 memperlihatkan
hasil kajian bioekonomi ikan kurisi. Keuntungan lestari akan diperoleh secara
maksimum pada kondisi MEY. Pada kondisi open acces upaya penangkapan
yang dibutuhkan lebih banyak daripada yang semestinya untuk mencapai
keuntungan optimal yang lestari. Upaya penangkapan pada kondisi aktual lebih
besar daripada upaya penangkapan pada kondisi MEY. Hal ini menunjukkan
bahwa pengusahaan ikan kurisi di Selat Sunda telah mengarah pada terjadinya
economical overfishing. Itu disebabkan jumlah input (effort) yang digunakan
pada kondisi aktual melebihi kondisi MEY, namun produksinya kurang dari
produksi MEY. Selain itu upaya penangkapan ikan kurisi melampaui tingkat
yang diperlukan untuk menghasilkan produksi pada kondisi MSY, sehingga ikan
kurisi juga telah mengalami biological overfishing. Menurut Zen et al. (2002),
produksi atau output merupakan nilai ikan laut yang didaratkan dan satuan
pengukuran yang digunakan adalah rupiah dan kg. Sedangkan upaya penangkapan
ikan merupakan kombinasi indeks masukan (input) seperti perahu, alat tangkap,
bahan bakar, tenaga kerja, dan kemampuan manajemen.

Upaya pengelolaan pemanfaatan sumber daya ikan kurisi
Pengelolaan kondisi optimal (MEY) masih mungkin dilakukan dengan
berbagai cara meskipun membutuhkan banyak waktu. Salah satu cara yang
digunakan untuk mengurangi input yang berlebihan adalah dengan pembatasan
upaya penangkapan menjadi 750 trip. Squires et al. (2003) melakukan penelitian
tentang ekses kapasitas dan pembangunan perikanan di Laut Jawa menyebutkan
bahwa kebijakan yang terbaik adalah mengurangi kapasitas penangkapan ikan dan
pengelolaan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Namun pengurangan
upaya penangkapan ke kondisi MEY pada awalnya akan mengakibatkan
pengurangan pendapatan nelayan. Akan tetapi hal ini sebaiknya mulai dilakukan
agar diperoleh keuntungan maksimum dan overfishing teratasi. Salah satu
pendekatan sosial ekonomi yang dapat dilakukan adalah mengalihkan nelayan
menangkap ikan demersal lainnya yang status pemanfaatannya under eksploitasi
yaitu ikan kuniran. Selain itu juga perlu dilakukan selektivitas alat tangkap pukat
cincin dan pengoperasian pukat cincin diarahkan ke laut lepas agar ikan demersal
tidak tertangkap. Penetapan sangsi yang tegas serta kerjasama antar stakeholder
juga perlu dilakukan. Oleh karena itu diperlukan intervensi pemerintah melalui
regulasi lebih baik yang merupakan kesepakatan bersama antara stakeholder yang
terlibat. Menurut Mattos et al. (2006), strategi pengelolaan terbaik dalam istilah
ekonomi dan biologi merupakan aplikasi bersama dari beberapa tindakan
pengelolaan yang memenuhi pernyataan stakeholder dan keseimbangan biologis
dan ekonomis antara kegiatan dan upaya untuk membangun kembali stok.

23

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Sumber daya ikan kurisi di Selat Sunda telah mengalami overfishing secara
biologi dan ekonomi. Pengelolaan perikanan kurisi di Selat sunda belum
mencapai tingkat optimum secara bioekonomi sehingga perlu memperbaiki
kondisi pengelolaan melalui input yang optimal dan pengoperasian alat tangkap
produktif diarahkan ke laut lepas. Optimalisasi bioekonomi dicapai pada tingkat
upaya penangkapan 750 trip/tahun dengan dugaan hasil tangkapan 1 836.0470
ton/tahun dan keuntungan Rp 36 608 932 573/tahun.

Saran
Perlu dilakukan kajian lebih lanjut terkait siklus hidup ikan kurisi serta
indikasi terjadinya jenis overfishing yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Amine AM. 2012. Biology and assessment of the thread fin bream Nemipterus
japonicus in Gulf of Suez, Eigypt. Egypt. J. Aquat. Biol. & Fish. 16(2):4757.
Aziz KA. 1989. Dinamika Populasi Ikan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor.115 hlm.
Brojo M. dan Sari RP. 2002. Biologi reproduksi ikan kurisi (Nemipterus
tambuloides Blkr.) yang didaratkan Di Tempat Pelelangan Ikan Labuan
(Pandeglang). Jurnal Iktiologi Indonesia Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor . 2 ( l): 1-5.
Christensen V. 2009. MEY=MSY. Fish and Fisheries. 341:6.
Dichmont CM, Pascoe S, Kompas T, Punt AE, dan Deng R. 2009. On
implementing maximum economic yield in commercial fisheries. PNAS.
107(1):16-21
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandglang. 2013. Statistik
Perikanan Tangkap Kabupaten Pandeglang Tahun 2003-2013. (Draft tahun
2013).
Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Mattos S, Maynou F, & Franquesa R. 2006. A-bioeconomic analysis of the hand
line and gillnet coastal fisheries of Pernambuco State, north-easthern Brazil.
Scientia Marina. 70(2):335-346.
Oktaviyani S. 2013. Kajian Stok Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus Bloch, 1791)
di Perairan Teluk Banten yang Didaratkan di PPN Karangantu, Banten.
[skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

24
Pauly D. 1984. Fish population dynamics in tropical waters: a manual for use
with programmable calculators. ICLARM .Manila.Filiphina. 325 hal.
Priyanie MM. 2006. Pertumbuhan dan karakteristik morfometrik-meristik ikan
kurisi (Pritipomoides filamentosus Valenciennes, 1830) di perairan Laut
Dalam, Pelabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. [skripsi]. Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor.
Rahayu ES. 2012. Kajian Stok Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus
Bloch, 1791) di Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPI Labuan,
Pandeglang, Banten. [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Randika ZA. 2008. Analisis Bioekonomi Pemanfaatan Optimal Sumberdaya
Perikanan Pelagis dan Demersal di Perairan Balikpapan, Kalimantan Timur.
[tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sjafei DS & Robiyani. 2001. Kebiasaan makanan dan faktor kondisi ikan kurisi
(Nemipterus tumbuloides Blkr) di Perairan Teluk Banten. Jurnal Iktiologi
Indonesia. 1(1):1-5.
Sobari MP, Kinseng RA dan Priyatna FN. 2003. Membangun Model Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan Berdasarkan Karaktristik Sosial
Ekonomi Masyarakat Nelayan: Tinjauan Sosiologi Antropologi. Buletin
Ekonomi Perikanan. 5(1):41-48.
Sparre P dan Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis Buku emanual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan
Bangsa-Bangsa degann Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm.
Squires D, Omar IH, Jeon Y, Kuperan K, Susilowati H. 2003. Exces Capacity and
Sustainale Development in Java Sea Fisheries. Enviroment and
Development Economics 8 : 105-127. Cambridge University Press, United
Kingdom
Tinungki GM, Boer M, Monintja DR, Widodo J dan Fauzi A. 2004. Model
Surshing: Model Hybrid antara Produksi Surplus dan Model Cushing dalam
Pendugaan Stok Ikan (Studi Kasus: P