Variasi Spasial dan Temporal Struktur Komunitas Makrozoobentos di Daerah Estuari Pantai Mayangan, Jawa Barat.

(1)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ekosistem Pantai Mayangan yang dicirikan oleh keberadaan daerah estuari merupakan suatu kawasan yang subur karena mendapat masukan dari daratan, masukan bahan organik dari sungai maupun dari hasil pendaur-ulangan serasah mangrove yang tumbuh di sekitar Pantai Mayangan. Perairan ini memiliki produktivitas yang tinggi dan mampu mendukung kelangsungan hidup beragam biota akuatik. Kondisi lingkungan Pantai Mayangan sangat mudah mengalami gangguan baik dari kegiatan antropogenik maupun secara alami (Salmin 2005).

Kegiatan antropogenik yang memengaruhi daerah ini antara lain kegiatan penangkapan ikan, pembukaan kawasan mangrove menjadi kawasan tambak udang, kegiatan wisata, pemanfaatan pohon mangrove sebagai kayu bakar, limbah domestik dan industri. Jika kegiatan tersebut tidak dikelola dengan baik maka dapat merubah kondisi fisika-kimia perairan sehingga pada gilirannya akan berdampak pada biota yang hidup di perairan tersebut, salah satunya adalah makrozoobentos. Makrozoobentos terpapar langsung dengan limbah yang masuk ke dalam perairan dalam jangka waktu yang relatif lama karena sifatnya yang relatif menetap pada suatu substrat dasar perairan (Odum 1994). Selain itu, makrozoobentos mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan sehingga dapat menggambarkan perubahan lingkungan secara temporal.

Penelitian mengenai makrozoobentos di daerah estuari telah banyak dilakukan di perairan Indonesia (Fitriana 2006; Junardi & Wardoyo 2008; Pong-Masak & Pirzan 2006; Noortiningsih et al. 2008; Hadiyanto 2010) maupun di luar perairan Indonesia (Albayrak et al. 2007; Zhi-fa et al. 2007; Dar et al. 2010; Siraj et al. 2010; George et al. 2010; Matteucci et al. 2011) akan tetapi studi mengenai makrozoobentos di Pantai Mayangan belum pernah dilakukan. Kajian mengenai struktur komunitas makrozoobentos penting dilakukan karena dapat memberikan gambaran umum mengenai kondisi ekologis ekosistem perairan Pantai Mayangan.


(2)

1.2. Perumusan Masalah

Kawasan estuari Pantai Mayangan ditengarai menerima beban masukan pencemar baik bahan organik maupun anorganik dari berbagai aktifitas masyarakat di sekitar pantai melalui sungai-sungai yang bermuara ke Pantai Mayangan serta dari serasah mangrove. Masuknya bahan pencemar yang melebihi ambang batas kemampuan asimilasi ke suatu perairan dapat menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan baik di badan air maupun di dasar perairan yang merupakan habitat makrozoobentos. Kondisi hidrodinamika perairan estuari akan memengaruhi distribusi beban masukan dimaksud dan selanjutnya akan memengaruhi kondisi substrat atau sedimen dasar serta ketersediaan makanan bagi komunitas makrozoobentos baik secara spasial dan temporal.

Ketersediaan makanan yang berkurang dan habitat yang menyempit akan berpengaruh terhadap regenerasi spesies makrozoobentos. Makrozoobentos yang mampu beradaptasi akan mampu bertahan (survive), sementara jenis yang tidak mampu bertahan akan menghindar ke daerah yang lebih kondusif bagi kelangsungan hidupnya atau populasinya akan menurun. Struktur komunitas makrozoobentos tidak akan stabil dan mantap berkelanjutan jika terjadi dominansi suatu spesies. Oleh sebab itu perlu dilakukan kajian untuk mengungkap kondisi ekologis Pantai Mayangan terkini melalui studi komunitas makrozoobentos baik secara spasial dan temporal. Hasil kajian ini nantinya akan bermanfaat untuk pengelolaan kawasan Pantai Mayangan secara terpadu. Untuk lebih jelasnya, kerangka pendekatan pemecahan masalah disajikan pada Gambar 1.


(3)

3

Gambar 1. Diagram alir pendekatan pemecahan masalah

Beban masukan antropogenik: Bahan organik

Hidromorfometrik

Kualitas air & sedimen dasar

Makrozoobentos

Serasah mangrove (C-organik)

Hidrodinamika

? Beban masukan

Pola sedimen dasar & perubahan morfometrik

Adaptasi segmentasi Distribusi spasial

dan temporal makrozoobentos

Stabilitas struktur komunitas makrozoobentos ?

mampu beradaptasi

-+

-+

Input Proses Outpu


(4)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini betujuan untuk:

1. Mengetahui kondisi ekologis Pantai Mayangan melalui deskripsi indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi makrozoobentos serta membandingkannya secara spasial dan temporal; 2. Mendeskripsikan kondisi fisika-kimia perairan dan sedimen sebagai

indikator kondisi perairan Pantai Mayangan;

3. Mengetahui hubungan komunitas makrozoobentos dengan karakteristik fisika-kimia air dan sedimen.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kondisi ekologis perairan estuari Pantai Mayangan yang nantinya dapat digunakan sebagai dasar untuk pengelolaan Pantai Mayangan secara terpadu berbasis ekosistem.


(5)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Makrozoobentos

Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang dari 0,1 mm). Kelompok organisme dominan yang menyusun makrofauna di dasar lunak sublitoral dibagi dalam empat kelompok taksonomi yaitu Polychaeta (spesies pembentuk tabung dan penggali), Krustasea (Ostracoda, Amfipoda, Isopoda, Tanaid, Misid yang berukuran besar dan beberapa Dekapoda yang berukuran kecil), Ekinodermata (Bintang Laut dan Ekinoid) dan Moluska (Bivalvia penggali dan beberapa Gastropoda). Pada umumnya biota tersebut hidup pada substrat dasar pasir dan lumpur (Nybakken 1992). Moluska dan krustasea mendominasi komunitas fauna bentik pada kebanyakan ekosistem mangrove (Kennish 1990).

Makrozoobentos sering digunakan untuk menduga ketidakseimbangan lingkungan perairan karena hewan bentos hidup relatif menetap di dasar endapan (substrat) perairan atau beristirahat pada dasar perairan. Berdasarkan teori tersebut maka hewan ini akan selalu terpapar dengan limbah yang masuk ke habitatnya dalam jangka waktu yang relatif lama. Hewan bentos memproduksi larva yang bersifat meroplankton yang mendukung populasi ikan dan menjaga keseimbangan lingkungan dengan membuat lubang pada dasar substrat sehingga air dan udara dapat masuk ke dalam tanah (Fitriana 2006). Suatu perairan yang sehat atau belum tercemar akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang, sebaliknya suatu perairan tercemar diindikasikan dengan penyebaran jumlah individu tidak merata dan cenderung ada spesies yang mendominasi (Odum 1994). Dijelaskan lebih lanjut oleh Tian et al. (2009) bahwa ekologi suatu lingkungan akan seimbang jika setiap kelompok terdapat banyak spesies secara merata.

Setiap taksa dari bentos mempunyai toleransi yang berbeda terhadap perubahan faktor lingkungan, ada yang toleran dan ada pula yang intoleran (sensitif). Salah satu spesies yang dikenal toleran terhadap perubahan lingkungan yaitu Capitella sp. (Machdar 2010). Hal senada dikemukakan Poclington & Wells


(6)

(1992) in Junardi & Wardoyo (2008) bahwa Capitella capitata dapat digunakan sebagai spesies indikator pencemaran perairan.

Berdasarkan pola makannya fauna bentos dibedakan menjadi tiga tipe yakni tipe suspension feeder yaitu memperoleh makannya dengan cara menyaring partikel-partikel yang melayang di perairan; tipe deposit feeder yaitu memperoleh makanan pada sedimen dasar dan mengasimilasikan bahan organik yang dapat dicerna dari sedimen; dan tipe detritus feeder yaitu memperoleh makannya dari detritus (Nybakken 1992). Makrozoobentos tipe penggali pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang merupakan daerah yang mengandung bahan organik yang tinggi seperti Echinocardium, Nepthys dan Macoma. Makrozoobentos tipe pemakan suspensi seperti Clinocardium dan Tresus melimpah pada substrat berpasir dengan bahan organik yang lebih sedikit, sedangkan makrozoobentos tipe pembentuk tabung seperti Phoronopsis dan Owenia dapat dijumpai pada substrat pasir atau lumpur (Nybakken 1992).

2.2. Struktur Komunitas

Struktur komunitas didefinisikan sebagai kumpulan populasi yang hidup pada lingkungan tertentu, saling berinteraksi dan bersama-sama membentuk tingkat trofik dengan pola metaboliknya (Odum 1994). Sebagai satu kesatuan, komunitas memiliki seperangkat karakteristik yang hanya mencerminkan keadaan dalam komunitas saja, bukan pada masing-masing organisme pendukungnya (Odum 1994). Setiap spesies dalam suatu komunitas mempunyai daya toleransi tertentu terhadap tiap-tiap faktor dan semua faktor lingkungan (Nybakken 1992).

Lima karakteristik yang dimiliki oleh suatu komunitas yaitu keanekaragaman, dominansi, bentuk dan struktur pertumbuhan, kelimpahan relatif serta struktur trofik (Krebs 1972). Semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman maka semakin banyak jenis makrozoobentos yang ditemukan pada suatu komunitas (Krebs 1989). Kepadatan biota bentik pada suatu habitat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang memengaruhi ukuran kepadatan biota bentik yaitu kegiatan antropogenik dan gangguan alami seperti gelombang dan arus laut yang dapat mengganggu substrat dasar serta erosi garis pantai; sedangkan faktor internal yang dapat mengganggu kepadatan biota bentik yaitu rekrutmen yang tidak terduga,


(7)

kompetisi antar biota bentik serta predator (Eleftheriou & Mclntyre 2005). Tinggi rendahnya keanekaragaman jenis dari suatu perairan dipengaruhi banyak faktor antara lain variasi habitat (niche), stabilitas lingkungan, kompetisi, panjangnya rantai makanan dan ukuran tubuh. Dijelaskan lebih lanjut oleh Pianka (1966) in Kastoro et al. (1999) bahwa Polychaeta melimpah di daerah pasang surut dengan dasar lumpur dan menurun kelimpahannya pada substrat dasar pasir, begitu pula krustasea dan moluska. Hal tersebut berbeda dengan kelompok Ekinodermata yang hanya ditemukan sedikit pada substrat dasar lumpur.

2.3. Tekstur Substrat

Substrat dasar merupakan salah satu faktor ekologis utama yang memengaruhi struktur komunitas makrozoobentos. Daerah estuari didominasi oleh substrat berlumpur yang berasal dari sedimen baik masukan air tawar maupun air laut serta dari pembusukan serasah yang jatuh ke dasar perairan. Penyebaran makrozoobentos dapat berkorelasi dengan tipe substrat (Nybakken 1992).

Substrat dasar atau tekstur tanah merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan organisme. Substrat di dasar perairan akan menentukan kelimpahan dan komposisi jenis dari hewan bentos (Odum 1994). Pada umumnya substrat dasar perairan merupakan kombinasi dari pasir, lumpur dan tanah liat. Persentase tekstur substrat berdasarkan segitiga Miller dapat dilihat pada Gambar 2.


(8)

Gambar 2.

Persentase tanah berdasarkan segitiga Miller (USDA 2009 in Taqwa 2010)

2.4. Komposisi C-Organik

Komposisi C-organik merupakan kandungan bahan organik yang dapat meningkatkan kesuburan bahan kimia, fisika maupun biologi tanah. Estuari merupakan daerah yang memiliki sejumlah besar bahan organik (Nybakken 1992). Kandungan utama bahan organik (detritus) berasal dari daun-daun dan ranting-ranting dari pohon mangrove yang jatuh ke dalam dasar perairan dan telah membusuk (Romimohtarto & Juwana 2001). Semakin tinggi bahan organik maka akan semakin meningkat kelimpahan biota yang menyukai bahan organik yang hidup didalamnya. Makrozoobentos tipe penggali pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang merupakan daerah yang mengandung bahan organik tinggi seperti Echinocardium, Nepthys dan Macoma.


(9)

2.5. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken 1992). Suhu memengaruhi

aktivitas metabolisme dan reproduksi organisme yang hidup di perairan (Hutabarat & Evans 1986). Nybakken (1992) menyatakan hal senada bahwa

perubahan suhu dapat menjadi isyarat bagi organisme untuk memulai atau mengakhiri aktivitas, misalnya reproduksi. Kelas Polychaeta akan melakukan adaptasi terhadap kenaikan suhu atau salinitas dengan aktivitas membuat lubang dalam lumpur dan membenamkan diri di bawah permukaan substrat (Alcantara & Weiss 1991 in Taqwa 2010). Peningkatan suhu perairan dapat meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh organisme yang hidup didalamnya, dampaknya konsumsi oksigen akan menjadi lebih tinggi. Peningkatan suhu perairan sebesar 10

o

C dapat menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat (Effendi 2003). Perkins (1974) in Efriyeldi (1999) mengemukakan bahwa kisaran suhu yang dianggap layak bagi organisme akuatik bahari adalah 25-32 oC.

Kecepatan metabolisme organisme air meningkat seiring dengan naiknya suhu yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen (Effendi 2003). Suhu air yang baik bagi kepentingan perikanan adalah suhu air normal (27 oC untuk daerah tropis) dan fluktuasi sekitar 3 oC (Hariyadi et al. 1992).

2.6. Salinitas

Salinitas pada daerah estuari berfluktuasi terkait perubahan musim, topografi estuari, pasang surut dan jumlah air tawar. Pada gilirannya fluktuasi salinitas dapat memengaruhi penyebaran makrozoobentos baik secara vertikal maupun horizontal (Nybakken 1992). Gastropoda mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah, namun Bivalvia yang bersifat menetap akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung lama (Effendi 2003). Kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan,


(10)

2.7. Kedalaman

Kedalaman akan memengaruhi pertumbuhan fauna bentos yang hidup didalamnya. Kedalaman suatu perairan akan membatasi kelarutan oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi (Nybakken 1992). Interaksi antara faktor kekeruhan perairan dengan kedalaman perairan akan memengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan, sehingga berpengaruh langsung pada kecerahan, selanjutnya akan memengaruhi kehidupan fauna makrobentos (Odum 1994).

2.8. Kecerahan

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan memengaruhi sifat optis air. Kecerahan perairan dipengaruhi langsung oleh partikel yang tersuspensi didalamnya yakni semakin sedikit partikel yang tersuspensi maka kecerahan air akan semakin tinggi. Sedimen yang tersuspensi dapat menghambat proses penyaringan bagi organisme bentos yang memiliki struktur penyaring pemakan suspensi yang halus sehingga fungsi dari alat penyaringnya menjadi terhambat. Terbentuknya dan mengendapnya partikel tersuspensi cenderung mengubur larva pemakan suspensi yang baru menetap dan dapat menimbulkan kematian pada organisme bentos tersebut (Nybakken 1992).

2.9. Derajat Keasaman (pH)

Kondisi lingkungan perairan laut memiliki pH yang bersifat relatif stabil serta berada dalam kisaran yang sempit yaitu antara 7,5-8,4 (Nybakken 1992). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5 (Effendi 2003). Organisme perairan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menoleransi pH perairan. Nilai pH <5 dan >9 menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi kebanyakan organisme makrobentos (Hynes 1978). Pennak (1978) menyatakan bahwa kisaran pH yang mendukung kehidupan moluska berkisar antara 5,7-8,4.


(11)

2.10. Oksigen Terlarut/dissolved oxygen (DO)

Kadar oksigen di perairan dipengaruhi suhu, salinitas dan turbulensi air. Kadar oksigen terlarut berkurang seiring dengan naiknya suhu, ketinggian (altitude) dan berkurangnya tekanan atmosfer (Effendi 2003). Pada perairan estuari, kelarutan oksigen akan berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas (Nybakken 1992). Kelarutan oksigen lebih tinggi di kolom perairan dibandingkan di dalam substrat karena tingginya kandungan bahan organik dalam substrat. Oksigen terlarut merupakan variabel kimia yang mempunyai peran penting sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota air (Nybakken 1992). Secara ekologis, konsentrasi oksigen terlarut akan menurun dengan adanya penambahan bahan organik, karena bahan organik tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang mengonsumsi oksigen yang tersedia dalam suatu perairan (Connel & Miller 1995).


(12)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari Mei-Oktober 2011 di Pantai Mayangan, Kecamatan Pamanukan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Pengambilan contoh penelitian dilakukan dengan interval pengambilan contoh satu kali dalam satu bulan dengan waktu pelaksanaan pengambilan contoh dari pukul 07.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Pengambilan contoh biota makrozoobentos dilakukan di delapan stasiun dengan dua kali ulangan untuk setiap stasiun (Gambar 3.).

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Analisis parameter fisika-kimia perairan dilakukan in situ di atas kapal; sedangkan untuk analisis C-organik dan tekstur substrat dianalisis di Laboratorium Rutin Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

LAUT JAWA


(13)

Bogor. Identifikasi contoh biota makrozoobentos dilakukan di Laboratorium Biologi Makro 1 dan Biologi Mikro, Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Penentuan Stasiun

Lokasi pengambilan contoh terdiri atas delapan stasiun yang mewakili keseluruhan ekosistem Pantai Mayangan, yaitu kawasan mangrove, muara sungai, perairan pantai dan perairan yang dekat dengan pemukiman penduduk. Posisi dan deskripsi stasiun penelitian yang ditentukan berdasarkan GPS (global positioning system) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Posisi dan deskripsi stasiun penelitian

Stasiun Posisi Koordinat Deskripsi Stasiun

Lintang Selatan Bujur Timur

1 6o12‘52,4“ 107o47‘09,2“ Terletak di bawah jembatan Sungai

Cigadung Satu dengan kondisi kiri dan kanan sungai adalah pemukiman penduduk.

2 6o12‘23,3“ 107o46‘52,7“ Terletak di muara Sungai Cigadung

Satu.

3 6o12‘07,7“ 107o46‘55,5“ Terletak di laut dengan arus yang

cukup tinggi, mendapatkan

pengaruh dari pantai Pondok Putri

4 6o12‘16,9“ 107o46‘30,8“ Terletak di laut dengan arus yang

cukup tinggi, mendapatkan

pengaruh dari pantai Pondok Bali.

5 6o13‘08,4“ 107o45‘27,9“ Terletak di muara Sungai Terusan.

6 6o13‘62,38“ 107o46‘53,53“ Terletak di muara Sungai Terusan

yang dikelilingi oleh ekosistem mangrove.

7 6o12‘57,2“ 107o46‘47,9“ Terletak di muara Sungai Terusan

dekat dengan bekas tambak udang dan dikelilingi oleh ekosistem mangrove.

8 6o13‘27,5“ 107o45‘07,9“ Terletak di Segara Menyan

mendapatkan pengaruh dari Sungai Terusan dan ekosistem mangrove.


(14)

3.3. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kertas pH indikator, termometer, Secchi disk, Ekman grab, Kemmerer water sampler, pipet tetes, syringe, Erlenmeyer 125 ml, botol BOD 125 ml, botol film, cawan petri, tali karet, kantong plastik klip 5 kg (20 x 15 cm), kertas label, bolpoin, spidol, botol semprot aquades, pinset, alat tulis, kamera digial, dinolite dan laptop. Bahan yang digunakan adalah MnSO4, Na-OHKI, H2SO4, Na2S2O3, rose bengale, formalin 4% dan aquades. 3.4. Metode Kerja

3.4.1. Makrozoobentos

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam pengambilan sampel makrozoobentos adalah Ekman grab, saringan dengan mesh size 0,5 mm, plastik klip berukuran 20 x 15 cm, formalin 4% dan rose bengale. Pengambilan contoh biota makrozoobentos diambil dengan menggunakan alat Ekman grab stainless steel dengan ukuran bukaan mulut katup 15 x 15 cm. Pengambilan substrat sebanyak tiga ulangan, ulangan pertama dan kedua untuk sampel makrozoobentos serta ulangan ketiga untuk sampel tekstur substrat dan sampel C-organik.

Ekman grab diturunkan ke dasar perairan dengan mulut katup yang dibiarkan terbuka. Setelah menyentuh dasar kemudian pemberat dilepaskan sehingga mulut katup Ekman grab tertutup rapat dan substrat dasar telah terperangkap di dalam rongga Ekman grab dan tidak akan terlepas lagi. Setelah substrat dasar terambil kemudian Ekman grab ditarik dengan menggunkan tali tambang ke atas perahu. Selanjutnya katup mulut Ekman grab dibuka untuk diambil substratnya, dimasukkan ke dalam plastik klip berukuran 20 x 15 cm. Sampel substrat dasar yang telah diambil diayak secara kasar dengan saringan 0,5 mm kemudian biota makrozoobentos dimasukkan ke dalam plastik klip ditambahkan larutan formalin 4% kemudian diberi label yang telah dilengkapi dengan nama stasiun dan waktu pengambilan sampel makrozoobentos.

Tahapan selanjutnya adalah sampel makrozoobentos disortir di laboratorium dengan menempatkan sampel di atas baki dengan ukuran 20 x 15 cm kemudian diberi larutan rose bengale dengan tujuan memudahkan proses penyortiran biota dari serasah. Sampel makrozoobentos yang ditemukan dimasukkan ke dalam botol film


(15)

berlabel stasiun dan waktu pengambilan sampel kemudian diawetkan dengan larutan formalin 4%. Sampel biota makrozoobentos diidentifikasi dengan bantuan buku identifikasi (Gosner 1971) dan (Kozloff & Price 1987).

3.4.2.Tekstur substrat

Sampel tanah diambil menggunakan Ekman grab lalu dimasukkan ke dalam plastik untuk selanjutnya dilakukan analisis persentase tekstur substrat ke dalam 3 fraksi (pasir, liat, debu) di Laboratorium Rutin Tanah, Departemen Manajemen Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Analisis tekstur substrat menggunakan metode pipet. Prosedur kerja analisis persentase fraksi tanah dilakukan dengan langkah pertama tanah kering udara ditimbang sebanyak 20 g dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 50 ml aquades. Ditambahkan 10 ml hidrogen peroksida kemudian didiamkan hingga bereaksi. Selanjutnya ditambahkan 10 ml hidrogen peroksida setelah tidak ada reaksi. Labu diletakkan diatas hot plate, secara perlahan suhunya dinaikkan dan hidrogen peroksida ditambahkan setiap 10 menit hingga mendidih dan tidak ada reaksi yang kuat lagi (peroksida aktif dibawah suhu 100 oC). Ditambahkan 50 ml HCl 2M dan dibersihkan dengan aquades kemudian ditambahkan 20 ml calgon 5%, dibiarkan selama satu malam. Tahapan selanjutnya dituangkan ke dalam tabung dispersi kemudian ditambahkan aquades, diaduk dengan mesin pengaduk selama 5 menit kemudian dituangkan ke dalam silinder sedimentasi 1000 ml yang diatasnya dipasang saringan dengan diameter 0,05 mm dan dibersihkan dengan bantuan botol semprot. Larutan suspensi dalam tabung sedimentasi ditambahkan dengan aquades 1000 ml.

Pasir yang telah disaring dipindahkan ke dalam kaleng timbang dengan bantuan botol semprot kemudian keringkan di atas hot plate. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang bobot pasir tersebut. dicatat hasilnya (sebagai c gram). Langkah selanjutnya ditambahkan aquades ke dalam larutan tanah yang ditampung dalam gelas ukur 1000 ml kemudian gelas ukur diletakkan dibawah alat pemipet. Larutan diaduk dengan pengaduk kayu kemudian larutan sampel dipipet sebanyak 20 ml pada kedalaman 10 cm dari permukaan air,


(16)

sampel dimasukkan ke dalam kaleng timbang. Sampel larutan tanah dikeringkan di atas hot plate, sampel yang sudang kering kemudian ditimbang (Prijono 2011).

3.4.3.Komposisi C-Organik

Sampel substrat dasar diambil menggunakan Ekman grab pada masing-masing stasiun yang telah ditentukan. Sampel substrat dimasukkan ke dalam plastik klip kemudian dilakukan analisis komposisi C-organik di Laboratorium Rutin Tanah, Departemen Manajemen Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Analisis C-organik menggunakan metode Walkey-Black. Prosedur analisis C-organik dengan cara ditimbang sebanyak 0,5 g contoh tanah yang telah dihaluskan kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml dan disediakan juga untuk penetapan blanko. Ditambahkan 10 ml larutan K2Cr2O7 1 N dan secara

perlahan-lahan kemudian ditambahkan 20 ml H2SO4 pekat. Erlenmeyer digoyang-goyangkan

selama satu menit lalu didiamkan di atas asbes selama 30 menit. Langkah selanjutnya ditambahkan pada masing-masing Erlenmeyer 200 ml aquades, 5 ml PO4 pekat (85%), 0,2 g NaF dan 30 tetes indikator difenilamine. Blanko dan contoh

dititrasi dengan larutan FeSO4 1 N hingga warna hijau kemudian ditambahkan lagi

0,5 ml larutan K2Cr2O7 1 N dan dititrasi kembali dengan larutan FeSO4 1 N sampai

dengan warna hijau timbul kembali. Langkah terakhir yaitu bobot sampel dikoreksi dengan penetapan kadar air (Mindari & Priyadarsini 2011).

3.4.4. Suhu

Data suhu diambil secara in situ pada masing-masing stasiun menggunakan bantuan alat termometer. Termometer yang telah diikatkan dengan tali rafia diturunkan ke dalam kolom perairan kemudian didiamkan kurang lebih dua menit. Termometer ditarik dari kolom perairan dan data suhu yang terbaca dicatat sebagai suhu perairan tersebut.

3.4.5. Salinitas

Alat yang digunakan untuk mengukur salinitas yaitu refraktometer. Sebelum digunakan, refraktometer dikalibrasi terlebih dahulu dengan cara ditetesi air aquades


(17)

agar nilai awal salinitas di angka nol. Sampel air diteteskan sebanyak satu sampai dua tetes pada refraktometer kemudian diarahkan ke sumber cahaya matahari dan nilai salinitas yang terbaca pada refraktometer dicatat sebagai nilai salinitas perairan tersebut.

3.4.6. Kedalaman

Alat yang digunakan untuk mengukur kedalaman yaitu tambang dengan pemberat yang telah diberi skala setiap satu meter. Setiap stasiun diukur kedalamannya dengan cara menurunkan tambang berskala yang sudah diberi alat bantu pemberat hingga dasar perairan kemudian diangkat dan dicatat data kedalaman perairan tersebut.

3.4.7. Kecerahan

Alat yang digunakan untuk mengukur kecerahan yaitu Secchi disk. Setiap stasiun diukur kecerahannya dengan menurunkan Secchi disk ke dalam perairan, data dicatat ketika Secchi disk pertama kali tidak terlihat dan ketika pertama kali terlihat dari kolom perairan. Data yang diperoleh kemudian dirata-ratakan.

3.4.8.Derajat keasaman (pH)

Alat yang digunakan untuk mengukur pH yaitu kertas pH indikator. Kertas pH indikator dicelupkan ke dalam perairan selama satu menit. Kertas pH indikator diangkat dan warna pH indikator dicocokkan dengan tabel pH indikator untuk mengetahui kisaran nilai pH perairan tersebut.

3.4.9. Oksigen terlarut/Dissolved Oxygen (DO)

Pengambilan sampel air untuk penentuan oksigen terlarut menggunakan alat Kemmerer water sampler. Jika kedalaman lebih dari tiga meter data diambil pada kedalaman ± 50 cm dari permukaan dan ± 50 cm di atas dasar substrat perairan. Namun jika kedalaman kurang dari tiga meter maka sampel air hanya diambil pada kedalaman ± 50 cm dari permukaan perairan. Langkah selanjutnya sampel air dimasukkan ke dalam botol BOD ukuran 125 ml tanpa adanya bubbling. Dimasukkan sebanyak 20 tetes MnSO4 dan NaOHKI sebanyak 20 tetes kemudian


(18)

biarkan beberapa menit sampai terbentuk endapan. Langkah selanjutnya adalah H2SO4 pekat dimasukkan sebanyak 20 tetes kemudian dikocok secara bolak-balik.

Sampel tersebut diambil sebanyak 25 ml dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 125 ml untuk dititrasi dengan Na-tiosulfat sampai warna kuning muda. Amilum dimasukkan sebanyak tiga tetes kemudian titrasi dengan Na-tiosulfat hingga warna sampel berubah dari biru menjadi bening. Dicatat banyaknya ml titran Na-tiosulfat yang digunakan dan dimasukkan ke dalam rumus perhitungan oksigen terlarut. Analisis oksigen terlarut menggunakan metode titrasi Winkler (Hariyadi et al. 1992)

3.5. Analisis Data 3.5.1. Kepadatan

Kepadatan makrozoobentos didefinisikan sebagai jumlah individu makrozoobentos per satuan luas (m2) (Brower et al. 1990). Formulasi kepadatan makrozoobentos adalah sebagai berikut :

Keterangan :

K : Kepadatan (Ind./m2)

Ni : Jumlah total individu spesies ke-i (Individu)

A : Luas bukaan alat (m2)

Untuk mengetahui perbandingan kepadatan secara spasial dan temporal dilakukan uji dengan menggunakan analisis ragam satu arah (ANOVA) dengan bantuan Microsoft Excel 2007, berikut merupakan rumus analisis ragam satu arah (Walpole 1982):

Keterangan :

Pengamatan pada perlakuan ke- , ulangan ke-

Rataan umum Perlakuan ke-


(19)

3.5.2. Indeks keanekaragaman

Indeks keanekaragaman jenis dapat dihitung menggunakan formulasi Shannon-Wiener (Odum 1994) sebagai berikut :

Keterangan :

H’ = Indeks Keanekaragaman

Pi = Proporsi spesies ke-i dari total jumlah spesies keseluruhan ( )

ni = Jumlah spesies ke-i

N = Jumlah total spesies dalam satu stasiun S = Jumlah taksa (spesies)

3.5.3. Indeks keseragaman

Indeks keseragaman dapat ditentukan dengan indeks keseragaman Shannon-Wiener (Krebs 1989) dengan formulasi sebagai berikut :

Keterangan :

E = Indeks Keseragaman

H’ = Indeks Keanekaragaman S = Jumlah taksa (spesies) Hmax = Log S

3.5.4. Indeks dominansi

Indeks dominansi dapat ditentukan dengan menggunakan formulasi indeks dominansi Simpson (Krebs 1989) sebagai berikut :

Keterangan :

C = Indeks Dominansi

Pi = Jumlah individu dalam satu spesies/jumlah spesies total yang didapatkan pada


(20)

Untuk mengetahui perbedaan secara spasial dan temporal dari indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi dilakukan uji non-parametrik menggunakan Uji Kruskal Wallis dengan bantuan xl stat dalam Microsoft Office 2007, berikut merupakan rumus uji Kruskal Wallis (Walpole 1982):

Keterangan :

Uji Kruskal-Wallis

Ukuran contoh ke- ( ) Peringkat

ke-3.5.5. Analisis gerombol (cluster analysis)

Analisis gerombol merupakan teknik peubah ganda yang mempunyai tujuan utama untuk mengelompokan objek-objek berdasarkan kemiripan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik objek-objek dalam satu gerombol memiliki tingkat kemiripan yang tinggi; sedangkan karakteristik antar objek pada suatu gerombol dengan gerombol lain memiliki tingkat kemiripan yang rendah. Analisis gerombol digunakan untuk melihat pengelompokan stasiun penelitian melalui kepadatan bentos maupun parameter lingkungan yaitu karakteristik substrat dan komposisi C-organik.

Analisis pengelompokan stasiun berdasarkan komposisi biota makrozoobentos ditentukan dengan menggunakan indeks similaritas Bray-Curtis (Brower et al. 1990). Metode yang digunakan dalam analisis gerombol adalah metode agglomerative hierarchical (penggabungan secara terstruktur) dengan bantuan xl stat dalam Microsoft excel 2007. Formulasi indeks similaritas Bray-Curtis adalah sebagai berikut (Krebs 1989) :

Keterangan :

IBC : Indeks similaritas Bray-Curtis

Xi-Yi : Nilai kepadatan


(21)

3.5.6. Canonical correspondence analysis (CCA)

Analisis korespondensi kanonikal/canonical correspondency analysis (CCA) merupakan suatu metode multivariate yang dapat menjelaskan hubungan antara biologi dari spesies dan parameter lingkungannya. Metode ini dibuat untuk mengekstraksi tiruan gradien lingkungan dari data ekologis. Gradien tersebut merupakan dasar untuk menggambarkan perbedaan habitat dari suatu taksa pada suatu diagram ordinasi dengan singkat dan jelas. Hasil utama dari CCA adalah diagram ordinasi yaitu sebuah grafik dengan sistem kordinat yang dibentuk oleh aksis ordinasi. Diagram ordinasi CCA berisikan poin dari spesies, lokasi dan pengkelasan dari kualitatif variabel lingkungan serta tanda panah untuk kuantitatif variabel lingkungan (ter Braak 1995). Canonical correspondence analysis (CCA) pada penelitian ini dikerjakan dengan bantuan program Canoco versi 4.5.


(22)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Jenis dan komposisi makrozoobentos

Jenis makrozoobentos yang ditemukan selama penelitian di Pantai Mayangan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis makrozoobentos yang ditemukan di Pantai Mayangan

Kelas Ordo Famili Genus Tipe/Pola Makan*

Polychaeta Aciculata Syllidae Autolytus sp. Carnivorous

Brania sp. Carnivorous

Eusyllis sp. Carnivorous

Dorvilleidae Ophryotrocha sp. Omnivorous

Pilargidae Sigambra sp. Carnivorous

Canalipalpata Sabellariidae Idanthyrsus sp. Suspension feeder

Magelonidae Magelona sp. Deposit feeder

Flabelligeridae Brada sp. Deposit feeder

Pherusa sp. Deposit feeder

Spionidae Polydora sp. Deposit feeder

Prionospio sp. Deposit feeder

Sabellida Sabellariidae Fabricia sp. Suspension feeder

Scolecida Arenicolidae Arenicola sp. Deposit feeder

Capitellidae Capitella sp . Deposit feeder

Notomastus sp. Deposit feeder

Cossuridae Cossura sp. Deposit feeder

Opheliidae Ophelina sp. Deposit feeder

Paraonidae Paraonis sp. Deposit feeder

Maldanidae Praxilella sp. Deposit feeder

Rhodine sp. Deposit feeder

Orbiniidae Scoloplos sp. Deposit feeder

Spionida Apistobranchidae Apistobranchus sp. Deposit feeder


(23)

Tabel 2. lanjutan

Kelas Ordo Famili Genus Tipe/Pola Makan*

Polychaeta Terebellida Cirratulidae Chaetozone sp. Deposit feeder

Dodececariasp. Deposit feeder Terebellidae Polycirrus sp. Detritus feeder Sternaspidae Sternaspis scutata Deposit feeder

Bivalvia Veneroida Tellinidae Macoma sp. Deposit feeder

Tellina sp. Deposit feeder

Cardiidae Parvicardium sp. Deposit feeder

Solenidae Solen sp. Deposit feeder

Nuculoida Nuculanidae Nuculana sp. Deposit feeder

Gastropoda Caenogastropoda Cerithiopsidae Cerithiopsis sp. Deposit feeder

Malacostraca Amphipoda Ampithoidae Ampithoe sp. Shredders

Melitidae Ceradocus sp. Shredders

Melita sp. Shredders

Eusiridae Paramoera sp. Shredders

Cumacea Nannastacidae Campylaspis sp. Gathering collector

Tanaidacea Apseudidae Apseudes sp. Detritus feeder

Paratanaidae Leptochelia sp. Detritus feeder

Insekta Diptera Chironomidae Chironomus sp. Gathering collector

Sumber : *Fauchald & Jumars (1979), Wurdig et al. (2008) dan Macdonald et al. (2010)

Makrozoobentos yang ditemukan selama penelitian terdiri atas 41 genera yang termasuk ke dalam 32 famili, 14 ordo dan lima kelas. Kelompok yang paling banyak ditemukan yaitu famili Paratanaidae dari kelas Malacostraca dengan genus Leptochelia sp.. Biota tersebut memiliki tipe makan sebagai detritus feeder dengan makanan yang bersumber pada lapisan permukaan substrat dasar perairan. Jenis makanan dari biota ini yaitu particle organic matter (POM) (Macdonalds 2010). Kelompok tipe makan selanjutnya yang banyak ditemukan yaitu deposit feeder dari kelas Polychaeta. Kelompok Polychaeta lebih bnayak ditemukan dari jenis Capitella sp. dan Prionospio sp.. Kedua biota tersebut merupakan biota yang memiliki tingkat adaptasi yang tinggi, khususnya Capitella sp. yang memiliki sifat oportunistik (Machdar 2010). Umumnya kelompok deposit feeder banyak dijumpai pada substrat pasir dan lumpur (Fauchald & Jumars 1979). Sumber makanannya berasal dari lapisan atas substrat (surface) maupun lapisan bawah substrat (sub-surface). Menu makanan dari Capitella sp. berupa bahan organik yang terakumulasi pada


(24)

sedimen, POM dan mikroalga; sementara Prionospio sp. lebih menyukai bahan organik yang terakumulasi pada sedimen, POM, mikroalga, diatom dan fitoplankton.

Secara keseluruhan makrozoobentos yang ditemukan terbagi dalam empat kelompok tipe makan yaitu kelompok detritus feeder dengan persentase sebesar 51%, deposit feeder (24%), shredders (15%) dan kelompok lainnya dengan persentase sebesar 10% (gabungan dari beberapa kelompok tipe makan suspension feeder, gathering collector, carnivorous dan omnivorous) (Gambar 4). Kelompok tersebut digabung karena memiliki persentase individu yang kecil dalam kelompoknya. Makrozoobentos yang dominan adalah kelompok detritus feeder dengan persentase sebesar 51%. Persentase tipe makan dari makrozoobentos yang ditemukan selama penelitian disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Komposisi makrozoobentos selama penelitian berdasarkan kelompok tipe makan (functional feeding group).

Komposisi kelas makrozoobentos yang ditemukan selama pengambilan sampel termasuk kedalam empat sampai lima kelas, yaitu Malacostraca, Polychaeta, Bivalvia, Gastropoda dan Insecta. Informasi mengenai komposisi kelas makrozoobentos disajikan pada Gambar 5.

Secara spasial pada Mei 2011, komposisi makrozoobentos didominasi kelompok Malacostraca yaitu di Stasiun I (78%), II (76%), VI (96%) dan VII (93%) dengan jenis yang paling banyak ditemukan adalah Leptochelia sp., Melita sp. dan Ampithoe sp.; sedangkan kelompok Polychaeta memiliki persentase tertinggi di Stasiun III (58%), IV (78%), V (60%) dan VIII (85%) dengan jenis yang paling

24%

51% 15%

10%

Deposit feeder Detritus feeder Shredders Lainnya


(25)

banyak ditemukan di stasiun tersebut adalah Prionospio sp., Capitella sp., dan Magelona sp.. Kelompok Bivalvia ditemukan pada Stasiun III (32%), Stasiun IV (19%), Stasiun VI (8%) dan Stasiun VIII (3%); sedangkan larva Insecta ditemukan pada stasiun IV, VII dan VIII dengan persentase masing-masing sebesar 4%, 3% dan 12%.

Pada Juni 2011, komposisi makrozoobentos yang ditemukan didominasi oleh kelompok Malacostraca dari jenis Leptochelia sp. dengan persentase 50% (Stasiun I), 93% (Stasiun VII); kelompok Polychaeta dari jenis Prionospio sp., Capitella sp. dan Magelona sp. Lebih banyak di Stasiun II, III, IV, V, VI dan VIII dengan persentase masing-masing sebesar 58%, 100%, 79%, 97%, 64% dan 93%. Kelompok Bivalvia ditemukan pada Stasiun I (15%), Stasiun IV (15%), Stasiun VIII (7%) dan 2% pada Stasiun VII dengan jenis yang ditemukan adalah Parvicardium sp. dan Tellina sp.; sedangkan larva Insecta hanya ditemukan pada Stasiun VI sebanyak 9% yaitu Chironomus sp..

Komposisi makrozoobentos yang ditemukan di Juli 2011 didominasi oleh kelompok Malacostraca dari jenis Leptochelia sp. dan Ampithoe sp. pada Stasiun I, VI dan VII dengan persentase masing-masing sebesar 77%, 92% dan 96%; sedangkan kelompok Polychaeta dari jenis Capitella sp. dan Prionospio sp. lebih banyak ditemukan di Stasiun II (75%), Stasiun III (100%), Stasiun IV (56%), Stasiun V (47%) dan Stasiun VIII (91%). Sementara kelompok Bivalvia (Parvicardium sp.) dan larva Insecta (Chironomus sp.) memiliki persentase yang tinggi di Stasiun IV sebesar 11% untuk Bivalvia dan 22% untuk larva Insecta.


(26)

Keterangan : Gastropoda hanya ditemukan pada Oktober di Stasiun VII Gambar 5. Komposisi makrozoobentos Mei-Oktober 2011

0 20 40 60 80 100

I II III IV V VI VII VIII

Ko m p o si si k e la s m a k r o z o o b e n to s (% ) Stasiun Mei 0 20 40 60 80 100

I II III IV V VI VII VIII

Ko m p o si si k e la s m a k r o z o o b e n to s (% ) Stasiun Juni 0 20 40 60 80 100

I II III IV V VI VII VIII

Ko m p o si si k e la s m a k r o z o o b e n to s (% ) Stasiun Juli 0 20 40 60 80 100

I II III IV V VI VII VIII

Ko m p o si si k e la s m a k r o z o o b e n to s (% ) Stasiun Agustus 0 20 40 60 80 100

I II III IV V VI VII VIII

Ko m p o si si k e la s m a k r o z o o b e n to s (% ) Stasiun September 0 20 40 60 80 100

I II III IV V VI VII VIII

Ko m po si si k e la s m a k r o z o o be nto s (% ) Stasiun Oktober 0


(27)

Kelompok Malacostraca dan Polychaeta memiliki persentase tertinggi di beberapa stasiun pada Agustus 2011. Kelompok Malacostraca dari jenis Leptochelia sp. dan Apseudes sp. ditemukan melimpah di Stasiun I, VI dan VII dengan persentase masing-masing 56%, 95% dan 98%; sementara kelompok Polychaeta dari jenis Capitella sp., Notomastus sp. dan Magelona sp. memiliki persentase tertinggi di Stasiun II, III, IV, V dan VIII dengan persentase masing-masing sebesar 91%, 64%, 46%, 54% dan 66%. Jenis Parvicardium sp. dari kelompok Bivalvia lebih banyak ditemukan pada Stasiun IV sebesar 31%; sedangkan larva Insecta yaitu Chironomus sp. banyak ditemukan pada Stasiun III sebesar 27%.

Pada September 2011, kelompok Polychaeta dari jenis Capitella sp. dan Magelona sp. memiliki persentase yang cukup tinggi di Stasiun II (95%), Stasiun III (64%) dan Stasiun VIII (76%). Kelompok Malacostraca dari jenis Leptochelia sp., Melita sp. dan Apseudes sp. memiliki persentase yang tinggi di Stasiun I (45%), Stasiun VI (99%) dan Stasiun VII (85%). Jenis Parvicardium sp. dari kelompok Bivalvia lebih banyak ditemukan pada Stasiun IV sebesar 56%; sedangkan larva Insecta yaitu Chironomus sp. banyak ditemukan pada Stasiun III sebesar 36%.

Pada Oktober 2011, Polychaeta dari jenis Capitella sp., Sigambra sp. dan Prionospio sp. memiliki persentase yang tinggi di Stasiun I (52%), II (93%), III (64%), IV (92%), V (47%) dan VIII (91%); sementara kelompok Malacostraca dari jenis Leptochelia sp., Melita sp. dan Ampithoe sp. memiliki persentase yang tinggi pada Stasiun VI (89%) dan VII (84%). Jenis Parvicardium sp. dari kelompok Bivalvia lebih banyak ditemukan pada Stasiun III sebesar 21%; sedangkan Larva insecta dan Gastropoda yang ditemukan umumnya memiliki persentase yang kecil di setiap waktu dan stasiun pengamatan selama penelitian.

4.1.2. Kepadatan jenis dan struktur komunitas makrozoobentos secara spasial dan temporal

Kepadatan jenis dan struktur komunitas makrozoobentos secara spasial dan temporal di Pantai Mayangan disajikan pada Lampiran 15; sedangkan struktur komunitas makrozoobentos yaitu indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (C) secara spasial dan temporal disajikan pada Lampiran


(28)

16. Kepadatan jenis tertinggi serta nilai H’, E dan C pada masing-masing bulan penelitian disajikan pada Gambar 6.

Leptochelia sp. memiliki kepadatan tertinggi pada Mei 2011 di Stasiun I (1356 Ind./m2), Stasiun II (578 Ind./m2) dan Stasiun VII (2622 Ind./m2); sedangkan Capitella sp. melimpah di Stasiun V (178 Ind./m2) dan Stasiun VIII (173 Ind./m2). Jenis Magelona sp. dan Capitella sp. melimpah di Stasiun IV (masing-masing dengan kepadatan 200 Ind./m2). Prionospio sp. dan Melita sp. secara berurutan melimpah di Stasiun III (200 Ind./m2) dan Stasiun VI (2622 Ind./m2). Indeks

keanekaragaman (H’) tertinggi di Stasiun IV (0,81) dan terendah di Stasiun VII

(0,38); indeks keseragaman (E) tertinggi di Stasiun III dan V (0,95) dan terendah Stasiun VII (0,56); indeks dominansi (C) tertinggi di Stasiun VII (0,57) dan terendah di Stasiun IV (0,18).

Leptochelia sp. memiliki kepadatan tertinggi pada Juni 2011 di Stasiun I (200 Ind./m2), Stasiun II (244 Ind./m2) dan Stasiun VII (2733 Ind./m2); Capitella sp. memiliki kepadatan tertinggi di Stasiun III (111 Ind./m2), Stasiun IV (178 Ind./m2) dan Stasiun VIII (111 Ind./m2). Prionospio sp. memiliki kepadatan tertinggi di Stasiun II (masing-masing dengan kepadatan 244 Ind./m2); sedangkan Prionospio sp. melimpah di Stasiun V (378 Ind./m2) dan Arenicola sp. di Stasiun VI (67 Ind./m2). Indeks keanekaragaman (H’) tertinggi di Stasiun IV (0,83) dan terendah di Stasiun II (0,40); indeks keseragaman (E) tertinggi di Stasiun III (0,98) dan terendah di Stasiun VII (0,52); indeks dominansi (C) tertinggi di Stasiun VII (0,61) dan terendah di Stasiun IV (0,17).

Leptochelia sp. memiliki kepadatan tertinggi pada Juli 2011 di Stasiun I (1156 Ind./m2), Stasiun V (178 Ind./m2), Stasiun VI (1200 Ind./m2) dan Stasiun VII (5267 Ind./m2); sedangkan Capitella sp. memiliki kepadatan tertinggi di Stasiun II (156 Ind./m2) dan Stasiun III (67 Ind./m2). Chironomus sp. dan Arenicola sp. melimpah di Stasiun IV (44 Ind./m2); sedangkan Magelona sp. melimpah di Stasiun VIII (133 Ind./m2). Indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat di Stasiun VIII (0,91) dan terendah di Stasiun III (0,38); indeks keseragaman (E) tertinggi di Stasiun III (0,96) dan terendah di Stasiun VII (0,44); indeks dominansi (C) tertinggi di stasiun VI (0,56) dan terendah di Stasiun VIII (0,15).


(29)

Leptochelia sp. memiliki kepadatan tertinggi Pada Agustus 2011 di Stasiun I (200 Ind./m2), Stasiun VI (711 Ind./m2) dan Stasiun VII (4889 Ind./m2); sedangkan Capitella sp. memiliki kepadatan tertinggi di Stasiun II (156 Ind./m2) dan Stasiun III (89 Ind./m2). Parvicardium sp. melimpah di Stasiun IV (89 Ind./m2) dan Cossura sp. melimpah di Stasiun V (178 Ind./m2); sedangkan Sternaspis sp. melimpah di Stasiun VIII (200 Ind./m2). Indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun VIII (0,87) dan terendah di Stasiun III (0,46); indeks keseragaman (E) tertinggi di Stasiun III (0,92) dan terendah di Stasiun VII (0,55); indeks dominansi (C) tertinggi di Stasiun VII (0,45) dan terendah di Stasiun VIII (0,16).

Leptochelia sp. memiliki kepadatan tertinggi Pada September 2011 di Stasiun I (156 Ind./m2), Stasiun VI (3800 Ind./m2) dan Stasiun VII (511 Ind./m2); Magelona sp. memiliki kepadatan tertinggi di Stasiun II (111 Ind./m2); Capitella sp. memiliki kepadatan tertinggi di Stasiun III (89 Ind./m2); sedangkan Parvicardium sp. melimpah di Stasiun IV (200 Ind./m2), Cossura sp. di Stasiun V (111 Ind./m2) dan Sternaspis sp. di Stasiun (156 Ind./m2). Indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada Stasiun VIII (0,92) dan terendah pada Stasiun VI (0,32); indeks keseragaman (E) tertinggi pada Stasiun VIII (0,95) dan terendah pada Stasiun VI (0,39); indeks dominansi (C) tertinggi pada Stasiun VI (0,68) dan terendah pada Stasiun VIII (0,14).

Leptochelia sp. memiliki kepadatan tertinggi Pada Oktober 2011 di Stasiun I (111 Ind./m2), Stasiun V (133 Ind./m2), Stasiun VI (1200 Ind./m2) dan Stasiun VII (2156 Ind./m2); Cossura sp. memiliki kepadatan tertinggi di Stasiun II (222 Ind./m2); Capitella sp. memiliki kepadatan tertinggi di Stasiun III (89 Ind./m2); sedangkan Scoloplos sp. dan Sternaspis sp. memiliki kepadatan tertinggi di Stasiun IV (156 Ind./m2). Prionospio sp. memiliki kepadatan tertinggi di Stasiun VIII (289 Ind./m2). Indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada Stasiun I (0,74) dan terendah pada Stasiun V (0,55); indeks keseragaman (E) tertinggi pada Stasiun I (0,95) dan terendah pada Stasiun VI (0,64); indeks dominansi (C) tertinggi pada Stasiun VII (0,37) dan terendah pada Stasiun I (0,20). Kepadatan jenis makrozoobentos tertinggi


(30)

Gambar 6. Kepadatan jenis tertinggi serta nilai H’, E dan C Mei-Oktober 2011 di Pantai Mayangan 0 500 1000 1500 2000 2500 3000

I II III IV V VI VII VIII

In d ./ m 2 Stasiun

Kepadatan jenis Mei 2011

Capitella sp . Leptochelia sp. Magelona sp. Melita sp. Prionospio sp. 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00

I II III IV V VI VII VIII

N il a i In d e k s Stasiun H', E, C Mei 2011

H' E C 0 500 1000 1500 2000 2500 3000

I II III IV V VI VII VIII

In d ./ m 2 Stasiun

Kepadatan Jenis Juni 2011

Arenicola sp. Capitella sp . Leptochelia sp. Prionospio sp. 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00

I II III IV V VI VII VIII

N Il a i In d e k s Stasiun H', E, C Juni 2011

H' E C 0 1000 2000 3000 4000 5000

I II III IV V VI VII VIII

In d ./ m 2 Stasiun

Kepadatan Jenis Juli 2011

Arenicola sp. Capitella sp . Chironomus sp. Leptochelia sp. Magelona sp. 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00

I II III IV V VI VII VIII

N il a i In d e k s Stasiun H', E, C Juli 2011

H' E C


(31)

Gambar 6. Kepadatan jenis tertinggi serta nilai H’, E dan C Mei-Oktober 2011 di Pantai Mayangan (lanjutan)

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000

I II III IV V VI VII VIII

In d ./ m 2 Stasiun

Kepadatan Jenis Agustus 2011

Capitella sp . Cossura sp. Leptochelia sp. Parvicardium sp. Sternaspis sp. 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00

I II III IV V VI VII VIII

N Il a i In d e k s Stasiun H', E, C Agustus 2011

H' E C 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000

I II III IV V VI VII VIII

Ind.

/m

2

Stasiun

Kepadatan Jenis September 2011

Capitella sp . Cossura sp. Leptochelia sp. Magelona sp. Parvicardium sp. Sternaspis sp. 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00

I II III IV V VI VII VIII

N il a i In d e k s Stasiun

H', E, C September 2011

H' E C 0 500 1000 1500 2000

I II III IV V VI VII VIII

In d ./ m 2 Stasiun

Kepadatan Jenis Oktober 2011

Capitella sp . Cossura sp. Leptochelia sp. Prionospio sp. Scoloplos sp. Sternaspis sp. 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00

I II III IV V VI VII VIII

N il a i In d e k s Stasiun H', E, C Oktober 2011

H' E C


(32)

Selama enam bulan penelitian dari Mei-Oktober 2011 jenis Leptochelia sp. dari kelas Malacostraca selalu memiliki nilai kepadatan tertinggi dibandingkan dengan jenis makrozoobentos lainnya akan tetapi kepadatannya cenderung berfluktuasi (tidak selalu sama setiap bulannya); sedangkan Capitella sp. merupakan jenis makrozoobentos yang yang hampir selalu ditemukan di beberapa stasiun setiap bulan penelitian dengan kepadatan yang relatif rendah dan tidak jauh berbeda setiap bulannya.

Indeks keanekaragaman (H’) yang diperoleh selama enam bulan penelitian berkisar antara 0,32-0,92, indeks keseragaman (E) antara 0,40-0,98 dan indeks dominansi (C) antara 0,14-0,61. Semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman maka semakin banyak jenis makrozoobentos yang ditemukan pada suatu komunitas (Krebs 1989). Nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh di Pantai Mayangan sangat kecil (<1), hal ini mengindikasikan bahwa jenis makrozoobentos yang hidup di Pantai Mayangan mengalami tekanan ekologis yang berasal dari masukan bahan organik. Jika nilai indeks keseragaman yang tinggi (mendekati 1) maka disimpulkan bahwa komposisi makrozoobentos yang hidup di Pantai Mayangan relatif seragam. Didukung oleh pernyataan Krebs (1989) bahwa jika nilai indeks keseragaman mendekati satu maka suatu komunitas dalam keadaan relatif mantap dan tidak mengalami ketidakstasbilan pada faktor-faktor lingkungan; sedangkan nilai indeks dominansi rendah (<1) maka diduga tidak terdapat jenis makrozoobentos yang mendominasi di Pantai Mayangan.

Berdasarkan hasil uji kepadatan makrozoobentos dengan analisis ragam satu arah (ANOVA single factor) didapatkan informasi bahwa secara spasial pada delapan stasiun selama penelitian di Pantai Mayangan hanya pada Mei terdapat perbedaan kepadatan makrozoobentos (p<0,05). Jika ditinjau secara temporal dari Mei hingga Oktober, Stasiun II dan Stasiun V yang memiliki perbedaan kepadatan (p<0,05).

Berdasarkan hasil uji non-parametrik dengan menggunakan Uji Kruskal-Wallis didapatkan informasi bahwa secara spasial di Pantai Mayangan terdapat perbedaan indeks keanekaragaman antar delapan stasiun pada Mei, Juni, Juli dan Oktober; perbedaan indeks keseragaman terdapat pada Mei, Juli dan Oktober; perbedaan indeks dominansi terdapat pada Juli dan September (p<0,05). Ditinjau


(33)

secara temporal dari Mei hingga Oktober terdapat perbedaan indeks keanekaragaman pada Stasiun II, Stasiun VII dan Stasiun VIII; perbedaan indeks keseragaman pada Stasiun VI; perbedaan indeks dominansi pada Stasiun VIII (p<0,05).

4.1.4. Distribusi spasial makrozoobentos

Distribusi spasial makrozoobentos disajikan dalam bentuk dendrogram pengelompokan stasiun. Dendrogram pengelompokan stasiun tersebut berdasarkan kesamaan karakteristik biota makrozoobentos yang hidup pada setiap lokasi penelitian. Dendrogram pengelompokan stasiun disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Pengelompokan stasiun berdasarkan distribusi jenis makrozoobentos di Pantai Mayangan dari Mei-Oktober 2011

Pengelompokan stasiun berdasarkan karateristik biota yang tersebar pada masing-masing stasiun penelitian terbentuk ke dalam tiga grup. Grup A yang terbentuk dari tiga stasiun yang terletak di Sungai Cigadung Satu (Stasiun I) dan Sungai Terusan (Stasiun VI dan Stasiun VII) yang berada di kawasan ekosistem mangrove. Jenis makrozoobentos yang ditemukan pada grup ini lebih didominasi oleh kelompok Malacostraca (Ampithoe sp., Apseudes sp., Ceradocus sp., Leptochelia sp., Melita sp.) Bivalvia (Tellina sp. dan Solen sp.) dan Polychaeta

0,46 0,56 0,66 0,76 0,86 0,96

Sim

ila

rit

a

s

(%)

Grup A Grup B Grup C


(34)

(Capitella sp., Prionospio sp.). Grup B terbentuk dari stasiun yang terletakdi muara sungai yaitu Stasiun II dan Stasiun V. Grup ini mendapatkan pengaruh dari aliran sungai dan ekosisem mangrove. Kelompok yang memiliki kesamaan pada grup ini adalah Polychaeta (Capitella sp., Cossura sp., Ophelina sp., Prionospio sp. dan Rhodine sp.), Malacostraca (Leptochelia sp.) dan larva Insecta diantaranya (Chironomus sp.); sedangkan Grup C terbentuk dari Stasiun III, Stasiun IV dan Stasiun VIII. Ketiga stasiun tersebut memiliki karakteristik substrat pasir yang tinggi serta mendapatkan pengaruh dari laut sehingga memiliki kisaran salinitas yang cukup tinggi dibandingkan dengan stasiun penelitian lainnya. Jenis makrozoobentos yang hidup pada kelompok ini yaitu dari dari kelompok Polychaeta (Capitella sp., Magelona sp., Prionospio sp., Rhodine sp. dan Sigambra sp.), Malacostraca (Melita sp.) dan larva Insecta (Chironomus sp.). Distribusi jenis makrozoobentos yang paling luas yaitu Capitella sp. dan Prionospio sp. yang ditemukan pada semua grup.

4.1.4. Karakteristik fisika-kimia dan substrat dasar perairan

Karakteristik fisika kimia perairan pada suatu habitat dapat memengaruhi kehidupan biota baik secara langsung maupun tidak langsung. Kisaran nilai parameter fisika-kimia perairan selama penelitian disajikan pada Lampiran 8.

4.1.4.1. Kedalaman

Kedalaman perairan di seluruh stasiun selama penelitian berkisar antara 0,5-5,5 m. Nilai kedalaman tersebut masih termasuk kedalam perairan dangkal. Selama penelitian kisaran kedalaman di Stasiun I (2,0-2,5 m), Stasiun II (0,5-1,3 m), Stasiun III (3,0-4,0 m), Stasiun IV (4,5-5,0 m), Stasiun V (1,5-2,0 m), Stasiun VI (1,25-1,65 m), Stasiun VII (0,5-1,2 m) dan Stasiun VIII (0,55-1,50m). Kedalaman terendah selama penelitian yaitu pada Stasiun VII dengan kisaran nilai kedalaman antara 0,5-1,2 m; sedangkan kedalaman tertinggi selama penelitian yaitu pada Stasiun IV dengan kisaran antara 4-5,5 m. Kedalaman suatu perairan dapat mengalami perubahan karena mendapatkan pengaruh dari gelombang dan arus laut yang mengganggu substrat dasar perairan.


(35)

4.1.4.2. Suhu

Suhu perairan di semua stasiun selama penelitian berkisar antara 27-35 oC. Selama penelitian kisaran suhu di Stasiun I dan Stasiun II berkisar antara 28-31 oC, Stasiun III dan Stasiun IV antara 38-31,5 oC, Stasiun V dan Stasiun VI antara 29-32,5

o

C, Stasiun VII berkisar 29-35 oC dan Stasiun VIII antara 29-32 oC. Kisaran suhu tertinggi pada Stasiun VI dan VII; sedangkan kisaran suhu terendah pada Stasiun I dan Stasiun II. Tinggi-rendahnya suhu suatu perairan dapat dipengaruhi oleh waktu pengambilan contoh dan tingginya intensitas cahaya matahari yang masuk kedalam perairan.

4.1.4.3. Kecerahan

Kecerahan perairan di semua stasiun selama penelitian berkisar antara 0,20-1,21 m. Kisaran nilai kecerahan pada Stasiun I antara 0,22-0,80 m, Stasiun II antara

0,35-0,70 m, Stasiun III antara 0,50-1,04 m, Stasiun IV antara 0,60-1,21 m, Stasiun V antara 0,30-0,70 m, Stasiun VI antara 0,20-0,50 m, Stasiun VII antara 0,20-0,35 m dan Stasiun VIII antara 0,30-0,70 m. Kisaran nilai kecerahan tertinggi pada Stasiun IV; sedangkan kisaran nilai kecerahan terendah pada Stasiun VII.

4.1.4.4. Salinitas

Salinitas perairan di semua stasiun selama penelitian berkisar antara 22‰–39 ‰. Kisaran salinitas pada Stasiun I, Stasiun II dan Stasiun III antara 32‰-35 ‰, Stasiun IV antara 32‰-35,5 ‰, Stasiun V antara 25‰-35,5 ‰, Stasiun VI antara 26‰-39

‰, Stasiun VII antara 26,5‰-35 ‰ dan Stasiun VIII antara 22‰-32 ‰. Nilai salinitas tertinggi di Stasiun VI pada Oktober 2011, sedangkan salinitas terendah pada Stasiun VIII. Di daerah estuari nilai salinitas sangat berflukuasi bergantung pada musim, topografi estuari, pasang surut dan jumlah air tawar yang tercampur dengan air laut. Hal tersebut dapat memengaruhi penyebaran hidup bentos baik secara vertikal maupun horizontal (Nybakken 1992).

4.1.4.5. Derajat keasaman (pH)

Kisaran pH perairan di seluruh stasiun selama penelitian berkisar antara 6-8,5. Kisaran pH pada Stasiun I, Stasiun V, Stasiun VI dan Stasiun VII antara 6,0-7,5,


(36)

Stasiun II antara 7,5-8,0, Stasiun III dan Stasiun IV antara 6,5-8,5 dan Stasiun VIII antara 6,0-8,0. Kisaran pH tertinggi berada pada Stasiun III dan Stasiun IV; sedangkan kisaan pH terendah berada pada Stasiun I dan Stasiun V sampai Stasiun VIII.

4.1.4.6. Oksigen terlarut/dissolved oxygen (DO)

Oksigen terlarut perairan di semua stasiun selama penelitian berkisar antara 1,60-7,6 mg/l. Kisaran nilai oksigen terlarut di Stasiun I antara 1,6-6,8 mg/l, Stasiun II antara 4,0-6,8 mg/l, Stasiun III antara 4,4-7,6 mg/l, Stasiun IV antara 4,2-6,8 mg/l, Stasiun V antara 5,2 mg/l, Stasiun VI antara 2,4-4,6 mg/l, Stasiun VII antara 2,8-5,6 mg/l dan Stasiun VIII antara 2,4-2,8-5,6 mg/l. Nilai oksigen terlarut tertinggi berada ada Stasiun III, sedangkan nilai oksigen terlarut terendah berada pada Stasiun I di Mei 2011.

4.1.4.7. Persentase C-organik

Pengukuran persentase C-organik dilakukan pada awal dan akhir penelitian yaitu pada Mei 2011 dan Oktober 2011. Persentase C-organik di Stasiun I berkisar antara 1,68-2,00, Stasiun II antara 0,24-2,71, Stasiun III antara 0,32-0,48, Stasiun IV antara 0,24-0,40, Stasiun V antara 2,23-4,15, Stasiun VI antara 3,43- 6,54, Stasiun VII antara 4,55-5,19 dan Stasiun VIII antara 2,15-3,59.

4.1.4.8. Tekstur substrat

Karakteristik substrat dasar perairan merupakan faktor penting bagi penyebaran komposisi makrozoobentos. Gambar 12 di bawah ini menyajikan persentase tekstur substrat dasar perairan seluruh stasiun pada Mei dan Oktober 2011.


(37)

(a)

(b)

Gambar 8. Persentase tekstur substrat di Pantai Mayangan (a) Mei 2011 dan (b) Oktober 2011

Persentase tekstur substrat di Mei dari delapan stasiun penelitian mayoritas bertekstur pasir yaitu pada Stasiun I (48.03%), Stasiun II (86.15%), Stasiun III (78.41%), Stasiun IV (71.99%) dan stasiun VI (41.41%); sedangkan ketiga stasiun lainnya memiliki persentase tekstur substrat liat yang tinggi dengan persentase masing-masing di Stasiun V (36,6%), Stasiun VII (74,01%) dan Stasiun VIII (62,65%).

Di Oktober dasar perairan dengan tekstur substrat pasir hanya ditemukan di tiga stasiun yaitu Stasiun I (49,33%), Stasiun III (87,73%) dan Stasiun IV (76,09%); sedangkan keempat stasiun lainnya didominasi oleh tekstur substrat liat dengan persentase masing-masing di Stasiun II (64,21%),Stasiun VI (46,95%), Stasiun VII

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

I II III IV V VI VII VIII

P er sent a se tek st ur Su bs tra t (%) Stasiun % Pasir % Debu % Liat 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

I II III IV V VI VII VIII

P er sent a se tek st ur Su bs tra t (%) Stasiun % Pasir % Debu % Liat


(38)

(71,15%) dan Stasiun VIII (5248%), lain halnya dengan Stasiun V yang memiliki persentase tekstur substrat debu yang tinggi dengan persentase sebesar 41.14%. Persentase tekstur substrat dipetakan pada segitiga tekstur substrat (segitiga Miller) pada Lampiran 22.

4.1.5. Pengaruh variabel lingkungan terhadap makrozoobentos

Variabel lingkungan seperti suhu, salinitas, kedalaman, kecerahan, DO dan pH dapat memengaruhi disribusi dari makrozoobentos. Pengaruh variabel lingkungan pada masing-masing bulan penelitian dari Mei-Oktober 2011 disajikan pada Gambar 9. Dan Gambar 10. Grafik ordinasi triplot CCA menunjukkan pengaruh variabel lingkungan yang berbeda-beda terhadap masing-masing genus di setiap bulan penelitian.

Hasil analisis dari canonical correspondence analysis (CCA) di Mei 2011 menunjukan 56,42% dari total inertia dalam kelimpahan dan 56,42% dari variansi dalam rata-rata proporsi dan total dari spesies dalam hubungannya dengan variabel lingkungan. Berdasarkan hasil analisis CCA tersebut didapatkan informasi bahwa distribusi dari genus seperti Rhodine sp., Pherusa sp., Arenicola sp., Sigambra sp., Chironomus sp., Magelona sp., Ophelina sp., Tellina sp., Brania sp. dan Dodececaria sp., dipengaruhi oleh kedalaman, dan pH. Jenis makrozoobentos tersebut banyak ditemukan pada Stasiun yang terletak di laut. Distribusi dari Capitella sp., Cossura sp. dan Sternaspis sp. dipengaruhi oleh persentase liat dan debu dengan lokasi stasiun yang terletak di muara sungai. Distribusi dari genus seperti Melita sp., Ampithoe sp., Leptochelia sp. dan Polydora sp. dipengaruhi oleh persentase C-organik, debu dan liat . Jenis makrozoobentos tersebut melimpah di stasiun yang terletak dekat dengan kawasan ekosistem mangrove yang memiliki persentase C-organik dan liat yang tinggi. Apseudes sp., Ceradocus sp. dan Amphicteis sp. dipengaruhi oleh salinitas; sedangkan distribusi genus dari Prionospio sp. dan Parvicardium sp. dipengaruhi persentase pasir, kedua biota tersebut ditemukan melimpah pada stasiun III dan IV dengan karakteristik substrat dasar pasir.


(39)

Gambar 9. Ordinasi triplot hubungan antara spesies makrozoobentos dengan parameter fisika-kimia perairan di Pantai Mayangan pada Mei 2011 Hasil analisis dari Canonical Correspondence Analysis (CCA) di Oktober 2011 menunjukan 56% dari total inertia pada kelimpahan dan 56% dari variansi dalam rata-rata proporsi dan total dari spesies dalam hubungannya dengan variabel lingkungan. Berdasarkan hasil analisis CCA tersebut didapatkan informasi bahwa distribusi dari genus seperti Cossura sp., Prionospio sp., Sigambra sp. dipengaruhi oleh suhu, DO dan pH. Jenis ini banyak ditemukan di lokasi stasiun yang terletak di muara sungai. Distribusi dari genus seperti Capitella sp., Sternaspis sp., Arenicola sp., Parvicardium sp., Scoloplos sp. dan Chironomus sp. dipengaruhi oleh kecerahan, persentase pasir dan kedalaman. Jenis makrozoobentos tersebut banyak ditemukan di stasiun yang terletak di laut yang mendapatkan pengaruh dari pantai Pondok Putri dan Pondok Bali serta ditemukan juga di muara sungai. Distribusi dari genus seperti Tellina sp., Solen sp. dan Brania sp. dipengaruhi oleh persentase liat dan debu, ketiga jenis tersebut ditemukan pada stasiun yang memiliki persentase liat


(40)

yang tinggi; sedangkan distribusi dari genus seperti Leptochelia sp., Cerithiopsis sp., Ceradocus sp., Apseudes sp., Ophelina sp., Rhodine sp., Magelona sp., Ampithoe sp. dan Amphicteis sp. dipengaruhi oleh persentase C-organik dengan lokasi stasiun yang banyak ditemukan jenis tersebut terletak di dekat kawasan ekosistem mangrove yang memiliki persentase C-organik tinggi karena mendapatkan masukan berupa serasah dari pohon mangrove.

Gambar 10. Ordinasi triplot hubungan antara spesies makrozoobentos dengan parameter fisika-kimia perairan di Pantai Mayangan pada Oktober 2011

4.2. Pembahasan

Makrozoobentos yang ditemukan selama penelitian terdiri atas 41 genera yang termasuk ke dalam 32 famili, 14 ordo dan lima kelas. Kelompok yang paling banyak ditemukan yaitu famili Paratanaidae dari kelas Malacostraca dengan genus Leptochelia sp.. Jika dibandingkan dengan penelitian di luar perairan Indonesia Pantai Mayangan memiliki jenis makrozoobentos yang relatif sedikit. Penelitian


(41)

Nebra et al. (2011) di estuari Ebro, Mediterrania ditemukan 214 jenis makrozoobentos yang didominasi oleh kelompok Polychaeta, pada penelitian lain di England & Wales ditemukan 71 jenis makrozoobentos (Murphy & Davy-Bowker 2005). Jika dibandingkan dengan penelitian di dalam perairan Indonesia Pantai Mayangan memiliki jenis makrozoobentos yang cukup tinggi, seperti pada penelitian Fitriana (2005) di Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali hanya ditemukan 20 jenis makrozoobentos dari empat kelas yaitu Polychaeta, Crustaceae, Gastropoda dan Pelecypoda. Jenis Polychaeta yang ditemukan pada penelitian ini sebanyak 27 jenis sedangkan pada penelitian lain di Pantai Peniti, Kalimantan Barat ditemukan 34 jenis Polychaeta (Junardi & Wardoyo 2008). Jenis Polychaeta yang ditemukan di Pantai Mayangan, Jawa Barat dengan jenis Polychaeta yang ditemukan di Pantai Peniti, Kalimantan Barat memiliki kesamaan jenis yaitu dengan ditemukannya Paraonis sp., Capitella sp., Cossura sp., Sternaspis sp., Dodececaria sp. dan Prionospio sp. Diduga Pantai Mayangan memiliki kesamaan kondisi ekologis dengan Pantai Peniti di Kalimantan Barat.

Kelompok tipe makan yang paling banyak ditemukan adalah detritus feeder. Biota tersebut mendapatkan sumber makanannya pada lapisan permukaan substrat dasar perairan. Jenis makanan dari biota ini yaitu particle organic matter (POM) (Macdonalds 2010). Kelompok tipe makan selanjutnya yang banyak ditemukan yaitu deposit feeder dari kelas Polychaeta. Pada umumnya kelompok ini banyak dijumpai pada substrat pasir dan lumpur (Fauchald & Jumars 1979). Sumber makanan yang didapatkan oleh kelompok tersebut berasal dari lapisan atas substrat maupun lapisan bawah substrat.

Jenis Polychaeta yang ditemukan lebih beragam dibandingkan dengan kelompok lainnya. Capitella sp. dan Prionospio sp. merupakan jenis Polychaeta yang paling sering ditemukan di seluruh stasiun penelitian. Ukuran makanan Capitella sp. yaitu bahan organik yang terdeposit dalam sedimen, POM dan mikroalga; sedangkan Prionospio sp. lebih menyukai bahan organik yang terdeposit dalam sedimen, POM, mikroalga, diatom dan fitoplankton, kedua biota tersebut merupakan biota yang memiliki tingkat adaptasi yang tinggi, khususnya Capitella sp. yang memiliki sifat oportunistik (Machdar 2010). Capitella sp. tidak memiliki kompetitor potensial untuk persaingan dalam mendapatkan makanan dan ruang serta


(42)

mampu mengakumulasi bahan organik (Ergen et al. 2002 in Hadiyanto 2010). Jenis dari Prionospio sp. merupakan biota bentik yang bersifat kosmopolit dan memiliki toleransi yang luas terhadap salinitas serta mampu hidup pada semua tipe substrat dasar walaupun sebagian besar hidup pada substrat dasar halus, (Rabalais et al. 2001). Taurusman (2010) menemukan jenis Capitella sp. mendominasi stasiun penelitian dengan status perairan hipertrofik sedangkan Prionospio sp. mendominasi stasiun penelitian dengan status perairan eutrofik di Teluk Jakarta. Hal ini menunjukan bahwa Capitella sp. dan Prionospio sp. merupakan bioindikator perairan tercemar bahan organik. Tian et al. (2009) menemukan Capitella capitata sebesar 91 individu dari 112 sampel makrozoobentos dari sembilan lokasi di daerah estuari Cape Cod. Jenis tersebut mendominasi karena terjadinya pengayaan bahan organik pada sedimen dengan masuknya nitrogen di perairan estuari Cape Cod. Pada lokasi penelitian di Pantai Mayangan, jenis Capitella sp. hampir ditemukan di seluruh lokasi penelitian selama enam bulan pengambilan sampel. Hal tersebut dapat menjadi indikasi bahwa Pantai Mayangan mengalami tekanan ekologis yang cukup tinggi dari pengayaan bahan organik yang masuk ke dalam perairan.

Leptochelia sp. dari kelas Malacostraca memiliki kepadatan tertinggi, khususnya pada stasiun penelitian yang berada di dekat ekosistem mangrove dengan kandungan bahan organik yang tinggi (C-organik) yaitu Stasiun VI dan Stasiun VII. Hal ini menunjukkan bahwa biota tersebut mendapatkan habitat yang sesuai untuk menopang hidupnya, antara lain faktor makanan (detritus) yang tersedia dan faktor predasi serta kompetisi yang rendah. Romimohtarto dan Juwana (2001) menyatakan bahwa kandungan utama bahan organik (detritus) berasal dari daun-daun dan ranting-ranting dari pohon mangrove yang jatuh ke dalam dasar perairan dan telah membusuk. Stasiun VI dan VII dengan persentase tipe substrat dasar lumpur liat yang tinggi memiliki kepadatan makrozoobentos yang paling tinggi jika dibandingkan dengan stasiun penelitian lainnya. Pola yang sama juga ditemukan pada penelitian Franca et al. (2009) di daerah estuari Tagus, Portugal, bahwa pada daerah intertidal dengan substrat dasar lumpur makrozoobentos memiliki kepadatan yang tinggi dibandingkan dengan di daerah subtidal lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa makrozoobentos di Pantai Mayangan memiliki nilai indeks keanekaragaman yang rendah hingga sedang. Ada beberapa


(43)

faktor yang dapat memengaruhi tinggi rendahnya keanekaragaman jenis di suatu perairan antara lain faktor variasi habitat (niche), stabilitas lingkungan, kompetisi, panjangnya rantai makanan dan ukuran tubuh (Pianka 1966 in Kastoro et al 1999). Indeks keanekaragaman yang rendah dapat disebabkan karena terdapat tekanan ekologis yang tinggi sehingga struktur komunitas dari makrozoobentos terganggu atau tidak seimbang. Hal ini diindikasikan dengan munculnya Capitella sp. yang ditengarai sebagai biota indikator tingginya bahan organik di beberapa stasiun.

Hasil pengelompokan stasiun berdasarkan distribusi jenis makrozoobentos menunjukkan bahwa pengelompokan kedalam tiga grup. Grup A yang terletak di kawasan mangrove memiliki jenis makrozoobentos dengan tipe makan shredders dan deposit feeder seperti Ampithoe sp., Apseudes sp., Ceradocus sp., dan Solen sp.. Jenis ini banyak ditemukan karena mendapatkan makanan (detritus) yang berasal dari serasah mangrove yang jatuh ke dalam perairan. Pada Grup B dan Grup C lebih banyak ditemukan jenis makrozoobentos dari kelompok Polychaeta. Grup B terletak di muara sungai dan dicirikan oleh jenis Cossura sp. dan Ophelina sp.; sedangkan jenis yang menjadi penciri pada Grup C yang terletak di laut dan pantai yaitu Magelona sp. dan Sigambra sp.. Perbedaan jumlah spesies di setiap grup menunjukkan bahwa komunitas makrozoobentos memiiki adaptasi yang spesifik terhadap kondisi lingkungan dan ekologis untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang biak. Tipe substrat yang berbeda juga merupakan faktor utama yang menentukan adaptasi dan distribusi bentos (Pong-Masak & Pirzan 2006). Ezekiel et al. (2011) menemukan Polychaeta dari jenis Capitella sp., Polydora sp. dan Notomastus sp. yang melimpah pada stasiun yang berlokasi dekat dengan mangrove (Rhizopora sp., Avicenia sp., Nypha frutican) dengan karakteristik substrat dasar lumpur pasir yang berbau serta mendapatkan masukan dari jamban umum secara langsung. Hal ini memperkuat fakta bahwa jenis Capitella sp. merupakan indikator pencemaran suatu perairan dengan bahan organik tinggi. Secara umum jenis makrozoobentos yang memiliki distribusi paling luas di Pantai Mayangan adalah Capitella sp. dan Prionospio sp. dari kelas Polychaeta.

Karakteristik fisika-kimia perairan Pantai Mayangan selama enam bulan pengambilan sampel di delapan lokasi penelitian yaitu dengan kisaran kedalaman antara 0,5-5,5 m, suhu antara 27-35 oC, kecerahan antara 0,20-1,21 m, salinitas


(44)

antara 22-39‰, DO antara 1,60-7,6 mg/l, pH antara 6-8,5, kisaran persentase C-organik pada Mei yaitu 0,24%-5,19% dan Oktober yaitu 0,32%-6,54%. Kisaran fisika-kimia perairan di Pantai Mayangan masih mampu menopang kehidupan makrozoobentos. Hal ini didukung oleh beberapa pustaka yang menyatakan bahwa kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrobentos adalah 15-35‰ (Hutabarat dan Evans 1985). Nilai pH <5 dan >9 menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi kebanyakan organisme makrobentos (Hynes 1978).

Hasil uji canonical correspondence analysis (CCA) menunjukan bahwa distribusi biota dari kelas Malacostraca seperti Ampithoe sp., Apseudes sp., Ceradocus sp. dan Leptochelia sp. dengan tipe makan detritus feeder, dipengaruhi oleh persentase liat dan persentase C-organik. Peteers et al. (2004) yang menyatakan bahwa detritivor menunjukkan korelasi yang kuat dengan variabel makanan sedimen seperti bahan organik; sedangkan karnivor dan herbivor tidak menunjukan adanya hubungan. Biota tersebut ditemukan melimpah pada stasiun penelitian yang terletak dekat dengan kawasan ekosistem mangrove yaitu stasiun VI dan VII. Distribusi Bivalvia seperti Parvicardium sp. dipengaruhi oleh kedalaman dan persentase pasir karena banyak ditemukan pada stasiun penelitian yang terletak di laut yaitu pada stasiun III dan IV; distribusi Gastropoda seperti Cerithiopsis sp. dipengaruhi oleh persentase C-organik persentase liat dan debu yang hanya ditemukan pada Oktober di Stasiun VII; sedangkan keberadaan larva Insecta seperti Chironomus sp. dan Polychaeta tidak terlalu dipengaruhi oleh parameter fisika-kimia perairan karena ditemukan pada lokasi penelitian yang berbeda-beda setiap waktu penelitian; sementara jenis Polychaeta hampir menyebar di seluruh stasiun penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa komunitas makrozoobentos di Pantai Mayangan berada pada kondisi yang kurang stabil karena memiliki indeks keanekaragaman yang kecil, indeks keseragaman yang mendekati satu dan indeks dominansi kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa makrozoobentos mendapatkan tekanan ekologis dari masukan bahan organik yang diindikasikan ditemukannya jenis Capitella sp. dan Prionospio sp. pada beberapa stasiun penelitian yang merupakan indikator pencemaran bahan organik. Ditinjau dari struktur komunitas yang tergambarkan saat ini di Pantai Mayangan maka hanya


(45)

spesies tertentu yang mampu bertahan hidup dan memiliki keseragaman yang tinggi, sehingga secara keseluruhan tidak ada spesies yang mendominasi. Ditinjau dari variasi spasial dan temporal terdapat perbedaan kepadatan makrozoobentos, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh curah hujan yang berbeda pada setiap bulan penelitian, karakteristik habitata dan kualitas perairan, ketersediaan makanan; serta faktor predasi dan kompetisi antar jenis makrozoobentos.


(1)

Lampiran 12. Foto beberapa organisme makrozoobentos di Pantai Mayangan

Solen sp. Notomastus sp. Melita sp.

Apseudes sp. Ceracodocus sp. Tellina sp.

Ophelina sp. Parvicardium sp. Rhodine sp.


(2)

71

Lampiran 13. Foto lokasi stasiun di Pantai Mayangan

Stasiun IV Stasiun V Stasiun VI

Stasiun I Stasiun II Stasiun III


(3)

Lampiran 14. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian.

Lampiran 14. (lanjutan)

Botol film Baki Cawan petri

Ember Ekman grab Kamera digital

Mikroskop Secchi disk Refraktometer


(4)

73

Kemmerer water sampler Perahu

Formalin 4 %

Kertas pH indikator Gelas ukur

Rose bengale

Labu Erlenmeyer Syringe

Botol BOD Laptop Alat tulis

Bahan titrasi metode Winkler (Na-thiosulfat, NaOH+KI, MnSO4, H2SO4, amylum)


(5)

Dea Ummami. C24080020. Variasi Spasial dan Temporal Struktur Komunitas Makrozoobentos di Daerah Estuari Pantai Mayangan, Jawa Barat. Dibawah bimbingan Isdradjad Setyobudiandi dan Charles P. H. Simanjuntak.

Ekosistem Pantai Mayangan yang dicirikan oleh keberadaan daerah estuari merupakan suatu kawasan yang subur karena mendapat masukan bahan organik dari sungai maupun dari hasil pendaurulangan serasah mangrove yang tumbuh di sekitar Pantai Mayangan, sehingga daerah ini memiliki produktivitas yang tinggi dan mendukung kelangsungan hidup beragam biota akuatik, akan tetapi kondisi lingkungannya rentan mengalami gangguan baik dari kegiatan antropogenik maupun secara alamiah. Biota makrozoobentos mampu memberikan gambaran kondisi ekologis suatu habitat karena hewan ini hidup relatif menetap di dasar perairan atau hidup di dasar endapan (substrat) sehingga secara langsung dapat terpapar oleh bahan organik yang masuk ke dalam suatu perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi ekologis Pantai Mayangan lewat deskripsi indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi makrozoobentos serta membandingkan secara spasial dan temporal; mendeskripsikan kondisi fisika-kimia air dan sedimen sebagai indikator kondisi perairan Pantai Mayangan; serta mengetahui hubungan antara komunitas makrozoobentos dengan parameter fisika-kimia air dan sedimen dasar perairan.

Penelitian ini dilaksanakan dari Mei-Oktober 2011 dengan interval pengambilan sampel satu kali dalam satu bulan. Lokasi penelitian terdiri atas delapan stasiun yang ditentukan berdasarkan keterwakilan lokasi yang ada di Pantai Mayangan. Parameter fisika-kimia yang dikaji meliputi kedalaman, kecerahan, suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO) dan pH. Analisis parameter fisika-kimia perairan dilakukan in situ sedangkan analisis C-organik dan tekstur substrat dilakukan di Laboratorium Rutin Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Identifikasi biota makrozoobentos dilakukan di Laboratorium Biologi Makro Satu dan Biologi Mikro, Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, FPIK, IPB. Analisis data yang digunakan meliputi analisis struktur komunitas, pengelompokan stasiun, analisis kanonikal korespondensi/canonical correspondence analysis (CCA) serta uji parametrik analisis ragam satu arah (ANOVA) dan uji non-parametrik Kruskal Wallis.

Makrozoobentos yang ditemukan selama penelitian terdiri atas 41 genera yang termasuk ke dalam 32 famili, 14 ordo dan lima kelas. Kelompok famili Paratanaidae, kelas Malacostraca merupakan jenis makrozoobentos yang paling banyak ditemukan. Secara keseluruhan, kelompok tipe makan yang paling banyak ditemukan adalah detritus feeder, deposit feeder, shredders dan lainnya (gabungan dari beberapa kelompok tipe makan suspension feeder, gathering collector, carnivorous dan omnivorous). Kepadatan jenis tertinggi ditemukan di stasiun VII pada Mei, Juni, Juli, Agustus dan Oktober; sedangkan pada September kepadatan tertinggi ditemukan di stasiun VI dengan nilai kepadatan secara berurutan adalah 2622 Ind./m2, 2733 Ind./m2, 5267 Ind./m2, 4889 Ind./m2, 3800 Ind./m2, 2156


(6)

Ind./m2. Kepadatan jenis tertinggi dimiliki oleh Leptochelia sp. dari kelas Malacostraca.

Karakteristik lingkungan perairan pada delapan lokasi penelitian di Pantai Mayangan selama enam bulan pengambilan sampel dengan kedalaman yang berkisar antara 0,5-5,5 m, suhu antara 27-35 oC, kecerahan antara 0,20-1,21 m, salinitas antara 22‰-39‰, DO antara 1,60-7,6 mg/l, pH antara 6-8,5, kisaran persentase C-organik pada Mei berkisar antara 0,24%-5,19% dan pada Oktober berkisar antara 0,32%-6,54%. Secara keseluruhan, stasiun I dan II memiliki tekstur substrat pasir dan lumpur liat, stasiun III dan IV memiliki tekstur substrat pasir, stasiun V dan VI memiliki tektur substrat yang seimbang antara pasir, debu dan liat; sedangkan stasiun VII dan VIII memiliki tekstur substrat lumpur debu dan liat. Biota makrozoobentos yang paling banyak ditemukan di stasiun VI, VII dan VIII yaitu Leptochelia sp; sementara di stasiun I sampai V lebih banyak ditemukan jenis Polychaeta. Bivalvia banyak ditemukan pada stasiun III dan VIII; sedangkan Gastropoda dan larva Insecta jarang ditemukan. Hasil uji canonical correspondence analysis (CCA) menunjukan bahwa distribusi makrozoobentos dipengaruhi oleh fisika-kimia perairan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas makrozoobentos di Pantai Mayangan berada pada kondisi yang kurang stabil karena memiliki indeks keanekaragaman yang sangat kecil, indeks keseragaman yang mendekati satu dan indeks dominansi kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa makrozoobentos mendapatkan tekanan ekologis yang diindikasikan ditemukannya jenis Capitella sp. dan Prionospio sp. pada beberapa stasiun penelitian yang merupakan indikator pencemaran bahan organik. Ditinjau dari struktur komunitas yang tergambarkan saat ini di Pantai Mayangan maka hanya spesies tertentu yang mampu bertahan hidup dan memiliki keseragaman yang tinggi, sehingga secara keseluruhan tidak ada spesies yang mendominasi. Ditinjau dari variasi spasial dan temporal terdapat perbedaan kepadatan makrozoobenthos, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh curah hujan yang berbeda pada setiap bulan penelitian, karakteristik lokasi penelitian, ketersediaan makanan, serta faktor predasi dan kompetisi antar jenis makrozoobentos.