Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Waralaba Apabila Terjadi Sengketa Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA WARALABA

APABILA TERJADI SENGKETA MENURUT PERATURAN

PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 2007

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

DENNY J.E SIMATUPANG NIM : 070200326

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM KEPERDATAAN BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA WARALABA

APABILA TERJADI SENGKETA MENURUT PERATURAN

PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 2007

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

DENNY J.E SIMATUPANG NIM : 070200326

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM KEPERDATAAN BW

Disetujui Oleh :

Ketua Depertemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Syamsul Rizal, SH, M.Hum

2014

Aflah, SH, M.Hum

NIP. 196402161989111001 NIP. 197005192002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA WARALABA APABILA TERJADI SENGKETA MENURUT PERATURAN

PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 2007

DENNY J.E SIMATUPANG* SYAMSUL RIZAL, SH, M.Hum**

AFLAH, SH, M.Hum***

ABSTRAK

Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan kekayaan bagi pemberi waralaba, karena dapat dialihkan pemanfaatannya atau penggunaannya kepada pihak lain (penerima waralaba) yang didasarkan pada diperolehnya ijin dari pemberi waralaba untuk menggunakan merek dagang, produk/jasa, logo dan sistem operasi usaha dari suatu bisnis waralaba yang sudah cukup terkenal dan sudah mempunyai goodwill (reputasi/nama baik). Hal ini mengakibatkan bisnis waralaba mencapai puncak kejayaannya, dikarenakan penerima waralaba tidak bersusah payah untuk mencari dan mempopulerkan merek dagangnya sendiri kepada konsumen.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah mekanisme pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba dan perlindungan hukum para pihak dalam perjanjian waralaba apabila terjadi sengketa menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba.

Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, oleh karena metode penelitian yang di gunakan metode penelitian kualitatif, maka data yang di perlukan berupa data sekunder atau data kepustakaan dan dokumen hukum yang berupa bahan-bahan hukum.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba, yaitu: hak khusus yang dimiliki oleh perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang atau jasa yang dapat dimanfaatkan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Kewajiban dari pihak franchisor adalah memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran,penelitian dan pengembangan kepada franchise secara berkesinambungan. Sedangkan kewajiban

franchisee adalah membayar royalti kepada franchisor, menjaga kualitas barang/jasa dan menjaga nama baik franchisor dalam memasarkan barang/jasa kepada konsumen.

Kata Kunci : Penerima, Waralaba, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007

* Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

** Dosen Pembimbing I Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU *** Dosen Pembimbing II Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Waralaba Apabila Terjadi Sengketa Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Sumatera Utara Program Kekhususan Hukum Perdata BW.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh sebab itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materil secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai,terutama kepada yang saya hormati :

1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin, SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Bapak DR.O.K.Sadikin, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

4. Bapak Syamsul Rizal, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

5. Ibu Aflah, S.H, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

7. Kepada Ayah tercinta W.Simatupang,S.E. dan Mama Dra.M.Panjaitan, atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU dan yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

8. Kepada Abang ku dr.Jhonathan Simatupang dan adik-adik ku Johannes R.H Simatupang dan Putri O Simatupang tercinta atas dukungan dan kasih sayang mereka,selama pembutan skripsi ini.

9. Kepada seluruh keluarga, Mak Tua, Pak Tua, Tante, Bou, Mangboru, Bapa Uda, atas dukungan dan doanya.

10.Kepada Opung Makdin Munthe, S.H,M.Hum yang telah memberikan dukungan,semangat dan masukan kepada penulis.

11.Kepada Suryanti Purba,S.Pd Tercinta atas waktu,semangat,doa dan kasih sayangnya kepada penulis,sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 12.Kepada Teman-teman, Adi perwira Siregar, S.H., Syahdan Hamidi, S.H., Andra

Navaro, Xerad Zeliq, Febri Dermawan, S.H., Torkis, Hendra,Wahyu, S.H., Sandro,Tius, bang Ade Irawan, S.H., bang Mike, S.H., bang Joe Suranta, S.H.,


(6)

Zanrius Ginting,S.H.,Tommy Lumban batu,S.H., Shawal Siregar, bang Jois, bang Dian, kak Mis, dkk. Atas dukungan dan masukan yang telah di berikan kepada penulis selama pelaksanaan skripsi ini,semoga persahabatan yang kita jalin selama ini dapat terus terjaga dengan baik.

13.Seluruh keluarga besar Mahasiswa/i Fakultas hukum USU stambuk 2007 dan senior-senior atas dukungan dan doanya.

14.Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.

Medan, Maret 2014 Penulis,

Denny J.E Simatupang NIM. 070200326


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR ... ... ii

DAFTAR ISI... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA A. Sejarah dan Perkembangan Waralaba ... 14

B. Pengertian Waralaba ... 16

C. Jenis-jenis Waralaba ... 22

D. Pengembangan Peraturan Perundang-Undangan Waralaba di Indonesia ... 25

BAB III: HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA A. Perjanjian Waralaba ... 37

B. Bentuk dan Isi Perjanjian Waralaba ... 41


(8)

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA APABILA TERJADI SENGKETA MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 2007

A. Pelaksanaan Perjanjian Waralaba ... 53 B. Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Waralaba ... 60 C. Hambatan dalam Perlindungan Hukum Terhadap Penerima

Waralaba Apabila Terjadi Sengketa Menurut Peraturan Pemerintah

Nomor 42 Tahun 2007 ... 67 BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 76 B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA 79


(9)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA WARALABA APABILA TERJADI SENGKETA MENURUT PERATURAN

PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 2007

DENNY J.E SIMATUPANG* SYAMSUL RIZAL, SH, M.Hum**

AFLAH, SH, M.Hum***

ABSTRAK

Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan kekayaan bagi pemberi waralaba, karena dapat dialihkan pemanfaatannya atau penggunaannya kepada pihak lain (penerima waralaba) yang didasarkan pada diperolehnya ijin dari pemberi waralaba untuk menggunakan merek dagang, produk/jasa, logo dan sistem operasi usaha dari suatu bisnis waralaba yang sudah cukup terkenal dan sudah mempunyai goodwill (reputasi/nama baik). Hal ini mengakibatkan bisnis waralaba mencapai puncak kejayaannya, dikarenakan penerima waralaba tidak bersusah payah untuk mencari dan mempopulerkan merek dagangnya sendiri kepada konsumen.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah mekanisme pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba dan perlindungan hukum para pihak dalam perjanjian waralaba apabila terjadi sengketa menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba.

Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, oleh karena metode penelitian yang di gunakan metode penelitian kualitatif, maka data yang di perlukan berupa data sekunder atau data kepustakaan dan dokumen hukum yang berupa bahan-bahan hukum.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba, yaitu: hak khusus yang dimiliki oleh perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang atau jasa yang dapat dimanfaatkan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Kewajiban dari pihak franchisor adalah memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran,penelitian dan pengembangan kepada franchise secara berkesinambungan. Sedangkan kewajiban

franchisee adalah membayar royalti kepada franchisor, menjaga kualitas barang/jasa dan menjaga nama baik franchisor dalam memasarkan barang/jasa kepada konsumen.

Kata Kunci : Penerima, Waralaba, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007

* Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

** Dosen Pembimbing I Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU *** Dosen Pembimbing II Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses pembangunan ekonomi yang ditopang oleh sistem represi dan ketertutupan telah melumpuhkan berbagai institusi strategi seperti sistem hukum dan peradilan untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan1

Salah satu kegiatan ekonomi khususnya dibidang perdagangan yang saat ini sedang berkembang pesat adalah bisnis dengan sistem franchise, di Indonesia dikenal dengan istilah waralaba. Warren J. Keegen mengatakan “bahwa pengusaha yang bermaksud mengembangkan usahanya secara internasional dapat melakukan beberapa macam pilihan cara, salah satunya adalah melakukan pemberian waralaba”

. Hukum sangat penting sebagai motor penggerak modernisasi masyarakat. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa eksistensi hukum sangat diperlukan bagi kehidupan masyarakat disegala bidang. Dengan demikian eksistensi hukum dibidang ekonomi dalam pertumbuhan sektor ekonomi itu merupakan gejala yang saling mempengaruhi dan melengkapi.

2

Waralaba merupakan bentuk kerja sama di mana franchisor memberikan izin atau haknya kepada franchisee untuk menggunakan hak intelektualnya,seperti nama,merek dagang,produk/jasa,dan sistem operasi usahanya dalam jangka waktu tertentu. Sebagai timbal balik, franchisee membayar jumlah tertentu serta mengikuti sistem yang ditetapkan

franchisor. Waralaba juga dapat di katakan sistem keterkaitan usaha vertikal antara pemilik .

1

Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. 2004-2009

2

Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Waralaba, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 1


(11)

paten yang menciptakan paket teknologi bisnis (franchisor) dengan penerima hak pengelolaan operasional bisnis (franchisee).3

Pesatnya pertumbuhan bisnis waralaba di Indonesia, membuktikan bahwa telah terjadi perubahan cara pandang dalam konsep jaringan distribusi barang dan jasa yang ada selama ini. Karena dalam sistem bisnis seperti ini memungkinkan seorang pengusaha melaksanakan upaya perluasan usaha dengan membuka jaringan outlet di berbagai tempat tanpa harus mengeluarkan biaya dengan investasi sendiri. Melalui konsep pemasaran sistem waralaba, setiap perusahaan pemilik waralaba dapat menawarkan hak penggunaan sistem usaha tertentu miliknya kepada calon penerima waralaba yang disertai dengan pemberian bantuan teknis yang berupa pemberian latihan, pedoman operasi, supervisi dan manajemen.4

Sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tersebut, maka setiap pengusaha yang menjalankan usaha waralaba wajib mendaftarkan usaha waralabanya pada Kantor Departemen Perdagangan, tujuannya untuk kepentingan pembinaan usaha dengan cara waralaba. Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 beserta Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 31/M-DAG/PER/8/2008 tersebut tujuannya untuk memberikan aturan yang jelas tentang bisnis waralaba, tetapi karena pengaturan yang terdapat di dalamnya tersebut masih bersifat terlalu umum dan diatur dengan

Banyaknya waralaba asing masuk ke Indonesia, telah menggerakkan pemerintah untuk memberikan perhatian khusus terutama dari segi hukum, sehingga lahir Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang penyelenggaraan waralaba.

3

Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, Bogor: Ghalia Indonesia, 2008, hlm 48

4

Lindawaty Sewu, Franchise Pola Bisnis Spektakuler Dalam Prespektif Hukum & Ekonomi, Penerbit CV Utomo, Bandung, 2004, hlm 18


(12)

sangat singkat, sehingga kurang memadai untuk dapat digunakan sebagai peraturan dasar utama untuk menata kegiatan bisnis waralaba di Indonesia.

Berkembangnya bisnis waralaba asing tersebut sejalan dengan lajunya pertumbuhan ekonomi, dan menjamurnya pemberi waralaba asing yang masuk ke Indonesia, untuk itu perlu kiranya mendapat perhatian khusus dari pemerintah terutama dari segi hukum khususnya dalam hukum perjanjian (kontrak), karena permasalahan dalam hukum kontrak tidak dapat terlepas dari pembahasan bisnis waralaba khususnya yang berkaitan dengan hubungan hukum antara penerima waralaba Indonesia degan pemberi waralaba asing.

Dasar hukum dan penyelenggaraan waralaba adalah perjanjian atau kontrak antara penerima waralaba dengan pemberi waralaba. Kontrak waralaba dapat diakomodasi oleh asas kebebasan berkontrak dengan sistem terbuka, walaupun masih dalam klasifikasi ketentuan hukum yang bersifat umum, artinya bahwa perjanjian itu hanya bersifat mengatur (regelend) dan bukan bidang hukum yang bersifat memaksa (dwingend). 5

5

Juajir Sumardi, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm 49

Para pihak yang membuat perjanjian, bebas untuk menentukan syarat-syarat perjanjian yang diinginkan asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang dan rasa keadilan. Selain itu perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu untuk hal-hal yang berhubungan dengan isi perjanjian waralaba, para pihak (pemberi waralaba dan penerima waralaba) dapat mengacu kepada Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang asas kebebasan berkontrak dan syarat perjanjian yang termasuk dalam golongan perjanjian bernama.


(13)

Perjanjian atau kontrak waralaba berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007, dibuat dalam bentuk tertulis antara pemberi waralaba dan penerima waralaba. Perjanjian dalam bentuk tertulis memberikan kepastian hukum kepada kedua belah pihak dalam memenuhi kewajiban dan memperoleh hak yang telah disepakati bersama. Suatu kontrak pada dasarnya harus dilaksanakan oleh para pihak berdasarkan itikad baik, tetapi kenyataannya sering kali terjadi sesuatu masalah yang tidak dikehendaki oleh para pihak, sehingga menimbulkan sengketa diantara pihak-pihak tersebut, untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul tersebut tidaklah mudah, melihat sebagian besar pihak pemberi waralaba adalah pihak asing yang berasal dari negara yang berbeda yang sistem hukumnya sedikit banyak juga berbeda.

Terdapatnya dua sistem hukum yang berbeda dalam suatu kontrak, hal ini tentu saja dapat menimbulkan masalah hukum perdata internasional, karena para pihak membawa sistem hukumnya masing-masing dalam suatu kontrak, dalam hal ini mereka dapat memilih hukum nasionalnya atau hukum negara lain sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau kaidah-kaidah yang bersifat memaksa. Selain mengenai hukum yang seharusnya berlaku atau pilihan hukum, permasalahan yang dapat timbul dalam suatu kontrak adalah pilihan pengadilan yang merupakan pilihan yang tidak dapat diabaikan oleh para pihak.

Mengingat bisnis waralaba di Indonesia semakin berkembang sejalan dengan lajunya pertumbuhan ekonomi dan menjamurnya pemberi waralaba asing masuk ke Indonesia, maka perlu kiranya mendapat perhatian khusus terutama dari segi hukumnya, karena saat ini pengaturan mengenai bisnis waralaba khususnya dalam hukum perjanjian/kontrak nasional belum tersedia. Isi dan perjanjian kontrak yang dilakukan oleh para pihak tergantung pada


(14)

kehendak para pihak, seringkali pihak pemberi waralaba asing memilki kekuatan untuk memaksakan kepentingannya di dalam pengaturan perjanjian waralaba.6

Perjanjian waralaba yang umumnya dibuat dalam bentuk perjanjian standar yang sebagian besar isinya menguntungkan pihak pemberi waralaba. Pemberi waralaba memiliki kecenderungan untuk mendiktekan keinginannya, yang salah satunya dapat dilihat dalam klausula pengakhiran perjanjian, jika menurut penilaian pembeli waralaba tindakan penerima waralaba diperkirakan dapat merugikan nama baik dan reputasi bisnis pemberi waralaba, maka pemberi waralaba dapat memutuskan perjanjian secara sepihak dan penerima waralaba harus menghentikan penggunaan merek dan segala simbol-simbol usaha milik pemberi waralaba, serta mewajibkan penerima waralaba untuk mengembalikan seluruh manual operation.7

Pada saat perjanjian tidak diperpanjang lagi atau diputus, sebagai pemilik modal hal ini tentu akan dapat merugikan penerima waralaba. Pemberi waralaba juga dapat memanfaatkan kedudukan penerima waralaba untuk menguji pasar setelah mengetahui bahwa kondisi pasar menguntungkan, maka pemberi waralaba memutuskan perjanjian dengan penerima waralaba, selanjutnya pemberi waralaba mengoperasionalkan sendiri “oulet” atau tempat usaha diwilayah penerima waralaba atau pemberi waralaba dapat juga memberikan kepada pihak lain dengan syarat-syarat yang lebih menguntungkan. Pemberi waralaba dalam perjanjian hampir tidak memiliki resiko yang langsung, sementara penerima waralaba selain berhadapan dengan resiko investasi, resiko persaingan, kesalahan manajemen dan penghitungan pangsa pasar, juga masih harus membayar royalty. Belum lagi menghadapi

6

Lindawaty Sewu, Op.Cit, hlm 20

7

Peni R Pramono, Cara Memilih Waralaba Yang Menjanjikan Profit, PT. Elex Media Computindo, Jakarta, 2007, hlm 41


(15)

resiko perlakuan tidak adil berupa mekanisme kontrol yang berlebihan dari pemberi waralaba.8

Tidak seimbangnya posisi tawar menawar antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba, terutama dikarenakan segala persyaratan dan isi kontrak waralaba dibuat dalam bentuk perjanjian standar. Hal ini seharusnya tidak terjadi apabila telah terdapat pengaturan yang memuat mengenai syarat-syarat minimal yang harus ada dalam sebuah perjanjian waralaba.9

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas, dengan semakin menjamurnya waralaba asing masuk ke Indonesia, sedangkan pengaturan waralaba di Indonesia saat ini kurang memadai, maka perlu dipikirkan pembentukan hukum waralaba yang lebih memadai. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menelitinya lebih lanjut dan menuangkannya ke dalam bentuk skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Waralaba Apabila Terjadi Sengketa Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007”.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan diteliti dapat di identifikasi sebagai berikut :

1. Bagaimana mekanisme pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba ?

2. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba ?

3. Bagaimana perlindungan hukum para pihak dalam perjanjian waralaba apabila terjadi sengketa menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba ?

8

Ibid 9


(16)

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan identifikasi masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba.

2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum para pihak dalam perjanjian waralaba apabila terjadi sengketa menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh kegunaan teoritis dan kegunaan praktis sebagai berikut :

1. Secara teoritis, dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap penerima waralaba dalam perjanjian waralaba.

2. Secara praktis, sebagai sumber masukan secara teori melalui penelitian perpustakaan maupun secara praktik tentang permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi dalam praktik sehubungan dengan perlindungan hukum terhadap penerima waralaba dalam perjanjian waralaba. Sebagai penambahan literatur pada bidang hukum, sehingga mengurangi kesulitan dalam mendapatkan bahan bacaan yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap penerima waralaba dalam perjanjian waralaba.


(17)

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) skripsi Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Waralaba Apabila Terjadi Sengketa Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 belum pernah dilakukan, hingga skripsi ini ditulis, meskipun dalam bentuk makalah pada seminar-seminar maupun dalam diskusi panel sudah pernah dilakukan pembahasan dan diskusi dengan judul “Tujuan yuridis perjanjian

franchise berdasarkan undang-undang tentang hak atas kekayaan intelektual oleh Anores Henda”, “Perkembangan usaha franchise dalam perekonomian Indonesia untuk memberi bentuk baru dari segi yuridis (riset di KFC cabang Medan) oleh Erni Sarina Malimunthe”, dan “kajian tentang sifat-sifat karakteristik perjanjian franchise oleh Yoan Imanolisa Shaptieni”

Penulisan tentang perkembangan usaha franchise atau waralaba dalam perekonomian Indonesia untuk memberi bentuk baru dari segi yuridis. Yang di dasarkan dengan melihat perkembangan usaha franchise yang telah banyak dibidangi oleh para pengusaha Indonesia dalam menjalankan usahanya, yang nantinya usaha franchise ini dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia.

Sehingga perlu dikaji lagi dengan dikeluarkannya Undang-Undang yang baru mengenai hak atas kekayaan intelektual yaitu mengenai hak paten, hak merek dan hak cipta.

F. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan

Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran atau


(18)

ketidakbenaran dari suatu gejala yang ada.10 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu maka diadakan pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala-gejala yang bersangkutan.11

Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, oleh karena metode penelitian yang digunakan metode penelitian kualitatif, maka data yang diperlukan berupa data sekunder atau data kepustakaan dan dokumen hukum yang berupa bahan-bahan hukum. Penelitian normatif tersebut dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder, seperti: peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum, dan pendapat para sarjana hukum terkemuka.12

2. Sumber Data dan Jenis Data

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat sifatnya, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan waralaba.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, antara lain buku-buku yang berkaitan dengan waralaba.

c. Bahan Hukum Tertier

10

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm 2

11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan 2, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm 89

12

Soerjono Soekanto dan Sri Memuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Penerbit Radja Grafindo, Jakarta, 1998, hlm 14


(19)

Bahan hukum tertier adalah bahan-bahan yang dapat memperjelas suatu persoalan atau suatu istilah yang ditemukan pada bahan-bahan hukum primer dan sekunder, yang terdiri dari kamus hukum, kamus bahasa dan dokumen tertulis lainnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Teknik pengumpulan data sekunder berupa bahan hukum primer, dilakukan dengan cara mempelajari dan mencatat tentang asas dan norma hukum yang menjadi objek permasalahan ataupun yang dapat dijadikan alat analisis pada masalah penelitian. b. Teknik pengumpulan data sekunder berupa bahan-bahan hukum sekunder, dilakukan

dengan cara menelusuri literatur-literatur ilmu hukum ataupun hasil-hasil penelitian hukum yang relevan dengan masalah penelitian.

c. Teknik pengumpulan data sekunder berupa bahan-bahan hukum tersier, dilakukan dengan cara menelusuri kamus-kamus hukum, kamus bahasa dan dokumen tertulis lainnya yang dapat memperjelas suatu persoalan atau suatu istilah yang ditemukan pada bahan-bahan hukum primer dan sekunder.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif, data yang telah dikumpulkan secara lengkap dan di cek keabsahannya kemudian dianalisis melalui langkah-langkah yang bersifat umum.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Waralaba Apabila Terjadi Sengketa Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007, adalah sebagai berikut :


(20)

BAB I PENDAHULUAN

Berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA

Pada bab ini berisikan mengenai sejarah dan perkembangan waralaba, pengertian waralaba dan jenis-jenis waralaba serta pengembangan peraturan perundang-undangan waralaba di Indonesia.

BAB III HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN

WARALABA

Bab ini berisikan perjanjian waralaba, bentuk dan isi perjanjian waralaba dan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba.

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN

WARALABA APABILA TERJADI SENGKETA MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 42 TAHUN 2007

Pada bab ini mengenai pelaksanaan perjanjian waralaba, perlindungan hukum terhadap penerima waralaba dan hambatan dalam perlindungan hukum terhadap penerima waralaba apabila terjadi sengketa menurut peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2007.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan membahas kesimpulan saran dari hasil pembahasan yang telah dilakukan.


(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA

A. Sejarah dan Perkembangan Waralaba

Konsep waralaba atau franchise muncul sejak 200 tahun sebelum masehi. Saat itu, seorang pengusaha Cina memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk mendistribusikan produk makanan dengan merek tertentu. Kemudian, di Prancis pada tahun 1200-an, penguasa negara dan penguasa gereja mendelegasikan kekuasaan mereka kepada para pedagang dan ahli pertukangan melalui apa yang dinamakan “diartes de franchise”, yaitu hak untuk menggunakan atau mengolah hutan yang berada di bawah kekuasaan negara atau gereja. Sebagai imbalannya, penguasa negara atau penguasa gereja menuntut jasa tertentu atau uang.

Namun, sebenarnya waralaba dengan pengertian yang kita kenal saat ini berasal dari Amerika Serikat13

Saat itu franchise dikenal sebagai keseluruhan aktivitas bisnis yang ditujukan untuk membangun jalan dan pembuatan bir. Pada intinya, raja memberikan hak untuk monopoli kepada seseorang dalam melaksanakan aktivitas bisnis tertentu. Di Jerman konsep franchise

berkembang pada sekitar tahun 1840-an. Saat itu, telah mulai diberikan hak khusus untuk . Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu mengatakan kata franchise berasal dari bahasa Prancis kuno yang berarti “bebas”. Pada abad pertengahan franchise diartikan sebagai “hak utama” atau “kebebasan”. Saat itu, pemerintahan setempat atau lord (gelar kebangsawanan di Inggris biasanya dimiliki oleh tuan tanah setempat) memberikan hak khusus seperti untuk mengoperasikan kapal feri atau untuk berburu di tanah miliknya.

13


(22)

menjual minuman. Hal ini merupakan konsep awal dari franchising yang kita kenal sekarang14

Di Amerika Serikat, waralaba mulai dikenal kurang lebih 2 abad yang lalu ketika perusahaan-perusahaan bir memberikan lisensi kepada perusahaan-perusahaan kecil sebagai upaya mendistribusikan produk mereka. Sistem waralaba di Amerika Serikat pertama kali dimulai pada tahun 1851. Pada saat itu, di Amerika Serikat timbul yang dinamakan sistem waralaba Amerika generasi pertama, yang disebut sebagai straight product franchising

(waralaba produksi murni). Pada mulanya, sistem ini berupa pemberian lisensi bagi penggunaan nama pada industri minuman (Coca-Cola), kemudian berkembang sebagai sistem pemasaran pada industri mobil (General-Motors). Kemudian, sistem waralaba ini dikembangkan oleh produsen bahan bakar, yang memberikan hak waralaba kepada pemilik pompa bensin sehingga terbentuk jaringan penyediaan untuk memenuhi suplai bahan bakar dengan cepat

.

15

Setelah Perang Dunia II, di Amerika Serikat berkembang sistem waralaba generasi kedua, yang disebut sebagai entire business franchising. Dalam sistem yang semakin berkembang ini, ikatan perjanjian tidak lagi hanya mengenai satu aspek produksi, tetapi cenderung meliputi seluruh aspek pengoperasian perusahaan pemberi waralaba. Pemberi waralaba (franchisor) membawa satu paket prestasi kepada penerima waralaba (franchise) berupa bentuk atau dekorasi tempat usaha, konsep kebijakan perusahaan, dan sistem manajemen atau organisasi perusahaan. Franchisor mengarahkan dan “meleburkan” para

franchise ke dalam suatu sistem yang telah franchisor tetapkan. .

16

14

Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm 121-122

15

Anonymous, Franchise dan Pengertiannya, Harian Pikiran Rakyat, 3 Februari 2007

16


(23)

Di Indonesia, waralaba mulai dikenal pada 1950-an dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi atau menjadi agen tunggal pemilik merek. Waralaba di Indonesia semakin berkembang ketika masuknya waralaba asing pada tahun 80-90an. KFC, McDonald’s, Burger King dan Wendys adalah sebagian dari jejaring waralaba asing yang masuk ke Indonesia pada awal-awal berkembangnya waralaba di Indonesia.

Perusahaan-perusahaan waralaba lokal juga mengalami pertumbuhan pada masa itu, salah satunya adalah Es Teler 77. Pesatnya pertumbuhan penjualan sistem waralaba disebabkan oleh faktor popularitas franchisor. Hal ini tercermin dari kemampuannya untuk menawarkan suatu bidang usaha yang probabilitas keberhasilannya tinggi. Sebagai salah satu lembaga hukum hak milik intelektual, waralaba saat itu terus dijadikan sebagai sarana untuk mendorong investasi pada skala internasional dan juga teknik pemasaran yang berperan untuk membantu perkembangan bisnis kecil lokal17

B. Pengertian Waralaba

.

Pengertian waralaba menurut peraturan perundang-undangan dapat ditemukan pengaturannya dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, yaitu: hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

Berdasarkan pengertian yang telah diberikan oleh Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, terdapat unsur-unsur penting dalam waralaba yaitu:

17

Anonymous, Mc Donald’s Hamburger: Suatu Jaringan Franchise Internasional Kini telah Memiliki Outlet di Jakarta, Harian Kompas, 21 Januari 1990


(24)

1. Waralaba adalah hak khusus yang merupakan suatu Hak Kekayaan Intelektual yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum tertentu;

2. Waralaba diselenggarakan atas dasar perjanjian.

Berikut ini defenisi waralaba yang diuraikan oleh para ahli, yaitu: kata franchise

berasal dari bahasa Prancis affranchir yang artinya to free (membebaskan). Dengan istilah

franchise di dalamnya terkandung seseorang memberikan kebebasan dari ikatan yang menghalangi kepada orang lain untuk menggunakan atau membuat atau menjual sesuatu18

Franchise ini merupakan suatu metode untuk melakukan bisnis, yaitu suatu metode untuk memasarkan produk atau jasa ke masyarakat. Lebih spesifik lagi, franchising adalah suatu konsep pemasaran. Sedangkan pakar lain melihat franchise tidak hanya sekedar suatu metode atau konsep tetapi lebih merupakan suatu sistem. Suatu metode atau konsep yang dapat dioperasionalkan dalam kerangka atau tatanan yang membuat hubungan lebih teratur dan terarah, antar subsistem yang satu dengan subsistem yang lain. Oleh karenanya franchise

diartikan sebagai suatu sistem pemasaran atau sistem usaha untuk memasarkan produk atau jasa tertentu

.

19

Franchise adalah hak istimewa untuk menggunakan nama atau untuk menjual produk/jasa layanan. Hak itu diberikan oleh pengusaha pabrik untuk penyedia pada penjual eceran untuk menggunakan berbagai produk dan nama dengan berdasarkan syarat-syarat yang telah disetujui bersama (dalam hubungan yang saling menguntungkan).

.

20

Franchise diinterprestasikan sebagai pembebasan dari pembatasan tertentu, atau kemungkinan untuk melaksanakan tindakan tertentu, yang untuk orang lain dilarang. Dalam

18

Moch. Basarah, Bisnis Franchise dan Aspek-aspek Hukumnya, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm 33.

19

Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, Penerbit Rhineka Cipta, Jakarta, 2007 hlm 57.

20


(25)

bahasa Inggris, franchise diterjemahkan dalam pengertian privilege (hak istimewa/hak khusus). Di Amerika Serikat, franchise diartikan konsesi21

Menurut Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, menterjemahkan pengertian

franchise dari Black’s Law Dictionary sebagai berikut .

22

1. Franchise adalah hak istimewa untuk melakukan hal-hal tertentu yang diberikan oleh pemerintah pada individu atau perusahaan yang terbentuk badan hukum, dan hak tersebut tidak dimiliki oleh penduduk pada umumnya.

:

2. Franchise adalah hak istimewa untuk menggunakan nama atau untuk menjual produk/jasa layanan. Hak itu diberikan oleh pengusaha pabrik atau penyedia pada penjual eceran untuk menggunakan berbagai produk dan nama dengan berdasarkan syarat-syarat yang telah disetujui bersama (dalam hubungan yang saling menguntungkan).

3. Franchise adalah lisensi dari pemilik merek dagang atau nama dagang yang mengizinkan orang lain untuk menjual produk atau jasa layanan di bawah nama atau merek tersebut.

Douglas J. Queen memberikan pengertian franchise sebagai suatu metode perluasan pemasaran dan bisnis. Suatu bisnis memperluas pasar dan distribusi produk serta pelayanannya dengan membagi bersama standar pemasaran dan operasional. Pemegang

franchise yang membeli suatu bisnis yang menarik manfaat dari kesadaran pelanggan akan nama dagang, sistem teruji dan pelayanan lain yang disediakan pemilik franchise23

21

Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm 6.

22

Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu, Op.Cit, hlm 116.

23

J. Queen, Pedoman Membeli dan Menjalankan Franchise, Terjemah, Penerbit Elex Media Komputindo, Jakarta, 1993, hlm 4-5.

. Lebih lanjut Queen mengemukakan bahwa pemilik franchise memperkenankan pemegang franchise

menggunakan nama dagang, produk, teknik dan proses franchise. Selain itu diharuskan mengikuti standar melalui persetujuan lisensi. Kekuatan sistem dan kemauan baik yang diasosiasikan dengan nama dagang, sebagian besar bergantung pada taatnya pemegang

franchise mengikuti sistem secara konsisten dan mutu produk yang sudah diketahui umum dimiliki oleh organisasi tersebut.


(26)

Franchise merupakan sistem usaha yang memiliki ciri khas tertentu berupa jenis produk dan bentuk yang diusahakan, identitas perusahaan (logo, desain, merek bahkan termasuk pakaian dan penampilan karyawan perusahaan), rencana pemasaran dan bantuan operasional24

Di dalam kamus ekonomi bisnis perbankan mengartikan bahwa franchise adalah “suatu hak tunggal yang diberikan kepada perorangan atau suatu organisasi, oleh suatu pihak lain, baik perorangan atau organisasi (perusahaan, pemerintah dan sebagainya) untuk menjalankan suatu wewenang khususnya menyangkut perbuatan atau penjualan di wilayah tertentu

.

25

Martin Mendelsohn mengartikan franchise sebagai pemberian sebuah lisensi kepada pihak lain, lisensi tersebut memberikan hak kepada franchisee untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang franchisor, dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seseorang yang sebelumnya belum terlatih dalam menjalankan bisnis, dan untuk menjalankan dengan bantuan terus-menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya

.”

26

Martin D. Fern, melihat franchise dari aspek/unsurnya, yang mensyaratkan adanya empat unsur yaitu

.

27

a. Pemberian hak untuk berusaha dalam bisnis tertentu; :

b. Lisensi untuk menggunakan tanda pengenal usaha, biasanya suatu merek dagang atau merek jasa, yang akan menjadi ciri pengenal dari bisnis franchise;

c. Lisensi untuk menggunakan rencana pemasaran dan bantuan yang luas oleh

franchisor kepada franchise; dan

24

Rooseno Harjowidigno, Perspektif Pengaturan Perjanjian Franchise, Makalah Pertemuan Ilmiah tentang Usaha Franchise dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi, BPHN, Jakarta, 1993, hlm 1.

25

T. Guritno, Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan, Cetakan I, Penerbit Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1992, hlm. 24

26

Martin Mendelsohn, Franchising: Petunjuk Praktis bagi Franchisor dan Franchisee, Penerbit Pustaka Binaman Perssindo, Jakarta, 1997, hlm. 4.

27


(27)

d. Pembayaran oleh franchise kepada franchisor berupa sesuatu yang bernilai bagi

franchisor selain dari harga borongan bonafide atas barang yang terjual.

Semua pengertian yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa franchise pada dasarnya mengandung elemen-elemen pokok sebagai berikut:

a. Franchisor yaitu pihak pemilik/produsen dari barang atau jasa yang telah memiliki merek tertentu serta memberikan atau melisensikan hak eksklusif tertentu untuk pemasaran dari barang atau jasa itu.

b. Franchisee yaitu pihak yang menerima hak eksklusif itu dari franchisor.

c. Adanya penyerahan hak-hak secara eksklusif (dalam praktek meliputi berbagai macam hak milik intelektual/hak milik perindustrian) dari franchisor kepada franchisee.

d. Adanya penetapan wilayah tertentu, franchise area dimana franchisee diberikan hak untuk beroperasi diwilayah tertentu.

e. Adanya imbal prestasi dari franchisee kepada franchisor yang berupa FranchiseFee dan

Royalties serta biaya-biaya lain yang disepakati oleh kedua belah pihak.

f. Adanya standar mutu yang ditetapkan oleh franchisor bagi franchisee, serta supervisi secara berkala dalam rangka mempertahankan mutu.

g. Adanya pelatihan awal, pelatihan yang berkesinambungan, yang diselenggarakan oleh

franchisor guna peningkatan keterampilan.

Dari sudut pandang ekonomi franchise adalah hak yang diberikan secara khusus kepada seseorang atau kelompok, untuk memproduksi atau merakit, menjual, memasarkan suatu produk atau jasa. Sedangkan dari sudut pandang hukum franchise adalah perjanjian legal antara dua pihak dalam bekerja sama memproduksi, merakit, menjual dan memasarkan suatu produk/jasa.


(28)

Kata waralaba pertama kali diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM) sebagai padanan kata franchise. Amir Karamoy menyatakan bahwa waralaba bukan terjemahan langsung konsep franchise. Dalam konteks bisnis, franchise

berarti kebebasan untuk menjalankan usaha secara mandiri di wilayah tertentu. Waralaba berasal dari kata “wara” yang berarti lebih atau istimewa dan “laba” berarti untung. Jadi, waralaba berarti usaha yang memberikan keuntungan lebih/istimewa. Lebih lanjut Amir Karamoy menyatakan bahwa secara hukum waralaba berarti persetujuan legal atas pemberian hak atau keistimewaan untuk memasarkan suatu produk jasa dari pemilik (pewaralaba) kepada pihak lain (terwaralaba), yang diatur dalam suatu aturan permainan tertentu28

C. Jenis-jenis Waralaba

.

Pada umumnya, waralaba dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut29

1. Distributorships (Product Franchise). Dalam waralaba ini, franchisor memberikan lisensi kepada franchise untuk menjual barang-barang hasil produksinya. Pemberian lisensi ini bisa bersifat eksklusif ataupun noneksklusif. Seringkali terjadi franchise diberi hak eksklusif untuk memasarkan disuatu wilayah tertentu.

:

2. Chain-Stale Business. Jenis waralaba inilah yang paling banyak dikenali masyarakat. Dalam jenis ini, franchise mengoperasikan suatu kegiatan bisnis dengan memakai

franchisor. Sebagai imbalan dari penggunaan nama franchisor, maka franchise harus mengikuti metode-metode standar pengoperasian dan berada dibawah pengawasan

franchisor. Dalam hal bahan-bahan yang digunakan, pilihan tempat usaha, desain tempat usaha, jam penjualan, persyaratan hara karyawan, dan lain-lain.

28

Amir Karamoy, Sukses Usaha Lewat Waralaba, Penerbit Jurnalindo Aksara Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 3.

29

Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hlm. 157.


(29)

3. Manufacturing atau Processing Plants. Dalam waralaba jenis ini, franchisor

memberitahukan bahan-bahan serta tata cara pembuatan suatu produk, termasuk di dalamnya formula-formula rahasianya. Franchise memproduksi, kemudian memasarkan barang-barang ini sesuai standar yang telah ditetapkan franchisor.

Model bisnis waralaba ada tiga macam, yaitu waralaba jasa, waralaba barang, dan waralaba distribusi. Tiga bentuk waralaba ini ditemukan dalam kategorisasi waralaba yang dibuat oleh European Court of Justice pada putusannya dalam kamus “Pronuptia”. Kombinasi ketiga bentuk waralaba tersebut terdapat di Indonesia yang umumnya dapat ditemui pada usaha restoran cepat saji, seperti pada McDonald’s dan Kentucky Fried Chicken30

1. Waralaba dengan sistem format bisnis. .

Di Indonesia sistem waralaba setidaknya dibagi menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut :

2. Waralaba bagi keuntungan. 3. Waralaba kerjasama investasi. 4. Waralaba produk dan merek dagang.

Dari keempat jenis sistem waralaba tersebut, sistem waralaba yang berkembang di Indonesia saat ini ialah waralaba produk dan merek dagang serta waralaba sistem format bisnis31

Waralaba produk dan merek dagang (product and trade franchise) merupakan bentuk waralaba paling sederhana. Dalam waralaba produk dan merek dagang, franchisor

memberikan hak kepada franchisee untuk menjual produk yang dikembangkan oleh .

30

Adrian Sutedi, Op. Cit. hlm.15

31 Ibid


(30)

franchisor yang disertai dengan pemberian izin untuk menggunakan merek dagang milik

franchisor32

Waralaba format bisnis (business format franchise) adalah sistem waralaba yang tidak hanya menawarkan merek dagang dan logo, tetapi juga menawarkan sistem yang komplit dan komprehensif mengenai tata cara menjalankan bisnis, termasuk didalamnya pelatihan dan konsultasi usaha. Dalam hal pemasaran, penjualan, pengelolahan stok, akunting, personalia, pemeliharaan dan pengembangan bisnis. Dengan kata lain, waralaba format bisnis adalah pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (franchisor) kepada pihak lain (franchisee). Lisensi tersebut memberikan hak kepada franchise untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang/nama dagang franchisor dan untuk menggunakan keseluruhan paket yang terdiri dari seluruh elemen, yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus-menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan

.

33

Martin Mandelson menyimpulkan bahwa dalam waralaba format bisnis terdapat ciri-ciri sebagai berikut :

.

34

1. Konsep bisnis yang menyeluruh dari franchisor. Konsep ini berhubungan dengan pengembangan cara untuk menjalankan bisnis secara sukses yang seluruh aspeknya berasal dari franchisor. Franchisor akan mengembangkan suatu “cetak biru” sebagai dasar pengelolaan waralaba format bisnis tersebut. 2. Adanya proses permulaan dan pelatihan atas seluruh aspek pengelolaan bisnis

yang sesuai dengan konsep franchisor. Franchise akan diberikan pelatihan mengenai metode bisnis yang diperlukan untuk mengelola bisnis sesuai dengan cetak biru yang telah dibuat oleh franchisor. Pelatihan ini biasanya menyangkut pelatihan penggunaan peralatan khusus, metode pemasaran, penyiapan produk, dan penerapan proses. Dalam pelatihan ini diharapkan franchise menjadi ahli pada seluruh bidang yang diperlukan untuk menjalankan bisnis yang khusus tersebut.

32

Anonymous, Mengenal Istilah Waralaba,

2013.

33

Martin Mendelson, Op Cit, hlm. 87.

34 Ibid


(31)

3. Proses bantuan dan bimbingan yang terus-menerus dari pihak franchisor. Menurut Juadir Sumardi, usaha bisnis waralaba dibagi menjadi dua jenis, yaitu : 1. Waralaba Format Bisnis. Dalam waralaba format bisnis, pemegang waralaba

(franchise) memperoleh hak untuk memasarkan dan menjual produk atau pelayanan dalam suatu wilayah atau lokasi yang spesifik dengan menggunakan standar operasional dan pemasaran dari franchisor. Dalam bentuk ini terdapat tiga jenis waralaba yaitu, waralaba format pekerjaan, format usaha dan format investasi.

2. Waralaba Format Distribusi Pokok. Dalam waralaba format ini, franchise

memperoleh lisensi untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi yang spesifik. Franchisor juga dapat memberikan franchise

wilayah tertentu, dimana franchise wilayah mendapat hak untuk menjual kepada sub franchise di wilayah geografis tertentu. Franchise itu bertanggung jawab atas beberapa atau seluruh pemasaran sub franchise melatih da membantu sub

franchise baru, dan melakukan pengendalian dukungan operasi, serta program penagihan royalty35

.

D. Pengembangan Peraturan Perundang-Undangan Waralaba di Indonesia

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1977 tanggal 18 Juni 1997 yang kini telah dicabut dengan dikeluarkannya peraturan terbaru yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 tanggal 23 Juli 2007.

Waralaba menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1977 adalah “perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan barang atau jasa.”

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 pasal 1 ayat (1) menyebutkan pengertian waralaba adalah “hak khusus yang dimiliki oleh orang perorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka

35


(32)

memasarkan barang atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.

Dalam franchise ada dua pihak yang terlibat yaitu franchisor atau pemberi waralaba dan franchise atau penerima waralaba dimana masing-masing pihak terikat dalam suatu perjanjian yaitu perjanjian waralaba. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 dalam pasal 1 ayat (2) yang dimaksud franchisor atau pemberi waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba. Dan dalam pasal 1 ayat (3) yang dimaksud franchise atau penerima waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba untuk memanfaatkan atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba. Sementara itu dalam pasal (3) ada enam syarat yang harus dimiliki suatu usaha apabila ingin diwaralabakan yaitu :

a. Memiliki ciri khas

Suatu usaha yang memiliki keunggulan atau perbedaan yang tidak mudah ditiru atau dibandingkan dengan usaha lain yang sejenis dan membuat konsumen selalu mencari ciri khas dimaksud. Misalnya sistem manajemen, cara penjualan dan pelayanan, penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari pemberi waralaba.

b. Terbukti sudah memberikan keuntungan

Menunjuk pada pengalaman pemberi waralaba yang telah dimiliki yang kurang lebih 5 tahun dan telah mempunyai kiat-kiat bisnis untuk mengatasi masalah-masalah dalam perjalanan usahanya, dan ini terbukti dengan masih bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan menguntungkan.


(33)

c. Memiliki standar atas pelayanan barang atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis

Usaha tersebut sangat membutuhkan standar secara tertulis supaya penerima waralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan sama (standar operasional prosedur).

d. Mudah diajarkan dan diaplikasikan

Mudah dilaksanakan sehingga penerima waralaba yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai usaha sejenis dapat melaksanakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan operasional dan manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh pemberi waralaba.

e. Adanya dukungan yang berkesinambungan

Dukungan dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba secara terus-menerus seperti bimbingan operasional, pelatihan dan promosi.

f. Hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar

Hak kekayaan intelektual yang terkait dengan usaha seperti merek, hak cipta, hak paten, lisensi atau rahasia dagang sudah didaftarkan dan mempunyai sertifikat atau sedang dalam proses pendaftaran di instansi yang berwenang.

Dalam sistem franchise ada pos-pos biaya yang normal dikeluarkan sebagai berikut36

1. Royalty

:

Pembayaran oleh pihak franchise kepada pihak franchisor sebagai imbalan dari pemakaian hak franchise oleh franchisee. Walaupun tidak tertutup kemungkinan pembayaran royalty pada suatu waktu dalam jumlah tertentu yang sebelumnya tidak diketahuinya (sistem lumsump)

36


(34)

2. Franchise fee

Franchise fee adalah biaya pembelian hak waralaba yang dikeluarkan oleh pembeli waralaba (franchisee) setelah dinyatakan memenuhi persyaratan sebagai franchisee

sesuai kriteria franchisor. Umumnya franchise fee dibayarkan hanya satu kali saja dan akan dikembalikan oleh franchisor kepada franchise dalam bentuk fasilitas pelatihan awal, dan dukungan set up awal dari outlet pertama yang akan dibuka oleh franchisee37

3. Direct Expenses

.

Franchisee dalam hal ini menerima hak untuk berdagang di bawah nama dan sistem yang sama, pelatihan, serta berbagai keuntungan lainnya. Sama halnya dengan memulai bisnis secara mandiri, franchisee bertanggung jawab untuk semua biaya yang muncul guna memulai usaha ini tetapi kemungkinan mengeluarkan uang lebih rendah karena kekuatan jaringan yang dimiliki oleh franchisor.

Biaya langsung yang harus dikeluarkan sehubungan dengan pengembangan bisnis

franchise. Misalnya, terhadap pemondokan pihak yang akan menjadi pelatih dan feenya, biaya pelatihan dan biaya pada saat pembukaan.

4. Biaya sewa

Ada beberapa franchisor yang menyediakan tempat bisnis, maka dalam hal demikian pihak franchisee harus membayar harga sewa tempat tersebut kepada franchisor agar tidak timbul disputes di kemudian hari.

5. Marketing and advertising fees

Franchisee ikut menanggung biaya dengan menghitungnya, baik secara persentase dari omset penjualan ataupun jika ada marketing atau iklan tertentu.

37


(35)

6. Assignment fees

Biaya yang harus dibayar oleh pihak franchisee kepada pihak franchisor jika pihak

franchisee mengalihkan bisnisnya kepada pihak lain, termasuk bisnis yang merupakan objeknya franchise. Oleh pihak franchisor biaya itu dimanfaatkan untuk kepentingan persiapan pembuatan perjanjian penyerahan, pelatihan pemegang franchise yang baru dan sebagainya.

Setiap hubungan bisnis yang ada selalu saja ada faktor kerugian dan keuntungannya. Demikian juga dengan bisnis franchise ada keuntungan dan kerugian yang terjadi di dalamnya. Keuntungan dari bisnis franchise dapat dikemukakan sebagai berikut38

1. Diberikannya latihan dan pengalaman yang diberikan oleh franchisor. Latihan awal ini diikuti oleh pengawasan yang berlanjut.

:

2. Diberikannya bantuan finansial dari franchisor. Biaya permulaan tinggi, dan sumber modal dari pengusaha sering terbatas. Bila prospek usaha dianggap suatu resiko yang baik, franchisor sering memberikan dukungan finansial kepada franchise.

3. Diberikannya penggunaan nama perdagangan, produk atau merek yang telah dikenal secara luas.

Kerugian dalam bisnis franchise antara lain sebagai berikut :

1. Adanya program latihan yang dijanjikan oleh franchisor kedangkala jauh dari apa yang diinginkan oleh franchisee.

2. Perincian setiap hari tentang penyelenggaraan perusahaan sering diabaikan.

3. Hanya sedikit sekali kebebasan yang diberikan kepada franchisee untuk menjalankan akal budi mereka sendiri. Mereka mendapatkan diri mereka terikat pada suatu kontrak yang melarang untuk membeli baik peralatan maupun perbekalan dari tempat lain. Pada

38


(36)

bisnis franchisee jarang mempunyai hak untuk menjual perusahaan kepada pihak ketiga tanpa terlebih dahulu menawarkannya kepada franchisor dengan harga yang sama.

Dalam format bisnis waralaba, terdiri dari beberapa unsur yaitu :

1. Single unit franchise

Format yang paling sederhana dan paling banyak digunakan karena kemudahannya. Pewaralaba memberikan hak kepada terwaralaba untuk menjalankan usaha atas nama usahanya, dengan panduan prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya. Terwaralaba hanya diperkenankan untuk menjalankan usahanya pada sebuah cabang/unit yang telah disepakati.

2. Area franchise

Hak waralaba yang diberikan kepada individu atau perusahaan meliputi wilayah geografis yang telah ditentukan dalam perjanjian waralaba (franchise agreement). Pada prakteknya area franchise dapat diberikan target dan dead line berkaitan dengan jumlah

outlet yang harus dibuka.

3. Master franchise

Format master franchise memberikan hak pada pemegangnya untuk menjalankan usahanya disebuah teritori ataupun sebuah negara dan bukan hanya membuka usaha, pemegang hak dapat menjual lisensi kepada sub franchise dengan ketentuan yang telah disepakati39

Pelaksanaan perjanjian waralaba ini dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 pada pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian terulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia dan pada pasal 4 ayat (2) disebutkan pula dalam hal

.

39


(37)

perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, apabila pihak pewaralaba pihak asing, sedangkan terwaralaba adalah Indonesia, maka perjanjiannya terikat pada Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba. Sedangkan untuk format perjanjian itu sendiri tidak menyebutkan harus menggunakan akta notaris atau tidak, baik dalam peraturan yang lama maupun peraturan yang baru.

Ketentuan pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007, perjanjian waralaba memuat klausula paling sedikit :

a. Nama dan alamat para pihak; b. Jenis hak kekayaan intelektual; c. Kegiatan usaha;

d. Hak dan kewajiban para pihak;

e. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba;

f. Wilayah usaha;

g. Jangka waktu perjanjian; h. Tata cara pembayaran imbalan;

i. Kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris; j. Penyelesaian sengketa; dan

k. Tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian.

Selanjutnya dijelaskan pula dalam pasal 6 ayat (1) bahwa dalam perjanjian waralaba ini dapat memuat klausula pemberian hak bagi penerima waralaba untuk menunjuk penerima waralaba lain dan dalam ayat (2) ditegaskan kembali bahwa penerima waralaba yang diberi


(38)

hak untuk menunjuk penerima waralaba lain, harus memiliki dan melaksanakan sendiri paling sedikit satu tempat usaha waralaba.

Dalam pasal 7 disebutkan kewajiban pemberi waralaba, dimana pemberi waralaba harus memberikan prospektus penawaran waralaba kepada calon penerima waralaba pada saat melakukan penawaran. Selanjutnya prospektus penawaran waralaba sebagaimana dimaksud memuat paling sedikit mengenai :

a. Data identitas pemberi waralaba; b. Legalitas usaha pemberi waralaba; c. Sejarah kegiatan usahanya;

d. Struktur organisasi pemberi waralaba; e. Laporan keuangan dua tahun terakhir; f. Jumlah tempat usaha;

g. Daftar penerima waralaba; dan

h. Hak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba.

Selain harus memberikan prospektus penawaran waralaba kepada calon penerima waralaba, pemberi waralaba berkewajiban pula untuk memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian dan pengembangan kepada penerima waralaba secara berkesinambungan (Pasal 8), dan mengutamakan penggunaan barang atau jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh pemberi waralaba (pasal 9 ayat (1)). Seperti yang telah disebutkan dalam pasal 7,8 dan pasal 9 tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan pemberi waralaba, disini ada kewajiban lain yang harus dilakukan pula oleh pemberi waralaba yaitu termuat dalam pasal 10 ayat (1) yang menyebutkan pemberi waralaba wajib mendaftarkan prospektus penawaran waralaba sebelum membuat perjanjian waralaba


(39)

dengan penerima waralaba. Kemudian disebutkan lagi bahwa pendaftaran prospektus penawaran waralaba dapat dilakukan oleh pihak lain yang diberi kuasa.

Permohonan pendaftaran prospektus penawaran waralaba diajukan dengan melampirkan dokumen :

a. Fotokopi prospektus penawaran waralaba; b. Fotokopi legalitas usaha,

Di samping kewajiban yang harus dilakukan pemberi waralaba, Peraturan Pemerintah pada pasal 11 ayat (1) mengamanatkan kepada penerima waralaba agar mendaftarkan perjajian waralaba. Pendaftaran perjanjian waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh pihak lain yang diberi kuasa. Permohonan pendaftaran perjanjian waralaba diajukan dengan melampirkan dokumen :

a. Fotokopi legalitas usaha; b. Fotokopi perjanjian waralaba;

c. Fotokopi prospektus penawaran waralaba; dan

d. Fotokopi kartu tanda penduduk pemilik/pengurus perusahaan.

Permohonan pendaftaran waralaba tersebut selanjutnya diajukan kepada menteri yang menyelenggarakan tugas pemerintahan dibidang perdagangan. Setelah diajukan kepada menteri, apabila permohonan telah memenuhi persyaratan seperti yang ditentukan maka diterbitkanlah Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) yang berlaku untuk jangka waktu lima tahun. Apabila dalam hal perjanjian waralaba belum berakhir, Surat Tanda Pendaftaran Waralaba tersebut dapat diperpanjang untuk jangka lima tahun. Adapun proses permohonan dan penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba tidak dikenakan biaya.

Dalam hal ini pemerintah selain sebagai pembuat peraturan perundang-undangan juga berperan aktif melakukan pembinaan waralaba, dalam hal :


(40)

a. Pendidikan dan pelatihan waralaba;

b. Rekomendasi untuk memanfaatkan sarana perpasaran;

c. Rekomendasi untuk mengikuti pameran waralaba baik di dalam negeri dan luar negeri; d. Bantuan konsultasi melalui klinik bisnis;

e. Penghargaan kepada pemberi waralaba lokal terbaik; dan f. Bantuan perkuatan permodalan.40

Sementara itu Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan waralaba sesuai dengan kewenangannya masing-masing dapat mengenakan sanksi administratif bagi pemberi waralaba dan penerima waralaba yang melanggar ketentuan dalam Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 11 seperti tersebut diatas, sanksi yang diberikan dapat berupa :

a. Peringatan Tertulis

Sanksi administratif berupa peringatan tertulis dikenakan kepada pemberi waralaba dan penerima waralaba yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 11. Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan paling banyak tiga kali dalam tenggang waktu dua minggu terhitung sejak tanggal surat peringatan sebelumnya diterbitkan.

b. Denda

Sanksi administratif berupa denda, dikenakan kepada pemberi waralaba yang tidak melakukan pendaftaran prospektus penawaran waralaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 atau penerima waralaba yang tidak melakukan pendaftaran perjanjian waralaba

40

Akbar Arus Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi & Bisnis, Penerbit Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010, hlm 26


(41)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 setelah diterbitkannya surat peringatan tertulis ketiga. Denda sebagaimana dimaksud dikenakan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

c. Pencabutan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba

Sanksi administratif berupa pencabutan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba dikenakan kepada pemberi waralaba yang tidak melakukan pembinaan kepada penerima waralaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 setelah diterbitkannya surat peringatan tertulis ketiga.


(42)

BAB III

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA

A. Perjanjian Waralaba

Perjanjian adalah suatu perbuatan/tindakan hukum yang terbentuk dengan tercapainya

kata sepakat yang merupakan pernyataan kehendak bebas dari dua orang (pihak) atau lebih, di

mana tercapainya sepakat tersebut tergantung dari para pihak yang menimbulkan akibat

hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban pihak yang lain atau timbal balik

dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan.41

Dalam perjanjian waralaba tercantum ketentuan berkaitan dengan hak dan kewajiban penerima waralaba dan pemberi waralaba, misalnya hak teritorial yang dimiliki penerima waralaba, persyaratan lokasi, ketentuan pelatihan, biaya-biaya yang harus dibayarkan oleh penerima waralaba kepada pemberi waralaba, ketentuan berkaitan dengan lama perjanjian waralaba dan perpanjangannya dan ketentuan lain

Perjanjian waralaba merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para pihak dari perbuatan merugikan pihak yang lain. Hal ini dikarenakan perjanjian dapat menjadi dasar hukum yang kuat untuk menegakkan perlindungan hukum bagi para pihak. Jika salah satu pihak melanggar isi perjanjian, maka pihak yang lain dapat menuntut pihak yang melanggar tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. Perjanjian waralaba memuat kumpulan persyaratan, ketentuan dan komitmen yang dibuat dan dikehendaki oleh pemberi waralaba bagi para penerima waralabanya.

41

Herlien Budiono, Ajaran Umum: Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm 3


(43)

yang mengatur hubungan antara penerima waralaba dengan pemberi waralaba. Bila dihubungkan pengertian perjanjian dan waralaba maka dalam pengertian yang demikian seorang penerima waralaba juga menjalankan usahanya sendiri tetapi dengan mempergunakan merek dagang atau merek jasa serta dengan memanfaatkan metode dan tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba.

Kewajiban untuk mempergunakan metode dan tata cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba oleh penerima waralaba membawa akibat lebih lanjut bahwa suatu usaha waralaba adalah usaha yang mandiri, yang tidak mungkin digabungkan dengan kegiatan usaha lainnya (milik penerima waralaba). Ini berarti pemberian waralaba menuntut eksklusifitas dan bahkan dalam banyak hal mewajibkan terjadinya non competition clause bagi penerima waralaba, bahkan setelah perjanjian pemberian waralabanya berakhir. Jadi dalam hal ini jelas bahwa waralaba melibatkan suatu kewajiban untuk menggunakan suatu sistem dan metode yang ditetapkan oleh pemberi waralaba termasuk didalamnya hak untuk mempergunakan merek dagang. Pengertian waralaba (yang umum) ini dibedakan dari waralaba nama dagang yang memang mengkhususkan diri pada perizinan penggunaan nama dagang dalam rangka pemberian izin untuk melakukan penjualan produk pemberi dalam suatu batas wilayah tertentu dalam suatu pasar yang bersifat non-kompetitif. Makna yang terakhir ini menyatakan bahwa pemberian waralaba nama dagang seringkali terikat dengan kewajiban untuk memenuhi persyaratan penentuan harga yang telah ditetapkan dan digariskan oleh pemberi waralaba.

Sebenarnya perjanjian franchise berada di antara perjanjian lisensi dan distributor. Adannya pemberian izin oleh pemegang hak milik intelektual atau know-know lainnya kepada pihak lain untuk menggunakan merek ataupun prosedur tertentu merupakan unsur perjanjian lisensi. Sedangkan di lain pihak juga adanya quality control dari franchisor terhadap


(44)

produk-produk pemegang lisensi yang harus sama dengan produk-produk-produk-produk lisensor, seakan-akan pemegang franchise merupakan distributor franchisor.42

Perlindungan dari ketetapan yang lain yang mengatur suatu kerjasama waralaba (franchise) dapat diasumsikan sulit diperoleh, kalaupun ada. Etika pewaralabaan (franchising ethics) merupakan sumber yang sementara ini dapat dijadikan pedoman apakah perjanjian yang disusun mempunyai landasan yang adil dan benar. Berita baik dari tidak adanya peraturan di bidang waralaba (franchise) adalah baik pengwaralaba (franchisor) dan pewaralaba (franchisee) dapat bebas bersepakat apapun juga.

Di Indonesia belum ada hukum/peraturan tentang waralaba (franchise). Hal yang sama juga dialami oleh banyak negara, misalnya Inggris dan Australia. Ketiadaan peraturan khusus tentang pewaralaba (franchising) dapat dianggap berita baik ataupun buruk. Berita buruknya adalah dengan ketiadaan pedoman khusus tersebut maka baik pengwaralaba (franchisor) maupun pewaralaba (franchisee) harus menggantungkan pada kesepakatan yang tertulis di dalam kontrak kerja sama. Artinya kedua belah pihak harus sangat teliti dan hati-hati atas apa yang disepakati.

43

Suatu perjanjian hanya ada, jika mempunyai empat syarat sebagai berikut:

Berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, tercantum ketentuan sebagai berikut: semua kontrak yang dibuat secara sah menurut hukum, akan mengikat secara hukum mereka yang membuatnya sendiri.

44

a. Harus adanya persetujuan dari kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian: (ada

meeting of minds dan tidak ada paksaan).

42

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm 166

43

Ridhwan Khaerandy, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Keberadaannya dalam Hukum Indonesia,

Penerbit UII, Yogyakarta, 1992, hlm 24

44

Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 39


(45)

b. Mereka harus mampu menurut hukum untuk mengadakan perjanjian (cukup umur, tidak ditempatkan dibawah perwalian/curatele).

c. Perjanjian mengenai suatu pokok hal tertentu.

d. Yang diperjanjikan adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum dan juga tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan moral.

Dalam hal persyaratan Pasal 1320 KUH Perdata ini dipenuhi maka seperti perintah Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Jadi, sebuah “franchise agreement” akan mengikat baik franchisor dan franchisee, dan karenanya amat penting bagi para pihak mengatur isi perjanjian secara rinci. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak/perjanjian.

Pada prinsipnya penyelenggaraan waralaba tidak jauh berbeda dengan pembukaan kantor cabang. Hanya saja dalam pembukaan kantor cabang segala sesuatu didanai dan dikerjakan sendiri, sedangkan pada waralaba penyelenggaraan perluasan usaha tersebut didanai dan dikerjakan oleh pihak lain yang dinamakan penerima waralaba atas resiko dan tanggung jawabnya sendiri dalam bentuk usaha sendiri, namun sesuai dengan arahan dan instruksi serta petunjuk pemberi waralaba.

Pada sisi lain waralaba juga tidak berbeda jauh dari bentuk pendistribusian dalam kegiatan perdagangan barang dan atau jasa. Keduanya mempergunakan Hak Kekayaan Intelektual yang sama, milik pemberi waralaba atau prinsipal (dalam bentuk kegiatan


(46)

distribusi). Hanya saja distributor menyelenggarakan sendiri kegiatan penjualannya, sedangkan dalam pemberian waralaba, penerima waralaba melaksanakan segala sesuatunya berdasarkan arahan atau petunjuk atau instruksi yang telah ditetapkan atau digariskan oleh pemberi waralaba.

B. Bentuk dan Isi Perjanjian Waralaba 1. Bentuk Perjanjian Waralaba

Franchise atau yang dengan istilah Indonesianya dikenal sebagai waralaba tersebut memiliki batasan dan defenisi yang sangat bervariasi. Namun pada dasarnya variasi batasan tentang franchise tersebut paling tidak memiliki elemen-elemen dasar yang sama, baik dari aspek perjanjian atau kontraknya, maupun dari segi hak milik intelektual yang melekat di dalamnya.

Bentuk perjanjian/kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan lisan.45

45

Salim HS, Op.Cit, hlm 32

Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan.

Dari sudut franchisor (pengwaraba), waralaba dapat dianggap sebagai sekelompok hak milik intelektual, dari sudut franchisee (pewaralaba), franchise dapat dianggap sebagai paket bisnis, sedangkan dari sudut hukum, franchise adalah suatu kontrak atau perjanjian kerjasama standard an dari sudut pemerintah dan masyarakat umum dianggap sebagai hubungan kemitraan usaha.


(47)

Bentuk franchise yang dikenal selama ini sangat beragam, sebagai mana dikemukakan oleh Douglas J. Queen, bentuk franchise terdiri dari :46

1.) Franchise Format Bisnis

Disini franchise memperoleh hak untuk memasarkan dan menjual produk pelayanan di wilayah tertentu dengan standar operasional dan pemasaran, adapun jenis format bisnis

franchise terdiri atas : a. Franchise Pekerjaan, b. Franchise Usaha, c. Franchise Investasi.

2.) Franchise Distribusi Produk

Dalam bentuk franchise ini, franchise memperoleh lisensi eksklusif untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi yang spesifik. Disamping itu franchisor dapat juga memberikan franchise wilayah, dimana franchisee

ataupun sub pemilik franchise membeli hak untuk mengoperasikan atau menjual

franchise di wilayah geografi tertentu.

Franchise wilayah memberikan kesempatan kepada pemegang franchise induk untuk mengembangkan rantai usaha agar perkembangannya lebih cepat, dimana keahlian manajemen dan resiko terhadap finansial merupakan tanggung renteng pemegang

franchise induk dengan sub pemegangnya, namun demikian tentu saja pemegang induk menarik royalty dan penjualan produk.

46


(48)

Adapun Muljono, membagi operasi bisnis franchise ke dalam tiga kategori, yaitu:47

1.) Distributorship or Product Franchise

Melalui lisensi manufaktur seorang distributor menjual, produk-produknya, misalnya

Automobile dealership, gasoline station operation.

2.) Business Format Franchise

Franchisee menjadi bagian (anggota kelompok) dari usaha yang dimiliki oleh franchisor, misalnya Fast Food Chains, Real Estate Brokerages dan beberapa Firma Akunting yang dijalankan melalui sistem ini.

3.) Manufacturing Plants

Franchisor memberi izin kepada franchisee untuk menjual produknya di bawah standar yang dipersyaratkan franchisor, bentuk semacam ini biasanya untuk produk-produk barang elektronik.

Kemudian di Amerika Serikat, Federal Trade Commision mengidentifikasikan

franchise ke dalam tiga jenis, yaitu:48

a. Business Format Franchise

Franchisee diberi lisensi untuk melakukan usaha dengan menggunakan paket bisnis dan merek yang telah dikembangkan oleh franchisor, misalnya jenis ini ada paket usaha Fast Food, hotel dan bisnis bantuan serta pelayanan (Business aid and Service)

b. Product Franchise

Franchisor menghasilkan produk dan franchisee menyediakan outlet untuk produk yang dihasilkan oleh franchisor, jenis franchise ini dipakai misalnya pada keagenan sepatu, pompa bensin dan lain-lain.

47

Eugenia Liliawati Muljono, Peraturan Perundang Undangan Waralaba (Franchise), Penerbit Harvarindo, Jakarta, 1998, hlm 41

48


(49)

c. Business Opportunity Ventures

Franchisee mendistribusikan produk dan jasa sesuai dengan sistem yang diterapkan oleh franchisor walaupun produk dan jasa tersebut tidak menggunakan merek dagang

franchisor, contohnya dari jenis ini adalah Vending Machine.

Secara singkat J. Queen mengemukakan bentuk-bentuk franchise ke dalam empat kategori, yaitu:49

a. Product Franchise

Pada bentuk ini, franchise berdasarkan lisensi yang diperoleh dari franchisor menjual barang-barang hasil produksi franchisor, sehingga membawa merek dagang franchise. Hubungan yang muncul adalah hubungan distributorship antara franchisee dengan

franchisor. Franchise bentuk ini, dewasa ini masih digunakan antara lain pada industri automotif.

b. Manufacturing Franchise

Pada bentuk ini, franchisor memberikan bahan-bahan rahasia (Secret Ingredients) yang menjadi dasar bagi produksi franchisor. Franchisee hanya tinggal menjual produksi barang-barang tersebut sesuai dengan standar produksi dan merek yang telah diterapkan oleh franchisor. Contohnya dari bentuk ini adalah pada industri soft drink, antara lain Coca Cola, Pepsi dan lain-lain.

c. Business Format Franchising

Sebagaimana pengertian sebelumnya, bentuk ini sangat popular dewasa ini.

Franchisor memberikan lisensi kepada franchisee untuk menggunakan nama

franchisor. Namun dalam mengikuti metode standar pengoperasian dan berada dibawah pengawasan franchisor. disamping itu franchisee harus membayar fee atau

49


(1)

(1)

Pasal 16

(2)

Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya masing-masing dapat mengenakan sanksi administratif bagi Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 10, dan/atau Pasal 11.

a.

Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: b.

peringatan tertulis; c.

denda; dan/atau

pencabutan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba.

(1)

Pasal 17

(2)

Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a, dikenakan kepada Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 10, dan Pasal 11.

Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dalam tenggang waktu 2 (dua) minggu terhitung sejak tanggal surat peringatan sebelumnya diterbitkan.

(1)

Pasal 18

(2)

Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b, dikenakan kepada Pemberi Waralaba yang tidak melakukan pendaftaran prospektus penawaran Waralaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 atau Penerima Waralaba yang tidak melakukan pendaftaran perjanjian Waralaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 setelah diterbitkannya surat peringatan tertulis ketiga.

(3)

Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Sanksi administratif berupa pencabutan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (2) huruf c, dikenakan kepada Pemberi Waralaba yang tidak melakukan pembinaan kepada Penerima Waralaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 setelah diterbitkannya surat peringatan tertulis ketiga.

KETENTUAN PERALIHAN BAB VIII

Pasal 19

(1) Perjanjian Waralaba yang dibuat sebelum ditetapkan Peraturan Pemerintah ini harus didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).


(2)

(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

KETENTUAN PENUTUP BAB IX

Pasal 20

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3690) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 21

Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3690) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 22

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Juli 2007

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 23 Juli 2007

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA, ttd.

ANDI MATTALATTA


(3)

PENJELASAN ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007

TENTANG WARALABA I. UMUM

Dalam rangka meningkatkan pembinaan usaha dengan Waralaba di seluruh Indonesia maka perlu mendorong pengusaha nasional terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh sebagai Pemberi Waralaba nasional yang handal dan mempunyai daya saing di dalam negeri dan luar negeri khususnya dalam rangka memasarkan produk dalam negeri.

Pemerintah memandang perlu mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha Pemberi Waralaba baik dari luar negeri dan dalam negeri guna menciptakan transparansi informasi usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh usaha nasional dalam memasarkan barang dan/atau jasa dengan Waralaba. Disamping itu, Pemerintah dapat memantau dan menyusun data Waralaba baik jumlah maupun jenis usaha yang diwaralabakan. Untuk itu, Pemberi Waralaba sebelum membuat perjanjian Waralaba dengan Penerima Waralaba, harus menyampaikan prospektus penawaran Waralaba kepada Pemerintah dan calon Penerima Waralaba. Disisi lain, apabila terjadi kesepakatan perjanjian Waralaba, Penerima Waralaba harus menyampaikan perjanjian Waralaba tersebut kepada Pemerintah.

Peraturan Pemerintah ini diharapkan dapat memberikan kepastian berusaha dan kepastian hukum bagi Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba dalam memasarkan produknya.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1

Cukup jelas. Pasal 2

Cukup jelas. Pasal 3

Huruf a

Yang dimaksud dengan “ciri khas usaha” adalah suatu usaha yang memiliki keunggulan atau perbedaan yang tidak mudah ditiru dibandingkan dengan usaha lain sejenis, dan membuat konsumen selalu mencari ciri khas dimaksud. Misalnya, sistem manajemen, cara penjualan dan pelayanan, atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari Pemberi Waralaba.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “terbukti sudah memberikan keuntungan” adalah menunjuk pada pengalaman Pemberi Waralaba yang telah dimiliki kurang lebih 5 (lima) tahun dan telah mempunyai kiat-kiat bisnis untuk mengatasi masalah-masalah dalam perjalanan usahanya, dan ini terbukti dengan masih bertahan dan berkembangnya usaha tersebut dengan menguntungkan.


(4)

Huruf c

Yang dimaksud dengan “standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis” adalah standar secara tertulis supaya Penerima Waralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan sama (Standard Operational Procedure).

Huruf d

Yang dimaksud dengan “mudah diajarkan dan diaplikasikan” adalah mudah dilaksanakan sehingga Penerima Waralaba yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai usaha sejenis dapat melaksanakannya dengan baik sesuai dengan bimbingan operasional dan manajemen yang berkesinambungan yang diberikan oleh Pemberi Waralaba.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “dukungan yang berkesinambungan” adalah dukungan dari Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba secara terus menerus seperti bimbingan operasional, pelatihan, dan promosi.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar” adalah Hak Kekayaan Intelektual yang terkait dengan usaha seperti merek, hak cipta, paten, dan rahasia dagang,sudah didaftarkan dan mempunyai sertifikat atau sedang dalam proses pendaftaran di instansi yang berwenang.

Pasal 4

Cukup jelas. Pasal 5

Cukup jelas. Pasal 6

Cukup jelas. Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “data identitas” adalah fotokopi Kartu Tanda Penduduk pemilik usaha apabila perseorangan, dan fotokopi Kartu Tanda Penduduk para pemegang saham, komisaris, dan direksi apabila berupa badan usaha.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “legalitas usaha” adalah izin usaha teknis seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Izin Tetap Usaha Pariwisata, Surat Izin Pendirian Satuan Pendidikan.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “sejarah kegiatan usahanya” adalah uraian yang mencakup antara lain mengenai pendirian usaha, kegiatan usaha, dan pengembangan usaha.

Huruf d

Cukup jelas. Huruf e

Cukup jelas. Huruf f


(5)

Yang dimaksud dengan “tempat usaha” adalah outlet atau gerai untuk melaksanakan kegiatan usaha.

Huruf g

Yang dimaksud dengan “daftar Penerima Waralaba” adalah nama-nama perusahaan dan/atau perseorangan sebagai Penerima Waralaba.

Huruf h

Cukup jelas. Pasal 8

Pembinaan yang diberikan Pemberi Waralaba dilaksanakan secara berkesinambungan, termasuk melakukan pengendalian mutu dan evaluasi terhadap bisnis yang dilakukan oleh Penerima Waralaba.

Pasal 9

Ketentuan ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dan tidak menggunakan produk luar negeri sepanjang tersedia produk pengganti dalam negeri dan memenuhi standar mutu produk yang dibutuhkan.

Pasal 10

Cukup jelas. Pasal 11

Cukup jelas. Pasal 12

Cukup jelas. Pasal 13

Cukup jelas. Pasal 14

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Cukup jelas. Huruf d

Cukup jelas. Huruf e

Cukup jelas. Huruf f

Yang dimaksud dengan “perkuatan permodalan” adalah antara lain kemudahan mendapatkan fasilitas kredit dan mendapatkan bunga rendah.

Pasal 15


(6)

Pasal 16

Cukup jelas. Pasal 17

Cukup jelas. Pasal 18

Denda ditetapkan oleh pejabat yang menerbitkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba atau pejabat yang ditunjuk dan disetor ke Kas Negara menjadi Pendapatan Negara Bukan Pajak. Pencabutan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba dilakukan oleh pejabat yang menerbitkan atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 19

Cukup jelas. Pasal 20

Cukup jelas. Pasal 21

Cukup jelas. Pasal 22