BAB II KETENTUAN HUKUM DAN PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI SAKSI DAN TERSANGKA DALAM TINDAK PIDANA A. Ketentuan Hukum Proses Penyidikan Terhadap Notaris Sebagai Saksi dan Tersangka Dalam Tindak Pidana - Proses Penyidikan Di Kepolisi

BAB II KETENTUAN HUKUM DAN PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI SAKSI DAN TERSANGKA DALAM TINDAK PIDANA A. Ketentuan Hukum Proses Penyidikan Terhadap Notaris Sebagai Saksi dan Tersangka Dalam Tindak Pidana Awal dari rangkaian peradilan pidana adalah tindakan penyidikan dan

  penyidikan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, apakah benar telah terjadi peristiwa pidana. Penyidikan harus dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan keterangan, keterangan saksi-saksi, dan alat bukti yang diperlukan yang terukur dan terkait dengan kepentingan hukum atau peraturan hukum pidana, yaitu

  46 tentang hakikat peristiwa pidana.

  Pengaturan mengenai penyidikan terdapat dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP yang merumuskan pengertian penyidik. Dan dalam Pasal 1 angka 10 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan defenisi yang sama mengenai penyidik. Dinyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

  Kemudian pada Pasal 1 angka 2 KUHAP mengatur bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berbeda dengan definisi yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan 46 Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), h. 1. menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

  Menurut Henny Mono dalam bukunya, penyidikan adalah sebuah proses awal dari serangkaian tindakan aparat hukum dalam upayanya membuktikan bahwa telah terjadi tindakan yang dilakukan oleh tersangka. Dengan demikian tentu saja bahan-bahan yang akan ditanyakan kepada tersangka selalu mengarah kepada upaya yang bersifat menekan. Mengingat siapapun yang menjadi tersangka akan cenderung mungkir. Oleh karena itu pertanyaan yang diajukan penyidik penuh dengan strategi dan taktik.

  47 Pengangkatan seorang penyidik ditinjau dari segi instansi maupun

  kepangkatan diatur dalam Pasal 6 KUHAP. Ketentuan Pasal 6 tentang yang berhak diangkat sebagai penyidik adalah:

  1. Pejabat Penyidik Polri. Salah satu instansi yang berwenang melakukan penyidikan pejabat polisi negara. KUHAP telah meletakkan fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Pejabat kepolisian harus memenuhi syarat kepangkatan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana serta diselaraskan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum sebagaimana diatur dalam KUHAP.

  2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Penyidik pegawai negeri sipil diatur dalam

  Pasal 6 ayat 1 huruf b KUHAP, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal. Hal tersebut sesuai dengan wewenang yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat 2 KUHAP, yang dinyatakan sebagai berikut: “Penyidik adalah pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf b KUHAP yang memiliki wewenang berdasarkan undang-undang dan dalam pelaksanaannya tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan Polisi Republik Indonesia.”

  Pasal 7 ayat 1 KUHAP mengatur tentang wewenang yang dimiliki penyidik, yakni:

  1. Menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana; 2. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian. 47 Henny Mono, Praktik Berperkara Pidana, (Malang : Banyumedia Publishing, 2007), h. 62-63.

  3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

  4. Melakukan penangkapan, penahanan, pengeledahan dan penyitaan surat;

  5. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

  6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

  7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

  8. Mengadakan penghentian penyidikan; 9. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, pada

  pasal 16 dinyatakan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : (a) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; (b) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian Perkara untuk kepentingan penyidikan; (c) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; (d) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memriksa tanda pengenal diri; (e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (g) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (h) Mengadakan penghentian penyidikan; (i) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; (j) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana;

  (k) Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; (l) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

  Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:

  1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

  2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.

  3. Pemeriksaan di tempat kejadian.

  4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.

  5. Penahanan sementara.

  6. Penggeledahan.

  7. Pemeriksaan atau interogasi.

  8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat).

  9. Penyitaan.

  10. Penyampingan perkara.

  11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada

  48 penyidik untuk disempurnakan.

  Tahapan proses pemeriksaan dalam KUHAP, yakni:

  1. Pemeriksaan pendahuluan. Pemeriksaan yang dilakukan untuk pertama kalinya oleh polisi baik sebagai penyelidik maupun penyidik, apabila ada dugaan hukum pidana dilanggar, yakni: penyelidikan, penyidikan, penangkapan dan penahanan. Alasn untuk melakukan penahanan terhadap tersangka menurut Pasal 21 (1) KUHP adalah tersangka atau terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, tersangka atau terdakwa dikhawatirkan akan merusak atau menghilangkan barang bukti dan tersangka atau terdakwa dikhawatirkan akan melakukan lagi tindak pidana.

  2. Pengeledahan, yakni tindakan penyidik memeriksa suatu tempat tertutup atau badan seseorang, untuk mendapatkan bukti-bukti yang berhubungan dengan suatu tindak pidana.

  3. Penyitaan, yakni tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang untuk menguasai sementara waktu barang-barang baik yang merupakan milik terdakwa atau tersangka ataupun bukan, tetapi berasal dari atau ada hubungan dengan suatu tindak pidana dan berguna untuk 48 pembuktian.

  

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), h. 130.

  4. Pemeriksaan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan perkara, maka penyidik dapat melakukan pemeriksaan saksi. Saksi yang diperiksa pada tingkat penyidikan memberikan keterangannya tanpa disumpah terlebih

  49 dahulu.

  Dalam pemeriksaan terhadap seorang notaris yang dilaporkan telah melakukan perbuatan pidana diatur dalam Pasal 66 UUJN. Namun pemanggilan tersebut lebih rinci diatut dalam Peraturan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris. Prosedur pemanggilan tersebut diatur dalam BAB IV Pasal 14 mengenai Syarat dan Tata Cara Pemanggilan Notaris, yang menyatakan: (1) Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tembusannya disampaikan kepada notaris. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat alasan pemanggilan notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa.

  Pemanggilan tersebut tidak serta merta akan langsung diberikan persetujuan pemanggilan oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD). MPD akan mempelajari pemanggilan tersebut dan melakukan pemeriksaan terhadap notaris yang bersangkutan. Apabila ternyata dalam pemeriksaan ditemukan kesalahan prosedur pembuatan akta, maka MPD akan memberikan persetujuan pemanggilan kepada kepolisian terhadap notaris tersebut. Dan apabila dalam pemeriksaan tidak ditemukan adanya penyimpangan prosedur pembuatan akta, maka MPD mempunyai kewenangan untuk tidak memberikan persetujuan pemanggilan terhadap notaris tersebut. Persetujuan akan diberikan melalui surat balasan resmi

  50 secara tertulis.

  Pasal 15 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut dikatakan bahwa MPD akan memberikan persetujuan pemanggilan notaris apabila ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris atau belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana. 49 Wawancara dengan AKP Amri, Kanit Tindak Pidana Tertentu, Kepolisian Resor Kota Medan, pada tanggal 21 April 2012. 50 Wawancara dengan Ketua Majelis Pengawas Daerah, pada tanggal 10 April 2012.

  Pemanggilan yang dilakukan penyidik dianggap sah dan sempurna maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

  1. Penyidik menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar diterimanya panggilan dan bila tidak datang maka penyidik dapat memanggil sekali lagi untuk menghadap penyidik sebagaimana diatur dalam pasal 112 KUHAP;

  2. Apabila tersangka dan saksi bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik, maka pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal tersangka atau saksi sebagaimana diatur dalam pasal 119 KUHAP;

  3. Pemanggilan dilaksanakan paling lambat 3 hari sebelumnya sebagaimana diatur dalam pasal 227 KUHAP.

  Ketentuan pasal 16 ayat 1 huruf 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya akan disebut dengan UU Kepolisian Negara RI) memberikan wewenang kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku penyidik untuk mengadakan tindakan yang bertanggung jawab menurut hukum. Ketentuan pasal 6 ayat 2 UU Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur bahwa dimaksud dengan tindakan bertanggung jawab menurut hukum adalah:

  1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum

  2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan

  3. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatan penyidik

  4. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa

  5. Menghormati hak asasi manusia Tindakan-tindakan tersebut di atas wajib dilaksanakan oleh penyidik dalam setiap proses penyidikan. Dalam proses penyidikan terdapat beberapa pihak yang akan dimintai keterangan, antara lain: saksi dan tersangka. Dimaksud dengan saksi perkara pidana yang berkaitan dengan aspek formal akta notaris, pihak penyidik, penuntut umum dan hakim akan memasukkan notaris telah melakukan tindakan hukum:

  1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1), (2) KUHP).

  2. Melakukan pemalsuan (Pasal 264 KUHP).

  3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP).

  4. Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan (Pasal 55 jo Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP).

  5. Membantu membuat surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP).

  51 Pemeriksaan terhadap notaris selaku tersangka atau terdakwa harus

  didasarkan kepada tata cara pembuatan akta notaris, yaitu:

  1. Melakukan pengenalan terhadap penghadap, berdasarkan identitasnya yang diperlihatkan kepada notaris.

  2. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau kehendak para pihak tersebut (tanya jawab).

  3. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para pihak tersebut.

  4. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi keinginan atau kehendak para pihak tersebut.

  5. Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta notaris, seperti pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan, dan pemberkasan untuk minuta.

  6. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan notaris.

52 Prosedur pemeriksaan/penyidikan merupakan administrasi yang harus

  ditempuh untuk melakukan suatu kegiatan pemeriksaan dalam rangkaian tindakan

  51 Habib Adjie, Op cit, h. 67. 52 Ibid, h. 69.

  Kepolisian, sehingga pemeriksaan yang dilakukan memenuhi syarat yuridis dan administratif. Adapun prosedur penyidikan meliputi : a. Prosedur umum berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara

  Pidana);

  53

  b. Prosedur khusus berdasarkan Undang-undang yang mengaturnya.” Adapun tata cara pelaksanaannya sebagai berikut :

  a. Penyidik mengajukan surat kepada Majelis Pengawas Daerah dengan menyebutkan untuk keperluan apa, apakah untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; ataukah keperluan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Minuta Akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

  b. Dalam permohonan dijelaskan dengan singkat perkara apa, siapa tersangkanya.

  c. Setelah mendapat persetujuan maka Penyidik dapat melakukan tindakan Kepolisian sebagaimana disebutkan angka 1 di atas.

  Dasar hukum pemanggilan terhadap Notaris tertuang dalam Undang- undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 66, yaitu : (1) Untuk kepentingan proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim 53 dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang :

  Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan¸(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), h. 363-364. a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

  b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. (2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.

  Dari ketentuan yang tercantum ini dapat dimengerti bahwa :

  a. Penyidik, Penuntut Umum, maupun Hakim hanya diperkenankan untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, maupun memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanannya, sepanjang untuk kepentingan proses peradilan dan telah memperoleh persetujuan Majelis Pengawas Daerah;

  b. Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim tidak dibenarkan mengambil Minuta Akta dan/atau surat-surat asli yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;

  c. Pemanggilan Notaris oleh Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim untuk hadir dalam pemeriksaan suatu perkara, baik perdata, pidana maupun tata usaha/administrasi negara yang tidak berkaitan dengan akta yang dibuat atau

  Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris tidak memerlukan persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah; d. Dalam pengertian Notaris yang tercantum dalam Pasal 66 ini termasuk didalamnya Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti, dan Notaris

  Pengganti Khusus, baik masih sedang menjalankan tugas jabatannya maupun telah berhenti; e. Atas pengambilan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat sebagaimana terurai di atas dibuat berita acara penyerahan, hanya saja Undang-undang ini maupun penjelasannya tidak memberikan penjelasan tentang siapa yang berkewajiban membuat dan menandatangani berita acara tersebut.

  Mengingat dalam Pasal 66 UUJN tidak dijelaskan dalam status apa saja notaris dapat dipanggil oleh Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim, maka timbul persoalan “apakah persetujuan pemanggilan Notaris yang dimaksud dalam pasal 66 ini hanya sebatas dalam kedudukan sebagai saksi, baik dalam perkara perdata, pidana maupun tata usaha/administrasi negara ataukah termasuk juga didalamnya sebagai tersangka dalam perkara pidana maupun sebagai tergugat atau turut tergugat dalam perkara perdata?”.

54 Dalam hubungannya dengan pertanyaan ini, Majelis Pengawas Pusat

  dalam suratnya tanggal

  12 Agustus 2005, nomor C-MPPN.03.10-15 berpendapat/menegaskan bahwa: “dalam hal pemanggilan Notaris sebagai 54 Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia, Pembekalan dan Penyegaran Pengetahuan, Surabaya, 28-31 Januari 2009, h. 220. tersangka, maka sebelum persetujuan pemeriksaan diberikan, Majelis Pengawas Daerah terlebih dahulu mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan, Dewan Kehormatan Profesi, dan Penyidik atau Penuntut Umum”, sedangkan dalam hal pengambilan fotokopi Minuta Akta maupun dalam hal pemanggilan sebagai saksi dinyatakan bahwa “sebelum persetujuan pengambilan dan/atau pemeriksaan diberikan, Majelis Pengawas Daerah terlebih dahulu mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan”.

  Berkaitan dengan pendapat Majelis Pengawas Pusat sebagaimana yang terurai di atas, dapat dimengerti bahwa : a. Baik dalam status sebagai saksi maupun tersangka sehubungan dengan akta yang dibuat oleh atau dihadapannya maupun dengan Protokol Notaris dalam penyimpanannya, pemanggilan Notaris memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Daerah; b. Tujuan pemanggilan Notaris adalah untuk menemukan fakta hukum yang mempunyai pengaruh penting dalam proses peradilan, sehingga proses pemanggilan tersebut diharapkan dapat membantu memperlancar proses peradilan, sebagaimana yang dikemukakan dalam pertimbangan ketiga dari surat Majelis Pengawas Pusat di atas, maka dalam memproses pemberian persetujuan harus dihindari adanya pendapat atau setidak-tidaknya kesan bahwa Majelis Pengawas Daerah yang melakukan pemeriksaan menghambat pemberian persetujuan termaksud. Latar belakang pemikiran dari Majelis Pengawas Pusat yang berpendirian bahwa pemberian persetujuan atas pemanggilan Notaris sebagai tersangka tetap diperlukan sesungguhnya mudah dipahami oleh orang-orang atau pihak-pihak yang mengerti secara baik dan benar tentang kedudukan dan fungsi Notaris serta akta yang dibuat oleh atau dihadapannya, mengingat :

  a. Keberadaan dan pelaksanaan tugas jabatan Notaris adalah terutama dalam rangka pembuatan alat bukti yang berupa akta autentik atas perbuatan, perjanjian dan ketetapan dalam lapangan hukum perdata yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau yang dikehendaki oleh para pihak; b. Dalam pelaksanaan tugas jabatannya untuk membuat akta autentik, pada pokoknya Notaris hanya mengkonstatir atau merelatir kenyataan yang terjadi dihadapannya yang berupa perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan; c. Apabila Majelis Pemeriksa Notaris menemukan dugaan adanya unsur pidana yang dilakukan oleh terlapor (Notaris), maka Majelis Pemeriksa wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas, dan selanjutnya Majelis Pengawas melaporkan adanya dugaan tersebut kepada instansi yang berwenang, sebagimana yang diatur dalam Pasal 32 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 maupun dalam Lampiran Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tanggal 28 Desember 2004

  Nomor: M.39.PW.07.10 Tahun 2004 Bagian Ketiga tentang Tugas Majelis

55 Pengawas.

  Ketentuan Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris dapat ditafsirkan tidak hanya berlaku dalam peradilan pidana saja. Dalam peradilan perdata pun pasal tersebut dapat dipergunakan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Proses peradilan yang dilakukan oleh Hakim sebagaimana dimaksud Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris tidak hanya dalam lingkup pidana saja, tetapi juga dalam lingkup perdata. Oleh karena itu dalam proses perdata berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UUJN, Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD) berwenang untuk : a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada

  Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

  b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

  Sehubungan belum adanya peraturan pelaksanaan dari Pasal 66 Undang- undang Jabatan Notaris khususnya dalam proses beracara perdata jelas merupakan tantangan bagi Majelis Pengawas Daerah (MPD) selaku pengawas yang salah satu kewajibannya adalah melindungi masyarakat atas pelaksanaan jabatan Notaris.

  Dalam hal ini Majelis Pengawas Daerah (MPD) tidak bisa menolak untuk memproses permohonan persetujuan tersebut dengan alasan belum ada peraturan pelaksananya. Penolakan tersebut jelas akan sangat merugikan masyarakat, karena 55 Ibid, h.239. adanya persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) sebagaimana dimaksud

  Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris sangat dibutuhkan dalam proses peradilan. Oleh karena itu Majelis Pengawas Daerah (MPD) harus bijaksana dalam arti dengan mengingat salah satu tugas kewajibannya adalah melindungi masyarakat, maka seharusnya Majelis Pengawas Daerah (MPD) menerima permohonan tersebut untuk diproses dengan memperhatikan asas-asas yang ada pada kenotariatan.

  Apabila ada permintaan untuk mengambil fotokopi Minuta Akta guna proses peradilan ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Majelis Pengawas Daerah, yaitu :

  a. Apabila objek persengketaan yang sedang dalam proses peradilan perdata tersebut pada materi atau substansi akta, maka Majelis Pengawas Daerah (MPD) sebelum mengijinkan harus meneliti terlebih dahulu, yaitu apakah sudah pernah dikeluarkan salinan akta dari Minuta Akta tersebut. Apabila atas Minuta Akta tersebut sudah pernah dikeluarkan salinannya, maka Majelis Pengawas Daerah (MPD) tidak perlu untuk menyetujui permintaan mengambil fotokopi Minuta Akta. Alasannya karena salinan akta pada dasarnya sebagaimana telah diuraikan di atas sama isinya dengan Minuta Akta.

  b. Apabila permintaan untuk mengambil fotokopi Minuta Akta disebabkan adanya keraguan mengenai salinan akta yang ada, maka sudah seharusnya Majelis Pengawas Daerah (MPD) mengijinkannya. Keraguan yang dimaksudkan disini adalah keraguan apakah salinan akta isinya sama dengan Minuta Akta, padahal isi salinan akta seharusnya sama persis dengan isi

56 Minuta Akta.

  Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris disamping memberi wewenang untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dengan seijin Majelis 56 Djoko Sukisno, Op Cit, h. 59. Pengawas Daerah (MPD), juga memberi wewenang untuk memanggil Notaris dalam pemeriksaan sehubungan dengan akta yang dibuatnya (Pasal 66 ayat (1) huruf b). Pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa pemanggilan Notaris tersebut dapat dimaksudkan memanggil Notaris sebagai saksi yang terkait dengan aktanya, atau sebagai salah satu subjek yang diperiksa.

  Dalam hal pemanggilan Notaris dimaksudkan sebagai saksi atas akta yang dibuatnya, Majelis Pengawas Daerah (MPD) sebelum memberikan ijin harus melihat terlebih dahulu sifat dari akta yang akan dimintakan keterangan dari Notaris pembuat akta itu, yaitu apabila akta tersebut bersifat :

  a. Verbaal acte atau ambtelijke acte dapat disebut juga sebagai akta kesaksian dari Notaris selaku Pejabat Umum. Sebagai suatu akta yang merupakan suatu kesaksian dari Notaris, maka Notaris bertanggung jawab sepenuhnya atas isi akta tersebut. Isi verbaal acte kadang belum mampu memberikan gambaran atas suatu peristiwa hukum yang dialami, dilihat atau disaksikan oleh Notaris pembuat akta tersebut. Di samping itu, isi verbaal acte dapat juga tidak bisa dimengerti maksudnya, sehingga masih diperlukan keterangan tambahan. Dalam hal demikian hanya Notaris pembuat verbaal acte tersebut yang dapat memberikan keterangan tambahan yang diperlukan. Oleh karena itu, apabila ada permintaaan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris terkait dengan verbaal acte, maka sudah selayaknyalah apabila Majelis Pengawas Daerah (MPD) memberikan persetujuannya.

  b. Partij acte atau akta penghadap, dalam partij acte Notaris hanya menuangkan saja apa yang dikehendaki para pihak selaku pengadap ke dalam akta autentik.

  Dengan perkataan lain bahwa dalam partij acte Notaris hanya merumuskan kemauan para pihak dan selanjutnya menuangkannya ke dalam akta. Notaris dalam partij acte pertanggungjawabannya hanya sebatas pada awal dan akhir akta sedangkan isi akta merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari para

  57 pihak dalam akta.

57 Ibid, h. 60.

  Dalam partij acte para pihak tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya terhadap isi akta dengan alasan bahwa yang merumuskan kemauan para pihak adalah Notaris dan selanjutnya Notaris pula yang menuangkannya pada akta, bukan para pihak. Sebelum penandatanganan akta oleh para pihak, saksi-saksi dan Notaris, akta tersebut dibacakan terlebih dahulu oleh Notaris dihadapan mereka. Pembacaan akta oleh Notaris sebelum penandatanganan adalah kewajiban yang harus dilakukan pada peresmian akta (verlijden). Pembacaan akta dapat disimpan yaitu akta tidak dibacakan apabila dikehendaki oleh para pihak bahwa akta tersebut tidak perlu dibacakan. Hal tersebut dijelaskan pada penutup akta bahwa akta ini tidak dibacakan atas kehendak para pihak dan para pihak menyatakan sudah mengetahui isi akta.

  Adanya pembacaan akta atau tidak dibacakan atas kehendak para pihak dilanjutkan dengan penandatanganan akta, menunjukkan bahwa para pihak menyetujui rumusan kehendaknya yang telah dibuat oleh Notaris dan selanjutnya dituangkan dalam akta. Dengan demikian pertanggungjawaban akta khususnya pada isi akta ada pada para pihak (penghadap).

  Berkaitan pemanggilan Notaris untuk diminta keterangan sehubungan dengan akta yang dibuatnya khususnya partij acte. Majelis Pengawas Daerah (MPD) selaku institusi pemberi persetujuan pemanggilan harus memperhatikan hal-hal tersebut di atas yang antara lain dapat dirinci sebagai berikut :

  1. Apabila persengketaan tersebut berkaitan dengan isi akta, misalnya tentang perjanjian atau kesepakatan mereka yang dituangkan dalam akta serta sudah ada salinan aktanya. Majelis Pengawas Daerah dalam hal demikian tidak perlu memberi persetujuan pemanggilan Notaris untuk memberi keterangan tentang materi/isi akta, karena sudah ada salinan aktanya. Kesaksian yang akan diberikan oleh Notaris tidak berbeda dengan apa yang ada pada isi salinan akta. Salinan akta sudah menunjukkan dengan nyata tentang perbuatan hukum para pihak yang dapat berupa kesepakatan atau perjanjian, dan akta autentik termasuk salinannya mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Kecuali apabila akta tersebut memuat hal-hal yang memerlukan kesaksian ahli, maka Notaris dipanggil tidak dimaksudkan untuk menjelaskan perbuatan hukum yang tertuang dalam akta akan tetapi diminta penjelasannya sebagai ahli yaitu sebagai saksi ahli. Dalam hal demikian Majelis Pengawas Daerah (MPD) memberi persetujuan pemanggilan Notaris sebagai saksi ahli.

  2. Apabila persengketaan tersebut terkait dengan bagian akta yang menjadi tanggung jawab dari Notaris selaku pembuat akta, yaitu bagian awal akta atau akhir/penutup akta termasuk peresmian akta. Maka sudah layak Majelis Pengawas Daerah (MPD) menyetujui pemanggilan Notaris untuk menjelaskan hal itu.

  3. Apabila pemanggilan Notaris dalam proses peradilan dengan mendudukkan Notaris sebagai pihak tergugat terkait dengan akta yang dibuatnya, maka Majelis Pengawas Daerah (MPD) harus menyetujuinya. Hal ini dimaksudkan agar tidak menghambat jalannya proses peradilan dan Notaris dapat menjawab langsung atas gugatan yang diajukan kepadanya, selanjutnya penilaiannya diserahkan kepada Hakim yang memeriksanya. Persetujuan tersebut juga dimaksudkan sebagai bentuk pertanggungjawaban dari Notaris dalam

  58 pelaksanaan jabatannya dan Notaris tidak kebal hukum.

  Untuk menghindari adanya pendapat atau setidak-tidaknya kesan dari masyarakat awam mengenai Notaris yang berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 66 Undang-undang tentang Jabatan Notaris maupun dalam peraturan pelaksanaannya seakan-akan memperoleh perlakuan istimewa dihadapan hukum, maka :

  a. Anggota Majelis Pengawas harus dipilih dari orang-orang yang profesional, artinya menguasai tentang hal ikhwal yang berkenaan dan/atau berhubungan dengan tugas jabatannya serta integritas moralnya tidak boleh diragukan;

  b. Dalam pelaksanaan tugasnya harus benar-benar objektif dan sesuai dengan hukum yang berlaku; c. Mampu menentukan skala prioritas secara tepat atas pelaksanaan tugas dan

  59 kewajiban yang dihadapi.

  58 59 Ibid, h. 60-61.

  Ibid, h. 61.

  Sepanjang tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 pemanggilan notaris yang dilakukan penyidikan sebagai saksi atau tersangka terkait dengan tindak pidana yang diatur dalam KUH Pidana, yakni menyangkut:

  1. Pasal 263 yakni pemalsuan surat. Notaris memalsukan surat tanda bukti setoran BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah).

  2. Pasal 264 yakni pemalsuan surat yang dilakukan pada akta otentik.

  3. Pasal 266 yakni pemberian keterangan palsu dalam suatu akta otentik.

  4. Pasal 322 yakni membuka rahasia.

  Beberapa hal penyebab terjadinya tindak pidana yang didapati pada penelitian ini, yakni antara lain:

  1. Dikarenakan kedekatan secara pribadi, notaris menerima pembuatan akta tanpa melihat Kartu Tanda Penduduk asli para pihak, hal ini dapat mengaburkan tanda tangan atau foto pemilik Kartu Tanda Penduduk tersebut.

  2. Notaris menerima draft dari salah satu pihak, sehingga pada posisi ini jelas notaris tidak pada posisi yang seimbang atau notaris berpihak.

  3. Notaris kurang melakukan pengawasan atau tidak memberitahukan kewajiban yang harus diemban pegawai, sehingga pegawai tanpa sengaja atau dengan sengaja melakukan kecerobohan-kecerobohan yang berakibat fatal terhadap notaris itu sendiri.

  Pada saat pemeriksaan baik sebagai saksi atau tersangka ada hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh notaris, yakni antara lain:

  1. Notaris berhak mengetahui dan memastikan pemanggilan sebagai saksi atau tersangka sudah mendapat izin dari MPD.

  2. Pada saat menghadiri panggilan tersebut notaris memperlengkapi diri dengan membawa identitas diri serta surat-surat legalitas sebagai notaris.

  3. Bila sudah mengetahui hal ikhwal pemanggilan, bawa foto copy berkas- berkas yang terkait kasus yang tertera dalam surat panggilan kepolisian.

  4. Dalam proses pemeriksaan sebaiknya notaris didampingi penasehat hukum untuk antisipasi adanya oknum pemeriksa yang tidak objektif, sehingga apabila terjadi penyimpangan dalam proses pemeriksaan si pemeriksa dapat juga dituntut sesuai ketentuan yang berlaku.

  5. Hadiri undangan panggilan tepat waktu sesuai jadwal yang tertera di surat panggilan.

  6. Dalam memberikan jawaban tentang pertanyaan yang diajukan penyidik kiranya didengar dan dicermati serta dicerna baik-baik baru kemudian memberikan jawaban agar tidak terjebak oleh pertanyaan dari penyidik, penyidik selalu memakai sebutan yang terkesan memaksa agar notaris dapat diarahkan dan terkesan pemeriksa tidak objektif.

  7. Sebelum menandatangai Berita Acara Pemeriksaan notaris harus melakukan pembacaan ulang secara cermat agar terhindar dari jawaban-jawaban yang mungkin dari oknum penyidik.

  8. Apabila dipanggil sebagai tersangka, maka notaris berhak meminta turunan Berita Acara Pemeriksaan sesuai ketentuan yang ada dalam KUHAP.

  9. Ketika pemeriksaan penutup ada pertanyaan hal yang ingin ditanyakan, maka notaris boleh mengajukan agar proses pemanggilan tidak berulang-ulang.

  10. Bila memungkinkan ketika dimintai keterangan, notaris yang diambil keterangannya dapat mencatat contact person penyidik untuk mempercepat komunikasi dalam proses penyidikan dan tidak harus hadir dikantor penyidik untuk efisiensi waktu notaris yang dimintai keterangan tersebut.

  

B. Pengawasan Terhadap Notaris dalam Melaksanakan Tugas dan

Wewenangnya

  Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pengawasan dilakukan oleh Pengadilan Negeri setempat. Dalam

  Pasal 67 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pengawasan dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pelaksanaan pengawasan oleh Menteri dilakukan dengan membentuk Majelis Pengawas yang terdiri dari Majelis Pengawas Pusat, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah. Keanggotaan Majelis Pengawas tersebut berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri atas unsur :

  a. Pemerintah sebanyak 3 orang;

  b. Organisasi notaris sebanyak 3 orang; c. Ahli/akademisi sebanyak 3 orang.

  Pengawasan ditujukan terhadap diri notaris dan menurut Pasal 67 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ketentuan mengenai pengawasan berlaku pula bagi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus dan Pejabat Sementara Notaris. Majelis Pengawas terdiri dari Majelis Pengawas Daerah, Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat. Majelis Pengawas Daerah dibentuk di Kabupaten/Kota, Majelis Pengawas Wilayah dibentuk dan berkedudukan di ibukota Provinsi, dan Majelis Pengawas Pusat dibentuk dan berkedudukan di ibukota Negara. Keanggotaan Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis pengawas Pusat terdiri dari 3 unsur yakni unsur pemerintah, unsur organisasi notaris dan unsur ahli/akademisi.

  Masa jabatan Majelis Pengawas tersebut adalah 3 tahun. Kewenangan Majelis Pengawas Daerah diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yakni : a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris; b. Melakukan pemeriksaan, terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu; c. Memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;

  d. Menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul notaris yang bersangkutan; e. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;

  f. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara;

  g. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini; h. Membuat dan menyampaikan laporan kepada Majelis Pengawas Wilayah.

  Majelis Pengawas Daerah mempunyai kewajiban seperti yang tertera dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu :

  a. Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;

  b. Membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis pengawas Wilayah setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Pusat;

  c. Merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;

  d. Menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari notaris dan merahasiakannya; e. Memeriksa laporan masyarakat terhadap notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan organisasi notaris; f. Menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.

  Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah diatur pada Pasal 73 ayat (1), yakni: Majelis Pengawas Daerah mempunyai kewajiban seperti yang tertera dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu :

  a. Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;

  b. Membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis pengawas Wilayah setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Pusat;

  c. Merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;

  d. Menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari notaris dan merahasiakannya; e. Memeriksa laporan masyarakat terhadap notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan organisasi notaris; f. Menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.

  Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah diatur pada Pasal 73 ayat (1), yakni: Sesuai dengan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Majelis Pengawas Pusat berwenang :

  a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambi keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti; b. Memanggil notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan;

  c. Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara;

  d. Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.

  Kewajiban Majelis Pengawas Pusat diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, yang berbunyi: Majelis Pengawas Pusat berkewajiban menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a kepada menteri dan notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah yang bersangkutan serta Organisasi Notaris. Majelis Pengawas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap para notaris dengan berpedoman pada Pasal 20-35 Bab IV tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.02.PR.08.10 Tahun 2004.

  Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut: 1) Dalam melakukan pemeriksaan terhadap notaris, ketua Majelis Pengawas membentuk Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah, Majelis

  Pengawas Pusat dari masing-masing unsur yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang anggota Majelis Pemeriksa; 2) Majelis Pemeriksa Wilayah dan Majelis Pemeriksa Pusat berwenang memeriksa dan memutus laporan yang diterima. Majelis Pemeriksa dibantu oleh 1 (satu) orang sekretaris. Pembentukan Majelis Pemeriksa dilakukan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah laporan diterima. Majelis Pemeriksa wajib menolak untuk memeriksa notaris yang mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas ke bawah tanpa pembatasan derajat, dan garis lurus ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan notaris. Dalam hal Majelis Pemeriksa mempunyai hubungan seperti tersebut di atas maka ketua Majelis Pengawas menunjuk Penggantinya. 3) Pengajuan laporan dapat diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan, laporan harus disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Laporan tentang adanya pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris, disampaikan kepada Majelis Pengawas Daerah. Laporan masyarakat tersebut disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah. Dalam hal laporan sebagaimana tersebut di atas disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah, maka Majelis Pengawas Wilayah meneruskan kepada Majelis Pengawas Daerah yang berwenang. Dalam hal laporan tersebut disampaikan kepada Majelis Pengawas Pusat, maka Majelis Pengawas Pusat meneruskan kepada Majelis Pengawas Daerah yang berwenang.

  4) Ketua Majelis Pemeriksa melakukan pemanggilan terhadap dan terlapor.

  Pemanggilan dilakukan dengan surat oleh sekretaris, dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum sidang. Dalam keadaan mendesak, pemanggilan dapat dilakukan melalui faksimili dan kemudian segera disusul dengan surat pemanggilan. Dalam hal terlapor setelah dipanggil secara sah dan patut tetapi tidak hadir, maka dilakukan pemanggilan kedua. Dalam hal terlapor setelah dipanggil secara sah dan patut yang kedua kalinya namun tetap tidak hadir, maka pemeriksaan dilakukan dan putusan diucapkan tanpa kehadiran terlapor. Dalam hal pelapor setelah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir, maka dilakukan pemanggilan yang kedua dan apabila pelapor tetap tidak hadir maka Majelis Pemeriksa menyatakan laporan gugur dan tidak dapat diajukan lagi.

  5) Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa tertutup untuk umum. Pemeriksaan dimulai dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender setelah laporan diterima. Majelis Pemeriksa Daerah harus sudah menyelesaikan pemeriksaan dan menyampaikan hasil pemeriksaan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender, terhitung sejak laporan diterima. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan, yang ditandatangani oleh ketua dan sekretaris. Surat pengantar pengiriman berita acara pemeriksaan yang dikirimkan kepada Majelis Pengawas Wilayah ditembuskan kepada pelapor, terlapor, Majelis Pengawas Pusat dan Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I).

  Selain Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 yang telah disebutkan di atas, telah dikeluarkan pula Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris.

  Adapun tujuan dikeluarkannya Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini adalah, untuk memberikan arah dan tuntunan bagi anggota Majelis Pengawas Notaris dalam menjalankan tugasnya agar dapat memberikan pembinaan dan pengawasan kepada Notaris, dalam menjalankan jabatan profesinya sebagai pejabat umum, yang senantiasa meningkatkan profesionalisme dan kualitas kerjanya, sehingga dapat memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi penerima jasa Notaris dan masyarakat luas.

  Dalam Keputusan Menteri tersebut dinyatakan bahwa Majelis Pengawas Daerah mempunyai tugas-tugas sebagai berikut: 1) Melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dan 71

  Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dan Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris;

  2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada butir (1), Majelis Pengawas Daerah berwenang:

  a. Menyampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah tanggapan berkenaan atas putusan penolakan cuti; b. Memberitahukan kepada Majelis Pengawas Wilayah adanya dugaan unsur pidana yang ditemukan oleh Majelis Pemeriksa Daerah atas laporan yang disampaikan kepada Majelis Pengawas Daerah; c. Mencatat ijin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti;

  d. Menandatangani dan memberi paraf Buku Daftar Akta dan Buku Khusus yang dipergunakan untuk mengesahkan tanda tangan surat di bawah tangan dan untuk membukukan surat di bawah tangan;

  e. Menerima dan menatausahakan Berita Acara Penyerahan Protokol;

  f. Menyampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah :

  • Laporan berkala tiap 6 (enam) bulan sekali atau pada bulan Juli dan

  Januari

  • Laporan insidentil setiap 15 (lima belas) hari setelah pemberian ijin cuti notaris

  Majelis Pengawas Daerah mempunyai organ-organ yang akan melaksanakan fungsi pengawasan yang terdiri dari Ketua, Wakil Ketua dan Sekretaris Majelis Pengawas dan masing-masing mempunyai tugas. Menurut Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.39-PW.07.10 Tahun 2004, Majelis Pengawas Wilayah mempunyai tugas:

  1. Melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dan Pasal

  85 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dan Pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota,

  Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris;

  2. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada butir (1), Majelis Pengawas Wilayah berwenang :

  a. Mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat pemberian pemberhentian dengan normal; b. Memeriksa dan memutus keberatan atas putusan penolakan cuti oleh Majelis

  Pengawas Daerah. Yang dimaksud dengan ‘keberatan' adalah banding sebagaimana disebut dalam Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 71 huruf f Undang- Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;

  c. Mencatat ijin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti;

  d. Melaporkan kepada instansi yang berwenang adanya dugaan unsur pidana yang diberitahukan oleh Majelis Pengawas Daerah. Atas laporan tersebut, setelah dilakukan pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah hasilnya disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah; e. Menyampaikan laporan kepada Majelis Pengawas Pusat yaitu:

  (1) Laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali dalam bulan Agustus dan Februari;

  (2) Laporan insidentil paling lambat 15 (lima belas) hari setelah putusan Majelis Pemeriksa.

Dokumen yang terkait

Pola Pendampingan Dalam Memberikan Bantuan Hukum Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak Dalam Proses Pemeriksaan Dalam Tingkat Penyidikan (Studi di Polsek Padang Tualang Kabupaten Langkat)

1 81 87

Proses Penyidikan Di Kepolisian Terhadap Notaris Sebagai Saksi Atau Tersangka Dalam Tindak Pidana

4 75 136

Pelaksanaan Rekonstruksi Perkara Pidana Dalam Proses Penyidikan (Studi Di Polres Deli Serdang)

0 75 89

Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Saksi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Penipuan Di...

0 25 3

Penerapan Pasal 52 Jo Pasal 117 Ayat (1) KUHAP Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Harkat dan Martabat Tersangka Dalam Proses Penyidikan Di Kepolisian (Studi Di Polres Batu)

0 5 37

BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banj

0 0 30

BAB II PERANAN DAN PENGATURAN HUKUM TERHADAP NOTARIS - Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam Hal Tindak Pidana Pemalsuan Surat Akta Authentik (Studi Putusan Nomor: 40/Pid.B/2013/Pn.Lsm)

0 0 36

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANGTUA TERHADAP ANAK KANDUNGNYA A. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Y

1 2 36

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Salah Satu Upaya Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan - Penerapan Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan Berserika

0 0 42

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

0 20 33