Representasi Gaya Hidup Wanita Metropolis Dalam Novel(Analisis Wacana Berdasarkan Teun A. Van Dijk Dalam Novel Eat, Pray, Love Karya Elizabeth Gilbert)

(1)

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat Untuk memperoleh gelar sarjana

SKRIPSI Diajukan Oleh : IRA KARLELI PINEM

090922003

Jurusan Ilmu Komunikasi-Ekstention

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Ira Karleli Pinem Tempat, Tanggal Lahir : Pondok, 4 Januari 1986

NIM : 090922003

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan : Ilmu Komunikasi

Menyatakan bahwa Karya Ilmiah ( Skripsi ) dengan judul

REPRESENTASI GAYA HIDUP WANITA METROPOLIS DALAM NOVEL (Analisis Wacana Berdasarkan Teun A. Van Dijk Dalam Novel Eat, Pray, Love Karya Elizabeth Gilbert)

Adalah bukan karya tulis ilmiah ( skripsi ) orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya dengan benar.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Medan, Juni 2011 Yang menyatakan. IRA KARLELI PINEM


(3)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Representasi Gaya Hidup Wanita Metropolis Dalam Novel ( Analisis Wacana Berdasarkan Teun A. Van Djik Dalam Novel Eat, Pray, Love Karya Elisabeth Gilbert). Kehampaan hidup bisa saja terjadi kepada semua orang. Tetapi apabila kita bisa menghadapinya dengan penuh kebijaksaan dan dewasa hal itu bisa saja kita lalui dengan baik tanpa ada halangan yang berarti. Dan jangan sekali-sekali kita lari dari semua itu karena suatu kebebasan yang di capai dengan cara lari dari masalah tidak akan baik. Karena kebebasan yang baik itu adalah suatu kebebasan yang di dapat dengan cara menyelesaikan dulu suatu masalah yang ada bukan lari dari masalah.

Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana. Metode analisis wacana tersebut dijadikan sebagai alat ukur untuk menterjemahkan makna dari sombol-simbol yang ada dalam novel Eat, Pray, Love. Penelitian ini menggunakan analisis wacana yang dikembangkan melalui pendekatan Teun A. Van Djik melihat suatu teks terdiri dari beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing saling mendukung. Van Djik membaginya dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro yang merupakan makna global dari suatu teks yang diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa. Kedua, superstruktur, ini merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagaian-bagian teks tersusun kedalam berita secara utuh. Ketiga, strukturmikro, adalah makna yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, para frase yang dipakai dan sebagainya.

Objek dalam penelitian ini adalah gaya hidup wanita dalam novel Eat, Pray, Love. Jumlah sample pada novel yang akan di teliti sebanyak 4 bagian. Adapun pemilihan subjek dalam penelitian ini di karenakan pada novel ! peneliti melihat sebagian besar isi novel tersebut mengadaptasi tentang sifat perempuan yang ingin bebas dan tidak suka dengan keterikatan. Dan jumlah objek dalam penelitian ini dipilih secara acak oleh peneliti. Tehnik pengumpulan data yang dilakukan adalah pembedahan novel dan wawancara kepada beberapa receker

yang berguna sebagai pembanding data penelitian ini. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini bahwasannya Elisabeth

Gilbert mengungkapkan gaya hidup wanita yang terdapat dalam novel Eat, Pray,Love merupakan sebuah representasi terhadap perempuan metropolitan yang ada di Amerika yang mengutamakan kebebasan dan kesenangan diri sendiri, hal ini terlihat dari penggambaran latar belakang cerita yang berada di Amerika. Dengan demikian representasi perempuan yang dibentuk tidak dapat menggeneralisir posisi perempuan di Indonesia.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat-Nya yang senantiasa menyertai penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Representasi Gaya Hidup Wanita Metropolis Dlama Novel ” Eat, Pray, Love”. Adapun skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat unutk memperoleh gelar kesarjanaan dari Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulisan sripsi ini merupakan hasil terbaik yang telah dilakukan penulis selama di bangku perkuliahan. Dengan penuh kerja keras dan harapan, skripsi ini dapat di selesaikan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu denga hati yang terbuka dan ikhlas penulis menerima saran dan kritik dari pembaca yang nantinya akan berguna da hari yang akan datang.

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini banyak mendapatkan dukungan, bantuan, bimbingan serta motivasi dari banyak pihak. Pertama sekali penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnta kepada kedua orang tua penulis. T. Pinem dan D. Sembiring yang telah menjadi motivasi penulis, memberikan nasehat dan doa kepada penulis dalam menyelesikan skripsi ini

Tidak lupa pula pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terimaksaih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(5)

2. Ibu Dra. Fatmawardi Lubis, MA selaku Kepala Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Iskandar Zulkarnain, Msi selaku dosen pembimbing yang telah sabar meluangkan waktunya dan terus memberikan bimbingan, wawasan, wacana, dan arahan pada peneliti.

4. Ronald Alexsander Ginting, Terimaksih untuk waktu, nasehat, motivasi, kesabaran yang diberikan kepada penulis pada saat sedang mengerjakan skripsi, selalu ada di samping penulis, menemani tanpa banyak mengeluh. 5. Bibik Anita, Bibik Yuke Terimakasih buat pengertian, bantuan, motivasi

kalian selama ini dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Teman-teman Ekstensi Ilmu Komunikasi 2009, terimakasih untuk kebersamaannya dan setiap informasi yang sudah diberikan untuk mendukung penyelesaian skripsi ini.

7. Seluruh staf pengajar dan staf administrasi Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang membantu peneliti dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Terimakasih banyak. Akhir kata Penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memperluas cakrawala pemikiran dan menjadi masukan kepada pembaca.

Medan, Juni 2011 Penyusun


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ··· i

KATA PENGANTAR ··· ii

DAFTAR ISI ··· iv

DAFTAR TABEL ··· vi

DAFTAR LAMPIRAN ··· vii

BAB I : PENDAHULUAN ··· 1

I.1. Latar belakang Masalah ··· 1

I.2. Perumusan Masalah ··· 9

I.3. Pembatasan Masalah ··· 9

I.4. Tujuan dan Manfaat penelitian ··· 9

I.4.1. Tujuan Penelitian ··· 9

I.4.2. Manfaat Penelitian ··· 10

I.5. Kerangka Teori ··· 10

I.5.1. Analisis Wacana ··· 11

I.5.2. Analisis Wacana Van Djik ··· 13

I.6 Kerangka Konsep ··· 15

I.6.1. Komunikasi ··· 15

I.6.2. Komunikasi Antar Budaya ··· 16

I.6.3. Representasi ··· 18

I.6.4. Ideologi ··· 19

I.7. Metodologi Penelitian ··· 23

I.7.1. Metode Penelitian ··· 23

I.7.2. Subjek Penelitian ··· 23

I.7.3. Unit dan Level Analisis ··· 24

I.7.4. Teknik Pengumpulan Data ··· 24

I.7.5. Teknik Analisis Data ··· 25

I.7.6. Validitas Penelitian ··· 27

BAB II : URAIAN TEORITIS ··· 28

II.1. Komunikasi ··· 28

II.1.1. Pengertian Komunikasi ··· 28

II.1.2. Fungsi Komunikasi ··· 30

II.2. Komunikasi Antar Budaya ··· 32

II.2.1. Sejarah Komunikasi Antar Budaya ··· 32

II.2.2. Elemen-Elemen Komunikasi Antar Budaya ·· 33

II.2.3. Hambatan-Hambatan Komunikasi Antar Budaya 35 ··· 37

II.3. Representasi ··· 38

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ··· 48

III.1. Deskripsi Objek Penelitian ··· 48

III.2. Tipe Penelitian ··· 51

III.3. Subjek Penelitian ··· 52

III.4. Unit dan Level Analisis ··· 52

III.5. Teknik Pengumpulan Data ··· 52

III.6. Teknik Analisis Data ··· 53


(7)

IV.1. Analisis Data ··· 57

IV.2. Pembahasan ··· 70

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ··· 73

V.1. Kesimpulan ··· 73

V.2. Saran ··· 75

DAFTAR PUSTAKA ··· 77

LAMPIRAN DAFTAR TABEL No. Tabel Halaman Tabel. 1. Struktur Wacana Van Djik ... 53

Tabel. 2. Gaya Hidup New York ... 57

Tabel. 3. Gaya Hidup Italia ... 59

Tabel. 4. Gaya Hidup India ... 62


(8)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Representasi Gaya Hidup Wanita Metropolis Dalam Novel ( Analisis Wacana Berdasarkan Teun A. Van Djik Dalam Novel Eat, Pray, Love Karya Elisabeth Gilbert). Kehampaan hidup bisa saja terjadi kepada semua orang. Tetapi apabila kita bisa menghadapinya dengan penuh kebijaksaan dan dewasa hal itu bisa saja kita lalui dengan baik tanpa ada halangan yang berarti. Dan jangan sekali-sekali kita lari dari semua itu karena suatu kebebasan yang di capai dengan cara lari dari masalah tidak akan baik. Karena kebebasan yang baik itu adalah suatu kebebasan yang di dapat dengan cara menyelesaikan dulu suatu masalah yang ada bukan lari dari masalah.

Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana. Metode analisis wacana tersebut dijadikan sebagai alat ukur untuk menterjemahkan makna dari sombol-simbol yang ada dalam novel Eat, Pray, Love. Penelitian ini menggunakan analisis wacana yang dikembangkan melalui pendekatan Teun A. Van Djik melihat suatu teks terdiri dari beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing saling mendukung. Van Djik membaginya dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro yang merupakan makna global dari suatu teks yang diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa. Kedua, superstruktur, ini merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagaian-bagian teks tersusun kedalam berita secara utuh. Ketiga, strukturmikro, adalah makna yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, para frase yang dipakai dan sebagainya.

Objek dalam penelitian ini adalah gaya hidup wanita dalam novel Eat, Pray, Love. Jumlah sample pada novel yang akan di teliti sebanyak 4 bagian. Adapun pemilihan subjek dalam penelitian ini di karenakan pada novel ! peneliti melihat sebagian besar isi novel tersebut mengadaptasi tentang sifat perempuan yang ingin bebas dan tidak suka dengan keterikatan. Dan jumlah objek dalam penelitian ini dipilih secara acak oleh peneliti. Tehnik pengumpulan data yang dilakukan adalah pembedahan novel dan wawancara kepada beberapa receker

yang berguna sebagai pembanding data penelitian ini. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini bahwasannya Elisabeth

Gilbert mengungkapkan gaya hidup wanita yang terdapat dalam novel Eat, Pray,Love merupakan sebuah representasi terhadap perempuan metropolitan yang ada di Amerika yang mengutamakan kebebasan dan kesenangan diri sendiri, hal ini terlihat dari penggambaran latar belakang cerita yang berada di Amerika. Dengan demikian representasi perempuan yang dibentuk tidak dapat menggeneralisir posisi perempuan di Indonesia.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam komunikasi terdapat hal-hal yang harus dipenuhi agar suatu komunikasi tersebut dapat dikatakan efektif. Adanya komunikator, komunikan, media dan yang paling terpenting dalam suatu proses komunikasi adalah pesan. Segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan selayaknya bergantung pada pesan yang ingin disampaikan dan isinya yang dapat diartikan dengan benar oleh komunikan. Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin canggih., komunikasi dapat di kelompokkan pada beberapa bentuk atau tatanan komunikasi. Salah satu spesifikasinya adalah komunikasi massa. Dalam komunikasi massa, suatu pesan dikemas untuk diartikan khalayak yang banyak. Khalayak tersebut bersifat heterogen dengan latar belakang pengalaman dan referensi yang berbeda. Untuk menyampaikan suatu pesan dalam komunikasi massa , tentunya perlu suatu media yang dapat mencakup massa yang dimaksud.

Media massa adalah sesuatu yang dapat digunakan oleh segala bentuk komunikasi, baik komunikasi personal maupun komunikasi kelompok dan komunikasi massa. Secara universal tujuannya adalah: informasi, hiburan,pendidikan, propaganda/pengaruh dan Pertanggungjawaban sosial. Sesuai perkembangannya media massa berwujud dalam media cetak (Koran,majalah,bulletin) dan media elektronik (TV, radio dan internet). Dari berbagai macam media massa tersebut mempunyai ciri khas masing-masing baik


(10)

dalam isi dan pengemasan beritanya, maupun dalam tampilan serta tujuan dasarnya.

Alex Sobur mendefinisikan media massa sebagai:” Suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini public, antara lain, karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih inspiris”.

Alex Sobur berpendapat, bahwa isi media pada hakekatnya adalah hasil kontruksi realistis dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Begitu juga media cetak, isi media cetak menggunakan teks dan bahasa. Guy Cook menyebut tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana,yaitu teks dan wacana. Eriyanto kemudian menjelaskan ketiga makna tersebut, “teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak dilembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada diluar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi. wacana disini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.”Dari penjelasan diatas, dapat memahami bahwa teks memiliki peranan yang signifikan dalam pembentukkan wacana.

Dalam pembentukkan suatu wacana, media massa dapat menempatkan peranan yang penting. Melalui novel yang dianggap sebagai salah satu media massa yang sangat ampuh dalam mewacanakan sesuatu atas interpretasi penulis dalam melihat sesuatu fenomena yang terjadi dimasyarakat. Dalam sebuah novel,


(11)

cerita yang disampaikan mengandung suatu pesan yang diharapkan dapat menjadi acuan atau pengetahuan baru bagi khalayak pembacanya.

Saat ini wacana yang masih menjadi pembicaraan di masyarakat adalah wacana gender. Perbedaan pandangan dalam melihat perbedaan gender ini menjadi suatu masalah ketika tidak adanya pemahaman yang tepat dalam melihat fenomena tersebut. Masih banyaknya pandangan yang kurang tepat dalam melihat fenomena antara hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan membuat wacana gender selalu menjadi sorotan. Anggapan bahwa perempuan mahkluk istimewa dengan segala keindahannya, menjadi sangat rancu ketika mahluk yang sering dianggap lemah namun menyimpan kekuatan besar. Wanita juga boleh dibilang selalu jadi ‘mahluk kelas dua’ jika dibandingkan lawan jenisnya, laki-laki. Kebebasannya sering dianggap tabu, keputusannya dianggap perlawanan, padahal sejatinya perempuan dan laki-laki adalah pelengkap satu sama lain.

Di sisi lain emansipasi perempuan terus digaungkan. Sayangnya, kesetaraan hak itu bukanlah sesuatu yang bersifat evolusi namun parallel. Pada suatu waktu ada perempuan yang menjadi presiden tapi pada waktu yang sama ada perempuan-perempuan yang ditekan, dipaksa menghentikan pendidikannya, mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau dijual oleh keluarganya sendiri.

Media massa memiliki peran besar dalam membentuk dan mengubah pikiran, perasaan, sikap, opini dan prilaku masyarakat tentang perempuan. Namun potret perempuan dalam media massa masih memperlihatkan stereotip yang negative. Kehadiran film dengan target khalayak perempuan yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan, merupakan suatu harapan baru bagi perempuan untuk menyuarakan kesamaan hak.


(12)

Seperti dikemukakan sebelumnya, melek-media menjadi salah satu cara yang banyak dianjurkan untuk mengembangkan representasi media tentang perempuan yang lebih berimbang dan tidak bias gender. Secara sederhana, melek-media didefinisikan sebagai kemampuan untuk membaca dan menganalisis citra dan pesan-pesan tersirat (implisit) pada semua jenis isi media. Melek-media memainkan peran yang signifikan dalam menentukan apakah isu-isu gender akan secara luas dipandang penting dan menjadi persoalan sosial, politik dan budaya yang absah.

Informasi telah menjadi kebutuhan primer masyarakat modern saat ini tanpa kecuali. Teknologi informasi yang semakin modern membawa konsekuensi kebutuhan informasi tersebut kedalam relasi-relasi sosial dalam masyarakat dengan menghilangkan batas-batas sosial budaya juga sangat berperan aktif dalam menghilangkan fungsi ruang dan waktu. Dengan konsekuensi hilangnya batas-batas sosial budaya akibat hilangnya fungsi ruang dan waktu, arus informasi membawa, menawarkan, dan dapat mengubah wajah sosial dan budaya dengan perlahan, dan seringkali terjadi tanpa disadari oleh setiap individu yang mengalaminya.

Kecepatan informasi untuk menjangkau penerima informasi tersebut terbawa oleh berbagai macam medium informasi yang sudah menjadi kebutuhan masyarakat modern, karena melalui berbagai media massa tersebut itulah nilai-nilai sosial dan budaya tersosialisasikan yang didalamnya terdapat tanda-tanda dan simbol-simbol.

Tidak dapat dipungkiri media massa memberi pengaruh melalui pesan-pesan yang disampaikannya. Citra perempuan metropolitan kini sangat mudah terpengaruh


(13)

dengan trend. Untuk memenuhi kebutuhan itu mereka mencari informasi tersebut di media massa seperti majalah dan televisi. Dengan adanya gambaran seperti ini di kota-kota metropolitan seperti pada umumnya, dikarenakan masuknya budaya luar ke Indonesia. Hal-hal yang dilakukan oleh selebritis luar negeri dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang diliput oleh media massa dan disebar luaskan sehingga masuk ke Indonesia.

Media massa dan industri menciptakan kebutuhan perempuan demi kepentingan pasar, yang disuarakan sebagai cara bagi perempuan untuk keluar dari identitas yang diinginkan oleh orang tua. Akhirnya budaya perempuan sangat identik dengan penampilan sebagai representasi identitas. Tentunya perempuan di kota-kota besar adalah kelompok yang memiliki akses paling terbuka ke sumber informasi yang dibutuhkan. Mereka memungut informasi dari mana saja, dari televisi, majalah, radio, bahkan sobekan poster di pinggir jalan. Mereka punya kesempatan untuk memanfaatkan waktu luang di pusat perbelanjaan, tempat hiburan, dan ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi dan pertukaran informasi.

Perempuan di kota-kota besar atau biasa disebut dengan perempuan metropolitan selalu punya cara untuk tampil beda, meski tidak selalu orisinil karena banyak mengadopsi gaya selebritis idolanya masing-masing yang mereka lihat di majalah dan televisi, dengan demikian perempuan metropolitan selalu berusaha untuk memperbaharui penampilannya sesuai dengan trend yang sedang berlaku. Yang disebut penampilan bukan saja apa yang melekat di tubuh semata, melainkan juga bagaimana keseluruhan potensi dalam diri memungkinkan mereka untuk menampilkan citra diri. Dan pesan verbal dan non verbal yang disampaikan


(14)

media massa dianggap sebagai salah satu hal penting yang akan memberikan ciri khusus pada perempuan metropolitan. Cara berpakaian dan pilihan warna dalam berbusana ataupun dalam hal apa saja yang berkaitan dengan identitaasnya sebagai perempuan adalah salah satu dari usaha perempuan metropolitan untuk membentuk citra tertentu melalui penampilannya.

Kita mengakui bahwa pengaruh dunia barat dengan nilai-nilainya yang mempengaruhi nilai budaya kita. Hal tersebut akibat arus simbolik global yang nyata yaitu nilai-nilai dari luar dapat dengan mudah masuk ke dalam kehidupan masyarakat melalui transformasi teknologi komunikasi modern dan industri komersil. Kemasan media massa yang menarik dapat membuat khalayak tertarik untuk melihat atau membaca informasi tersebut. Bagaimana media massa mengkonstruksikan realitas ke dalam sebuah kemasan medianya.

Penempatan perempuan dalam media massa saat ini merupakan bagian dari hal yang penting, karena dunia perempuan adalah dunia yang menarik untuk terus kita ketahui dan kita simak. Media massa hanya mempengaruhi serta menyibak gaya dan pola perempuan saat ini. pemenuhan kebutuhan informasi dari perempuan yang membuat banyak media massa selalu berusaha memenuhi kebutuhannya tersebut. Penggambaran yang terdapat di sebuah media massa menimbulkan rasa tertarik khalayak untuk mengetahui lebih jauh tentang dunia perempuan tersebut. Bagaimana media massa menampilkan sebuah gambar, warna, lambang, dan tanda-tanda yang ada sebagai konstruksi realita yang ada.

Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa baik verbal dan non verbal sebagai perangkatnya, sedangkan bahasa bukan saja alat mempresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa


(15)

yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikan.

Media juga berfungsi sebagai media budaya. Media budaya merupakan media yang berada dalam budaya masyarakat dan sebenarnya menjembatani kepentingan salah satu pihak, yaitu pihak budaya masyarakat industri dengan budaya masyarakat pengguna. Pengguna (pemakai) media budaya adalah individu-individu yang menikmati bentuk-bentuk media budaya, seperti majalah, surat kabar, atau tayangan yang muncul di televisi. Individu dan masyarakat pengguna diperkenalkan dengan semboyan/slogan yang menjanjikan.

Menurut buku “Komunikasi Antar Budaya” : “Sistem kepercayaan erat kaitannya dengan nilai-nilai (values) yang ada, sebab nilai-nilai itu adalah aspek evaluatif dari sistem kepercayaan, nilai dan sikap, yang meliputi kualitas atau asas-asas seperti kemanfaatan, kebaikan, keindahan, kemampuan memuaskan kebutuhan dan kesenangan.” Dan kebudayaan yang masuk ditiru oleh kaum metropolis khususnya para perempuan metropolitan. Mereka umumnya berasal dari kalangan menengah-keatas dan termasuk kategori A dalam strata sosial ekonomi.

Pergeseran nilai dan budaya itu terjadi karena sikap dari respon wanita metropolitan yang menerima pengaruh dari luar dan mereka merasa pas atau cocok dengan kehidupan wanita metropolitan.

Sikap adalah suatu respon yang evaluatif, dinamis dan terbuka terhadap kemungkinan perubahan yang disebabkan oleh interaksi seseorang dengan


(16)

lingkungan. Kesiapan sikap perilaku tersebut adalah hasil dan cara belajar merespon lingkungan dalam kawasan budaya tertentu.”

Dalam isi novel “Eat, Pray, Love” menceritakan tentang Gaya hidup seseorang di dunia yang merupakan ciri sebuah dunia modern, atau yang biasa juga disebut modernitas. Kebutuhan akan status dan terpaan budaya mengakibatkan merebaknya gaya hidup metropolis yang cenderung permisif dan mengedepankan kemewahan daripada kecerdasan dan nilai budaya lokal. Gaya hidup metropolis ini terutama berkembang pada kalangan muda yang tergolong labil, dan sangat mudah terpengaruh Perubahan gaya hidup ini juga terlihat pada kaum wanita. Khususnya, para wanita yang hidup di kota besar dan mengikuti perkembangan zaman. Tuntutan penampilan, pergaulan, dan pola adaptasi menggeser jati diri kebanyakan para wanita. Dan Novel “Eat, Pray, Love “ dipilih karena peneliti merasa novel ini lebih menunjukkan citra wanita metropolis Novel nya bernama Elizabeth. Pada waktu memasuki usia tiga puluh tahun, Elizabeth Gilbert memiliki semua yang diinginkan oleh seorang wanita Amerika modern, terpelajar, ambisius suami, rumah, karir yang cemerlang. Tetapi ia bukannya merasa gembira dan puas, tetapi malah menjadi panik, sedih dan bimbang. Ia merasakan perceraian, depresi, kegagalan cinta dan kehilangan pegangan akan arah hidupnya. Untuk memulihkan ini semua, Elizabeth Gilbert mengambil langkah yang radikal. Dalam pencarian akan jati dirinya, ia menjual semua miliknya, meninggalkan pekerjaannya, meninggalkan orang-orang yang dikasihinya dan memulai satu tahun perjalanan keliling dunia seorang diri. Makan, Doa, Cinta merupakan catatan kejadian di tahun pencarian tersebut. Keinginan Elizabeth


(17)

Gilbert mengunjungi tiga tempat di mana dia dapat meneliti satu aspek kehidupannya, dengan latar belakang budaya yang secara tradisional telah mewujudkan aspek kehidupan tersebut dengan sangat baik.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti merasa lebih tertarik untuk meneliti makna pesan yang disajikan dalam Novel “Eat, Pray, Love “ dalam konteks analisis wacana yang dipaparkan dalam novel tersebut.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

Bagaimana wacana makna pesan yang disajikan dalam novel . “Eat, Pray, Love”

I.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari salah pengertian dan memperjelas masalah yang di bahas dalam penelitian, maka peneliti merasa perlu, melakukan pembatasan masalah yang akan di teliti. Adapun pembatasan masalah tersebut adalah Mengenai Representasi Gaya Hidup Wanita Metropolis Dalam Novel “Eat, Pray, Love” Karya Elizabeth Gilbert

I.4 Tujuan dan Manfaat penelitian I.4.1 Tujuan Penelitian

a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai ideologi penulis dalam menyajikan ceritanya


(18)

b. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wacana pada makna isi pesan yang terkandung dalam novel “Eat, Pray, Love”

c. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi perempuan yang dibentuk dalam novel “Eat, Pray, Love”

I.4.2 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah penelitian tentang media, khususnya tentang kajian media yang dianalisis menggunakan analisis wacana.

2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih krisis terhadap teori informasi yang disajikan media.

3. secara akademis, penelitian ini dapat disumbangsihkan pada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.

1.5 Kerangka Teori

Setiap penelitian sosial, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori ( Singarimbun,1991:37). Oleh karena itu teori diperlukan untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan masalah atau menyoroti masalahnya. Untuk perlu di susun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana penelitian tersebut disoroti (Nawawi,1995:40). Menurut Kerlinger (Rakhmat, 2004:6), teori merupakan suatu himpunan kontruk (konsep) yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi diantara variable untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.


(19)

Adapun teori-teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

I.5.1 Analisis Wacana kritis

Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagaidengan berbagai pengertian. Dari berbagai pengertian yang terkadang mempunyai gradasi yang besar antara masing-masing pengertian. Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Analisis wacana lebih menekankan “Bagaimana” suatu pesan atau teks komunikasi tersebut. Dengan analisis wacana, kita tidak hanya dapat melihat isi teks berita tetapi juga bagaimana pesan dari isi teks tersebut disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001:15).

Analisis wacana menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak diluar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh kerana itu analisis wacana yang dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topic apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis.


(20)

Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Eriyanto 92001:4-6), pertama positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek diluar dirinya. Pengalaman-pengalaman yang di alami manusia dianggap dapat langsung diekspresikan melalui penggunaaan bahasa tanpa perlu mengkhawatirkan adanya kendala atau distorsi. Sejauh seseorang tersebut menggunakan pernyataan-pernyataan yang logis, sintatik dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri-ciri dari pemikiran ini adalah adanya pemisahan antara suatu pemikiran dan realita dengan melihat aturan-aturan yang harus dipenuhi lainnya.

Kedua disebut konstruktivisme, yang memandang bahasa dan dapat dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan positivme yang memisahkan antara subjek dan objek bahasa. Konstruktivisme menganggap subjek sebagai suatu factor sentral dalam kegiatan wacana dan hubungan-hubungannya dengan sosialnya. Menurut Mohammad A.S Hikam, subjek dalam pandangan konstruktivisme memiliki kemampuan untuk melakukan control terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakkan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukkan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objek belaka. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksud sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.

Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstalasi kekuatan yang terjadi pada


(21)

proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak di pahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu,tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti di pakai, topic apa yang sering dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini di sebut juga dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Ini untuk membedakan dengan analisis wacana dalam kategori pertama dan kedua (discourse analysis)

Dalam beberapa analisis wacana yang dikembangkan oleh para ahlinya, penulis memilih analisis wacana menurut Teun A Van Tjik. Hal ini dikarenakan menurut wacana Teun A Van Tjik lebih spesifik mengangkat sebuah wacana beberapa aspek yang sangat berkaitan Teun A Van Tjik melihat suatu konstruksi proses wacana tersebut diproduksi.

I.5.2 Analisis Wacana Van Djik

Model teori ini sering disebut sebagai kognisi sosial, menurut Van dijk penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasari pada analisis teks semata, karena teks hanya merupakan hasil suatu praktik produksi yang harus diamati. Perlu dilihat bagaimana suatu teks diproduksi sehingga kita memperoleh pengetahuan kenapa teks bisa seperti itu (Eriyanto, 2001:222).

Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level


(22)

kognisi sosial dipelajari suatu proses produksi berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan kognisi sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah (Eriyanto, 2001:224).

Teks bukanlah suatu yang berasal dari langit, bukan juga dari suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks merupakan pembentukkan suatu praktek yang diskursus. Van Dijk tidak hanya membongkar teks semata, tetapi ia melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada di dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu.

Dalam kognisi sosial yang terjadi, terdapat suatu pandangan tentang adanya ideologi yang mewakili cara pandang masyarakat dalam melihat suatu hal. Dalam ideology yang terbentuk, sebenarnya merupakan hasil dari nilai-nilai yang di adopsi seseorang dalam melihat masalah. Dengan adanya suatu ideologi, maka akan tergambar suatu bentuk resresentasi yang secara khusus melihat suatu hal yang berkembang di masyarakat Proses pembentukkan respresentasi yang terjadi di masyarakat tersebut lahir dari sebuah analisis atau konteks sosial yang dipahami bersama oleh masyarakat.

Inti dari analisis Van Dijk adalah menghubungkan analisis tekstual (memusatkan perhatian pada teks) kearah yang komprehensif bagaimana teks berita di produksi, baik dalam hubungannya dengan individu wartawan maupun dari masyarakat


(23)

I.6 Kerangka Konsep

Kerangka sebagai suatu hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dalam memperkirakan segala kemungkinan hasil yang dicapai (Nawawi, 1995:33). Konsep tersebut dapat diteliti, yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara absrak kejadian,keadaan, kelompok atau individu yang mejadi pusat perhatian ilmu sosial (Sangarimbun, 1995:34).

I.6.1 Komunikasi

Pengertian komunikasi adalah istilah komunikasi berasal dari bahasa latin communicatio, yang bersumber dari kata komunis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna, jadi komunikasi dapat terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan di terima oleh komunikan ( Effendy, 2003:30) Hovland mendefenisikan proses komunikasi sebagai proses yang memungkinkan seseorang menyampaikan rangsangan untuk mengubah prilaku orang lain ( Mulyana, 2002:62).

Menurut Everet M. Rogers seorang pakar sosiologi pedesaan amerika yang telah banyak meberikan studi riset komunikasi, khususnya dalam penyebaran inovasi yang membuat defenisi bahwa komuniksi adalah satu proses, dimana suatu ide dialihkan dari satu sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Rogers mencoba menspesifikasikan hakikat suatu hubungan dengan adanya perubahan sikap dan tingkah laku dalam menciptakan saling pengertian dari orang – orang yang ikut serta dalam proses komunikasi ( Canggara 2004: 19)

Sedangakan menurut Shannon dan Weaver komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya sengaja


(24)

ataupun tidak sengaja. Tidak terbatas pada komunikasi menggunakan komunikasi bahasa verbal. Tetapi dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi ( Cangara 2004 :20)

I.6.2 Komunikasi Antar Budaya

Komunikasi antar budaya merupakan salah satu bidang kajian dalam ilmu komunikasi. Menurut Alo Liliweri, komunikasi antr budaya adalah komunikasi antar pribadi diantara para peserta komunikasi yang berbeda latar belakang budayanya (Liliweri, 2001:170). Menurut Proses, komunikasi antar budaya juga merupakan komunikasi antar pribadi pada tingkat individu dari anggota kelompok-kelompok budaya berbeda (Liliweri,2001:170). Sedangkan menurut E.B Taylor, kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan lain kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat

Saluran komunikasi antarbudaya sendiri dibagi menjadi dua yaitu : 1. Antar pribadi /interpersonal

2. Media massa (radio, surat kabar, televisi, majalah)

Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian, kita segera dihadapkan dalam suatu situasi, dimana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. Budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendeharaan prilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekwensinya, perbendeharaan yang dimiliki oleh dua orang yang


(25)

berbeda budaya akan berbeda pula dalam pengartiannya, yang dapat menimbulkan berbagai kesulitan.

Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antar pribadi diantara para peserta komunikasi yang berbeda latar belakang budayanya ( Liliweri,2001;170). Dengan begitu, efektivitas komunikasi sangat ditentukan oleh sejauh mana komuniktor dengan komunikan memeberikan makna yang sama atas suatu pesan.

Dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia meliputi :

1) Kebudayaan materiil ( bersifat jasmaniah ) yang meliputi benda-benda ciptaan Manusia misalnya kendaraan, alat rumah tangga dan lain-lain 2) Kebudayaan non-materiil (bersifat rohaniah) yaitu semua hal yang

tidak dapat

3) dilihat dan diraba, misalnya agama, bahasa, ilmu pengetahuan dan sebagainya

2. Kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif (biologis) melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar .

3. Kebudayaan diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat kemungkinannya sangat kecil untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia (secara individual maupun kelompok) dapat mempertahankan kehidupannya (Purba Amir dkk, 2006:107)


(26)

I.6.3 Representasi

Representasi biasanya di pahami sebagai gambaran suatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya sebatas to present, to image, atau to depict. Representasi diartikan sebagai suatu cara dimana memaknai apa yang di berikan pada objek yang digambarkan. Konsep awal mengenai representasi didasarkan pada premis bahwa ada suatu gap representasi yang menjelaskan perbedaan makna yang diberikan oleh representasi dan arti objek yang sebenarnya di gambarkan.

Berlawanan dengan pemahaman awal tersebut, Stuart Hall menyatakan bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif memaknai dunia. “So the respresentation is the way which meaning is some how given to the things which are depicted through the image or wherever it is, on screens or the words on a page which stands what we ‘re talking about”

Hall menjelaskan bahwa sebuah imaji yang dibuat mempunyai makna yang berbeda dan tidak dapat di pastikan imaji tersebut dapat berfungsi dan bekerja sebagaimana mereka di ciptakan atau di kreasikan. Hall menyatakan bahwa resprentasi di anggap sebagai suatu konstitutif, ini karena representasi tidak akan terbentuk sebelum ada kajadian yang menyertainya. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian dan representasi merupakan sebuah objek dari bagian representasi itu sendiri.

Menurut Jhon Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan kelompok atau seseorang paling tidak ada proses yang dihadapi oleh wartawan. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas.Pada level kedua, ketika kita sedang memandang sesuatu sebagai realitas,


(27)

pernyataan berikut adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Pada level ketiga, bagaimana peristiwa itu diorganisir kedalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Menurut Fiske, ketika kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi tersebut.

I.6.4 Ideologi

Menurut Sukarna (Sobur : 64) secara etimologis, ideology berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligiate Dictionary berarti “something existing in the mind as the result of the formulation on an opinion, plan or like”( sesuatu yang ada dalam pikiran atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini berasal dari kata legein berarti science atau pengetahuan/teori. Jadi ideologi menurut kata adalah pencakupan dari yang terlihat atau mengutarakan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran.

Menurut Aart Van Zoest, dalam teks tidak akan pernah luput dari sebuah ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca kearah suatu ideologi (Sobur, 2004:60). Setiap makna yang di kontruksikan selayaknya memiliki suatu kecendrungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang di pakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya ( Sudibyo, 2001:12).

Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir yakni nilai, orientasi dan kecendrungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang di ungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi. Ideologi


(28)

dipengaruhi oleh asal-usulnya, asosiasi kelembagaannya dan tujuan nya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungannya ini tidak pernah jelas seluruhnyab(Lull, 1998:1).

Raymond William (Eriyanto, 2001:87) mengklarifikasikan penggunaan ideology dalam tiga ranah. Pertama, suatu system kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat atau kelompok atas stratifikasi kelas tertentu. Definisi dalam ranah ini biasanya di gunakan oleh para psikologi yang melihat ideology sebagai suatu perangkat sikap yang di bentuk dan diorganisasikan ndalam bentuk yang koheren. Sebuah ideology dipahami sebagai sesuatu yang berlaku di masyarakat dan tidak berasal dari dalam diri individu itu sendiri.

Kedua adalah system kepercayaan yang dibuat, dalam ranah ini ideologi merupakan ide palsu atau kesadaran palsu yamh akan hancur ketika dihadapkan dengan pengetahuan ilmiah. Jika diartikan, Ideologi adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau yang menempatkan sebagai posisi dominan yang menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi kelompok yang tidak dominant. Ideologi digambarkan bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan alamiah. Dengan sadar ataupun tidak kita dibuat untuk menerima ideologi tersebut sebagai suatu kebenaran. Ranah yang ketiga, merupakan suatu proses umum produksi makna dan ide. Ideologi diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita yang di sajikan secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideology tertentu.

Asal mula ideologi sebagai sebuah konsep kritis dalam teori sosial dapat ditelusuri ke Perancis pada akhir abad ke-18. Sejak saat itu ideologi menurut


(29)

definisi manapun menjadi perhatian utamma para sejarahwan, filsuf, kritikus, sastra ahli semiotika, ahli rethorika yang dapat mewakili semua bidang ilmu humaniora dan sosial (Lull, 1998:2). Sejumlah perangkat ideologi yang diangkat atau di bentuk dan di perkuat oleh media massa diberikan suatu legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering menyolok kepada sejumlah khalayak yang besar dalam kategori jumlahnya

.Analisis ini lebih di khususkan pada tiga dimensi: teks,kognisi sosial dan konteks sosial yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Konteks

Kognisi Sosial

Teks

Sumber: Eriyanto, 2001:225

Elizabeth. Pada waktu memasuki usia tiga puluh tahun, Elizabeth Gilbert memiliki semua yang diinginkan oleh seorang wanita Amerika modern, terpelajar, ambisius suami, rumah, karir yang cemerlang. Tetapi ia bukannya merasa gembira dan puas, tetapi malah menjadi panik, sedih dan bimbang. Ia merasakan


(30)

perceraian, depresi, kegagalan cinta. dan kehilangan pegangan akan arah hidupnya.

Untuk memulihkan ini semua, Elizabeth Gilbert mengambil langkah yang radikal. Dalam pencarian akan jati dirinya, ia menjual semua miliknya, meninggalkan pekerjaannya, meninggalkan orang-orang yang dikasihinya dan memulai satu tahun perjalanan keliling dunia seorang diri. Makan, Doa, Cinta merupakan catatan kejadian di tahun pencarian tersebut. Keinginan Elizabeth Gilbert mengunjungi tiga tempat di mana dia dapat meneliti satu aspek kehidupannya, dengan latar belakang budaya yang secara tradisional telah mewujudkan aspek kehidupan tersebut dengan sangat baik.

Agar konsep tersebut dapat diteliti, maka harus di operasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel. Variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi perhatian dari suatu penelitian. Variebel dalam penelitian ini adalah bentuk analisis wacana Teun Van Djik yang terdiri dari tiga tahap : teks, kognisi sosial dan analisis sosial dan analisis sosial atau konteks sosial.

STRUKTUR Teks

Menganalisis bagaimana strategi wacana yang dipakai untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk menyingkirkan atau memarginalkan suatu kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu.

Kognisi Sosial


(31)

ditulisnya. Analisis Sosial

Menganalisis bagaiman wacana yang berkembang di masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa di gambarkan

I.7 Metodologi Penelitian I.7.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah analisis wacana dengan menggunakan analisis Teun A. Van Dijk lebih menekankan bagaimana perempuan dicitrakan dalam teks berita. Dengan konsep bagaimana posisi aktor-aktor dalam teks berita, akan didapatkan siapa yang dominan menceritakan kejadian (sebagai subjek) serta posisi yang ditarik ke dalam berita yang melatarbelakangi di buatnya Novel “Eat, Pray, Love” yang mengangkat wacana gender dan representasi perempuan dengan konsep makna pesan yang tersirat.

Dalam analisis wacana Teun Van Djik, peneliti dapat melihat secara spesifik factor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu wacana. Teun Van Djik melihat ada faktor kognisi sosial atau kognisi individu yang membut suatu wacana tersebut. Kemudian secara lebih lanjut, kognisi sosial tersebut merupakan hasil dari adanya analisis sosial yang berkembang yang diyakini bersama. Dengan melihat faktor-faktor struktural tersebut, proses pembentukan suatu wacana menjadi sangat jelas dan terstruktur.

I.7.2 Subjek Penelitian

Yang diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh isi cerita yang terdapat dalam novel “ Eat, Pray, Love” karangan Elizabeth Gilbert, yang terdiri dari 372


(32)

halaman. Penelitian ini menggunakan novel cetakan pertama tahun 2010 dan di terjemahkan oleh Silamurti Nugroho, di terbitkan pertama sekali oleh Penerbit Abdi Tandur.

I.7.3 Unit dan Level Analisis

Unit yang di analisis adalah langsung Novel “ Eat, Pray, Love “yang di lihat dari teks atas keseluruhan isi cerita dalam novel. Analisis yang dilakukan dalam tahap teks, kognisi sosial dan analisis sosial yang disajikan dalam isi cerita novel tersebut. Sedangkan tingkat analisisnya adalah wacana pada makna pesan yang disampaikan secara tersirat dan representasi perempuan yang disajikan dalam cerita novel tersebut.

I.7.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data Primer, yaitu dimana data unit analisis dari teks-teks yang tertulis

pada Novel “ Eat, Pray, Love “.

2. Data Sekunder. Yaitu melalui penelitian kepustakaan ( Library Research ), dengan mengumpulkan literature serta berbagai sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian.

3. Wawancara terhadap pengarang Novel “ Eat, Pray, Love ” .via e-mail dan wawancara langsung kepada pengamat atau aktivis perempuan.


(33)

I.7.5 Teknik Analisis Data

STRUKTUR METODE

Teks

Critical

Linguistics

menganalisis bagaimana STRUKTUR HAL YANG ELEMEN strategi wacana yang dipakai WACANA DIAMATI

untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa

Struktur Makro

Tematik Topik

Tertentu. Bagaimana strategi Tema atau topik tekstual yang dipakai untuk yang dikedepankan menyingkirkan atau memarji- dalam suatu berita Nalkan suatu kelompok

gaga-

san atau peritiwa tertentu.

Super Struktur

Skematik Skema

Bagaimana bagian

dan urutan teks

dikemaskan dalam

utuh teks

Struktur Makro

Semantik Latar, detail

Makna yang ingin maksud,


(34)

teks

misalnya dengan nominalisasi.

memberikan detail

pada suatu sisi atau

membuat eksplisit

pada suatu sisi dan

mengurangi detail pada sisi lain.

Sintaksis

Bentuk kalimat

Bagaimana kalimat koherensi,

(dibentuk susunan) kata ganti

yang dipilih

Stilistik Leksikon

Pilihan kata dalam

teks

Retoris Grafis,

Bagaimana dan metafora,

dengan cara apa ekspresi

penekanan

dilakukan

Kognisi sosial

Wawancara Mendalam Menganalisis kognisi


(35)

dari sipembuat berita dalam memahami suatu peristiwa yang

Ditulisnya

Analisis Sosial Studi pustaka Penelusuran

Sejarah Menganalisis bagaiman

Wacana yang

berkembang

dimasyarakat, proses Produksi dan

reproduksi

Seseorang atau

peristiwa

Digambarkan

I.7.6. Validitas Penelitian

Dalam uji keabsahan penelitian, peneliti melakukan pengecekan dengan menggunakan 2 (dua) orang saksi sebagai recheker untuk membandingkan hasil penelitian yang didapat dengan persepsi mereka setelah membaca novel “ Eat, Pray, Love”. Jika terjadi kesamaan persepsi antara hasil penelitian dengan persepsi mereka, maka peneliti akan mengambil kesimpulan yang sama. Tetapi


(36)

jika terjadi perbedaan antara keduanya, maka peneliti akan melihat atau menarik benang merah yang menghubungkan keduanya.


(37)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1 Komunikasi

II.1.1 Pengertian Komunikasi

Pengertian komunikasi adalah istilah komunikasi berasal dari bahasa latin communicatio, yang bersumber dari kata komunis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna, jadi komunikasi dapat terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan di terima oleh komunikan ( Effendy, 2003:30) Hovland mendefenisikan proses komunikasi sebagai proses yang memungkinkan seseorang menyampaikan rangsangan untuk mengubah prilaku orang lain ( Mulyana, 2002:62).

Menurut Everet M. Rogers seorang pakar sosiologi pedesaan amerika yang telah banyak meberikan studi riset komunikasi, khususnya dalam penyebaran inovasi yang membuat defenisi bahwa komuniksi adalah satu proses, dimana suatu ide dialihkan dari satu sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Rogers mencoba menspesifikasikan hakikat suatu hubungan dengan adanya perubahan sikap dan tingkah laku dalam menciptakan saling pengertian dari orang – orang yang ikut serta dalam proses komunikasi ( Canggara 2004: 19)

Sedangakan menurut Shannon dan Weaver komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya sengaja ataupun tidak sengaja. Tidak terbatas pada komunikasi menggunakan komunikasi


(38)

bahasa verbal. Tetapi dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi (Cangara 2004 :20)

Jika kita berada dalam situasi komunikasi, maka kita memiliki bebrapa kesamaan dengan orang kain, seperti kesamaan bahasa atau kesamaan arti dalam simbil –simbol yang digunakan dalam berkomunikasi. Seperti yang di namakan Wilbur Schramm yaitu frame of reference atau dapat diartikan sebagai kerangka acuan, yaitu paduan pengalaman dan pengertian selain itu Schramm juga menyatakan bahwa field of experience atau bidang pengalaman merupakan faktor yang amat penting untuk terjadinya komunikasi. Apabila bidang pengalaman komunikator tidak sama dengan bidang pengalaman komunikan maka akan timbul kesukaran untuk mengerti satu dengan yang lain dan situasi akan menjadi tidak komunikatif ( Effendy, 2003:30-31)

Komunikasi sendiri mempunyai fungsi. Fungsi adalah potensi yang dapat digunkan untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu. Komunikasi sebagai ilmu, seni dan penyedia lapangan pekerjaan sudah tentu memiliki fungsi yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya

Komunikasi sendiri berfungsi untuk mengembangkan kreativitas imajinasi, memahami dan mengendalikan diri, serta meningkatkan kematangan berpikir sebelum mengambil keputusan. Melalui komunikasi dengan diri sendiri, orang dapat berfikir dan mengendalikan bahwa apa yang ingin dilakukan mungkin saja tidak menyenangkan orang lain. Jadi komunikasi dengan diri sendiri dapat meningkatkan kematangan berfikir sebelum mengambil keputusan. Komunikasi seperti ini disebut sebagai komunikasi internal yang dapat membantu dalam menyelesaikan suatu masalah ( Cangara 2004: 56 )


(39)

II.1.2 Fungsi Komunikasi

Karlinah mengemukakan fungsi komunikasi secara umum, adalah : 1. Fungsi Informasi

Fungsi memberikan informasi ini dapat diartikan, bahwa media massa adalah penyebar informasi bagi pembaca, pendengar ataupun pemirsa. Berbagai informasi dibutuhkan oleh kyalayak media massa yang bersangkutan sesuai dengan kepentingan khalayak. Khalayak sebagai manusia sosial akan selalu merasa haus akan segala informasi tentang segala sesuatu yang ada di sekitarnya.

2. Fungsi Pendidikan

Media massa merupakan sarana pendidikan bagi khalayaknya, karena media massa banyak menyajikan hal-hal yang sifatnya mendidik.

3. Fungsi Mempengaruhi

Fungsi mempengaruhi dalam komunikasi, khalayak terpengaruh oleh pesan-pesan dalam komuniksai yang dilakukan, sehingga tanpa sadar khalayak melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan yang diinginkan komunikator

4. Fungsi Proses Pengembangan Mental

Untuk mengembangkan wawasan , kita membutuhkan berkomunikasi dengan orang lain. Dengan berkomunikasi, manusia akan bertambah pengetahuannya dan berkembang intelektualitasnya. Hal tersebut di peroleh dari pengalaman pribadinya dan dari orang lain pengalaman dapat membantu manusia untuk memahami betapa besar ketergantungan manusia kepada komunikasi. Karena komunikasi dapat membantu manusia dalam perkembangan mentalnya.


(40)

5. Fungsi Adaptasi Lingkungan

Setiap manusia berusaha unutuk menyesuaikan diri dengan dunianya untuk bertahan hidup. Proses komunikasi membantu manusia dalam proses penyesuaian tersebut. proses pengiriman pesan oleh komunikator dan penerima pesan oleh komunikan dapat membantu kita berhubungan dengan orang lain, saling menyesuaikan diri, sehingga dapat menimbulkan kesamaan diantara komunikator dengan komunikan .

6. Fungsi Manipulasi Lingkungan

Manifulasi disini bukan diartikan sebagai suatu yang negative. Manifulasi lingkungan artinya berusaha untuk mempengaruhi. Setiap orang berusaha saling mempengaruhi dunia dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Dalam fungsi manipulasi komunikasi digunakan sebagai alat control utama dan pengaturan lingkungan.

7. Fungsi Meyakinkan

Fungsi komunikasi massa secara umum antara lain memberikan hiburan kepada khalayaknya, namun ada fungsi yang tidak kalah penting dari media massa yaitu fungsi meyakinkan atau persuasi,persuasi menurut Devito dalam bentuk

a. Mengukuhkan atau memperkuat sikap, kepercayaan atau nilai seseorang.

b. Mengubah sikap, kepercayaan atau nilai seseorang c. Menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu


(41)

II.2 Komunikasi Antarbudaya

II.2.1 Sejarah Komunikasi Antarbudaya

Istilah “Antarbudaya” pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog bernama Edward T. Hall pada 1959 dalam bukunya The Silent Language. Karya Hall tersebut hanya menerangkan tentang keberadaan konsep-konsep unsur kebudayaan.

Hakikat perbedaan antarbudayadalam proses komunikasi yang dijelaskan oleh David K. Berlo, bahwa semua tindakan komunikasi berasal dari konsep kebudayaan. Kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap prilaku komunikasi seseorang,termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda.

Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada tahun 1970-1980an. Pada tahun 1979 Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Netmark menerbitkan sebuah buku yang khusus membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of Intercultural Communication. Sejak itu banyak ahli mulai melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya.

Menurut Alo Liliweri, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antar pribadi diantara para peserta komunikasi yang berbeda latar belakang budayanya (Liliweri,2001:170). Menurut Proser dalam liliweri, komunikasi antarbudaya juga merupakan komunikasi antar pribadi pada tingkat individu dari anggota kelompok-kelompok budaya berbeda.

Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam


(42)

keadaan demikian, kita dihadapkan pada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi dimana suatu pesan sandi dalam suatu budaya dan harus di sandi balik dalam budaya lain. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbedaharaan prilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya,perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan berbeda pula, yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan.

II.2.2 Elemen-Elemen Komunikasi Antarbudaya

Adapun elemen-elemen dalam mempelajari komunikasi antarbudaya adalah sebagai berikut :

1. Persepsi

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasi rangsangan dari lingkungan eksternal. Dengan kata lain, persepsi adalah cara kita mengubah energi-energi fisik lingkungan kita menjadi pengalaman bermakna. Secara umum dipercaya bahwa orang-orang berprilaku sedemikian rupa sebagai hasil dari cara mereka mempersepsi segala sesuatunya sedemikian rupa pula.

Komunikasi antarbudaya akan lebih dapat dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi objek-objek sosial dan kejadian-kejadian. Suatu prinsip penting dalam pendapat ini adalah bahwa masalah-masalah kecil dan komunikasi sering diperumit oleh perbedaan-perbedaan persepsi yang terjadi.


(43)

Tiga unsur sosio-budaya mempunyai pengaruh yang besar dan langsung atas makna-makna yang kita bangun dalam persepsi kita. Unsur-unsur tersebut adalah :

a. Sistem-sistem Kepercayaan,Nilai,Sikap

Budaya memerankan suatu peran yang sangat penting dalam pembentukkan kepercayaan. Dalam komunikasi antarbudaya tidak ada yang benar atau hal yang salah, sejauh hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan.

Nilai-nilai dalam suatu budaya menunjukkan diri dalam prilaku para anggota budaya yang dituntut oleh budaya tersebut. Kepercayaan dan nilai memberikan kontribusi bagi pengembangan dan isi sikap. Kita dapat mendefinisikan sikap sebagai suatu kecend rungan yang diperoleh dengan cara belajar untuk merespon suatu objek secara konsisten. Lingkungan sekitar kita turut membentuk sikap, kesiapan kita merespon, dan akhirnya prilaku kita.

b. Pandangan Dunia (world view)

Pandangan dunia sangat mempengaruhi budaya. Pandangan dunia juga mempengaruhi kepercayaan, nilai,sikap, penggunaan waktu dan banyak aspek budaya lainnya. Dengan cara-cara yang tidak terlihat, pandangan dunia sangat menpengaruhi komunikasi antarbudaya. Oleh karena sebagai anggota suatu budaya setiap prilaku komunikasi mempunyai pandangan dunia yang tertanam pada jiwa yang sepenuhnya dianggap benar dan otomatis


(44)

menganggap bahwa pihak lainnya memandang dunia sebagaimana ia memandangnya.

c. Organisasi Sosial

Cara bagaimana suatu budaya mengorganisasikan dirinya dan lembaga-lembaganya mempengaruhi bagaimana anggota-anggota budaya mempersepsi dunia, dan bagaimana mereka berkomunikasi. budaya,mempunyai pengaruh terpenting. Keluargalah yang paling berperan dalam mengembangkan anak selama periode formatif dalam kehidupannya.

Sekolah adalah organisasi sosial lainnya yang terpenting. Sekolah diberi tanggung jawab besar untuk mewariskan dan memelihara suatu budaya. Sekolah memelihara budaya dengan memberitahu anggota-anggota barunya apa yang telah terjadi, apa yang terpenting, dan apa yang harus diketahui seseorang sebagai anggota budaya.

2. Proses-proses Verbal

Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaiman kita berbicara dengan orang lain namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata yang digunakan.

a. Bahasa Verbal

Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai, dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinteraksi dengan orang-orang lain dan njuga sebagai alat untuk berpikir.Maka, bahasa berfungsi


(45)

sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan, dan turut membentuk pikiran.

b. Pola-Pola Berpikir

Pola-pola berpikir suatu budaya mempengaruhi bagaimana individu-individu dalam budaya itu berkomunikasi, yang akan mempengaruhi bagaimana setiap orang merespon individu-individu dari suatu budaya lain. Kita tidak dapat mengharapkan setiap orang untuk menggunakan pola-pola berpikir yang sama, namun memahami bahwa terdapat banyak pola berpikir dan belajar menerima pola-pola tersebut akan memudahkan komunikasi antarbudaya kita.

3. Proses Non Verbal

Dalam proses non verbal, yang relevan dengan komunikasi antarbudaya, terdapat tiga aspek yaitu :

a. Perilaku Non Nerbal

Sebagai suatu komponen budaya, ekspresi non verbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya merupakan system penyandian yang dipelajari dan diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya.Seperti yang kita tahu, bahwa kata stop dapat berarti berhenti, demikian pula kita telah mengetahui bahwa lengan yang diangkat lurus diudara dan telapak tangan mengahadap ke muka sering diartikan berhenti


(46)

juga. Dengan Begitu, dapat dilihat bahwa kebanyakan komunikasi non verbal berlandaskan budaya,apa yang dilambangkannya sering kali merupakan hal yang telah budaya sebarkan kepada anggota-anggotanya.

b. Konsep Waktu

Waktu merupakan komponen budaya yang penting. Terdapat banyak perbedaan mengenai konsep ini antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya dan perbedaan-perbedaan tersebut mempengaruhi komunikasi.

c. Penggunaan Ruang

Cara kita mengatur ruang merupakan suatu fungsi budaya. Contohnya, rumah kita secara non verbal menunjukkan kepercayaan dan nilai yang kita anut.

II.2.3 Hambatan-Hambatan Komunikasi Antarbudaya

Dalam mempelajari komunikasi antarbudaya ada beberapa hambatan yang akan kita jumpai, yaitu :

1. Prasangka Sosial

Prasangka sosial merupakan suatu sikap yang sangat negatif, yang diarahkan kepada kelompok tertentu dan lebih difokuskan kepada suatu ciri-ciri negatif pada kelompok tersebut.

2. Etnosentrisme

Dalam sikap etnosentrisme setiap kelompok budaya merasa arah pemikiran tentang budaya yang dianut lebih baik daripada arah


(47)

pemikiran kelompok budaya lainnya, sehingga meremehkan budaya kelompok lain dan memutlakkan kebudayaan sendiri.

II.3 Respresentasi

Respresentasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Respresentasi tidak hanya sebatas to present, to image, atau to depict. Representasi diartikan sebagai suatu cara dimana memaknai apa yang di berikan pada objek yang digambarkan. Konsep awal mengenai representasi didasarkan pada premis bahwa ada suatu gap representasi yang menjelaskan perbedaan makna yang diberikan oleh representasi dan arti objek yang sebenarnya di gambarkan.

Berlawanan dengan pemahaman awal tersebut, Stuart Hall menyatakan bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif memaknai dunia. “So the respresentation is the way which meaning is some how given to the things which are depicted through the image or wherever it is, on screens or the words on a page which stands what we ‘re talking about”

Hall menjelaskan bahwa sebuah imaji yang dibuat mempunyai makna yang berbeda dan tidak dapat di pastikan imaji tersebut dapat berfungsi dan bekerja sebagaimana mereka di ciptakan atau di kreasikan. Hall menyatakan bahwa resprentasi di anggap sebagai suatu konstitutif, ini karena representasi tidak akan terbentuk sebelum ada kajadian yang menyertainya. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian dan representasi merupakan sebuah objek dari bagian representasi itu sendiri.


(48)

Menurut Jhon Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan kelompok atau seseorang paling tidak ada proses yang dihadapi oleh wartawan. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas.Pada level kedua, ketika kita sedang memandang sesuatu sebagai realitas, pernyataan berikut adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Pada level ketiga, bagaimana peristiwa itu diorganisir kedalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Menurut Fiske, ketika kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi tersebut.

1. Bahasa

Respresentasi sekaligus misrepresentasi tersebut adalah peristiwa kebahasaan. Bagaimana seseorang ditampilkan dengan tidak baik, biasa terjadi pertama-tama dengan menggunakan bahasa. Melalui bahasalah berbagai tindakan mispresentasi tersebut ditampilkaan oleh media dan dihadirkan dalam pemberitaan. Oleh karena itu, yang perlu dikritisi disini adalah pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk dibaca oleh khalayak.

Ada dua proses yang dilakukan media untuk memaknai realitas yaitu pertama, memilih fakta. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi bahwa wartawan tidak mungkin, melihat peristiwa tanpa perspektif. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan preposisi apa, dengan bantuan aksentualisasi foto dan gambar apa dan sebagainya


(49)

Proses pemilihan kata mau tidak mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk dibaca oleh khalayak. Pilihan kata-kata tertentu yang dipakai sekedar teknis jurnalistik, tetapi bagian penting kata-kata yang dipilih dapat menciptakan realitas tertentu pada khalayak. Kenneth Burke mengatakan bahwa kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masalah tertentu tapi juga membatasi persepsi kita dan mengarahkannya pada cara berfikir dan keyakinan tertentu. 2. Mispresentasi

Dalam respresentasi, sangat mungkin terjadi mispresentasi: ketidakbenaran penggambaran, kesalahan penggambaran. Seseorang, suatu kelompok. Suatu pendapat, sebuah gagasan tidak ditampilkan sebagaimana semestinya atau adanya, tetapi digambarkan secara buruk. Setiap hari kita mendengar, membaca atau melihat bagaimana kesalahan respresentasi itu terjadi.

a. Ekskomunikasi (Excomunication)

Ekskomunikasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dikeluarkan dari pembicaraan public. Di sini mispresentasi terjadi karena seseorang atau suatu kelompok tidak diperkenalkan untuk berbicara. Ia dianggap (alien), bukan bagian dari kita. Karena tidak dianggap sebagai bagian dari partisipan publik, maka penggambaran hanya terjadi pada pihak kita, tidak ada kebutuhan untuk mendengarn suara dari pihal lain.


(50)

b. Eksklusif

Eksklusi berhubungan dengan bagaimana seseorang dikucilkan dalam pembicaraan. Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tetapi mereka dipandang lain, mereka buruk dan mereka bukan kita. Di sisi, ada suatu sikap yang diwakili oleh wacana yang diwakili oleh wacana yang menyatakan bahwa kita baik, sementara mereka buruk. Menurut Faulcoult, suatu kelompok atau gagasan dapat dilakukan melalui berbagai prosedur, Pertama, Melakukan pembatasan apa yang bisa dan tidak boleh membicarakannya. Kedua, ekslusi sesuatu wacana public juga dilakukan dengan membuat klasifikasi mana yang baik mana yang buruk ,mana yang bisa diterima

c. Marjinalisasi

Praktek marjinalisasi adalah misinterpretasi yang berbeda dengan eksklusi dan pengucilan. Dalam marjinalisasi, terjadi penggambaran ada yang buruk terhadap pihak/kelompok lain. Akan tetapi, berbeda dengan eksklusi/ekskomunikasi, disini tidak terjadi pemilihan antar pihak mereka. Ada beberapa praktik pemakaian bahasa sebagai strategi wacana dari marjinalisasi ini. Pertama, penghalusan makna (Eufimisme). Kata eufimisme barangkali yang paling banyak dipakai oleh media. Kata ini pertama kali dipakai dalam bidang budaya, terutama untuk menjaga kesopanan dan norma-norma. Kedua, Pemakaian bahasa pengasaran (Disfemisme). Kalau eufimisme


(51)

dapat mengakibatkan realitas menjadi halus, disfemisme sebaliknya dapat mengakibatkan realitas menjadi kasar. Ketiga, Libelisasi. Libeling merupakan perangkat bahasa yang digunakan oleh mereka yang berada di kelas atas untuk menundukkan lawan-lawan. Keempat, steriotipe. Steriotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif (tapi umumnya negatif) dengan orang, kekas atau perangkat tindakan. Di sini steriotipe adalah praktik respresentasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi yang negative dan bersifat subjektif.

d. Delegitimasi

Kalau marjinalisasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok digambarkan secara buruk, dikecilkan perannya, maka delegitimasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dianggap tidak absah, benar dan mempunyai dasar pembenaran tertentu ketika melakukan suatu tindakan. Praktik delegitimasi itu menekankan bahwa hanya kelompok sendiri (kami) yang benar, sedangkan kelompok lain tidaak benar, tidak layak dan tidak absah.

II.4 Ideologi

Menurut Sukarna (Sobur : 64) secara etimologis, ideology berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligiate Dictionary berarti


(52)

“something existing in the mind as the result of the formulation on an opinion, plan or like”( sesuatu yang ada dalam pikiran atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini berasal dari kata legein berarti science atau pengetahuan/teori. Jadi ideologi menurut kata adalah pencakupan dari yang terlihat atau mengutarakan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran.

Menurut Aart Van Zoest, dalam teks tidak akan pernah luput dari sebuah ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca kearah suatu ideologi (Sobur, 2004:60). Setiap makna yang di kontruksikan selayaknya memiliki suatu kecendrungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang di pakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya ( Sudibyo, 2001:12).

Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir yakni nilai, orientasi dan kecendrungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang di ungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi. Ideologi dipengaruhi oleh asal-usulnya, asosiasi kelembagaannya dan tujuan nya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungannya ini tidak pernah jelas seluruhnyab (Lull, 1998:1).

Raymond William (Eriyanto, 2001:87) mengklarifikasikan penggunaan ideology dalam tiga ranah. Pertama, suatu system kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat atau kelompok atas stratifikasi kelas tertentu. Definisi dalam ranah ini biasanya di gunakan oleh para psikologi yang melihat ideology sebagai suatu perangkat sikap yang di bentuk dan diorganisasikan ndalam bentuk yang koheren.


(53)

Sebuah ideology dipahami sebagai sesuatu yang berlaku di masyarakat dan tidak berasal dari dalam diri individu itu sendiri.

Kedua adalah system kepercayaan yang dibuat, dalam ranah ini ideologi merupakan ide palsu atau kesadaran palsu yamh akan hancur ketika dihadapkan dengan pengetahuan ilmiah. Jika diartikan, Ideologi adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau yang menempatkan sebagai posisi dominan yang menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi kelompok yang tidak dominant. Ideologi digambarkan bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan alamiah. Dengan sadar ataupun tidak kita dibuat untuk menerima ideologi tersebut sebagai suatu kebenaran. Ranah yang ketiga, merupakan suatu proses umum produksi makna dan ide. Ideologi diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita yang di sajikan secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideology tertentu.

Asal mula ideologi sebagai sebuah konsep kritis dalam teori sosial dapat ditelusuri ke Perancis pada akhir abad ke-18. Sejak saat itu ideologi menurut definisi manapun menjadi perhatian utamma para sejarahwan, filsuf, kritikus, sastra ahli semiotika, ahli rethorika yang dapat mewakili semua bidang ilmu humaniora dan sosial (Lull, 1998:2). Sejumlah perangkat ideologi yang diangkat atau di bentuk dan di perkuat oleh media massa diberikan suatu legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering menyolok kepada sejumlah khalayak yang besar dalam kategori jumlahnya (Lull, 1998:4)

Dalam konsep Marx, ideology adalah bentuk kesadaran palsu. Kesadaran seseorang, siapa mereka dan bagaimana mereka menghubungkan


(54)

dirinya dengan masyarakat dibentuk dan diproduksi oleh masyarakat, tidak oleh biologi yang ilmiah. Kesadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh masyarakat, tidak oleh psikologis individu. Menurut Hall (Eriyanto, 2001:94). Ada tiga bentuk hubungan pembaca dan penulisan dan bagaimana pesan itu dibaca oleh keduanya. Pertama, posisi pembaca dominan. Terjadi ketika penulis menggunakan kode-kode yang diterima oleh umum, sehinga akan menafsirkan dan membaca pesan/tanda itu dengan pesan yang sudah diterima umum tersebut. Tidak tarjadi perbedaan penafsiran antara penulis dan pembaca disebabkan keduanya mempunyai ideology yang sama.

Kedua, pembaca yang dinegosiasikan. Tidak ada pembacaan dominant. Yang terjadi adalah kode apa yang disampaikan penulis ditafsirkan secara terus menerus diantara kedua belah pihak. Ketiga, pembacaan oposisi. Pembaca akan menandakan secara berbeda atau membaca secara berseberangan dengan apa yang disampaikan oleh khalayak tersebut, arena keduanya memiliki ideologi yang berbeda.

Konsep ideologi yang penting diantaranya adalah pemikiran Althusser. Ideologi atau suprastruktur dalam konsep Althusser adalah dialektika yang dikarateristikkan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. Salah satu hal yang paling penting dalam teori Althusser adalah konsepnya mengenai subjek dan ideology. Pada intinya, seperti yang ditulis oleh Hari Cahyadi (Eriyanto, 2001:99), ideologi dalam pengertian Althusser selalu memerlukan ideologi. Selain itu ideologi juga menciptakan subjek. Ideologi menempatkan seseorang bukan hanya dalam posisi tertentu dalam relasi sosial tetapi juga hubungan individu dengan relasi sosial tersebut.


(55)

Semantara itu, teori Antonio Gramsci tentang hemegoni membangun teori yang menekankan bagaimana penerimaan suatu kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominant berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Media menjadi sasaran dimana suatu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Seperti yang dikatakan Raymond William (Eriyanto, 2001:104) hemegoni bekerja melalui dua saluran: ideology dan budaya melalui bagaimana nilai-nilai itu bekerja. Melalui hemegoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaannya dapat ditukarkan.

Ada beberapa pendekatan dalam mengkaji ideologi:

1. Orang dapat melihat ideology sebagai menifestasi popular filsafat atau tradisi politik tertentu suatu kumpulan, pandangan, ide-ide atau dogma yang cukup koheren yang dianut oleh suatu kelompok.

2. Menelaah ideology yang menyatakan “ Apakah factor-faktor pentingnya?”. Apakah kelas, kedudukan sosial atau afiliasi etnis atau agama.

3. Pengujian idelogi dengan melihat kebutuhan-kebutuhan individu maupun kebutuhan masyarakat yang dipenuhi.

4. Ideologi tidak hanya menghubungkan masyarakat secara prinsipil, tapi juga penguasa dengan rakyat. Ideologi merupakan bisnis legitimasi pemakaian kekuasaan yang sah.

David D. Apter melukiskan ideology itu berada pada perpotongan antarprinsip atau tujuan filosofis. Pilihan dan keyakinan individual serta nilai-nilai umum dan khusus.


(56)

Menurut Teun A. Van Dijk (Eriyanto, 2001:13-14), ideology terutama dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi membuat anggota dari suatu kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka, dan memberikan kontribusi dalam bentuk solidaritas dan kohesi di dalam kelompok. Dalam perspektif ini, ideology mempunyai beberapa implikasi penting. Pertama, ideology secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individual: ia membutuhkan shere di antara anggota kelompok, organisasi atau kolektifitas dengan orang lainnya: Hal yang di-share-kan tersebut oleh anggota kelompok digunakan untuk membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap.

Sejumlah perangkat ideology yang diangkat dan diperkuat oleh media massa, diberikan legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering dengan menyolok, kepada khalayak yang besar jumlahnya. Dalam proses itu, konstalasi-konstalasi ide yang memperoleh arti pentingdan terus menerus meningkat, dengan memperkuat makna semula dan memperluas dampak sosialnya( Lull, 1998:4)


(57)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Deskripsi Objek Penelitian

Novel “ Eat, Pray, Love “ karya Elizabeth Gilbert, yang terdiri dari 372 halaman. Penelitian ini menggunakan novel cetakan keenam tahun 2006 dan di terjemahkan oleh Silamurti Nugroho, di terbitkan pertama sekali oleh Penerbit Abdi Tandur. Novel ini berjudul “Eat, Pray, Love” . Dalam novel ini di ceritakan Sebuah riwayat hidup yang disajikan dengan gamblang, bijaksana, menggetarkan dan lucu mengenai pencarian jati diri. “ Eat, Pray, Love “ menggambarkan sesuatu yang dapat terjadi ketika ia mengklaim bertanggung jawab atas kebahagiaan hidup kita. Buku ini juga menggambarkan sebuah perjalanan hidup yang dapat terjadi ketika seorang wanita tidak hidup sesuai dengan aturan yang ada dalam masyarakatnya. Ini merupakan kisah yang menyentuh siapa pun yang sadar akan perlunya perubahan.

Elizabeth Gilbert seorang wanita berumur 30-an tahun, dia sudah mempunyai segalanya. Pendidikan, karir, rumah uang dan juga suami sudah ia punya. Bisa dibilang, hidupnya sempurna. Namun di tengah kondisi “zona nyaman”-nya ini, dia merasa ada yang hilang, tepatnya ada yang kosong dalam dirinya. Ada keresahan yang membayanginya yang dia sendiri kurang jelas apa penyebabnya.

Iya, Liz sendiri memang kurang jelas apa yang dia resahkan. Mungkin, yang paling jelas baginya adalah dia tidak merasa bahagia dengan hidupnya. Dan


(58)

dia rela melepas semua yang sudah ada di tangannya, demi mencapai apa yang membuat dia resah itu. Hal ini bisa dilihat ketika dia memutuskan untuk pergi dari negaranya untuk berkelana ke 3 negara. Bahkan ketika dia harus memutuskan untuk bercerai dengan suaminya, dia juga rela semua hartanya menjadi hak bagi suaminya.

Liz memutuskan untuk menghabiskan satu tahun ke depan untuk berkunjung ke 3 negara (masing-masing 4 bulan) yaitu ke Italia, India dan Indonesia (Bali). Ketiga negara ini dipilih tentu juga ada alasannya. Italia, dipilih karena alasan kuliner. Perlu diketahui bahwa salah satu yang Liz resahkan tentang dia sendiri adalah hilangnya nafsu makan, makanya dia ingin mengembalikan nafsu makannya. India, dipilih karena dia tertarik dengan cerita salah satu teman prianya (David) yang bercerita tentang guru spiritualnya di India. Sedangkan Bali, dipilih karena ketika dulu dia pernah ke sana, dia pernah diramal oleh seorang dukun . Nah ternyata, sedikit banyak, ramalannya itu terbukti, makanya dia ingin kembali ke Bali.

Empat bulan di Italia, Liz benar-benar menikmati hidup di sana, terutama makanannya. Dia tidak mau terpenjara oleh ketakutan akan gemuk atau sejenisnya. Yang penting menikmati makanan yang ada. Bahkan di Italia ini, dia tidak sekadar belajar menikmati makanan, namun dia juga belajar bagaimana menikmati hidup, menikmati waktu dan memanjakan diri. Dia baru sadar bahwa orang Italia lebih tahu tentang ini semua (cara menikmati hidup).

Belajar bahasa Italia dan berkenalan dengan banyak teman adalah hal lain yang Liz lakukan di Italia. Semua ini memberikan dia banyak pengalaman


(1)

akan melakukan apapun untuk mendapatkannya. Bahkan tidak segan-segan mengorbankan apapun yang kita miliki.

g. Kedamaian dalam hidup hanya di dapat pada seorang wanita yang dapat mesyukuri apa yang dia miliki, dan dapat berfikir secara realistis tentang hidup, bukan wanita yang galau dan tidak tahu apa yang diinginkannya.

3. Representasi perempuan yang digambarkan dalam novel “Eat, Pray, Love” merupakan sebuah representasi terhadap perempuan metropolitan yang ada di Amerika yang mengutamakan kebebasan dan kesenangan diri sendiri, hal ini terlihat dari penggambaran latar belakang cerita yang berada di Amerika. Dengan demikian representasi perempuan yang dibentuk tidak dapat mengeneralisil posisi perempuan di Indonesia.

V. 2 Saran

Saran-saran berikut merupakan hasil dari penelitian yang terkumpul selama peneliti melakukan penelitian:

1. Sebagai seorang perempuan yang dewasa hendaknya kita dapat bertindak dan berprilaku selayaknya seorang perempuan yang dewasa dan dapat bertanggung jawab dengan apa yang sudah kita putuskan dalam kehidupan kita, jangan sampai kita mengorbankan orang lain hanya untuk mengejar kebahagiaan diri kita sendiri sehinnga kita bisa dikatakan sebagai wanita yang dewasa dalam segala hal. Kebebasan itu tak selamanya harus mengorbankan orang


(2)

lain, kebebasan itu bisa kita lakukan dengan tanggung jawab tanpa menyakiti diri sendiri dan orang lain.

2. Sebaiknya sebagai seorang wanita kita harus bisa menempatkan diri kita dalam segala situasi dan kondisi yang ada karena sebagai seorang wanita ataupun seorang istri banyak orang yang bergantung kepada kita. Karena apabila seorang wanita atau istri yang lemah dalam satu keluarga maka keluarga itu tidak akan bisa berjalan lancar.

3. Peneliti menyadari bahwa penelitian analisis wacana yang kritis sangat memungkinkan peneliti juga turut memasukkan subjektifitasnya. Sehingga tidak heran apabila pandangan peneliti dengan pandangan orang lain dapat berbeda ketika melihat suatu teks. Teks dapat diartikan bermacam-macam oleh orang yang berbeda dan inilah yang menjadi kelemahan penelitian ini. Untuk mengatasinya disarankan agar isi novel ini di-sharing ke dalam kelompok lain sehingga didapat makna yang lebik objektif. Selain itu dapat pula dipakai receker yang berasal dari berbagai elemen baik itu Kristen ataupun Islam agar lebih seimbang. Penelitian ini seperti penelitian kualitatif pada umumnya tidak mempunyai ukuran yang pasti tentang batas benar dan salah, semuanya tergantung dari nilai, etika dan moral yang dianut peneliti. Karena itu, peneliti menyarankan bagi mereka yang berminat unutk meneliti analisis wacana agar memiliki batasan yang pasti, mungkin dengan memakai undang-undang sebagai tolak ukurnya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Singarimbun, Masri.1995. Metode Penelititan Survei. LP3S, Jakarta

Nanawi, Hadari. 1995. Metode Penelittian Bidang Sosial. Universitas Gajah Mada Press, Yokyakarta

Mulyana,Dedy,M.A,Ph.D.2002. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. PT Remaja Rosadakarya, Bandung.

Cangara, Havied. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Birowo, M. Antonius, 2004. Metode Penelitian Komunikasi Teori Dan Aplikasi, Gitanyali, Yogyakarta.

Effendy, Onong Uchjana.2003. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Liliweri, Alo,DR,M.S.2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Baidhawy, Zakiyuddin, ed, 1997. Wacana Teologi Feminis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Bungin, Burhan, 2003. Porno Media, Kencana Prenada Media, Jakarta.

Eriyanto. 2005. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. LKIS, Yogyakarta.

Eriyanto, 2003, Anflfeis Wacana, Yogyakarta : LKIS

Fakih, Mansour, 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial,Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Onong U,Effendy, 2001. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Sobur, Alex, 2001. Analisis Teks Media, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Sodik, Mochamad(ed.), 2004, Telaah Ulang Wacana Seksualitas, Yogyakarta : PWS IAIN Sunan Kalijaga dan CIDA

Van Zoonen, Liesbet, 1994, Feminist Media Studies, Thousand Oaks, California : Sage Publication


(4)

Website

http://yesaya.indocell.net/id388.htm....(12.06.2011.10.30) www.scribd.com>School Work>Essay & Theses (21.03.2011)

Kuliah.dagdigdug.com/…/komunikasi-antar-budaya-kab/ (24.03.2011)


(5)

Lampiran 1

- Nama : Roslina sitepu

- Pekerjaan : Pegawai Swasta dan Ibu Rumah Tangga

Seorang pegawai swasta dan juga ibu rumah tangga. Beliau mengatakan bahwa seorang perempuan apabila dia sudah memutuskan untuk menikah seharusnya bisa membawa rumah tangganya kearah yang lebih baik, dan arti seorang wanita dalam rumah tangga adalah sebagai tombak yang harus kokoh, karena apabila tombak itu goyang maka kehidupan rumah tanggapun pasti akan goyang, receker berpesan kepada setiap wanita yang ingin membangun rumah tangga harus mengerti dan tahu dulu tujuan menikah itu apa, sehingga pada saat menjalani pernikahan yang sesungguhnya nanti wanita itu sudah tahu untuk membangun rumah tangganya.


(6)

Lampiran 2

- Nama : Enina

- Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Ibu rumah tangga. Beliau mengatakan bahwa sebagai perempuan yang sudah menikah pada umumnya pasti menginginkan kehadiran seorang anak dalam kehidupan rumah tangganya, karena keluarga tanpa kehadiran seorang anak akan terasa kosong. Beliau merasa terkejut dengan apa yang dibacanya. Seorang perempuan yang memiliki segalanya termasuk harta yang berlimpah serta suami yang baik tidak menginginkan seorang anak lahir dalam keluarganya. Dari pendapat receker terdapat persamaan dengan pendapat peneliti bahwa perempuan tidak cukup hannya dengan pintar dan kaya saja tetapi sebagai seorang perempuan kita harus memiliki keseimbangan dalam kehidupan jasmani dan rohani kita. Untuk mendapatkan keseimbangan rohani kita harus bisa mempercayai bahwa adanya Tuhan yang selalu bisa menolong kita.