senang dari pasangan. Hal ini tidak harus kita menuruti kehendak pasangan kita, yang jelas disini adalah bagaimana
pasangan kita bisa merasakan kebahagiaan dan ketengan saat kita berada di sisinya dan satu lagi. Ini yang biasanya dilupakan
banyak pasangan. Dia atau pasangan kita juga harus tenang saat kita tidak berada disisinya karena dia yakin dan percaya
pada kita. http:ardlian.netkeseimbangan-cinta Keseimbangan cinta merupakan kunci kehidupan untuk
bahagia, namun hal yang lebih penting.
2.1.7 Keseimbangan Hidup
Pada dasarnya orang perlu hidup berdasarkan konsep yang dipilihnya. Dan pada umumnya, orang menetapkan tujuan
hidup, kemudian menjalankan kehidupan sehari-hari agar tujuan hidup bisa tercapai.
Kalau seseorang belum punya konsep, maka ada usul atau rekomendasi para ahli bahwa seseorang mengejar tiga aspek
tujuan hidup: a. Kualitas pribadi, agar aspek fisik, mental, dan spiritual
semakin bertumbuh istimewa. b. Aset sosial dan ekonomi, agar tidak miskin dan bergantung
pada orang lain.
c. Petualangan, hobby dan kesenangan, yang memberikan berbagai thrills dan surprises.
Jadi hidup yang seimbang adalah hidup yang mengejar tiga aspek ini secara seimbang. Pastikan anda mengalokasikan
hari-hari anda pada pencapaian ketiga aspek ini. http:azrl.wordpress.comhidup-seimbang
Kehidupan adalah fenomena atau perwujudan adanya hidup, yaitu keadaan yang membedakan organisme makhluk
hidup dengan benda mati. http:id.wikipedia.orgwikiKehidupan
2.1.8 Semiologi Semiologi atau semiotika berakar dari studi klasik dan
skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. Akar namanya sendiri adalah “Semeion”, nampaknya diturunkan dari
kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simptomatologi dan diagnostik inferensial Sinha, 1988:3
dalam Kurniawan, 2001 :49 Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upayah berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-
tengah manusia dan bersama-sama manusia. Sobur, 2004;15
Semiologi adalah ilmu tentang bentuk-bentuk, karena hal
itu mempelajari pertandaan terlepas dari kandungannya. Barthes, 2007 :299
Dalam devinisi Saussure Budiman, 1990:107, Semiologi
merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda ditengah masyarakat dan dengan demikian, menjadi bagian
dari displin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta
kaidah-kaidah yang mengaturnya Sobur, 2004:12 Sejak kemunculan Saussure dan Peirce, maka semiologi
menitikberatkan dirinya pada studi tentang tanda dan segala yang berkaitan tentang tanda dan segala yang berkaitan
dengannya. Meskipun semiotika Pierce masih ada kecenderungan meneruskan tradisi Skolastik yang mengarah
pada inferensi Pemikiran logis dan Saussure menekankan pada linguistik, pada kenyataanya semiologi juga membahas
signifikasi dan komunikasi yang terdapat dalam sistem tanda non linguistik. Sementara itu, bagi Barthes 1988:179
semiologi hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan humanity memakai hal-hal things. Kurniawan, 2001;53
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca the reader.
Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan
keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara penjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai
sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh
paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun diatas bahasa sebagai sistem pertama. Sistem kedua ini oleh
Barthes desebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies- nya secara tegas dibedakan dari denotatif atau sistem
pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja
CobleyJansz,1999:
Gambar 2.1.4 Peta Tanda Roland Barthes
Dalam Konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua
bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya. Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai
“mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan 1.signifier
Penanda 2. signified
petanda 3. denotative sign tanda denotative
4. conotative signifier penanda konotatif
5. conotative signified petanda konotatif
6. conotative sign tanda konotatif
pembenaran bagi nilai-nilai dominasi yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Sobur, 2004:69-71
Mitos, menurut Barthes 1993:109, adalah sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian dia adalah sebuah pesan.
Mitos kemudian tak mungkin dapat menjadi sebuah objek, sebuah konsep, atau sebuah ide, karena mitos adalah sebuah
mode penandaan yakni sebuah bentuk. Mitos sebagai bentuk tidak dibatasi oleh obyek pesannya.
Suatu karya atau teks merupakan sebentuk konstruksi belaka. Bila tidak hendak menemukan maknanya, maka yang
dilakukan adalah rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tak lain adalah teks itu sendiri. Sebagai sebuah proyek
rekonstruksi, maka teks tersebut dipenggal-penggal terlebih dahulu menjadi beberapa leksia atau satuan bacaan tertentu.
Leksia ini dapat berupa satu kata, beberapa kata, satu kalimat, beberapa kalimat, sebuah paragraf, atau beberapa paragraf.
Kurniawan, 2001:93 Lima Kode yang ditinjau Barthes adalah Lechte, 2001:196
Kode sebagai sistem makna luar yang lengkap sebagai acuan dari setiap tanda, menurut Barthes terdiri atas lima jenis : kode
hermeneutik kode teka-teki, kode semik makna konotatif, kode simbolik, kode proaretik logika tindakan, dan kode
gnomik atau kultural yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu.
Pertama, kode hermeneutika atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi
pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Didalam
narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian dalam cerita.
Kedua, kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca
menyusun tema suatu teks. Ia melihat konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata
atau frase yang mirip. Ketiga, kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi
yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada
gagasan bahwa makna yang berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan, baik dalam proses produksi wicara
maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Keempat, kode proaretik atau kode tindakanlakuan
dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang. Antara lain semua teks yang bersifat naratif.
Kelima, kode gnomik atau kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah
diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, reslisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah
diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal- hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis
bertumpu. Tujuan Analisis Barthes ini, menurut Lechte 2001:196,
bukan hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur- unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk
menunjukan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian paling meyakinkan atau teka-teki yang paling menarik,
merupakan produka buatan, dan bukan tiruan yang nyata. Sobur,2004:66
Semiologi, bagaimanapun sejauh ini tetaplah sebuah metode untuk mendekati kebudayaan dalam beragam
bentuknya.
2.2 Kerangka Berfikir Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam