terdistribusi diantara fase diam dan fase gerak. Kekuatan tarik fase diam terhadap solute menghasilkan suatu perlambatan pergerakan untuk melewati sistem
Braithwaite, 1999
Pemisahan secara kromatografi dilakukan dengan cara mengotak-atik langsung beberapa sifat fisika umum dari molekul. Sifat utama yang terlibat adalah : 1
kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan kelarutan, 2 kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus adsorpsi, penjerapan, dan 3
kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap keatsirian. Dalam sistem kromatografi, campuran yang akan dipisahkan ditempatkan dalam
keadaan sedemikian rupa sehingga komponen-komponennya harus menunjukkan dua dari ketiga sifat tersebut.
Fase padat yang bertindak sebagai fase diam dalam kromatografi cair-padat KCP ataupun gas-padat KGP disebut sebagai adsorben atau penjerap, sedangkan
bahan tempat melekatnya fase diam disebut sebagai penyangga. Jika fase gerak digerakkan melalui fase diam untuk menghasilkan pemisahan kromatografi, proses ini
dikenal sebagai pengembangan. Setelah senyawa-senyawa dipisahkan dengan pengembangan, hasilnya didekteksi atau divisualisasi. Jika senyawa-senyawa yang
dipisahkan benar-benar dikeluarkan dari sistem, maka senyawa itu telah dielusi atau elusi telah terjadi. Senyawa yang dipisahkan biasanya disebut sebagai linarut, atau
secara kelompok disebut cuplikan. Dan hasil keseluruhan dari kromatografi disebut sebagai kromatogram Gritter, 1991.
2.4.2.1. Kromatografi Lapis Tipis
Pemisahan senyawa dengan kromatografi lapis tipis dalam medium secara prinsip sama dengan kromatografi kertas, tetapi mempunyai beberapa keuntungan tambahan,
misalnya lebih banyak campuran medium dan senyawa yang dapat digunakan. Senyawa fluoresen dapat digabungkan dalam medium untuk memudahkan identifikasi
noda. Metode ini sangat cepat dan dapat dilakukan kurang dari 1 hari. Noda yang
Universitas Sumatera Utara
dihasilkan sangat rapat, sehingga memungkinkan untuk mendeteksi senyawa dalam konsentrasi rendah. Senyawa yang dipisahkan dapat didekteksi dengan semprotan
korosif pada suhu tinggi, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada kromatografi kertas.
Hal yang harus diperhatikan adalah atmosfer ruang pemisahan harus jenuh dengan pelarut, karena menentukan besar kecilnya nilai Rf. Hal ini dapat dilakukan
dengan menggunakan wadah yang sekecil mungkin, dan menghubungkan dinding dengan kertas yang terendam dalam pelarut. Pengembangan pelarut dalam lempeng
biasanya menggunakan teknik ascending, yang berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan teknik descending. Letak senyawa hasil pemisahan dapat
diketahui dengan menyemprot lempeng tipis dengan pereaksi atau dengan scanning bila menggunakan senyawa radioaktif Bintang, 2010.
Kromatografi lapis tipis menggunakan lempeng kaca atau aluminium yang telah dilapisi dengan penyerap misalnya silica gel dengan ketebalan tertentu
tergantung pada jumlah bahan yang akan dimuat ke dalam lempeng. Pelapisan ke dalam lempeng analisis biasanya memiliki ketebalan 0,2 mm; lempeng preparatif
memiliki ketebalan hingga 1-2 cm. Campuran senyawa diisikan 1-2 cm dari tepi dasar lempeng berupa bercak ataupun pita memanjang. Lempeng kemudian dimasukkan ke
dalam bejana kromatografi berisi pelarut yang telah ditentukan sebelumnya yang akan meresap naik di dalam lempeng dan memisahkan campuran senyawa berdasarkan
polaritas komponennya. Lempeng lapis-penyerap sering menggunakan indikator fluoresensi F
254
sehingga bahan alam yang mengabsorpsi sinar UV gelombang pendek 254 nm akan tampak sebagai bercak hitam pada latar hijau. Pada sinar UV
gelombang-panjang, senyawa tertentu dapat menampakkan fluoresensi biru atau kuning terang. Baik sifat absorbans UV maupun fluoresensi dapat digunakan untuk
memantau pemisahan senyawa pada lempeng KLT. Metode ini memiliki sejumlah keuntungan untuk anailsis dan isolasi bahan alam yang aktif secara biologis :
a. Biayanya murah dibandingkan metode instrumental dan hanya butuh
sedikit pelatihan atau pengetahuan tentang kromatografi. b.
Proses peningkatan skala dari cara analitik ke preparative mudah dilakukan dengan isolasi cepat bahan alam dalam jumlah miligram hingga gram.
Universitas Sumatera Utara
c. Fleksibilitas dalam pemilihan fase gerak dan fase diam
d. Pemisahan mudah dioptimalkan dengan menargetkan satu komponen dan
metode dapat segera dikembangkan. e.
Secara praktis semua pemisahan dapat dicapai dengan fase gerak dan fase diam yang tepat.
f. Sejumlah besar sampel dapat dianalisis atau dipisahkan secara simultan
Heinrich dkk, 2009.
Banyak sistem pelarut yang berbeda telah digunakan untuk pemisahan flavonoid dengan menggunakan KLT, antara lain :
Tabel 2.2 Sistem Pelarut pada Kromatografi lapis tipis untuk senyawa flavonoid
Sampel Eluen
Aglikon Flavonoid EtOAc-i-PrOH-H
2
O, 100:17:13 EtOAc-CHCl
3
, 60:40 CHCl
3
-MeOH, 96:4 Toluene-CHCl
3
-MeCOMe, 8:5:7 Toluene–HCOOEt–HCOOH, 5:4:1
Toluene–EtOAc–HCOOH, 10:4:1 Toluene–EtOAc–HCOOH, 58:33:9
Toluene–EtCOMe–HCOOH, 18:5:1 Toluene–dioxane–HOAc, 90:25:4
Flavonoid Glikosida n-BuOH–HOAc–H
2
O, 65:15:25 n-BuOH–HOAc–H
2
O, 3:1:1 EtOAc–MeOH–H
2
O, 50:3:10 EtOAc–MeOH–HCOOH–H
2
O, 50:2:3:6 EtOAc–EtOH–HCOOH–H
2
O, 100:11:11:26
EtOAc–HCOOH–H
2
O, 9:1:1 EtOAc–HCOOH–H
2
O, 6:1:1 EtOAc–HCOOH–H
2
O, 50:4:10
Universitas Sumatera Utara
EtOAc–HCOOH–HOAc–H
2
O, 100:11:11:26
EtOAc–HCOOH–HOAc–H
2
O, 25:2:2:4 THF–toluene–HCOOH–H
2
O, 16:8:2:1 CHCl
3
–MeCOMe–HCOOH, 50:33:17 CHCl
3
–EtOAc–MeCOMe, 5:1:4 CHCl
3
–MeOH–H
2
O, 65:45:12 CHCl
3
–MeOH–H
2
O, 40:10:1 MeCOMe–butanone–HCOOH, 10:7:1
MeOH–butanone–H
2
O, 8:1:1
Flavonoid glukuronida EtOAc–Et
2
O–dioxane–HCOOH–H
2
O, 30:50:15:3:2
EtOAc–EtCOMe–HCOOH–H
2
O, 60:35:3:2
Aglikon Flavanone CH
2
Cl
2
–HOAc–H
2
O, 2:1:1
Flavanone glikosida CHCl
3
–HOAc, 100:4 CHCl
3
–MeOH–HOAc, 90:5:5 n-BuOH–HOAc–H
2
O, 4:1:5 upper layer
Khalkon EtOAc–hexane, 1:1
Isoflavon CHCl
3
–MeOH, 92:8 CHCl
3
–MeOH, 3:1
Isoflavon glikosida n-BuOH–HOAc–H
2
O, 4:1:5 upper layer
Dihidroflavonol CHCl
3
–MeOH–HOAc, 7:1:1
Biflavonoid CHCl
3
–MeCOMe–HCOOH, 75:16.5:8.5 Toluene–HCOOEt–HCOOH, 5:4:1
Antosianidin dan Antosianin EtOAc–HCOOH–2 M HCl, 85:6:9
n-BuOH–HOAc–H
2
O, 4:1:2 EtCOMe–HCOOEt–HCOOH–H
2
O, 4:3:1:2
Universitas Sumatera Utara
EtOAc–butanone–HCOOH–H
2
O, 6:3:1:1
Proantosianidin EtOAc–MeOH–H
2
O, 79:11:10 EtOAc–HCOOH–HOAc–H
2
O, 30:1.2:0.8:8
Andersen, 2006
2.4.2.2. Kromatografi Kolom