Perubahan Daratan Pantai dan Penutupan Lahan Pasca Tsunami Secara Spasial Dan Temporal di Pantai Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

(1)

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN

PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL

DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS

JAWA BARAT

YUNITA SULISTRIANI

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN

LAHAN PASCA

TSUNAMI

SECARA SPASIAL DAN

TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN

CIAMIS, JAWA BARAT

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2009

YUNITA SULISTRIANI C64103039


(3)

RINGKASAN

YUNITA SULISTRIANI. Perubahan Daratan Pantai dan Penutupan Lahan Pasca Tsunami Secara Spasial Dan Temporal di Pantai Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Dibimbing Oleh I WAYAN NURJAYA dan SYAMSUL BAHRI AGUS

Perubahan daratan pantai dan penutupan lahan di daerah pesisir dipengaruhi oleh berbagai faktor yakni faktor alam dan faktor kegiatan manusia. Faktor alam yang paling berpengaruh adalah pola angin, arus, gelombang, bencana alamdan faktor alam lainnya, sedangkan faktor manusia yang paling berpengaruh seperti pembangunan di pesisir pantai, penanaman hutan bakau, ataupun pembuatan dermaga. Pengamatan terhadap perubahan daratan pantai dan penutupan lahan dilakukan secara spasial dengan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ path / row 121/65 yang direkam pada tahun 2001, 2005, dan 2006 yang mencakup koordinat 7°40’0.0’’ LS-108°37’30.0’’ BT dan 7°45’0.0’’ LS-108°41’0.0’’ BT serta

dilakukan perbandingan antara citra yang diambil sebelum tsunami dengan citra yang diambil setelah tsunami. Data sekunder yang digunakan adalah data yang terkait dalam analisis perubahan daratan pantai dan penutupan lahan.

Untuk mengetahui adanya perubahan daratan pantai ataupun perubahan lahan, citra diproses sedemikian rupa dengan menggunakan SoftwareErMapper dan ArcView dengan metodologi pengkelasan yang kemudian dioverlay untuk mengetahui perubahan yang terjadi. Dalam mengamati perubahan penutupan lahan juga dilakukan pengkelasan terhadap data citra penelitian kedalam 6 kelas yaitu perairan, pemukiman, vegetasi, persawahan, lahan basah dan lahan kering.

Ketiga citra yang telah dioverlay menunjukkan akresi yang terjadi pra tsunami (citra tahun 2001-2005) meliputi Pantai Barat Pangandaran, Pantai Timur sebelah utara, Pantai Pasir Putih, Tg. Cimanggu, Tg. Kalapaendep dan Muara Sungai Cikidang, sedangkan wilayah yang mengalami abrasi meliputi sebagian kecil Pantai Barat dan beberapa bagian dari pantai di sekitar cagar alam

Pananjung. Citra pasca tsunami yang telah dioverlay (citra tahun 2005-2006) menunjukkan bahwa peristiwa abrasi terjadi di beberapa daerah di sekitar Pantai Pangandaran dan Cikembulan. Namun dengan bentuk pantai Pangandaran yang unik dan adanya cagar alam Penanjung di daerah ini membuat Pantai Timur aman dari gempuran abrasi akibat tsunami, bahkan di beberapa tempat di Pantai Timur ada daerah yang mengalami akresi akibat penggenangan air laut tsunami yang cukup lama sehingga terjadi penimbunan material di daerah tersebut.

Citra pra tsunami menunjukkan adanya penambahan luas pemukiman. Dengan jumlah penduduk ± 45.000 jiwa danpertumbuhan penduduk rata-rata 1%, kegiatan pembangunan pemukiman terus berjalan. Citra pasca tsunami

menunjukkan daerah yang mengalami pengurangan adalah kelas pemukiman. Hal tersebut dikarenakan pemukiman-pemukiman yang berdiri di sepanjang pesisir Pantai Pangandaran rusak akibat terjangan tsunami. Berdasarkan hasil penelitian ini pemerintah setempat dapat menentukan kebijakan-kebijakan yang harus diambil dalam pengelolaan sektor pariwisata Pantai Pangandaran maupun rencana tata kota sehingga tercipta sebuah obyek pariwisata yang aman dan nyaman.


(4)

©

Hak cipta Milik Yunita Sulistriani, 2009

Hak cipta Dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya


(5)

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN

PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL

DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS

JAWA BARAT

Oleh: Yunita Sulistriani

C64103039

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(6)

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN

PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL

DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS

JAWA BARAT

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh: Yunita Sulistriani

C64103039

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(7)

SKRIPSI

Judul Penelitian : PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

Nama : Yunita Sulistriani NRP : C64103039

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Syamsul B. Agus, S.Pi, M.Si

NIP. 131 859 209 . NIP. 132 311 912

Mengetahui,

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanya dipanjatkan kepada Allah SWT yang Maha Kuasa, atas segala kasih, anugerah dan kekuatan yang diberikan kepada penulis selama penyusunan hingga terselesaikannya skripsi yang berjudul “ Perubahan Daratan Pantai dan Penutupan Lahan Pasca Tsunami Secara Spasial dan Temporal di Pantai Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat ”.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Ilmu Dan Teknologi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Dalam penyusunannya, penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada

- Bapak Edi Amin (alm) dan Ibu Lies Kurniati serta keluarga saya atas segala bimbingan dan doa yang tidak pernah putus

- Bapak Rio Gumelar dan Keluarga atas beasiswa kuliah dan penelitian selama ini

- Bpk Dr. I Wayan Nurjaya dan Bpk Syamsul Bahri Agus M.Si atas bimbingannya

- Bpk. Dr. Henry M. Manik dan Bpk. Dr. Johnson L. Gaol atas kesediaan dan saran-saran sebagai dosen penguji

- Tim PSSDAL (Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut) BAKOSURTANAL atas bantuan penyediaan data citra

- Teman-teman yang selama ini sudah mendukung kuliah dan penelitian saya.

Bogor, April 2009


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar belakang... 1

1.2. Tujuan penelitian ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA... 3 2.1. Kondisi umum lokasi penelitian ... 3

2.2. Pantai dan Perubahan Daratan Pantai ... 4

2.2.1 Faktor Alam... 6

2.2.1.1 Gelombang... 6

2.2.1.2 Angin... 8

2.2.1.3 Pasang Surut... 9

2.2.1.4 Proses sedimentasi dan erosi di pantai ... 10

2.2.1.5 Tsunami... 13

2.2.1.5.1 Pengertian Tsunami... 13

2.2.1.5.2 Penyebab terjadinya tsunami... 14

2.2.2 Faktor Manusia ... 15

2.3 Penginderaan Jarak Jauh ... 16

2.3.1 Radiasi gelombang elektromagnetik... 19

2.3.2 Karakteristik Landsat ... 20

2.3.2.1 Landsat 7 ETM+ ... 21

2.4 Sistem Informasi Geografis ... 23

3. METODOLOGI... 25

3.1. Waktu dan tempat penelitian... 25

3.2. Alat dan bahan penelitian... 26

3.2.1 Alat Penelitian... 26

3.2.2 Bahan Penelitian ... 27

3.3. Metode pengolahan data ... 27

3.4. Survey Lapangan ... 33

4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

4.1 Analisis data citra... 34

4.1.1 Perubahan garis pantai ... 41

4.1.1.1 Klasifikasi darat dan laut ... 41

4.1.1.2 Overlay citra untuk perubahan garis pantai ... 44


(10)

4.1.1.2.1 Overlay citra perubahan garis pantai tahun

2001-2005 ... 45

4.1.1.2.2 Overlay citra perubahan garis pantai tahun 2005-2006 ... 48

4.1.2 Perubahan penutupan lahan ... 50

4.1.2.1 Klasifikasi penutupan lahan ... 50

4.1.2.1.1 Klasifikasi penutupan lahan tahun 2001 ... 51

4.1.2.1.2 Klasifikasi penutupan lahan tahun 2005 ... 54

4.1.2.1.3 Klasifikasi penutupan lahan tahun 2006 ... 56

4.1.2.2 Overlay penutupan lahan tahun 2001-2005 ... 59

4.1.2.3 Overlay penutupan lahan tahun 2005-2006 ... 62

4.2 Analisis perubahan daratan pantai dan penutupan lahan ... 66

4.2.1 Analisis perubahan daratan pantai ... 66

4.2.1.1 Angin, arus dan gelombang ... 66

4.2.1.2 Pasang surut ... 71

4.2.1.3 Faktor lingkungan lainnya ... 74

4.2.1.4 Faktor Manusia ... 76

4.2.2 Analisis penutupan lahan ... 77

4.2.3 Analisis perubahan daraan pantai dan penuupan lahan akibat bencana alam tsunami... 78

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 85

5.2 Saran ... ... 85

DAFTAR PUSTAKA... 86 LAMPIRAN


(11)

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN

PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL

DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS

JAWA BARAT

YUNITA SULISTRIANI

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(12)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN

LAHAN PASCA

TSUNAMI

SECARA SPASIAL DAN

TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN

CIAMIS, JAWA BARAT

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2009

YUNITA SULISTRIANI C64103039


(13)

RINGKASAN

YUNITA SULISTRIANI. Perubahan Daratan Pantai dan Penutupan Lahan Pasca Tsunami Secara Spasial Dan Temporal di Pantai Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Dibimbing Oleh I WAYAN NURJAYA dan SYAMSUL BAHRI AGUS

Perubahan daratan pantai dan penutupan lahan di daerah pesisir dipengaruhi oleh berbagai faktor yakni faktor alam dan faktor kegiatan manusia. Faktor alam yang paling berpengaruh adalah pola angin, arus, gelombang, bencana alamdan faktor alam lainnya, sedangkan faktor manusia yang paling berpengaruh seperti pembangunan di pesisir pantai, penanaman hutan bakau, ataupun pembuatan dermaga. Pengamatan terhadap perubahan daratan pantai dan penutupan lahan dilakukan secara spasial dengan menggunakan citra Landsat 7 ETM+ path / row 121/65 yang direkam pada tahun 2001, 2005, dan 2006 yang mencakup koordinat 7°40’0.0’’ LS-108°37’30.0’’ BT dan 7°45’0.0’’ LS-108°41’0.0’’ BT serta

dilakukan perbandingan antara citra yang diambil sebelum tsunami dengan citra yang diambil setelah tsunami. Data sekunder yang digunakan adalah data yang terkait dalam analisis perubahan daratan pantai dan penutupan lahan.

Untuk mengetahui adanya perubahan daratan pantai ataupun perubahan lahan, citra diproses sedemikian rupa dengan menggunakan SoftwareErMapper dan ArcView dengan metodologi pengkelasan yang kemudian dioverlay untuk mengetahui perubahan yang terjadi. Dalam mengamati perubahan penutupan lahan juga dilakukan pengkelasan terhadap data citra penelitian kedalam 6 kelas yaitu perairan, pemukiman, vegetasi, persawahan, lahan basah dan lahan kering.

Ketiga citra yang telah dioverlay menunjukkan akresi yang terjadi pra tsunami (citra tahun 2001-2005) meliputi Pantai Barat Pangandaran, Pantai Timur sebelah utara, Pantai Pasir Putih, Tg. Cimanggu, Tg. Kalapaendep dan Muara Sungai Cikidang, sedangkan wilayah yang mengalami abrasi meliputi sebagian kecil Pantai Barat dan beberapa bagian dari pantai di sekitar cagar alam

Pananjung. Citra pasca tsunami yang telah dioverlay (citra tahun 2005-2006) menunjukkan bahwa peristiwa abrasi terjadi di beberapa daerah di sekitar Pantai Pangandaran dan Cikembulan. Namun dengan bentuk pantai Pangandaran yang unik dan adanya cagar alam Penanjung di daerah ini membuat Pantai Timur aman dari gempuran abrasi akibat tsunami, bahkan di beberapa tempat di Pantai Timur ada daerah yang mengalami akresi akibat penggenangan air laut tsunami yang cukup lama sehingga terjadi penimbunan material di daerah tersebut.

Citra pra tsunami menunjukkan adanya penambahan luas pemukiman. Dengan jumlah penduduk ± 45.000 jiwa danpertumbuhan penduduk rata-rata 1%, kegiatan pembangunan pemukiman terus berjalan. Citra pasca tsunami

menunjukkan daerah yang mengalami pengurangan adalah kelas pemukiman. Hal tersebut dikarenakan pemukiman-pemukiman yang berdiri di sepanjang pesisir Pantai Pangandaran rusak akibat terjangan tsunami. Berdasarkan hasil penelitian ini pemerintah setempat dapat menentukan kebijakan-kebijakan yang harus diambil dalam pengelolaan sektor pariwisata Pantai Pangandaran maupun rencana tata kota sehingga tercipta sebuah obyek pariwisata yang aman dan nyaman.


(14)

©

Hak cipta Milik Yunita Sulistriani, 2009

Hak cipta Dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya


(15)

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN

PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL

DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS

JAWA BARAT

Oleh: Yunita Sulistriani

C64103039

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(16)

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN

PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL

DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS

JAWA BARAT

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh: Yunita Sulistriani

C64103039

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(17)

SKRIPSI

Judul Penelitian : PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

Nama : Yunita Sulistriani NRP : C64103039

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Syamsul B. Agus, S.Pi, M.Si

NIP. 131 859 209 . NIP. 132 311 912

Mengetahui,

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799


(18)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanya dipanjatkan kepada Allah SWT yang Maha Kuasa, atas segala kasih, anugerah dan kekuatan yang diberikan kepada penulis selama penyusunan hingga terselesaikannya skripsi yang berjudul “ Perubahan Daratan Pantai dan Penutupan Lahan Pasca Tsunami Secara Spasial dan Temporal di Pantai Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat ”.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Ilmu Dan Teknologi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Dalam penyusunannya, penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada

- Bapak Edi Amin (alm) dan Ibu Lies Kurniati serta keluarga saya atas segala bimbingan dan doa yang tidak pernah putus

- Bapak Rio Gumelar dan Keluarga atas beasiswa kuliah dan penelitian selama ini

- Bpk Dr. I Wayan Nurjaya dan Bpk Syamsul Bahri Agus M.Si atas bimbingannya

- Bpk. Dr. Henry M. Manik dan Bpk. Dr. Johnson L. Gaol atas kesediaan dan saran-saran sebagai dosen penguji

- Tim PSSDAL (Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut) BAKOSURTANAL atas bantuan penyediaan data citra

- Teman-teman yang selama ini sudah mendukung kuliah dan penelitian saya.

Bogor, April 2009


(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar belakang... 1

1.2. Tujuan penelitian ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA... 3 2.1. Kondisi umum lokasi penelitian ... 3

2.2. Pantai dan Perubahan Daratan Pantai ... 4

2.2.1 Faktor Alam... 6

2.2.1.1 Gelombang... 6

2.2.1.2 Angin... 8

2.2.1.3 Pasang Surut... 9

2.2.1.4 Proses sedimentasi dan erosi di pantai ... 10

2.2.1.5 Tsunami... 13

2.2.1.5.1 Pengertian Tsunami... 13

2.2.1.5.2 Penyebab terjadinya tsunami... 14

2.2.2 Faktor Manusia ... 15

2.3 Penginderaan Jarak Jauh ... 16

2.3.1 Radiasi gelombang elektromagnetik... 19

2.3.2 Karakteristik Landsat ... 20

2.3.2.1 Landsat 7 ETM+ ... 21

2.4 Sistem Informasi Geografis ... 23

3. METODOLOGI... 25

3.1. Waktu dan tempat penelitian... 25

3.2. Alat dan bahan penelitian... 26

3.2.1 Alat Penelitian... 26

3.2.2 Bahan Penelitian ... 27

3.3. Metode pengolahan data ... 27

3.4. Survey Lapangan ... 33

4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

4.1 Analisis data citra... 34

4.1.1 Perubahan garis pantai ... 41

4.1.1.1 Klasifikasi darat dan laut ... 41

4.1.1.2 Overlay citra untuk perubahan garis pantai ... 44


(20)

4.1.1.2.1 Overlay citra perubahan garis pantai tahun

2001-2005 ... 45

4.1.1.2.2 Overlay citra perubahan garis pantai tahun 2005-2006 ... 48

4.1.2 Perubahan penutupan lahan ... 50

4.1.2.1 Klasifikasi penutupan lahan ... 50

4.1.2.1.1 Klasifikasi penutupan lahan tahun 2001 ... 51

4.1.2.1.2 Klasifikasi penutupan lahan tahun 2005 ... 54

4.1.2.1.3 Klasifikasi penutupan lahan tahun 2006 ... 56

4.1.2.2 Overlay penutupan lahan tahun 2001-2005 ... 59

4.1.2.3 Overlay penutupan lahan tahun 2005-2006 ... 62

4.2 Analisis perubahan daratan pantai dan penutupan lahan ... 66

4.2.1 Analisis perubahan daratan pantai ... 66

4.2.1.1 Angin, arus dan gelombang ... 66

4.2.1.2 Pasang surut ... 71

4.2.1.3 Faktor lingkungan lainnya ... 74

4.2.1.4 Faktor Manusia ... 76

4.2.2 Analisis penutupan lahan ... 77

4.2.3 Analisis perubahan daraan pantai dan penuupan lahan akibat bencana alam tsunami... 78

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 85

5.2 Saran ... ... 85

DAFTAR PUSTAKA... 86 LAMPIRAN


(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Batasan Pantai ... 5

2. Potongan melintang profil pantai saat angin tenang dan angin badai... 11

3. Peta Lokasi Pesisir Pantai Pangandaran dan Sekitarnya... 25

4. Bagan alir analisis perubahan garis pantai... 28

5. Citra Landsat Path/Row 121/65 Tanggal 22 Juni 2001 ... 34

6. Citra Landsat Path/Row 121/65 Tanggal 16 Mei 2005... 35

7 Citra Landsat Path/Row 121/65 Tanggal 10 Oktober 2006... 35

8. Peta Citra Landsat tahun 2001 dengan komposit RGB 542 ... 36

9. Peta Citra Landsat tahun 2005 dengan komposit RGB 542 ... 38

10. Peta Citra Landsat tahun 2006 dengan komposit RGB 542 ... 39

11. Peta Klasifikasi Darat Laut Pantai Pangandaran Tahun 2001 ... 41

12. Peta Klasifikasi Darat Laut Pantai Pangandaran Tahun 2005 ... 42

13. Peta Klasifikasi Darat Laut Pantai Pangandaran Tahun 2006 ... 42

14. Peta Hasil Overlay Darat – Laut tahun 2001-2005 ... 45

15. Grafik Perubahan Garis Pantai Menurut Pembagian Wilayah Tahun 2005 47 16. Peta Hasil Overlay Darat – Laut tahun 2005-2006 ... 48

17. Grafik Perubahan Garis Pantai Menurut Pembagian Wilayah Tahun 2006 50 18. Peta klasifikasi penutupan lahan Pantai Pangandaran tahun 2001 ... 52

19. Persentase Zonasi Penutupan Lahan Citra Landsat Tahun 2001 ... 53

20. Peta klasifikasi penutupan lahan Pantai Pangandaran tahun 2005 ... 54

21. Persentase Zonasi Penutupan Lahan Citra Landsat Tahun 2005 ... 56

22. Peta klasifikasi penutupan lahan Pantai Pangandaran tahun 2006 ... 57

23. Persentase Zonasi Penutupan Lahan Citra Landsat Tahun 2006 ... 58

24. Peta overlay penutupan lahan Pantai Pangandaran tahun 2001-2005... 61

25. Peta overlay penutupan lahan Pantai Pangandaran tahun 2005-2006... 65

26. Diagram Windrose data angin maksimum 2001-2006... 67

27. Diagram Windrose data angin minimum 2001-2006... 67

28. Pola arah angin di Pantai Pangandaran ... 68

29. Kecepatan angin rata-rata bulanan di Pantai Pangandaran ... 68

30. Batimetri di perairan Teluk Pangandaran ... 70

31. Grafik Pasang Maksimum Pasang Surut 2001 – 2006... 72

32. Grafik Surut Minimum Pasang Surut 2001 – 2006 ... 73

33. Grafik Rata-rata Debit Air Sungai Cikidang Tiap Bulan... 75

34. Episenter gempa utama menurut BMG, USGS, dan GEOFON (BMG, 2006)... 78

35. Peta run-up tsunami untuk wilayah Pangandaran hasil survey BMG tanggal 18-22 Juli 2006... 79


(22)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Karakteristik Kanal Landsat 7 ETM +... 21 2. Alat, Bahan dan Metode Survey Lapangan ... 26 3. Luas Darat Laut Tahun 2001, 2005 dan 2006... 43 4. Luas Perubahan Darat Laut Tahun 2001-2005 ... 46 5. Panjang Rata – Rata Perubahan Garis Pantai di Tiap Sel Tahun 2005.... 48 6. Luas Perubahan Darat Laut Tahun 2005-2006 ... 49 7. Panjang Rata – Rata Perubahan Garis Pantai di Tiap Sel Tahun 2006.... 50 8. Luas Penutupan Lahan Tahun 2001... 53 9. Luas Penutupan Lahan Tahun 2005... 56 10.Luas Penutupan Lahan Tahun 2006... 58 11.Luas perubahan masing-masing kelas penutupan lahan tahun 2001-2005 59 12. Luas konversi penutupan lahan tahun 2001-2005... 60 13. Luas perubahan masing-masing kelas penutupan lahan tahun 2005-2006 63 14. Luas konversi penutupan lahan tahun 2001-2005... 64 15. Besar Rata-rata Debit Air Sungai Cikidang Tiap Bulan ... 75


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data Pasang Surut Untuk Daerah Kajian... 88 2. Data Pasang Surut Maksimum dan Minimum Daerah Kajian... 91 3. Data Kecepatan dan Arah Angin Stasiun Cilacap... 92 4. Gambar-gambar ... 94 5. Versi ringkas Skala Angin Beufort Untuk Dipergunakan di Laut ... 97


(24)

1.

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.500 pulau dan wilayah pantai sepanjang 81.000 Km. Posisi geografis Indonesia sangat unik karena berada di posisi silang antara dua benua yaitu Asia dan Australia, dan dua samudera yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selain itu, Indonesia juga terletak pada tempat bertemunya empat lempeng besar yaitu Eurasia (Asia Tenggara), Indo-Australia, Samudera Pasifik dan Filipina. Indonesia juga merupakan bagian dari “Ring of Fire” yaitu jalur pegunungan api muda aktif yang mengelilingi Samudera Pasifik. Oleh karena itu, hampir seluruh wilayah negara Indonesia termasuk wilayah rawan bencana alam termasuk gempa dan tsunami (http://www.bmg.go.id diakses pada 28 Desember 2007).

Pantai Pangandaran merupakan wilayah pesisir selatan Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Daerah pantai ini merupakan kawasan pariwisata yang biasa

dikunjungi oleh para wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Kawasan tersebut luluh lantak akibat terjangan tsunami yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 lalu. Tsunami ini diakibatkan oleh gempa tektonik yang terjadi pukul 15.19 WIB dengan pusat getaran pada 9,46º Lintang Selatan (LS) dan 107,19º Bujur Timur (BT) pada kedalaman 33 kilometer. Gempa yang terjadi di bawah laut terukur dengan kekuatan 6,8 Skala Richter (SR) sehingga gempa tersebut menimbulkan tsunami yang menerjang kawasan Pantai Pangandaran (Diposaptono dan Budiman, 2005).

Gelombang yang terjadi akibat pergeseran lempeng dasar laut atau tsunami menyapu daratan, sehingga dapat merubah daratan pantai dan penutupan lahan


(25)

yang ada di pesisir daratan tersebut. Perubahan daratan pantai itu sendiri yaitu akibat tumpukan sedimen yang terbawa oleh gelombang maupun sedimen pantai yang terkikis dan terbawa oleh gelombang atau arus laut.

Kajian perubahan daratan pantai sendiri penting dilakukan sebagai acuan dalam pembangunan wilayah pesisir dan pelabuhan, pariwisata serta kegiatan penangkapan dan budidaya perikanan.

Salah satu cara yang digunakan untuk melihat perubahan daratan pantai di Pantai Pangandaran adalah secara spasial dan temporal, yaitu dengan membandingkan dua atau lebih citra satelit sebelum dan sesudah bencana tsunami yang menimpa wilayah pesisir Pantai Pangandaran. Perbandingan antara kedua kondisi tersebut dapat memberikan informasi tentang daratan pantai dan tutupan lahan yang mengalami perubahan akibat tsunami yang terjadi di pesisir wilayah Pantai Pangandaran.

1.2Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan daratan pantai dan penutupan lahan di wilayah pesisir Pantai Pangandaran akibat terjangan tsunami pada 17 Juli 2006.


(26)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Ciamis adalah salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang memiliki luas wilayah 2.556,75 km². Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan di utara; Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah) dan Kota Banjar di timur; Samudra Hindia di selatan; serta Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya di barat.

Kabupaten Ciamis terdiri atas 30 kecamatan, yang terbagi dalam sejumlah desa dan kelurahan dengan pusat pemerintahan di Kecamatan Ciamis. Ibu kota Kabupaten Ciamis berada di jalan negara jalur Bandung-Yogyakarta-Surabaya. Kabupaten ini juga dilintasi jalur kereta api lintas selatan, dengan stasiun terbesarnya di Kota Ciamis (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Ciamis diakses pada 19 Februari 2009).

Sebagian besar wilayah Kabupaten Ciamis berupa pegunungan dan dataran tinggi, kecuali di perbatasan dengan Jawa Tengah bagian selatan, serta sebagian wilayah pesisir. Pantai selatan Ciamis bagian timur berupa teluk, diantaranya Teluk Pangandaran, Teluk Parigi, dan Teluk Pananjung. Pantai Pangandaran merupakan salah satu tujuan wisata utama di Kabupaten Ciamis.

Pantai Pangandaran terletak sekitar 92 km di sebelah selatan Kabupaten Ciamis. Pantai Pangandaran berada di Desa Pananjung. Pantai Pangandaran merupakan objek wisata yang cukup ternama di kalangan wisatawan baik lokal maupun manca negara. Pantai Pangandaran memiliki pantai berpasir putih yang landai dengan air yang jernih (http://www.budpar.go.id/ diakses pada 28


(27)

Desa Pangandaran sendiri terletak pada peninsular atau semenanjung yang masuk ke Samudra Indonesia dengan cagar alam berbentuk air mata (teardrop). Bagian ujung selatan semenanjung adalah hutan lindung yang terdiri dari lahan perbukitan dan lahan daratan sedangkan 142, 87 hektar lahan yang lain di

Kecamatan Pangandaran adalah dataran yang secara geologi dapat disebut beach ridges, dan berbentuk genting tanah (isthmus) yang menghubungkan semenanjung bagian ujung dengan daratan Pulau Jawa

(http://www.budpar.go.id/page.php?ic=511&id=1385 diakses pada 28 Desember 2007).

Ciri topografis kawasan Pangandaran, khususnya semenanjung yang berbukit (cagar alam), bersama arus, angin, dan gelombang dari Samudra Indonesia sangat mempengaruhi bentuk pantai dan ombak laut. Kondisi geografis seperti ini mampu menahan angin kuat dari arah timur. Hal ini pula yang

menyebabkan laut di sepanjang pinggir pantai barat (500 m) dari ujung selatan adalah daerah yang paling aman untuk berenang, berperahu, dan aktivitas laut yang lain (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Ciamis diakses pada 19 Februari 2009).

2.2 Pantai dan Perubahan Daratan Pantai

Pantai adalah suatu daerah dimana proses yang terjadi di daratan

(terrigenous) dan proses di laut saling mempengaruhi. Daerah ini merupakan satu jalur daratan yang dibatasi oleh laut dan terbentang sampai pengaruh laut tidak dapat dirasakan lagi. Menurut Komar (1983) pantai dapat didefinisikan sebagai daerah yang dibatasi oleh daratan (swash zone) sampai daerah gelombang pecah


(28)

(breaker zone), sedangkan menurut Triatmodjo (1999), pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Batasan pantai dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber : Triatmodjo (1999)

Gambar 1. Batasan Pantai

Batas antara air dan daratan dikenal sebagai garis pantai, yang selalu berubah-ubah, baik perubahan sementara akibat pasang surut, maupun perubahan yang permanen dalam jangka waktu yang panjang akibat abrasi dan akresi pantai atau keduanya.

Perubahan daratan pantai terjadi akibat dua peristiwa penting, yaitu akresi (penambahan) dan abrasi (pengikisan). Akresi pantai adalah kondisi semakin majunya pantai karena penambahan material dari hasil endapan sungai dan pengangkatan (emerge) sedimen oleh arus dan gelombang laut, sedangkan abrasi adalah kerusakan pantai yang mengakibatkan semakin mundurnya pantai akibat kegiatan air laut. Perubahan yang terjadi pada wilayah pantai akan


(29)

komponen yang berinteraksi didalamnya. Perubahan daratan pantai dapat disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia (Komar, 1983).

2.2.1 Faktor Alam

Faktor utama penyebab perubahan daratan pantai adalah faktor dari darat dan laut. Faktor dari darat berupa sedimentasi lewat sungai-sungai dan adanya tumbuhan pantai. Faktor dari laut berupa arus dan gelombang laut, pasang surut, sedimentasi dari laut dan morfologi dasar laut, serta adanya bencana alam seperti tsunami. Selain itu, faktor yang dapat mempengaruhi perubahan pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah angin, dan turunnya permukaan daratan, atau naiknya permukaan air laut. Akan tetapi secara umum faktor yang mempengaruhi perubahan daratan pantai adalah gelombang, pasang surut, angin, dan bencana alam serta proses sedimentasi di pesisir dan erosi pantai akibat faktor alam lainnya.

2.2.1.1 Gelombang

Gelombang adalah fenomena naik-turunnya permukaan laut. Gelombang adalah faktor penting yang sangat menentukan dalam proses dinamika pantai, baik berupa abrasi (erosi atau pengikisan pantai) maupun akresi (sedimentasi atau penambahan pantai). Gelombang dapat menimbulkan arus dan transpor sedimen dalam arah tegak lurus dan sepanjang pantai yang akhirnya akan mempengaruhi bentuk pantai (Rahardjo, 2004).

Menurut Komar (1983), gelombang yang disebabkan oleh angin sangat penting sebagai faktor perpindahan energi. Energi yang berasal dari angin dipindahkan ke perairan pada saat melintasi permukaan laut dan terbawa ke


(30)

daerah pesisir (coastal zone). Energi ini adalah penyebab utama terjadinya erosi atau dapat menghasilkan variasi arus dekat pantai (nearshore) dan membentuk pola transportasi pasir di pantai. Energi gelombang yang dihasilkan tergantung oleh faktor kecepatan angin, lamanya angin bertiup dan daerah dimana angin terjadi. Semakin lama angin bertiup maka energi yang dipindahkan untuk menghasilkan gelombang semakin besar. Pada areal yang lebih besar terdapat lebih banyak energi gelombang potensial. Arah gelombang mendekati pantai adalah salah satu aspek penting dalam proses pengendalian pantai. Hal ini berhubungan dengan fungsi gelombang sebagai pengangkut sedimen. Jika pasokan material tidak dapat mencapai pantai kembali maka akan terjadi erosi yang serius. Pengaruh selanjutnya aksi gelombang terhadap pantai adalah terjadinya penambahan pantai (akresi) dan pemindahan pasir ke pantai.

Gelombang yang datang ke arah pantai menyebabkan terjadinya transport massa air yang mengangkut sedimen. Pada waktu gelombang sampai ke pantai maka air akan naik ke darat dan pada waktu turun air akan menyebabkan erosi di pantai dan akan dibawa ke laut. Sedimen yang dibawa ke laut tersebut akan bertemu dengan sedimen yang dibawa oleh transpor massa air dan akan mengendap di daerah pertemuan sehingga membentuk gundukan.

Gelombang datang ke pantai yang menimbulkan arus menyusur pantai (longshore current) adalah penyebab utama dari penggerakan sedimen, sedangkan arus-arus lainnya hanya efektif pada kondisi tertentu. Sebagai contoh, di mulut teluk arus pasang menjadi kuat dan mungkin sekali berperan penting dalam pengangkutan sedimen pantai. Angin yang menghasilkan arus


(31)

menyusur pantai jika dikombinasikan dengan aksi gelombang akan efektif dalam pengangkutan sedimen (Komar, 1983).

Menurut Black (1986) penentuan status utama garis pantai harus di lakukan dalam periode waktu panjang sejak pengendapan dan pengangkutan sedimen mulai sering terjadi pantai umumnya stabil jika gelombang kecil, tetapi dapat berubah sangat cepat karena gelombang besar seperti tsunami dan angin ribut.

2.2.1.2 Angin

Angin merupakan penyebab terjadinya gelombang yang paling utama di permukaan laut. Gelombang yang dibangkitkan oleh angin dipengaruhi tiga faktor, yaitu kecepatan angin, lamanya angin bertiup dan luas daerah yang terkena tiupan angin. Durasi bertiupnya angin merupakan salah satu faktor penting, dimana semakin lama angin bertiup maka gelombang yang dihasilkan semakin besar (Komar, 1983).

Angin yang berhembus di permukaan air laut yang semula tenang akan menyebabkan gangguan pada permukaan air, sehingga timbulah gelombang kecil, riak atau ripples, yang mempunyai gaya pengembali dominan berupa tegangan permukaan. Dengan telah terbentuknya gelombang kecil tersebut, maka interaksi antara angin dengan permukaan air laut menjadi lebih efektif. Riak tersebut hanya bertahan sebentar, jika angin berhenti berhembus maka hampir seketika itu riak hilang dari permukaan laut. Jika angin terus berhembus, riak akan tumbuh menjadi gelombang yang lebih besar (Holtz


(32)

(1888), Jeffreys (1924), Sverdrup dan Munk (1947), dan Phillips (1957) dalam Rahardjo, 2004).

2.2.1.3 Pasang Surut

Pasang surut laut adalah gelombang yang dibangkitkan oleh adanya interaksi antara laut, matahari dan bulan. Puncak gelombang disebut pasang tinggi dan lembah gelombang disebut pasang rendah. Perbedaan vertikal antara pasang tinggi dan pasang rendah disebut rentang pasang surut. Periode pasang surut adalah waktu antara puncak atau lembah gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya. Panjang periode pasang surut bervariasi antara 12 jam 25 menit hingga 24 jam 50 menit (http//www.wikipedia.org/wiki/pasang_surut diakses pada 19 Februari 2009).

Berdasarkan pola gerakan muka lautnya, pasang surut di Indonesia dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu pasang surut harian tunggal (diurnal tide), harian ganda (semidiurnal tide) dan dua jenis campuran. Pada jenis harian tunggal hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut setiap hari. Pada jenis harian ganda, tiap hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya masing-masing hampir sama. Di samping itu, dikenal pula campuran dari keduanya, meskipun jenis tunggal atau gandanya masih menonjol. Pada pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide, prevailing

diurnal), terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari, tetapi berbeda dalam tinggi dan waktunya. Dan, yang terakhir adalah jenis campuran condong ke harian tunggal (mixed tide, prevailing diurnal). Pada jenis ini tiap hari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi kadang-kadang pula untuk


(33)

sementara dengan dua kali pasang dan dua kali surut, yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktunya (Nontji, 1993).

Pada saat pasang, energi pasang akan mendorong massa air laut ke dalam daerah pantai sehingga sedimen akan menyebar di daerah tersebut, sedangkan pada saat surut aliran sungai akan lebih besar sehingga mampu mendorong massa air laut keluar dan sebagai akibatnya sedimen akan terbawa bersama dan akan menyebar sampai ke laut yang kemudian akan terdeposit di sekitar daerah tersebut. Pada waktu pasang, arus yang mengalir kearah laut akan mengangkut sedimen dari pantai dalam jumlah besar. Jika material ini tidak dibawa kembali ke pantai oleh gelombang yang datang maka pantai akan mengalami pengikisan, sedangkan pada saat surut, aliran sungai akan lebih besar sehingga mampu mendorong sedimen (Ross, 1970).

2.2.1.4 Proses Sedimentasi dan Erosi di Pantai a. Proses Sedimentasi

Proses sedimentasi adalah proses yang meliputi pelapukan, transportasi, dan pengendapan. Sedimen yang terdapat di pantai umumnya berasal dari peluruhan dan erosi dari daratan. Sebagian besar material ini dibawa dalam bentuk sedimen terlarut oleh sungai menuju laut. Proses sedimentasi di daerah pantai juga dipengaruhi oleh berbagai faktor aktivitas laut, diantaranya arus, gelombang dan pertemuan dua arus yang berbeda sifatnya (Black, 1986).

Transpor sedimen pantai adalah gerakan sedimen di daerah pantai yang disebabkan oleh gelombang dan arus yang dibangkitkannya. Gelombang yang menjalar menuju pantai membawa massa air dan momentum searah


(34)

penjalarannya. Transpor massa dan momentum tersebut akan menimbulkan arus di daerah dekat pantai. Gelombang pecah menimbulkan arus dan turbulensi yang sangat besar yang dapat menggerakkan sedimen dasar.

Angin, erosi pantai, fluktuasi iklim dan erupsi gunung berapi juga memberikan kontribusi terhadap pergerakan sedimen. Sebagai contoh, daerah yang

dipengaruhi angin muson, biasanya pada saat bertiup angin timur, gelombang laut akan bersifat konstruktif yaitu membawa sedimen menuju pantai.

Demikian juga yang terjadi pada kawasan pantai saat angin tenang atau musim panas (summertime). Sebaliknya bila bertiup angin barat, saat bertiup angin badai (storm), ataupun saat musim dingin (wintertime), maka gelombang laut akan bersifat merusak pantai (destruktif) karena massa air akan mengangkut sebagian besar sedimen menuju tengah laut. Sedimen itu kemudian teronggok di daerah surf zone membentuk bukit pasir (sand-bar)

(http://faiqun.edublogs.org/2008/05/30/pergerakan-sedimen-pantai/ diakses pada 12 Maret 2009). Gambar 2 menunjukkan potongan melintang profil pantai pada saat angin tenang dan angin badai.


(35)

Gambar 2. Potongan melintang profil pantai saat angin tenang (atas) dan angin badai (bawah)

b. Proses Erosi di Pantai

Erosi pantai adalah proses terkikisnya material penyusun pantai oleh

gelombang, dan material hasil kikisan itu terangkut ke tempat lain oleh arus. Dari sudut pandang keseimbangan interaksi antara kekuatan-kekuatan asal darat dan kekuatan asal laut, erosi pantai terjadi karena kekuatan-kekuatan asal laut lebih kuat daripada kekuatan-kekuatan-kekuatan-kekuatan asal darat. Aktifitas gelombang di pantai adalah faktor utama yang aktif menyebabkan erosi pantai. Dengan demikian, tiupan angin menjadi faktor penting yang menentukan terjadi atau tidaknya erosi pantai di tempat-tempat atau segmen-segmen pantai tertentu dan pada musim-musim tertentu. Arah angin

menentukan segmen-segmen pantai yang akan tererosi, sedang kecepatan angin dan “fetch” menentukan kekuatan gelombang yang terbentuk dan memukul ke pantai.

Arus dekat pantai menentukan arah pergerakan muatan sedimen di sepanjang pantai. Arus itu memindahkan muatan sedimen dari satu tempat ke tempat lain di sepanjang pantai atau membawa muatan sedimen dari satu sel pantai ke sel pantai yang lain atau membawa muatan sedimen keluar ke perairan lepas pantai. Pola arus dekat pantai perkembangannya ditentukan oleh gelombang yang bergerak menghampiri pantai. Dengan demikian, faktor angin juga secara


(36)

tidak langsung mempengaruhi transportasi muatan sedimen

(http://www.kepulauanindonesia.co.id/ diakses pada 19 Februari 2009).

2.2.1.5 Tsunami

2.2.1.5.1 Pengertian tsunami

Kata "tsunami" merupakan istilah dari bahasa Jepang "tsunami", mempunyai dua suku kata, "tsu", artinya "pelabuhan" (harbor), "nami" berarti "gelombang". Tsunami menyatakan suatu gelombang laut akibat adanya pergerakan atau pergeseran lempeng di dasar laut yang disebut dengan gempa bawah laut. Gempa ini diikuti oleh perubahan permukaan laut yang

mengakibatkan timbulnya penjalaran gelombang air laut secara serentak ke seluruh penjuru mata angin, sedangkan pengertian gempa adalah pergeseran lapisan tanah di bawah permukaan bumi. Ketika terjadi pergeseran tersebut timbul getaran yang disebut gelombang seismik dari pusat gempa menjalar ke segala penjuru (http://www.bmg.go.id/diakses pada 28 Desember 2007).

Dalam literatur berbahasa inggris, tsunami kadang-kadang disebut pula sebagai “Tidal Wave” dan sering diterjemahkan secara harfiah sebagai

“gelombang pasang”. Istilah ini sebenarnya tidak tepat karena sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan pasang-surut air laut yang umum, yang ditentukan oleh gaya tarik benda-benda astronomis. Tsunami juga berbeda dengan


(37)

air laut bagian teratas. Gelombang tsunami menimbulkan gerak pada seluruh kolom air dari permukaan hingga ke dasar (Nontji, 1993).

2.2.1.5.2 Penyebab Terjadinya Tsunami

Menurut Kawata (2000), tsunami disebabkan oleh 3 hal, yaitu:

1) Apabila gempa dengan patahan vertikal, baik patahan naik maupun turun (lebih dari beberapa meter secara mendadak dan vertikal) terjadi di laut dengan kedalaman mencapai ribuan meter. Secara empiris, jika gempanya berkekuatan lebih 6,5 SR, dan pusat gempa berada pada kedalaman kurang dari 60 km dari dasar laut, maka tsunami akan terjadi.

2) Adanya longsor besar yang disebabkan oleh gempa, kegiatan gunung berapi, atau longsor di dasar laut.

3) Letusan gunung berapi.

Gempa merupakan salah satu penyebab utama terjadinya tsunami. Selain itu, penyebab tsunami lainnya adalah meletusnya gunung berapi yang

menyebabkan pergerakan air di laut/perairan sekitarnya menjadi sangat tinggi. Tidak semua gempa bawah laut menimbulkan tsunami, tsunami baru terjadi jika sampai terjadi dislokasi vertikal pada dasar laut, yang biasanya disebabkan oleh gempa kuat yang sumbernya relatif dangkal. Bila terjadi patahan atau sesar (fault) pada dasar laut, dan massa batuan dalam jumlah yang sangat besar amblas tiba-tiba, maka seluruh kolom air diatasnya juga ikut tersentak jatuh. Akibatnya


(38)

permukaan laut akan melakukan gerak osilasi naik turun untuk mencari

keseimbangan baru dan timbulah gelombang tsunami yang kemudian merambat ke segala arah dengan energi yang sangat besar (Diposaptono dan Budiman, 2005).

Gelombang tsunami merambat ke segala arah dengan kecepatan yang bergantung pada kedalaman laut. Makin dalam laut makin tinggi kecepatan rambatnya. Pada kedalaman 5.000 m (kedalaman rata-rata di Samudera Pasifik) kecepatan rambat tsunami mampu mencapai 230 m/detik. Periode tsunami, yakni jangka waktu yang diperlukan untuk tibanya dua puncak gelombang yang

berturutan dapat terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama. Jika sumbernya jauh, periodenya dapat mencapai lebih dari satu jam. Panjang gelombang tsunami, yaitu jarak dari satu puncak ke puncak lainnya dapat mencapai 200 km. Tinggi gelombang tsunami di tengah samudera biasanya relatif kecil yaitu antara 0,25-0,5 m, namun apabila telah mendekati pantai yang semakin dangkal akan mendapat tahanan yang semakin besar dari dasar laut dan sebagai konpensasi energinya yang besar dikonversikan kearah permukaan sehingga menimbulkan tinggi gelombang mencapai puluhan meter. Konfigurasi dasar laut sangat menentukan besarnya bencana yang dapat ditimbulkan. Teluk dengan bentuk menyerupai huruf V memberikan efek corong yang dapat menyebabkan gelombang tsunami sangat besar (Nontji, 1993).


(39)

Beberapa masalah lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi kegiatan manusia antara lain perubahan pantai. Kegiatan manusia yang menyebabkan perubahan daratan pantai adalah penggalian, pengerukan, dan reklamasi (pengurugan pantai), perlindungan pantai (shore protection), penggundulan dan penanaman hutan pantai, serta pengaturan pola aliran sungai (Bird and Ongkosongo, 1980). Manusia sebagai penghuni pantai dapat

memanipulasi bentuk pantai secara langsung, seperti melakukan pembabatan hutan bakau di tepi pantai, penggalian pasir di pantai dan di laut, pengerukan lumpur laut, pembuatan pemecah gelombang (break water) dan reklamasi pantai. Penggundulan hutan dan tata ruang yang kurang baik secara tidak langsung menyebabkan erosi dan sedimentasi di pantai. Pengaruh tidak langsung di pantai oleh manusia adalah perubahan perairan dan peningkatan produksi sedimen dari sistem sungai sebagai akibat dari penggundulan hutan ataupun perubahan tata guna lahan dalam daerah yang memberi pengaruh (cathcment area) seperti daerah bantaran sungai, atau pembangunan waduk untuk menampung persediaan air yang akan memotong beberapa aliran sedimen.

Semakin padatnya populasi manusia dan penggunaan lahan yang semakin intensif mengakibatkan berkurangnya daerah pantai akibat pengikisan. Sementara itu sebagian pantai mundur karena arealnya digunakan sebagai lahan pertanian kering yang semakin berkembang (Bird and Ongkosongo, 1980). Penginderaan jauh merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk melihat perubahan yang terjadi.


(40)

2.3 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan cara memperoleh informasi atau pengukuran dari objek dengan menggunakan alat pencatat, tanpa ada hubungan langsung dengan objek tersebut. Sistem ini didasarkan pada prinsip pemanfaatan gelombang elektromagnetik yang dipantulkan dan dipancarkan oleh objek. Alat penginderaan jauh ditempatkan pada suatu wahana yang dioperasikan pada suatu ketinggian tertentu yang disebut sebagai platform. Ketinggian platform tersebut dapat berupa ketinggian pesawat terbang, balon udara atau satelit (Sutanto, 1986).

Sistem penginderaan jauh dengan menggunakan satelit sangat menguntungkan, karena wilayah yang sangat luas dan sulit dijangkau dapat diliput. Keuntungan ini dapat dirasakan bagi negara-negara dengan wilayah yang sangat luas seperti Indonesia, selain itu perekaman data penginderaan jauh dari satelit dapat berlangsung secara terus-menerus selama waktu tertentu, peliputan suatu lokasi tertentu di permukaan bumi dapat dilakukan berulang-ulang dengan periode tertentu. Oleh karena itu data penginderaan jauh dari satelit dapat digunakan untuk memantau suatu daerah.

Pengamatan muka bumi, samudera, atmosfer dan interaksi ketiganya dengan satelit berlangsung secara kontinyu, cepat dan selalu dapat diperbaharui dengan segera. Jenis satelit pada dasarnya ada 5 yaitu satelit sumberdaya alam dan lingkungan (contohnya LANDSAT); satelit meteorologi (contohnya

METEOSAT); satelit navigasi (contohnya NAVSTAR); satelit mata-mata (spy) yang namanya sangat dirahasiakan, dan satelit komunikasi (contohnya PALAPA) (Susilo dan Gaol, 2008).


(41)

Pada masa sekarang ini pemerintah Indonesia telah memanfaatkan sistem penginderaan jauh. Sistem ini telah banyak digunakan sebagai salah satu sarana penelitian oleh para peneliti untuk tujuan tertentu, misalnya memantau perkembangan suatu daerah, penentuan daerah penangkapan ikan dan lain sebagainya.

Berdasarkan sifat sensor, citra dan aplikasinya, maka pemanfaatan

penginderaan jauh sangat membantu dalam penelitian kelautan yang mencakup wilayah pesisir karena kenampakan dan gejala yang terjadi di kedua wilayah tersebut terjadi dengan sangat cepat dan memerlukan pengamatan yang terus menerus.

Penginderaan jauh dari satelit mampu menjangkau daerah yang cukup luas, daerah-daerah terpencil serta dapat diperoleh dalam periode waktu tertentu, sehingga data tersebut dapat digunakan untuk kebutuhan pemantauan yang efisien dalam rangka pengelolaan sumberdaya di perairan dan lahan pantai. Proses alami di wilayah pesisir yang dapat dikenali dari data penginderaan jauh adalah akresi pantai, perubahan muara sungai, pendangkalan perairan,

kekeruhan air di sekitar muara sungai, erosi pantai dan pembentukan dune (Purwadhi, 1990). Semua proses tersebut merupakan proses yang

menyebabkan perubahan daratan pantai.

Penelitian mengenai perubahan daratan pantai telah banyak dilakukan oleh para ahli dengan beberapa metode, seperti pengukuran langsung dilapangan atau dengan cara mengumpulkan pustaka-pustaka yang ada, sedangkan pemanfaatan sistem penginderaan jauh masih sedikit diterapkan. Olah karena


(42)

itu, didalam penelitian ini, teknik penginderaan jauh dari satelit digunakan untuk memantau perubahan daratan pantai di Pantai Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat akibat Tsunami pada 17 Juli 2006 yang lalu.

Salah satu data penginderaan jauh dari satelit yang dapat digunakan untuk melihat perubahan garis pantai adalah data penginderaan jauh satelit Landsat 7 ETM+ (Purwadhi, 1990).

2.3.1. Radiasi Gelombang Elektromagnetik

Media yang sangat penting dalam penginderaan jauh adalah gelombang

elektromagnetik. Sebagian energi gelombang elektromagnetik yang mencapai permukaan bumi akan diserap oleh obyek dan sebagian lagi akan dipancarkan dan dipantulkan hingga mencapai sensor yang dipasang pada satelit, pesawat terbang, atau wahana lainnya (Sutanto, 1986). Energi elektromagnetik tidak dapat diamati oleh mata, kecuali energi tersebut berinteraksi dengan benda (debu, uap air, benda lain di atmosfir atau di permukaan bumi). Pada saat mengenai obyek, energi akan mengalami interaksi-interaksi seperti dipantulkan, diserap atau mengalami transmisi.

Dalam teknik penginderaan jauh terdapat empat komponen penting yaitu sumber energi, obyek (target), sensor dan atmosfir. Matahari merupakan sumber utama energi elektromagnetik. Matahari memancarkan energi elektromagnetik ke segala arah, sebagian dari energi elektromagnetik itu


(43)

mencapai bumi dengan cara radiasi. Menurut Sutanto (1986), jumlah energi matahari yang mencapai bumi di pengaruhi oleh waktu, lokasi dan kondisi cuaca.

Matahari sebagai sumber energi memancarkan gelombang elektromagnetik ke permukaan bumi. Gelombang ini akan di pengaruhi oleh lapisan atmosfir. Sifat dari partikel-partikel yang terdapat di lapisan atmosfir akan menyerap dan menghamburkan gelombang-gelombang tersebut pada panjang gelombang tertentu.

Dalam mekanisme penginderaan, pantulan gelombang elektromagnetik yang datang dari obyek diterima dan direkam oleh sensor. Sensor ini dipasang pada ketinggian tertentu. Makin tinggi letak sensor, maka areal yang terliput akan semakin luas tetapi data yang di peroleh kurang detail. Sebaliknya semakin rendah letak sensor maka data yang dihasilkan menjadi lebih detail namun cakupannya menjadi lebih sempit (Sutanto,1986).

2.3.2 Karakteristik Landsat

Satelit Landsat pada mulanya disebut ERTS (Earth Resources Technology Satellite), kemudian namanya diubah kembali menjadi Landsat pada Tahun 1974. Ada tujuh satelit Landsat yang diluncurkan. Landsat 1 diluncurkan tanggal 22 Juli 1972 yang dihentikan pengoperasiannya pada tanggal 6 Januari 1978. Landsat 2 yang diluncurkan pada tanggal 22 Januari 1975, kemudian pengoperasiannya dihentikan pada tanggal 22 Januari 1980, kemudian


(44)

magnetiknya; Landsat 3 diluncurkan pada tanggal 3 Maret 1978, kemudian dikembangkan masalah di dalam sensor MSS pada bulan Agustus 1978 untuk mengatasi masalah keterlambatan pengiriman sinyal ke bumi (Purwadhi, 2001).

Sistem Landsat generasi pertama (Landsat 1, Landsat 2, dan Landsat 3) didesain untuk membuat pengamatan secara otomatis menggunakan satelit sistem kamera RBV (Return Beam Vidicon) dan MSS (Multi Spektral Scanner). Sistem RBV pada Landsat 1 dan 2 dioperasikan dengan 3 kamera pengatur cahaya yang terpisah, masing-masing band memiliki nilai spektral berbeda dalam selang 0,48-0,83 μm. Sistem RBV Landsat 3 telah diubah menjadi 2 kamera, Pankromatik RBV yang dioperasikan dalam selang 0,51-0,75 μm. Kamera ini menghasilkan 2 bagian citra dengan mencakup permukaan bumi kira-kira 183 x 98 km. Sistem RBV menggunakan fokus sepanjang 25 cm didapatkan resolusi bumi kira-kira 30m.

Stasiun satelit Landsat dioperasikan dekat orbit Sun-Synchronous dekat kutub orbit dengan ketinggian 915 km. Satelit Landsat mengelilingi bumi setiap 103 menit, mencapai 14 orbit per hari dan memperlihatkan permukaan bumi secara keseluruhan setiap 18 hari. Orbit dari satelit telah dipilih sehingga satelit bumi tersebut dapat mengulang peliputan wilayah di bumi pada waktu setempat yang sama pada setiap periode 18 hari dengan jarak 37 km dari orbit sebelumnya (Purwadhi, 2001 ).

2.3.2.1 Landsat 7 ETM+

Satelit Landsat 7 ETM+ merupakan radiometer pemindai multi spektral yang memiliki posisi tetap, pengamatan nadir, “whisk-broom”, dan kemampuan


(45)

menyediakan citra beresolusi tinggi berisi informasi permukaan bumi, baik dalam wilayah spektrum sinar tampak maupun infra merah. Landsat 7 ETM+

diluncurkan pada tanggal 15 April 1999, berada pada ketinggian 705 km dengan periode edar 99 menit dan orbit polar Sun-synchronous yang memotong garis khatulistiwa ke arah selatan setiap pukul 10.00 waktu setempat dengan sudut inklinasi 30o. Landsat 7 ETM+ mempunyai cakupan seluas 185 km melewati daerah yang sama setiap 16 hari (LAPAN, 2000). Karakteristik sensor satelit Landsat 7 ETM+ yang mempunyai 8 kanal spektral dengan pengaturan gain tinggi dan rendah secara terpisah, dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1. Karakteristik Kanal Landsat 7 ETM+ Kanal Panjang Gelombang Resolusi

Spasial

Keterangan

1 0,45 – 0,52 μm 30 m Sinar tampak (biru) 2 0,52 – 0,60 μm 30 m Sinar tampak (hijau) 3 0,63 – 0,69 μm 30 m Sinar tampak (merah) 4 0,76 – 0,90 μm 30 m Infra merah (dekat) 5 1,55 – 1,75 μm 30 m Infra merah (sedang) 6 10,40 – 12,50 μm 60 m Infra merah (termal) 7 2,08 – 2,35 μm 30 m Infra merah (sedang)

8 0,5 – 0,9 μm 15 m Pankromatik

(Sumber : LAPAN, 2000)

Berikut merupakan fungsi dari kanal – kanal pada Thematic mapper: a. Kanal 1


(46)

Berfungsi untuk penetrasi tubuh perairan, pemetaan perairan pantai, pembedaan vegetasi dan tanah.

b. Kanal 2

Berfungsi untuk mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak diantara 2 saluran spektral serapan klorofil. Kanal ini digunakan untuk membedakan vegetasi dan tingkat kesuburan.

c. Kanal 3

Berfungsi untuk membedakan jenis vegetasi, memperkuat kontras kenampakan vegetasi dan non-vegetasi, membedakan lahan terbuka, dan yang bervegetasi.

d. Kanal 4

Berfungsi membantu menidentifikasi tanaman, serta memperkuat kontras antara lahan, vegetasi, dan air.

e. Kanal 5

Berfungsi sebagai pengindikasi jenis vegetasi, kandungan kelembaban tanah.

f. Kanal 6

Berfungsi untuk penentuan formasi batuan, klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, dan gejala yang berhubungan dengan thermal. g. Kanal 7


(47)

2.4 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) yang disingkat SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki kemampuan dalam menangani data yang bereferensi geografi seperti (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan

manipulasi data, (d) keluaran (Aronoff, 1989 dalam Prahasta, 2002)

Data masukan SIG dapat diperoleh dari tiga sumber, yaitu: 1. Data lapangan.

Data ini diperoleh langsung dari pengukuran lapangan secara langsung, seperti suhu, salinitas, kecerahan, dan sebagainya.

2. Data peta.

Data peta ini merupakan informasi yang telah terekam pada kertas atau film, dikonversikan dalam bentuk digital.

3. Data citra penginderaan jauh

Citra penginderaan jauh yang berupa foto udara dapat dinterpretasikan terlebih dahulu sebelum dikonversi ke dalam bentuk digital, sedangkan citra yang diperoleh dari satelit yang sudah dalam bentuk digital dapat langsung digunakan setelah dilakukan koreksi seperlunya.


(48)

Data keruangan dapat disajikan dalam dua model, yaitu model raster, dan model vektor. Pada model raster, semua obyek disajikan dalam bentuk sel-sel yang disebut pixel (picture elemen), sedangkan pada model vektor, obyek disajikan sebagai titik atau segmen-segmen garis. Metode analisis yang sering dilakukan pada beberapa macam peta, dikenal dengan metode tumpang susun (overlay method). Dari fungsi-fungsi analisis yang dapat digunakan oleh SIG ini, pengguna dapat memperoleh informasi yang diinginkan.


(49)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Lokasi dari obyek penelitian adalah di sepanjang pesisir Pantai Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan Maret 2008. Persiapan dan pemrosesan citra satelit di lakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan SIG Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Januari – Mei 2008 . Gambar 3 menunjukkan lokasi pesisir Pantai Pangandaran di Kecamatan Pangandaran.

Gambar 3. Peta Lokasi Pantai Pangandaran di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat


(50)

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat pengolahan data citra penginderaan jauh, yaitu :

1) Satu perangkat Personal Computer (PC) 2) Software ER Mapper untuk pengolahan citra

3) Software ArcView untuk melakukan digitasi dan analisa SIG

4) Software Lakes Environment, Global Mapper dan Surfer untuk mengolah data pendukung.

5) Flash Disk dan Compact Disk untuk menyimpan data penelitian 6) Scanner untuk menscan peta

7) Printer untuk mencetak hasil.

Dan alat yang digunakan pada survei lapangan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Alat, Bahan dan Metode Survey Lapangan

No Parameter Unit Alat Metode

1 Titik GCP - GPS (Global Positioning System)

Mengukur titik-titik GCP (Ground Control Point) sebagai acuan untuk koreksi citra yang diolah.

2 Substrat Ekman Grab Mengambil sampel pada

beberapa titik tempat untuk mengetahui tipe substrat di perairan tersebut.

3 Kemiringan Pantai

% - Meteran - Water Pass

Mengukur kemiringan pantai di beberapa titik tempat untuk mengetahui derajat kemiringan pantai di perairan tersebut.


(51)

3.2.2 Bahan Penelitian

Data penelitian yang digunakan adalah data utama dan data pendukung, yang meliputi :

1) Data Utama, data citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra Landsat 7 ETM+ path / row 121 / 65 yang direkam pada 22 Juni 2001, 16 Mei 2005 dan 10 Oktober 2006 yang diperoleh dari BTIC - BIOTROP. 2) Data Pendukung, yaitu data kemiringan pantai, kecepatan angin, tipe

substrat, Data SRTM (The Shuttle Radar Topography Mission) dan pasang surut yang diambil pada saat survey lapangan dan dari sumber lainnya.

3.3 Metode Pengolahan Data

Penelitian dilakukan berdasarkan analisis penginderaan jauh dengan metode membandingkan ketiga citra multi temporal untuk menganalisis

perubahan yang terjadi. Secara umum, penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu pengolahan citra awal yang meliputi penyediaan citra, pemulihan citra, pemotongan citra dan penajaman citra; survey lapangan dan pengumpulan data pendukung, serta pengolahan citra lanjutan yang meliputi pengklasifikasian, pengolahan data pendukung, overlay citra dan penginterpretasian hasil penelitian.

Pengolahan data citra dilakukan dengan menggunakan Personal Computer (PC) dengan software Er Mapper 7.0 dan ArcView 3.3. Er Mapper versi 7.0 digunakan dalam pengolahan awal dari citra Landsat 7ETM+, software ArcView 3.3 digunakan untuk overlay citra dan tampilan citra .


(52)

Tahapan-tahapan penelitian ini dijelaskan oleh bagan alir dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Bagan Alir Penelitian Perubahan Daratan Pantai dan Penutupan Lahan

Pemulihan citra adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki citra karena citra hasil deteksi sensor satelit tidak terlepas dari gangguan radiometrik dan gangguan geometrik. Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi radiometrik dan koreki geometrik (Susilo dan Gaol, 2008).

Koreksi radiometrik merupakan perbaikan akibat cacat atau kesalahan radiometrik, yaitu kesalahan pada sistem optik, kesalahan karena gangguan energi radiasi pada elektromagnetik pada amosfer, dan kesalahan karena pengaruh sudut elevasi matahari (Purwadhi, 2001). Radiasi elektromagnetik yang direkam oleh


(53)

sensor tidak hanya berasal dari emisi atau pantulan dari obyek. Radiasi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti elevasi sinar matahari, kondisi atmosfer dan respon dari sensor seperti kegagalan fungsi detektor, stripping, dan drop out baris. Untuk memperoleh informasi yang sebenarnya (pantulan/emisi dari objek) maka fakor-faktor ini harus dikoreksi (Susilo dan Gaol, 2008).

Koreksi geometrik bertujuan untuk membetulkan (rektifikasi) atau memulihkan (restorasi) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat bumi. Koreksi geometrik data citra Landsat 7 ETM+ meliputi penyiapan data,

pengambilan titik kontrol bumi (Ground Control Point) antara citra Landsat 7 ETM+ dengan peta. Penentuan titik kontrol dilakukan dengan sistem UTM (Universal Transverse Mercator) karena daerah penelitian relatif kecil. Citra hasil koreksi geometrik ini dijadikan referensi untuk melakukan registrasi citra Landsat 7 ETM+ lainnya. Prosedur registrasi citra sama dengan koreksi geometrik, hanya dalam pengambilan titik kontrol dilakukan antar citra. Registrasi ini bertujuan untuk mendapatkan kesesuaian baris dan kolom antara satu citra dengan citra lainnya, sehingga citra dapat dioverlay dengan tepat.

Untuk membatasi citra sesuai dengan lokasi yang diteliti, maka diperlukan pemotongan citra (cropping). Pemotongan citra dilakukan pada koordinat yang sesuai dengan wilayah kajian penelitian yaitu pada koordinat 7°40’0.0’’ LS - 108°37’30.0’’ BT dan 7°45’0.0’’ LS - 108°41’0.0’ BT. Hasil pemotongan citra mencakup Desa Pangandaran, Desa Pananjung, sebagian Desa Wonoharjo dan sebagian Desa Babakan.

Pada tujuh kanal yang tersedia pada data citra Landsat 7 ETM+, setelah pemotongan citra hanya digunakan lima kanal, yaitu kanal 1, 2, 3, 4 dan 5 dalam


(54)

pengolahan citra, setelah itu dilakukan penajaman citra (enhancement) dan pemilihan kombinasi kanal.

Penajaman citra (image enhancement) adalah teknik untuk mendapatkan citra baru yang lebih informatif. Penajamanan citra bertujuan untuk memperoleh kualitas citra yang lebih baik agar dapat lebih mudah untuk melaksanakan

interpretasi dan ekstraksi citra selanjutnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara seperti perentangan kontras (contras streching) dan pentapisan (filter).

Kombinasi kanal dilakukan dengan pembuatan citra komposit dengan tiga filter warna yaitu merah (red), hijau (green) dan biru (blue), sebelum dilakukan training area untuk proses pengklasifikasian. Masing-masing warna dilakukan untuk mengamati obyek-obyek yang terdapat pada citra dan membantu dalam penentuan training area. Kombinasi citra yang digunakan adalah kanal 5, 4 dan 2 (RGB 542) untuk mengetahui interpretasi digital dari suatu perubahan garis

pantai.

Kanal 5 pada komposit Merah (Red ) memantulkan warna merah yang sesuai untuk mendeteksi jenis vegetasi dan kandungan kelembaban tanah sehingga mempu mendeteksi lahan kering. Semakin rendah kelembaban tanah yang menunjukkan kekeringan tanah, maka tampilan citra akan berwarna semakin merah.

Kanal 4 pada komposit Hijau (Green) berfungsi untuk mengidentifikasi tanaman, serta memperkuat kontras antara lahan, vegetasi, dan air. Tingkat kerapatan vegetasi ditunjukkan oleh adanya nilai pantulan dari klorofil di daratan. Semakin tinggi nilai digital dari pantulan klorofil, kerapatan vegetasi yang


(55)

Kanal 2 untuk komposit Biru (Blue) berfungsi untuk mengindera puncak pantulan vegetasi pada spektrum hijau yang terletak diantara 2 saluran spektral serapan klorofil. Kanal ini digunakan untuk membedakan vegetasi dan tingkat kesuburan. Namun pada pengolahan citra ini, kanal 2 digunakan untuk

mendeteksi perairan. Warna biru menunjukkan suatu perairan yang lebih dalam, sedangkan untuk warna biru muda menunjukkan adanya perairan yang lebih dangkal.

Klasifikasi merupakan suatu proses pengelompokan nilai reflektansi dari setiap obyek kedalam kelas-kelas tertentu sehingga mudah dikenali. Klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) dengan analisis maximum likelihood standard. Banyaknya kelas klasifikasi disesuaikan dengan banyaknya pola yang timbul dari proses penajaman sesuai dengan keinginan masing-masing. Namun untuk tahun citra tahun 2005 dan 2006 pengklasifikasian tidak hanya dilakukan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing, pengklasifikasian tambahan juga dilakukan pada software Arc View.

Ketiga citra satelit hasil klasifikasi dioverlay, tujuannya untuk melihat perubahan luasan masing-masing obyek hasil klasifikasi, untuk mengetahui lebih jelas perubahan garis pantai maka dilakukan generalisasi citra. Generalisasi citra merupakan proses klasifikasi secara umum dengan membagi citra menjadi dua kelas yaitu darat dan laut.

Proses selanjutnya dilakukan impor data dari citra maupun sumber lain. Data-data yang ada dalam berbagai bentuk format diseragamkan ke dalam satu format data yaitu format data Er Mapper 7.0. Tahap selanjutnya citra dianalisis


(56)

dengan Er Mapper yang digunakan untuk mendeteksi perubahan daratan pantai dan perubahan luasan penutupan lahan pantai.

Pada peta hasil penelitian, daerah penelitian dibagi menjadi 13 bagian/sel. Lebar jarak wilayah penelitian ini adalah 6,45 km sehingga jarak setiap satu sel dapat ditentukan selebar 500 meter. Hal tersebut berdasarkan pendekatan sistem coastal cell dimana erjadi pengelompokan wilayah yang memiliki karakeristik substrat dan topografi yang hampir sama (Triatmodjo, 1999), selain itu juga dapat mempermudah dalam melakukan analisis serta menentukan wilayah yang daratan pantainya mengalami maju atau mundur.

Data pendukung yang diperoleh dari berbagai sumber dianalisis untuk mengetahui proses perubahan daratan pantai dan penutupan lahanyang terjadi. Data pendukung yang dianalisis antara lain:

1. Data Pasang surut

Data pasang tertinggi (High High Water/HHW) per bulan dari tahun 2001-2006 serta kondisi pasang surut tanggal 22 Juni 2001, 16 Mei 2005 dan 10 Oktober 2006 diplotkan ke dalam grafik. Hal ini dilakukan untuk

mengetahui perubahan tinggi muka laut pada saat pemotretan citra satelit tahun 2001, 2005 dan 2006

2. Data arah dan kecepatan angin

Dari data arah dan kecepatan angin maksimum dan minimum tahun 2001-2006 dibuat mawar angin atau Windrose. Tahapan pembuatan diagram Windrose adalah sebagai berikut:


(57)

• Membuat tabel frekuensi kejadian angin yang berhembus dengan

kecepatan dan arah tertentu.

• Membuat presentasi jumlah angin kuat untuk setiap arah mata

angin.

• Presentasi tersebut diplot dalam diagram Windrose yang

menggambarkan arah dan kecepatan angin.

• Arah angin yang memiliki presentasi terbesar pada diagram

windrose dianggap angin dominan. 3. Data debit air sungai

Data debit air sungai tiap bulan dari sungai yang bermuara di pesisir Pantai Pangandaran, yaitu Sungai Cikidang selama satu tahun diplot dalam grafik. Dari grafik ini akan diketahui masukan debit air maksimal yang mempengaruhi transport sedimen daratan ke perairan pantai.

4 Data SRTM (The Shuttle Radar Topography Mission)

Data SRTM diolah untuk mendapatkan data kontur di wilayah penelitian. Data SRTM yang telah dicrop sesuai dengan daerah penelitian disimpan dalam format .bln yang dapat langsung dibuka pada software Surfer. Data yang telah berformat .bln kemudian dibuat gambar tiga dimensi yang memperlihatkan kontur batimetri di perairan Teluk Pangandaran.

3.4 Survey Lapangan

Pada saat survey lapangan dilakukan penentuan titik GCP (Ground Control point) di beberapa titik sebagai koreksi citra yang diambil dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Selain itu, dilakukan pengambilan sampel substrat dan kemiringan pantai sebagai data pendukung.


(58)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis data citra

Berikut adalah gambaran visual data citra dalam warna RGB 542. Warna RGB 542ini menunjukkan nilai digital setiap obyek dari tiap obyek yang terekam dalam citra.

Gambar 5. Citra Landsat 7ETM+ Path/Row 121/65 Tanggal 22 Juni 2001 (Kotak merah menunjukkan letak daerah penelitian)


(59)

Gambar 6. Citra Landsat 7ETM+ Path/Row 121/65 Tanggal 16 Mei 2005 (Kotak merah menunjukkan letak daerah penelitian)

Gambar 7. Citra Landsat 7ETM+ Path/Row 121/65 Tanggal 10 Oktober 2006 (Kotak merah menunjukkan letak daerah penelitian)


(60)

Pada ketiga citra yang ditunjukkan pada Gambar 5, 6 dan 7, walaupun tampak pada keseluruhan citra terdapat tutupan awan cukup besar namun pada wilayah penelitian yaitu pada koordinat 7°40’0.0’’ LS - 108°37’30.0’’ BT dan 7°45’0.0’’ LS - 108°41’0.0’ BT yang mencakup Desa Pangandaran, Desa Pananjung, sebagian Desa Wonoharjo dan sebagian Desa Babakan, tutupan awannya relatif sedikit yaitu < 20%.

Citra-citra tahun 2001, 2005 dan 2006 kemudian dilakukan pemulihan, pemotongan citra (cropping) serta penajaman citra untuk melihat kenampakan yang timbul pada citra agar mudah diklasifikasi. Berikut adalah kenampakan awal citra yang telah dikomposit ke dalam RGB 542 dan telah dicrop pada koordinat 7°40’0.0’’ LS - 108°37’30.0’’ BT dan 7°45’0.0’’ LS - 108°41’0.0’ BT.


(61)

Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa wilayah penelitian mencakup Pantai Barat Pangandaran, Pantai Timur Pangandaran, Cagar Alam Pangandaran, wilayah pemukiman di Desa Pangandaran, Desa Pananjung, sebagian Desa Babakan dan Desa Wonoharjo. Warna hijau memberikan informasi keberadaan vegetasi. Wilayah Perairan dalam dan dangkal ditunjukkan oleh warna biru tua dan biru muda, sedangkan pemukiman ditunjukkan oleh warna coklat kemerahan.

Wilayah Desa Pangandaran yang berada pada tanah genting didominasi oleh pemukiman (ditunjukkan oleh bulatan berwarna kuning). Oleh karena daerah Pantai Pangandaran merupakan daerah pariwisata, maka pemukiman yang dimaksud adalah berupa pemukiman penduduk, hotel, motel, pertokoan, restoran dan lain-lain. Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam Pangandaran (Cagar Alam), jika dilihat dari Gambar 8, merupakan wilayah berbentuk tear drops yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi.

Pada peta diatas diketahui citra diambil saat persawahan (ditunjukkan oleh bulatan berwarna biru) di Kecamatan Pangandaran sedang dalam poses tumbuh sehingga secara visual tidak dapat dibedakan antara lahan persawahan dengan vegetasi umum lainnya. Hal tersebut berbeda dengan kenampakan dari citra tahun 2005 pada Gambar 9 yang menunjukkan bahwa ketika pengambilan gambar oleh satelit, persawahan sedang musim pengairan atau kemungkinan terendam air. Areal persawahan ini memberi pantulan visual terhadap satelit berupa perairan dangkal atau lahan basah walaupun nilai piksel citra di wilayah tersebut tetap menunjukkan nilai yang sama dengan nilai piksel yang menunjukkan vegetasi.


(62)

Gambar 9. Peta Citra Landsattahun 2005 dengan komposit RGB 542

Pada Gambar 9 diketahui bahwa secara umum tidak terlalu banyak perubahan kenampakan secara visual. Namun pada wilayah yang diberi tanda lingkaran berwarna biru terdapat perbedaan yang mencolok bila dibandingkan dengan citra pada Gambar 8. Berdasarkan Peta Rupa Bumi Bakosurtanal tahun 1999 dan hasil pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa daerah pada lingkaran tersebut adalah wilayah pertanian atau persawahan.


(63)

Gambar 10. Peta Citra Landsat tahun 2006 dengan komposit RGB 542

Citra Landsat TM yang direkam pada tahun 2006 berkualitas kurang baik. Hal tersebut ditunjukkan ketika citra dikomposit pada RGB 542 terlihat berwarna lebih kemerahan dibandingkan citra yang direkam pada tahun 2001 dan 2005 dan terdapat stripping pada citra sehingga mengakibatkan kesulitan ketika mengolah citra tersebut. Citra-citra yang dihasilkan oleh Satelit Landsat setelah tahun 2003 memang banyak yang berkualitas kurang baik karena pada tahun tersebut terjadi badai matahari (Solar Storm) yang berdampak buruk pada hasil pencitraan satelit-satelit cuaca maupun satelit-satelit-satelit-satelit telekomunikasi pada tahun-tahun sesudahnya (www.nasa.gov diakses pada 20 Januari 2008).

Kesulitan dalam mengolah data citra Landsat tahun 2006 terutama dalam proses pengklasifikasian citra karena wilayah yang seharusnya merupakan


(64)

pemukiman terdeteksi pada citra merupakan lahan kering (ditunjukkan bulatan berwarna hijau), untuk itu dilakukan penyesuaian ulang pada software ArcView berdasarkan Peta Rupa Bumi dari Bakosurtanal tahun 1999 dan hasil Ground Check (pengecekan langsung di lapangan) pada bulan Maret 2008, terutama untuk wilayah-wilayah pemukiman, persawahan dan perkebunan agar mengurangi tingkat kesalahan pada pengolahan data citra.

Secara umum beberapa kenampakan obyek yang dapat dianalisis secara visual dari Gambar 7, 8 dan 9 adalah sebagai berikut:

ƒ Vegetasi Darat, tampilan vegetasi pada citra ditunjukkan dengan warna hijau, dimana warna hijau semakin tua maka tingkat kerapatan vegetasi di daerah tersebut semakin tinggi.

ƒ Perairan, warna perairan yang tampak pada citra bervariasi dari hitam, biru kehitaman sampai biru terang. Semakin terang warna perairan,

menunjukkan air tersebut mengandung banyak bahan padatan tersuspensi yang mengendap sehingga dapat disimpulkan perairan tersebut relatif dangkal.

ƒ Pemukiman, pemukiman pada citra tampak berwarna merah tua atau merah agak kecoklatan.

ƒ Lahan kering, areal lahan kering pada citra ditunjukkan dengan warna merah muda terang dan ungu kemerahan.


(65)

4.1.1 Perubahan Daratan Pantai 4.1.1.1 Klasifikasi darat dan laut

Klasifikasi darat dan laut dilakukan dengan memisahkan wilayah darat dengan wilayah laut secara garis besar melalui proses generalisasi. Proses generalisasi berfungsi untuk mempermudah dalam analisis proses perubahan daratan pantai pada citra saat di-overlay untuk melihat adanya akresi maupun abrasi. Hasil klasifikasi ditunjukkan dengan adanya dua warna yang berbeda yaitu hijau, yang menunjukkan warna darat, dan biru, yang menujukkan warna laut. Dua kelas besar tersebut digunakan untuk memperjelas letak dari garis pantai yang akan dilihat dalam penelitian ini. Garis pantai yang terukur merupakan batas antara kelas darat dan kelas laut.

Hasil klasifikasi darat laut dan luasannya untuk masing-masing citra tahun 2001, 2005 dan 2006 adalah seperti pada Gambar 11, 12, dan 13.


(66)

Gambar 12. Peta Klasifikasi Darat Laut Pantai Pangandaran Tahun 2005


(67)

Berdasarkan Gambar 11, 12 dan 13 , wilayah penelitian diklasifikasi menjadi 2 kelas besar yaitu darat dan laut dengan luasan sebagai berikut

Tabel 3. Luas Darat Laut Tahun 2001, 2005 dan 2006 (dalam Hektar)

Luas darat pada tahun 2001 adalah sebesar 2052,128 Ha atau sebesar 34,39% dari total luas wilayah penelitian sebesar 5968,081 Ha dengan luas laut sebesar 3915,953 Ha.

Pada tahun 2005, luas darat mengalami penambahan sebesar 20,473 Ha menjadi 2072,601 Ha dari 2052,128 Ha pada tahun 2001. Luas laut pada tahun 2005 pada wilayah penelitian adalah sebesar 3895,480 Ha. Penambahan luas darat di tahun 2005 mengindikasikan terjadinya akresi di beberapa titik pada wilayah penelitian yang diakibatkan oleh beberapa faktor seperti faktor alam atau faktor manusia yang akan dijelaskan pada subbab berikutnya.

Tahun 2006 terjadi pengurangan luas darat sebesar 3,494 Ha dari luas darat pada tahun 2005 yaitu 2072,601 Ha menjadi 2069,107 Ha di tahun 2005 dengan luas laut 3898, 974 Ha. Pengurangan luas darat kemungkinan besar akibat dari bencana alam tsunami yang terjadi kurang lebih tiga bulan sebelum citra ini diambil yaitu pada tanggal 17 Juli 2006.

Kelas 2001 2005 2006 (Pasca Tsunami)

Darat 2052,128 2072,601 2069,107 Laut 3915,953 3895,480 3898,974 Total 5968,081 5968,081 5968,081


(68)

4.1.1.2 Overlay citra untuk perubahan daratan pantai.

Untuk melihat perubahan pantai secara jelas baik akresi maupun abrasi, hasil klasifikasi darat–laut tahun 2001, 2005 dan 2006 di-overlay (tumpang tindih). Hasil overlay yang ditunjukkan oleh Gambar 15 dan 17 menunjukkan bagian pantai mana yang mengalami akresi atau abrasi. Hasil overlay juga menghasilkan empat kelas baru dengan matriks 2 x 2, yaitu Laut–Laut, yaitu hasil overlay dimana polygon laut tidak mengalami perubahan; Darat–Darat, yaitu hasil overlay dimana polygon darat tidak mengalami perubahan; Laut–Darat, yaitu hasil overlay dimana polygon laut berubah menjadi polygon darat yang

mengindikasikan terjadinya akresi; dan Darat–Laut, yaitu hasil overlay dimana polygon darat berubah menjadi polygon laut yang mengindikasikan terjadinya abrasi.

Hasil overlay yang menghasilkan empat kelas baru ditandai dengan warna yang berbeda. Polygon berwarna biru menunjukkan kelas Laut–Laut. Polygon berwarna hijau menunjukkan kelas Darat–Darat. Polygon berwarna merah menunjukkan kelas Laut–Darat. Polygon berwarna kuning menunjukkan kelas Darat–Laut.

Untuk memudahkan dalam menganalisis dan menentukan wilayah yang daratan pantainya mengalami maju atau mundur maka wilayah penelitian dibagi menjadi 13 bagian. Lebar jarak wilayah penelitian ini adalah 6,45 km sehingga jarak setiap satu sel dapat ditentukan selebar 500 meter. Pada penelitian ini ada beberapa sel yang menunjukkan dua pantai dengan substrat dan topografi yang berbeda, sehingga untuk sel–sel tersebut dipilih lokasi pantai yang paling besar perubahannya.


(69)

4.1.1.2.1 Overlay citra untuk perubahan daratan pantai tahun 2001-2005

Hasil overlay citra tahun 2001 dan 2005 menunjukkan adanya perubahan daratan pantai dalam kurun waktu empat tahun pada daerah Pantai Pangandaran di selatan Kabupaten Ciamis. Berikut adalah peta hasil overlay citra tahun 2001 dan tahun 2005.

Gambar 14. Peta Hasil Overlay Darat–Laut tahun 2001-2005

Berdasarkan Gambar 14, secara umum terlihat bahwa peristiwa akresi lebih dominan terjadi di wilayah Pantai Pangandaran bila dibandingkan dengan abrasi.

Daerah yang mengalami akresi meliputi Pantai Barat Pangandaran (Desa Penanjung sebelah selatan), Pantai Timur sebelah utara (Desa Pangandaran sebelah timur), Pantai Pasir Putih (Tg. Batu Mandi), Tg. Cimanggu, Tg.


(70)

abrasi adalah Pantai Timur sebelah selatan (Dekat Cagar Alam), sebagian kecil Pantai Barat, sebagian muara Sungai Cikidang, dan beberapa bagian dari pantai di sekitar Cagar Alam. Daerah yang mengalami perubahan luasan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perubahan Luas Darat Laut Tahun 2001-2005

Kelas Luasan (Ha) Persentase (%)

Laut – Laut 3879,575 ± 65,00

Darat – Darat 2037,597 ± 34,14

Laut – Darat 36,403 ± 0,006

Darat – Laut 14,505 ± 0,0024

Total 5968,081 100,00

Berdasarkan hasil overlay tahun 2001 dan 2005, luas laut yang tidak mengalami perubahan mencapai 65% dari total luas wilayah penelitian. Luas darat yang tidak mengalami perubahan sebesar 2037,597 Ha atau 34,14% dari total luas wilayah penelitian. Daerah yang mengalami akresi atau perubahan laut menjadi darat mencapai 36,403 Ha dan daerah yang mengalami abrasi atau perubahan darat menjadi laut sebesar 14,505 Ha.

Pembagian daerah penelitian menjadi 13 sel menunjukkan peristiwa akresi dan abrasi secara lebih spesifik. Secara umum peristiwa akresi di wilayah penelitian mengakibatkan majunya daratan pantai sedangkan peristiwa abrasi menunjukkan kemunduran daratan pantai.

Peristiwa akresi dan abrasi di Pantai Pangandaran secara keseluruhan dalam kurun waktu 4 tahun (2001-2005) mengakibatkan daratan pantai maju rata-rata


(1)

Lampiran 3. Arah dan Kecepatan Angin di Stasiun Cilacap (Sumber: BMG, 2006)

2001 2002 2003 Bulan Angin Arah (º)

Kec (Knots)

Kec

(m/s) Arah (º) Kec (Knots)

Kec

(m/s) Arah (º) Kec

(Knots) Kec (m/s)

Min 315 2 1.07991 0 6 1.07991 270 5 2.69978

Januari Max 315 16 8.63931 315 19 8.63931 315 18 9.71922

Min 0 6 3.23974 270 5 3.23974 0 2 1.07911

Februari Max 315 16 8.63931 315 19 8.63931 315 19 10.2592

Min 45 4 2.15983 0 5 2.15983 45 6 3.23974

Maret Max 315 11 5.93952 0 20 5.93952 90 18 9.71922

Min 45 3 1.61987 45 4 1.61987 0 5 2.69978

April Max 45 9 4.85961 0 15 4.85961 0 14 7.5594

Min 90 5 2.69978 0 6 2.69978 90 5 2.69978

Mei Max 45 11 5.93952 45 15 5.93952 90 15 8.69935

Min 90 5 2.69978 90 5 2.69978 180 6 3.23974

Juni Max 135 10 5.39957 45 15 5.39957 180 17 9.17927

Min 135 5 2.69978 45 4 2.69978 45 3 1.61987

Juli Max 90 11 5.93952 45 18 5.93952 0 16 8.63931

Min 90 6 3.23974 90 6 3.23974 90 3 1.61987

Agustus Max 135 12 6.47948 135 17 6.47948 135 18 19.71922

Min 90 5 2.69978 0 5 2.69978 150 2 1.07991

September Max 90 10 5.39957 45 15 5.39957 35 15 8.09935

Min 45 5 2.69978 135 4 2.69978 180 2 1.07991

Oktober Max 135 11 5.93952 0 13 5.93952 90 14 7.5594

Min 0 5 2.69978 270 3 2.69978 0 3 1.61987

November Max 315 14 7.5594 270 17 7.5594 315 13 7.01944

Min 0 5 2.69978 315 6 2.69978 315 5 2.69978


(2)

2004 2005 2006 Bulan Angin Arah (º)

Kec (Knots)

Kec

(m/s) Arah (º) Kec (Knots)

Kec

(m/s) Arah (º) Kec (Knots)

Kec (m/s)

Min 270 6 3.23974 270 4 2.15983 270 4 2.15983

Januari Max 315 14 7.5594 315 10 5.39957 315 10 5.39957

Min 45 5 2.69978 45 2 1.07991 315 5 2.69978

Februari Max 315 12 6.47948 315 13 7.01944 270 14 7.5594

Min 45 5 2.69978 0 3 1.61987 180 2 1.07991

Maret Max 180 16 8.63931 135 14 7.5594 315 16 8.63931

Min 0 5 2.69978 0 3 1.61987 45 3 1.61987

April Max 0 9 4.85961 45 15 8.09935 45 12 6.47948

Min 45 2 1.07991 90 2 1.07991 45 3 1.61987

Mei Max 45 9 4.85961 135 12 6.47948 90 10 5.39957

Min 90 3 1.61987 45 2 1.07991 180 4 2.15983

Juni Max 270 9 4.85961 180 10 5.39957 315 12 6.47948

Min 45 4 2.15983 270 2 1.07991 45 3 1.61987

Juli Max 270 10 5.39957 270 11 5.93952 45 20 10.7991

Min 180 5 2.69978 270 3 1.61987 180 2 1.07991

Agustus Max 270 10 5.39957 45 12 6.47948 180 11 5.93952

Min 45 3 1.61987 315 4 2.15983 180 2 1.07991

September Max 0 12 6.47948 315 12 6.47948 270 13 7.01944

Min 0 3 1.61987 90 5 2.69978 270 3 1.61987

Oktober Max 45 14 7.5594 0 12 6.47948 45 14 7.5594

Min 270 2 1.07991 0 3 1.61987 315 3 1.61987

November Max 315 11 5.93952 45 12 6.47948 45 12 6.47948

Min 315 2 1.07991 180 5 2.69978 0 2 1.07991


(3)

(4)

c. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami (Pemukiman di Utara Cagar Alam)

c. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami (Pemukiman yang terletak 300 m dari bibir Pantai Barat Pangandaran)


(5)

e. Usaha pemerintah dalam mitigasi bencana alam tsunami

f. Peta model tsunami selatan Jawa Barat 17 Juli 2006 (Pribadi, Sugeng et.al. 2006)


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 11 Juni 1985, anak dari pasangan Bapak Edi Amin (alm) dan Ibu Lies Kurniati. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara.

Tahun 1991-1997 penulis menempuh pendidikan dasar SD Negeri Sentral IV Bandung, kemudian melanjutkan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 22 Bandung, kemudian menyelesaikan pendidikannya di SMA BPI 2 Bandung pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Program studi Ilmu Kelautan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama kuliah di IPB, penulis pernah aktif sebagai anggota UKM Gentra Kaheman pada tahun 2003-2004, anggota Kelompok Pecinta Alam AMAZON pada tahun 2003-2007. Penulis juga pernah berperan sebagai panitia dalam Fieldtrip M.K Biologi Laut Pulau Tidung tahun 2005, Fieldtrip Ekologi Laut Tropis Pulau Pari 2005, dan Musyawarah Nasional HIMITEKINDO 2005. Penulis juga pernah ikut terlibat sebagai penari dalam acara IPB ART 2004, Pembukaan acara Dies Natalis IPB di Gymnasium 2004, Acara Kunjungan Mahasiswa Malaysia di FAPERTA 2004, Acara Temu Alumni ITK IPB 2005 dan Perpisahan Guru Besar FPIK Bpk.Widodo, Auditorium FPIK 2006.

Bogor, April 2009