97
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan
Undang-undang ini dalam ketentuannya juga menyinggung tentang keuangan negara. Dalam Pasal 46 ayat 1 dikatakan bahwa:
Kebijakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Dan di dalam penjelasannya y ang dimaksud dengan “keuangan negara”
adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada saat kebijakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan ditetapkan danatau
dilaksanakan. Ini menunjukan bahwa undang-undang tentang otoritas jasa keuangan memaknai keuangan negara hanya sebatas Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara APBN.
Berbagai antinomi yang terjadi diantara peraturan perundang-undangan membuat tidak adanya kepastian hukum bagi pelaksanaan dan pengelolaan
hal- hal yang berkaitan dengan keuangan negara terkhususnya kekayaan negara yang dipisahkan pada Badan Usaha Milik Negara BUMN. Hal ini
tentu menjadi dilema tersendiri bagi pimpinan Badan Usaha Milik Negara. Dalam menjalankan pengelolaan Badan Usaha Milik Negara pada direksi
selalu dihantui dengan ketakutan terjadinya kerugian pada BUMN dalam
98
menjankan usahanya. Padahal sebagai entitas hukum bisnis, dalam menjalankan usahanya kentungan dan kerugian bagaikan dua sisi koin yang
tak terpisahkan. Sehingga ketika BUMN merugi adalah sesuatu yang wajar dalam menjalankan usaha.
Sebagai sebuah sistem, ketika dalam peraturan perundang-undangan terjadi antinomi, maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik atau asas
preverensi. Dalam sistem tidak dikehendaki adanya saling pertentangan antara pelbagai peraturan perundang-undangan. Pertentangan hanya akan
meruntuhkan otoritas dari sistem peraturan perundang- undangan itu sendiri yaitu timbulnya ketidakpastian hukum. Hal ini menunjukan bahwa di dalam
suatu sistem terhadap suatu permasalahan telah tersedia solusi untuk setiap persoalan yang muncul. Menjadi fokus penulis adalah pertentangan antara
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dengan UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Dalam UU No. 17 Tahun 2003
Pasal 1 ayat 1 menyatakan: Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Kemudian pada Pasal 2 menyatakan : Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
a hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman; b
kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c Penerimaan Negara;
99
d Pengeluaran Negara;
e Penerimaan Daerah;
f Pengeluaran Daerah;
g kekayaan negarakekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak- hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara perusahaan daerah;
h kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan danatau kepentingan umum; i
kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Melihat norma yang termuat dalam pasal 1 dan pasal 2 tersebut, menunjukan bahwa UU tentang Keuangan Negara memposisikan kekayaan
negara yang berada di dalam BUMN sebagai keuangan negara. Padahal jika melihat dalam UU tentang BUMN sendiri dalam Pasal 4 ayat 1
menyatakan bahwa “Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan
”. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat 1 tersebut dikatakan bahwa
“Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara
untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi
didasarkan pada sistem anggaran pendapatan dan belanja negara namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan
pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Menjadi permasalahan ketika dua peraturan perundang-undangan
menyatakan hal yang bertentangan satu dengan lain. Untuk menyelesaikan ini penulis menggunakan asas lex specialis derogate legi generalis, yang
bermakna bahwa aturan hukum yang khusus mengatur sesuatu BUMN
100
akan mengesampingkan aturan hukum yang umum Keuangan Negara. Aturan yang bersifat khusus mengatur sesuatu dalam hal ini tentang Badan
Usaha Milik Negara BUMN yaitu UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN itu sendiri dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 4 ayat 1 UU BUMN. Sedangkan aturan yang bersifat umum yaitu UU tentang Keuangan Negara,
dimana hanya dalam pasal 2 huruf g yang menyatakan kekayaan yang sudah dipisahkan di dalam BUMN masih berstatus uang negara, padahal jika
dilihat aturan khusus yang mengatur BUMN itu sendiri menyatakan bahwa pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara
untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem anggaran
pendapatan dan belanja negara namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.
Oleh karena itu sebagaimana yang sudah tersurat di dalam UU BUMN itu sendiri, maka antinomi ini dapat diatasi dengan menggunakan asas lex
specialis derogate legi generalis, dimana UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
mengesampingkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Terdapat hal menarik lainnya terhadap berbagai antinomi yang terjadi,
terkhusunya dengan undang- undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan
101
negara. Berbagai permasalahan yang terjadi tersebut membuat Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 2 Huruf G
dan Huruf I tersebut diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Terhadap Pasal-pasal yang diujikan tersebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
48PUU-XI2013, Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Salah satu pendapat Mahkamah ialah pada
paragraf 3.16 yang menyatakan : “... Rumusan pengertian mengenai keuangan negara dalam
Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 menggunakan rumusan pengertian yang bersifat luas dan komprehensif
denga tujuan untuk mengamankan kekayaan negara yang bersumber dari uang rakyat yang diperoleh dari melalui
pajak, retribusi maupun penerimaan negara bukan pajak. Pengertian ruang lingkup keuangan negara yang
dirumuskan
secara luaskomprehensif
tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya celah dalam regulasi
yang dapat mengakibatkan timbulnya kerugian negara. Mahkamah juga telah mempertimbangkan bahwa BHMN
PT atau BUMNBUMD merupakan kepanjangan tangan pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan
dalam arti luas, dengan demikian posisi BHMN PT atau BUMNBUMD adalah melakukan pengelolaan keuangan
negara
, meskipun harus dipahami dengan mempergunakan paradigm yang berbeda-beda.
Perluasan pengertian dan cakupan keuangan negara berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003, menurut Mahkamah
tidak bertentangan dengan norma UUD 1945 mengenai keuangan negara. Pasal 23 UUD 1945 tidak berarti wujud
pengelolaan keuangan negara hanya terbatas pada APBN. Pemahaman mengenai keuangan negara tidak terlepas dari
pasal-pasal UUD 1945 yang lain, khususnya dalam hal ini Pasal 23C UUD 1945. Selain itu, perluasan pengertian
keuangan
negara diderivasi
dari konsep
negara kesejahteraan welfare state yang secara eksplisit dianut
102
di dalam UUD 1945, yaitu pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat, hingga ke pasal-pasal yang
terdapat di dalamnya, mencita-citakan pembentukan suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan mampu memajukan kesejahteraan umum dan seterusnya. Besarnya peran dan fungsi BHMN
PT atau BUMNBUMD dalam mengelola keuangan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, harus diiringi pula dengan penegasan
bahwa pengelolaan terhadap sarana dan prasarana milik negara yang harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan
paradigma yang berlaku. Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal
23 ayat 1 UUD 1945.
” Pertimbangan dan Putusan Mahkamah ini akan sangat berbeda jauh
terhadap Putusan Mahkamah Nomor 77PUU-IX2011. Dalam kasus ini Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian dengan salah satu pertimbangan yang menarik yaitu pada paragraf 3.17
“...berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara selanjutnya disebut
UU BUMN, Pasal 1 angka 1 dan angka 10 menyatakan
bahwa Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu kekayaan
negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN untuk dijadikan penyertaan modal
negara pada Persero danatau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Dengan demikian BUMN adalah badan
usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan,
usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan
103
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
selanjutnya disebut UU PT; Terlihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48PUU-XI2013
dan Putusan Nomor 77PUU-IX2011 saling bertentangan. Pada putusan yang pertama Mahkamah menyatakan dengan tegas bahwa “...BUMNBUMD
merupakan kepanjangan tangan pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam arti luas, dengan demikian posisi BHMN PT
atau BUMNBUMD adalah melakukan pengelolaan keuangan negara sedangkan dilain sisi, Dengan demikian BUMN adalah badan usaha yang
memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN
tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Dengan demikian, tergambarkan dengan jelas berbagai antinomi yang terjadi terhadap keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan.
Revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 merupakan salah satu alternatif untuk menyelesaikan polemik yang terjadi ini.
104
B. Implikasi Antinomi Konsep Keuangan Negara Dalam Tataran