BAB III HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM
PERJANJIAN WARALABA
A. Perjanjian Waralaba
Perjanjian adalah suatu perbuatantindakan hukum yang terbentuk dengan tercapainya kata sepakat yang merupakan pernyataan kehendak bebas dari dua orang pihak atau lebih, di
mana tercapainya sepakat tersebut tergantung dari para pihak yang menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban pihak yang lain atau timbal balik
dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan .
41
Dalam perjanjian waralaba tercantum ketentuan berkaitan dengan hak dan
kewajiban penerima waralaba dan pemberi waralaba, misalnya hak teritorial yang dimiliki penerima waralaba, persyaratan lokasi, ketentuan pelatihan, biaya-biaya yang
harus dibayarkan oleh penerima waralaba kepada pemberi waralaba, ketentuan berkaitan dengan lama perjanjian waralaba dan perpanjangannya dan ketentuan lain
Perjanjian waralaba merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para pihak dari perbuatan merugikan pihak yang lain. Hal ini dikarenakan perjanjian dapat menjadi
dasar hukum yang kuat untuk menegakkan perlindungan hukum bagi para pihak. Jika salah satu pihak melanggar isi perjanjian, maka pihak yang lain dapat menuntut pihak yang
melanggar tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. Perjanjian waralaba memuat kumpulan persyaratan, ketentuan dan komitmen yang dibuat dan dikehendaki oleh pemberi
waralaba bagi para penerima waralabanya.
41
Herlien Budiono, Ajaran Umum: Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm 3
Universitas Sumatera Utara
yang mengatur hubungan antara penerima waralaba dengan pemberi waralaba. Bila dihubungkan pengertian perjanjian dan waralaba maka dalam pengertian yang demikian
seorang penerima waralaba juga menjalankan usahanya sendiri tetapi dengan mempergunakan merek dagang atau merek jasa serta dengan memanfaatkan metode dan tata
cara atau prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba. Kewajiban untuk mempergunakan metode dan tata cara atau prosedur yang
telah ditetapkan oleh pemberi waralaba oleh penerima waralaba membawa akibat lebih lanjut bahwa suatu usaha waralaba adalah usaha yang mandiri, yang tidak mungkin digabungkan
dengan kegiatan usaha lainnya milik penerima waralaba. Ini berarti pemberian waralaba menuntut eksklusifitas dan bahkan dalam banyak hal mewajibkan terjadinya non competition
clause bagi penerima waralaba, bahkan setelah perjanjian pemberian waralabanya berakhir. Jadi dalam hal ini jelas bahwa waralaba melibatkan suatu kewajiban untuk menggunakan
suatu sistem dan metode yang ditetapkan oleh pemberi waralaba termasuk didalamnya hak untuk mempergunakan merek dagang. Pengertian waralaba yang umum ini dibedakan
dari waralaba nama dagang yang memang mengkhususkan diri pada perizinan penggunaan nama dagang dalam rangka pemberian izin untuk melakukan penjualan produk pemberi
dalam suatu batas wilayah tertentu dalam suatu pasar yang bersifat non-kompetitif. Makna yang terakhir ini menyatakan bahwa pemberian waralaba nama dagang seringkali terikat
dengan kewajiban untuk memenuhi persyaratan penentuan harga yang telah ditetapkan dan
digariskan oleh pemberi waralaba. Sebenarnya perjanjian franchise berada di antara perjanjian lisensi dan distributor.
Adannya pemberian izin oleh pemegang hak milik intelektual atau know-know lainnya kepada pihak lain untuk menggunakan merek ataupun prosedur tertentu merupakan unsur perjanjian
lisensi. Sedangkan di lain pihak juga adanya quality control dari franchisor terhadap produk-
Universitas Sumatera Utara
produk pemegang lisensi yang harus sama dengan produk-produk lisensor, seakan-akan pemegang franchise merupakan distributor franchisor.
42
Perlindungan dari ketetapan yang lain yang mengatur suatu kerjasama waralaba franchise dapat diasumsikan sulit diperoleh, kalaupun ada. Etika pewaralabaan franchising
ethics merupakan sumber yang sementara ini dapat dijadikan pedoman apakah perjanjian yang disusun mempunyai landasan yang adil dan benar. Berita baik dari tidak adanya
peraturan di bidang waralaba franchise adalah baik pengwaralaba franchisor dan pewaralaba franchisee dapat bebas bersepakat apapun juga.
Di Indonesia belum ada hukumperaturan tentang waralaba franchise. Hal yang sama juga dialami oleh banyak negara, misalnya Inggris dan Australia. Ketiadaan peraturan khusus
tentang pewaralaba franchising dapat dianggap berita baik ataupun buruk. Berita buruknya adalah dengan ketiadaan pedoman khusus tersebut maka baik pengwaralaba franchisor
maupun pewaralaba franchisee harus menggantungkan pada kesepakatan yang tertulis di dalam kontrak kerja sama. Artinya kedua belah pihak harus sangat teliti dan hati-hati atas apa
yang disepakati.
43
Suatu perjanjian hanya ada, jika mempunyai empat syarat sebagai berikut: Berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, tercantum ketentuan sebagai berikut: semua
kontrak yang dibuat secara sah menurut hukum, akan mengikat secara hukum mereka yang membuatnya sendiri.
44
a. Harus adanya persetujuan dari kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian: ada meeting of minds dan tidak ada paksaan.
42
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm 166
43
Ridhwan Khaerandy, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Keberadaannya dalam Hukum Indonesia, Penerbit UII, Yogyakarta, 1992, hlm 24
44
Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 39
Universitas Sumatera Utara
b. Mereka harus mampu menurut hukum untuk mengadakan perjanjian cukup umur, tidak ditempatkan dibawah perwaliancuratele.
c. Perjanjian mengenai suatu pokok hal tertentu. d. Yang diperjanjikan adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum dan juga
tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan moral. Dalam hal persyaratan Pasal 1320 KUH Perdata ini dipenuhi maka seperti perintah
Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Jadi, sebuah “franchise agreement” akan mengikat baik franchisor dan franchisee, dan
karenanya amat penting bagi para pihak mengatur isi perjanjian secara rinci. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi.
Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah
maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan vermastchappelijking hukum
kontrakperjanjian. Pada prinsipnya penyelenggaraan waralaba tidak jauh berbeda dengan pembukaan
kantor cabang. Hanya saja dalam pembukaan kantor cabang segala sesuatu didanai dan dikerjakan sendiri, sedangkan pada waralaba penyelenggaraan perluasan usaha tersebut
didanai dan dikerjakan oleh pihak lain yang dinamakan penerima waralaba atas resiko dan tanggung jawabnya sendiri dalam bentuk usaha sendiri, namun sesuai dengan arahan dan
instruksi serta petunjuk pemberi waralaba. Pada sisi lain waralaba juga tidak berbeda jauh dari bentuk pendistribusian dalam
kegiatan perdagangan barang dan atau jasa. Keduanya mempergunakan Hak Kekayaan Intelektual yang sama, milik pemberi waralaba atau prinsipal dalam bentuk kegiatan
Universitas Sumatera Utara
distribusi. Hanya saja distributor menyelenggarakan sendiri kegiatan penjualannya, sedangkan dalam pemberian waralaba, penerima waralaba melaksanakan segala sesuatunya
berdasarkan arahan atau petunjuk atau instruksi yang telah ditetapkan atau digariskan oleh pemberi waralaba.
B. Bentuk dan Isi Perjanjian Waralaba 1. Bentuk Perjanjian Waralaba