Pada tahun 1997 pihak BPN melakukan pengukuran di di atas lahan Perkebunan Sampali dengan memasang patok sebagai tapal batas di areal tersebut,
sedangkan wilayah yang diduduki masyarakat tidak masuk pada wilayah pengukuran. Hingga saat ini kelompok masyarakat yang terdiri dari pihak BPRPI dan
seluruh kelompok masyarakat terus mengupayakan kepastian status hak tanah mereka yang mereka harapkan menjadi hak milik yang dibuktikan dengan setifikat hak milik.
Mereka tidak ingin tanah yang mereka kuasai sekian lama beralih kepada pihak lain sebagaimana yang sering terjadi di daerah-daerah lain.
C. Alasan PenguasaanPenggarapan Yang Dilakukan Masyarakat di Atas Lahan PTPN II Perkebunan Sampali
Tuntutan masyarakat atas tanah perkebunan khususnya di areal Perkebunan Sampali sama halnya dengan tuntutan-tuntutan yang dilakukan masyarakat di daerah
lain terhadap tanah ulayat masyarakat hukum adat. Tuntutan-tuntutan tersebut didasarkan pada bukti-bukti alas hak yang dikeluarkan oleh Pejabat Penyelesaian
Tanah Garapan Di areal Perkebunan sebelumnya, yakni: a.
SK GUBSU No. 36K1951, mengenai pembagian tanah, sawah dan ladang di seluruh areal PTPN II eks. HGU
b. Kartu tanda Pendaftaran Pemilikan Tanah Perkebunan KTPPT yang dikeluarkan
oleh Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah Sumatera Utara KRPT maupun Camat Tahun 1954 sampai tahun 1956
Universitas Sumatera Utara
c. Surat Izin Menggarap yang dikeluarkan oleh bupati sebagai Ketua Panitia
Landreform Kabupaten maupun Kecamatan d.
Surat Keputusan dari Badan Penyelesaian Perkebunan Sumatera Timur BPPSPT e.
Surat Keputusan Mendagri No. 44DJA1981 mengenai Redistribusi tanah seluas 9.085 Ha
f. Surat Keputusan Gubernur mengenai hasil tim penyelesaian tanah garapan PTP
IX TPTGA yang ditindaklanjuti dengan SK Mendagri Nomor 85DJA1984 g.
Surat Keterangan Tanah yang dikeluarkan oleh kepala Desa dan Camat h.
Bukti pembayaran Ipeda yang dikeluarkan oleh jawatan pemungutan pajak i.
Surat Pembagian Tanah objek landreform yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Agraria Tingkat II Deli Serdang dan Langkat
j. Pengakuan kesaksian dan uraian kronologis tuntutan yang diperbuat oleh
masyarakatpenuntut Surat-surat tersebut di atas merupakan latar belakang lahirnya surat-surat
keterangan Tanah yang diterbitkan Kepala Desa dan Camat setempat. Pada saat ini, surat tersebutlah yang menjadi dasar sekaligus sebagai pegangan masyarakat untuk
menguasai areal Perkebunan Sampali di desa Samapali Deli Serdang. Tuntutan masyarakat atas areal perkebunan PTPN II tersebut di atas yang
dituntut atas dasar Hak Ulayat Masyarakat Adat Melayu dan masyarakat lainnya menjadi salah satu faktor penyebab sengketa pertanahan di Sumatera Utara, termasuk
di areal Perkebunan Sampali sampai sekarang belum dapat diselesaikan secara tuntas karena permasalahan yang dihadapi sangat rumit sejalan dengan sejarah keberadaan
Universitas Sumatera Utara
peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berlaku di Sumatera Utara khususnya mengenai sengketa tanah perkebunan antara lain sebagai berikut:
1. Undang-undang darurat Nomor 8 Tahun 1954 Pemakaian Tanah oleh Rakyat
2. UUPA Nomor 5 Tahun 1960
3. Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tantang Larangan Pemakaian Tanah
yang berhak atau kuasanya 4.
Pedoman Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1960 Tantang Penyeleseaian Sengketa Pemakaian Tanah Perkebunan Di Sumatera Timur
5. Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. II tahun 1963 Tentang Penyelesaian
Tanah Jaluran 6.
Keputusan Menteri Agraria NO. SK 24HGU1965 Tantang Pemberian Hak Guna Usaha pada PPN Tembakau di Sumatera Timur
7. Surat Keputusan Gubernur No. 370IIISumatera Utara1968
8. Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN No. 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 9.
SK BPN No. 42HGUBPN2002 10.
Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Pemerintah daerah 11.
PP No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah.
Sebagai salah satu contoh bahwa kehadiran peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan yakni SK BPN No.
42HGUBPN2002. Dalam SK tersebut disebutkan bahwa, lahan PTPN II di
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten Deli Serdang seluas 587,3 Ha tidak diberikan perpanjangan HGU. Dari Luas tanah tersebut, termasuk di dalamnya areal Perkebunan Sampali yang memiliki
luas 1809, 43 Ha terdapat seluas 73,63 Ha yang tidak diperpanjang HGU-nya. Tetapi di dalam SK tersebut tidak dinyatakan letak lahan dan tidak ditentukan
batas-batas lahan yang tidak mendapat perpanjangan HGU. Demikian juga halnya pada lahan-lahan perkebunan lainnya milik PTPN II yang tidak diperpanjang HGU-
nya sehingga kelompok penggarap dan masyarakat lainnya melakukan penguasaan tanah di atas lahan areal perkebunan yang tidak sesuai dengan jumlah luas yang
ditentukan dalam SK BPN tersebut. Kondisis tersebut mengakibatkan terjadinya penggarapan yang meluas hingga
hampir seluruh lahan perkebunan PTPN II yang masih mendapat perpanjangna HGU turut digarap oleh kelompok-kelompok masyarakat termasuk pihak-pihak lain yang
membutuhkan tanah baik dengan cara menduduki langsung maupun dengan membelinya kepada kelompok-kelompok penggarap yang mengklaim dirinya sebagi
ahli waris tanah masyarakat hukum adat. Versi PTPN II menilai bahwa latar belakang terjadinya penggarapan di atas
lahan Perkebunan adalah disebabkan adanya intervensi dari kelompok-kelompok tertentu yang sengaja mempolitisir masyarakat untuk mengambilmenguasai tanah
negara yang dikelola PTPN II. Alasannya, kelompok-kelompokorganisasi tersebut menurut pihak PTPN II tidak mungkin berdiri tanpa adanya pihak lain sebagai dalang
intelektual sebagai penggerakmemobilisir massa melakukan tindakan penggarapan di lahan mereka sekaligus sebagai penggalang dana guna melakukan tuntutan-tuntutan
Universitas Sumatera Utara
atas tanah-tanah perkebunan melalui upaya-upaya hukum dan upaya politis untuk mempertahankan penguasaanpenggarapan di atas tanah perkebunan.
80
Sepanjang diketahui, dari pengamatan dan informasi yang diterima PTPN II, bahwa masyarakat yang melakukan penggarapan di lahan tersebut bukanlah berasal
dari kalangan intelektual atau kalangan yang memiliki tarap kehidupan yang tinggi, akan tetapi mereka masih dari golongan ekonomi menengah ke bawah dan tidak
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Hal ini telah dapat mengindikasikan bahwa penggarapan di areal mereka
didalangi pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan terhadap lahan tersebut. Sehingga ada kerjasama yang terjalin antara masyarakat dengan pihak ketiga tersebut
dengan membentuk lembaga-lembagaorganisasi yang dilengkapi dengan perangkat- perangkat organisasi dan bantuan oknum-oknum lainnya yang mempunyai
kepentingan pribadi atau kelompok. Alasan lain ditandai dengan upaya hukum yang dilakukan pihak PTPN II
dalam mempertahankan haknya melalui Laporan Pengaduan Kepolisian pidana. Laporan kepolisian yang dilakukan, tidak membuahkan hasil apa-apa. Memang pihak
kepolisian telah memanggil kedua belah pihak untuk dimintai keterangannya sebagai saksi baik sebagai saksi pelapor maupun saksi terlapor. Akan tetapi hingga saat ini
tidak ada tindak lanjut ataupun proses lanjutan pemeriksaan oleh kepolisian, tidak ada penetapan tersangka apalagi proses penuntutan dan persidangan.
80
Wawancara dengan bapak Armen, SH, Kaur Hukum pertanahan PTPN II
Universitas Sumatera Utara
Kejanggalan tersebut di atas dapat membuktikan adanya indikasi bahwa penggarapan di atas lahan PTPN II tepatnya pada perkebunan Sampali yang berada di
Desa Sampali terjadi akibat adanya intervensi dari pihak ke tiga sebagai dalang intelektual yang memiliki kepentingan terhadap lahan tersebut. Sebab ketidakseriusan
dari aparat penegak hukum untuk melakukan pengembangan dan pengusutan kasus dalam hal ini menjadi pertanyaan. Kemungkinan hal ini disebabkan adanya tekanan
dari atasan untuk menghalang-halangi proses penyelesaian sengketa tersebut.
81
Secara umum, materi perbedaan kepentingan conflicts dan sengketa dispute pertanahan pada dewasa ini sejak Orde Baru dan Orde Reformasi, dapat
dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu sengketa sesama anggota masyarakat, sengketa antara anggota masyarakat dengan pemerintah dan sengketa antara anggota
masyarakat dengan pihak pengusaha perkebunan, baik swasta maupun BUMN.
82
Dari ketiga kelompok sengketa tersebut, sengketa antara anggota masyarakat dengan pihak perusahaan perkebunan yang menyangkut HGU adalah sangat dominan
terjadi di Provinsi Sumatera Utara. Ini termasuk sengketa antara anggota masyarakat dengan perusahaan perkebunan yang disebabkan adanya tuntutan atas tanah-tanah
HGU yang diakui sebagai hak ulayat dari suatu kelompok masyarakat. Tuntutan masyarakat hukum adat atas HGU perkebunan di Provinsi Sumatera utara, pada
81
Ibid,-
82
Syafruddin Kalo, Diktat
,
Pencetus Timbulnya Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Versus Perkebunan Di Sumatera Timur Dari Zaman Kolonial Sampai Reformasi, PPS USU, 2004,
hal. 16-19
Universitas Sumatera Utara
umumnya berasal dari badan-badan atau lembaga-lembaga tertentu yang mengatasnamakan kelompok masyarakat hukum adat.
Tuntutan terhadap tanah ulayat seluas ± 250.000 Ha meliputi seluruh bekas
areal konsesi Deli Planters Verenigings DPV yang terbentang antara Sungai Ular Kabupaten Deli Serdang, sampai dengan Sungai Wampu Kabupaten langkat,
dikembalikan kepada negara ± seluas 130.000 Ha, dan sisanya 125.000 Ha, diberikan sebagai hak sewa selama 30 tahun, kepada DPV. Pembagaian tanah 130.000 Ha yang
diperuntukkan untuk rakyat, ternyata sampai keluarnya UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tidak dapat diselesaikan secara tuntas.
Dengan demikian pemerintahan yang berlaku adalah Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan akibat hukum bahwa tanah-tanah konsesi yang
dahulunya diberikan oleh sultan sebagai kepala pemerintahan, berubah statusnya menjadi tanah negara, yang pengaturan peruntukkan dan penggunaannya merupakan
kewenangan negara, sebagai wujud hak menguasai negara yang diatur dalam pasal 33 UUD 1945 jo. pasal 2 UUPA No. 5 Tahun 1960.
Di lain pihak, dalam pasal 3 UUPA No.5 Tahun 1960 dengan tegas mengatakan, bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak yang serupa itu dari masyarakat-
masyarakat hukum adat masih tetap diakui keberadaannya, sepanjang kenyataannya masih ada. Dengan adanya pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat masyarakat
hukum adat, maka hal ini menimbulkan dilematis dalam penyelesaian sengketa pertanahan di Sumatera Utara, dimana dalam perkembangannya, keberadaan hukum
Universitas Sumatera Utara
adat itu sendiri masih menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan masyarakat adat, dengan pihak-pihak lainnya.
Kenyataan ini dari sudut ilmu hukum dapat dianalisa bahwa, UUPA Nomor 5 Tahun 1960 didalamnya mengandung dua 2 sistem hukum yang berbeda yaitu satu
sisi berdasarkan sistem hukum nasional, dan sistem hukum adat. Hal ini akan menimbulkan perselisihan hukum Conflictenrecht yang harus ditentukan hukum
mana atau hukum apa yang menjadi hukum dari suatu hubungan hukum yang terjadi dalam suatu peristiwa hukum, yang menyangkut dua atau lebih sistem hukum yang
berlaku. Dalam hal ini, mengenai tanah jaluran sebagai hak dari rakyat penunggu yang
berdasarkan hukum adat, dan Hak Guna Usaha HGU PNP-IX sekarang PTPN-II yang diterbitkan berdasarkan UUPA No.5 Tahun 1960 yang sama sekali tidak sesuai
dengan hukum adat adalah merupakan dua sistem hukum yang berbeda. Maka dalam hal ini perlu adanya peraturan petunjuk atau peraturan asli yang mengatur sendiri.
Peraturan petunjuk diperlukan untuk menentukan, apakah hukum adat atau mutlak UUPA Nasional. Sedangkan peraturan asli adalah peraturan yang tidak
menunjuk, hukum mana yang akan dilakukan, tetapi memberi sendiri penyelesaian misalnya, pelaksanaan hak ulayat. Perbedaan inilah yang kemudian menjadi salah
satu faktor penyebab terjadinya sengketa terhadap tuntutan hak ulayat pada areal HGU perkebunan khususnya di Sumetara Utara.
Sengketa pertanahan yang terjadi khususnya di daerah di Sumatera termasuk di areal Perkebunan Sampali yakni tuntutan-tuntutan terhadap hak ulayat kelompok
Universitas Sumatera Utara
masyarakat hukum adat yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, terdapat beberapa faktor yang turut melatarbelakangi timbulnya sengketa-sengketa pertanahan
mulai dahulu hingga sekarang ini. Faktor-faktor tersebut diantaranya: a. Faktor Politik Political factor
Pada saat ini penguasaan terhadap tanah perkebunan telah menggeser benturan kepentingan antara berbagai pihak sehingga keterkaitan ke arah masalah
politik dan bisnis secara langsung telah mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Hal ini semakin jelas tatkala kelompok tani dari masyarakat kecil berbenturan dengan
pengusaha maupun pemerintah untuk memperoleh sebidang tanah pada areal perkebunan yang diperuntukkan bagi pembangunan industri ataupun kepentingan
bisnis dengan menyadarkan diri kepada kepentingan masyarakat petani. Permasalahan yang terjadi adalah tuntutan tersebut seakan-akan menjadi tuntutan
masyarakat yang murni untuk memperjuangkan tanah pertanian bagi masyarakat petani.
Konflik antar petani-pemilik dan penggarap, di satu sisi berhadapan dengan kaum pemodal domestik maupun asing yang beraliansi strategis dan taktis dengan
kekuasaan, bahkan di sisi lain masyarakat harus berhadapan langsung dengan pemerintah. Aliansi strategis antara kaum pemodal dengan penguasa akan
membentuk hubungan hukum hubungan simbiosis yang akhirnya menimbulkan suatu sosial polity yang mengandung ciri yang disebut governance as private enterprise.
83
83
Afrizon Alwi, Op cit, hal. 82
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini terjadilah suatu situasi yang bersifat Self Reinforcing antara jaringan kekuasaan politik dan jaringan kekuasaan ekonomi. Tersendatnya deregulasi
pada bidang-bidang bisnis tertentu, perubahan status hutan-hutan lindung, upaya pihak swasta besar untuk merubah UUPA dan pengaruh pihak swasta besar dalam
peruntukan tanah di kota-kota besar dan sekitarnya dapat dijadikan contoh mengenai hal ini.
84
Distorsi yang memungkinkan terbangunnya hubungan simbiosis antara pemodal dan kekuasaan, yang karena kekentalan dan kekuatannya meminggirkan
rakyat. UUPA dengan latar belakang populis sama sekali tidak dapat diartikan bahwa secara substantif tidak mengidap kelemahan pada tingkat konseptualnya. Justru
sejumlah kelemahan ini memperbesar potensi berbagai pihak tertentu untuk mempreteli melalui penggelembungan kebijakan yang bersifat adalah Hoc.
85
Perubahan rezim yang dramatis membawa perubahan strategi politik dari popularisme menjadi otoritarisme, konflik dan kekerasan politik masa orde lama
memberikan trauma yang mendalam bagi penguasa baru yang berpokok otoriter ini berakar dari trauma. Pada masa rezim Soekarno menonjolkan mobilisasi Political
mobilization atau mengikutsertakan kekuatan politik masyarakat pada program agraria, seperti tercermin pada program landreform yang merupakan amanat UUPA
84
Ibid, hal. 82
85
Ibid, hal. 83
Universitas Sumatera Utara
No. 5 Tahun 1960, sedangkan otoritarianisme diwujudkan dalam menghilangkan kekuatan politik dan memusatkan kekuasaannya pada rezim yang berkuasa.
86
Kebijakan pemerintah yang berkuasa dalam menyusun berbagai kebijakan di bidang pertanahan terlalu mementingkan kepentingan pemerintah dan kurang
mengakomodasi kepentingan masyarakat misalnya; Kebijakan Politik Agraria yang dibangun oleh orde baru itu sebagi realisasi dari pemerintahan otoritarianisme
yaitu:
87
Menjadikan masalah landreform hanya sebagai teknis belaka dari penguasa pemerintah dan tidak menjadikan tanah itu sebagai sumber kemakmuran rakyat.
UUPA No. 5 Tahun 1960 selama ini yang dianggap sumber dari segala sumber hukum agraria dalam kenyataan saat ini tidak mungkin lagi dipertahankan, karena
Undang-undanng a.
yang timbul belakangan sering bertentangan dengan UUPA No.
b. turan lama dan menggantinya dengan peraturan baru,
1. 5 Tahun 1960.
Menghapuskan semua legitimasi organisasi petani di dalam program landreform dengan cara mencabut pera
dua peraturan itu adalah: Undang-undang No. 7 Tahun 1970 berisi penghapusan Pengadilan landreform
yang merupakan badan tertinggi pengambilan keputusan mengenai peuntukan tanah-tanah objektif landreform. Penagdilan ini merupakan representasi dari
86
Ediwarman, Op cit, hal. 169
87
Ibid, hal. 170-171
Universitas Sumatera Utara
negara dan organisasi-organisasi massa petani dalam menentukan tanah-tanah objek landreform.
Keputusan Presiden RI No. 55 Tahun 1980 berisi dan tata kerja penyelenggaraan landreform. Panitia organisasi patani dihapuskan dan diganti
dengan panitia baru yang didominasi oleh birokrasi seperti organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia HKTI suatu organisasi boneka
pemerintah. Jadi panitia la 2.
ndreform diambil alih oleh birokrasi orde baru,
3.
jiwa UUPA No. 5 Tahun 1960 secara tegas memihak dan semangat kebijakan pertanahan saat ini
mulai tingkat Menteri hingga lurahKepala Desa, hasilnya landreform berada dalam kontrol birokrasi.
88
Kebijakan pertanahan lebih cenderung bercorak kapitalis sementara dasar
acuan kebijakan pertanahan yang ada masih diakui adalah UUPA No. 5 Tahun 1960 yang bercorak neo-populasi, maka terjadilah inkonsistensi kebijakan. Di
satu pihak pemerintah secara yuridis mengacu pada UUPA No. 5 Tahun 1960 itu sendiri karena
kepada rakyat, sementara jiwa bersifat kapitalis.
b. Faktor Ekonomi Economic factor Kemajuan di bidang ekonomi yang meningkat turut juga meningkatnya harga
tanah sehingga terjadi perebutan tanah yang akibatnya timbullah konflik kepentingan di dalam perolehan tanah. Misalnya penyediaan tanah kawasan industri, kebutuhan
88
Mochtar Mas’ud, Tanah dan Pembangunan, Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1997, hal. 121
Universitas Sumatera Utara
masyarakat akan tanah untuk berdomisili dan bertani guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Seiring tingginya kebutuhan akan tanah tersebut maka secara otomatis
harga tanahpun akan naik pula. Sementara taraf ekonomi dan daya beli masyarakat
departemen yang mempunyai kaitan asala
sudah banyak terjadi di kawasan perkebunan lain selain PT Perkebunan sangat terbatas sehingga berbagai macam cara dilakukan orang untuk memperoleh
tanah yang berakibat timbulnya konflik. Kemudian sejalan dengan perkembangan ekonomi sebagai dampak dari
deregulasi ekonomi yang telah mampu mendorong penanaman modal baik dalam negeri maupun penanaman modal asing relokasi industri, permintaan tanah untuk
kepentingan industri semakin besar. Pada saat yang bersamaan fenomena ini menimbulkan berbagai kasus sengketa tanah melibatkan masyarakat dan perusahaan-
perusahaan swasta, sedangkan institusi untuk mengatasi persoalan teersebut sangat terbatas daya jangkaunya. Misalnya antara
m h pertanahan dalam hal ini sulit dilakukan koordinasi dalam upaya mengurangi
tumpang tindih persoalan.
89
Pihak investor baik lokal maupun asing melakukan upaya-upaya pendekataan kepada pemerintah daerah dan pusat agar mereka dapat menginvestasikan modalnya
untuk kepentingan bisnis dengan mengalihakan tanah-tanah yang langsung dikuasai pemerintah baik yang masih berstatus HGU maupun yang telah dikeluarkan.
Persoalan ini Nusantara II termasuk di areal Perkebunan Sampali yang sedang diduduki
masyarakat.
89
Ediwarman, Op cit, hal.173
Universitas Sumatera Utara
Sebagai akibat pengalokasian tanah untuk kepentingan swasta pada saat bersamaan pemerintah pun memerlukan pengadaan tanah terutama untuk
memfasilitasi kebutuhan swasta menyangkut pembangunan infrastruktur. Hal ini telah mendorong terjadinya kasus tanah antara masyarakat dengan pemerintah.
Sementara masyarakat itu sendiri akibat alasan ekonominya sangat membutuhkan
raturan tersebut dalam mengakomodasikan t, sehingga banyak masyarakat
ompok suku, agama, ras dan adat istiadat maupun unsur odal
tanah untuk dapat bertahan hidup meskipun harus mengambil tanah-tanah negara yang belum jelas status haknya.
Fenomena ini kemudian memunculkan perbedaan tentang peraturan sebagai penyebab karena ketidakmmapuan pe
perlindungan hukum terhadap kepentingan masyaraka ang korban karena tanahnya digusur.
c. Faktor Sosial Budaya Sosial and Culture Factor Faktor sosial budaya memerlukan penataan kembali restrukturisasi sesuai
dengan nilai-nilai dan asas-asas kehidupan nasional yang kini disebarluaskan melalui pemasyrakatan Pancasila, sehingga setiap nilai dan unsur pemecah dapat dieleminir
baik yang berbentuk isu kel fe
dan neofeodalisme. Kelompok-kelompok batas dibina sebagai sarana sosial menuju kesatuan bangsa.
90
Berdasarkan pendapat tersebut, ternyata faktor sosial budaya juga dapat menimbulkan konflik di masyarakat khususnya masalah pertanahan karena nilai-nilai
sosial dalam konsep pendekatan ini bisa saja mapan, bisa juga untuk sementara labil
90
M. Solly Lubis, Sistem Nasioanal, Medan: USU Press, 1988, hal. 54
Universitas Sumatera Utara
dengan berbagai pengaruh lingkungan sosial itu sendiri. Pertumbuhan kepadatan penduduk yang meningkat secara tajam, kesempatan kerja yang terbatas serta pola
oleh tapak tanah bagi industri ereka
nya budaya malu. penguasaan dan pemilikan tanah tersebut tidak adil dalam kaitan dengan stratifikasi
masyarakat. Dalam kenyataannya rakyat yang telah bertahun-tahun menguasai tanah dan
kekayaan alam secara produktif, tidak memperoleh jaminan keepastian hukum. Suatu fakta yang sulit dipertanggungjawabkan adalah tidak berfungsinya UUPA nomor 5
tahun 1960 sebagai induk Undang-undang yang berasas pro-rakyat dalam menguatkan hak masyrakat atas tanah. Kebijakan pemerintah justru memberi
kemudahan bagi pemilik modal besar untuk memper m
, walaupun harus beroperasi pada tanah-tanah dan kekayaan alam yang produktif telah dikuasai, digarap dan dikelola rakyat.
Penyelesaian sengketa tanah baik untuk kepentingan umum maupun swasta pendekatan sosial budaya ini sangat penting untuk menghindarkan timbulnya korban
dalam penyelesaian sengketa pertanahan, umumnya disebabkan pendekatan sosial budaya yang tidak dilaksanakan dengan baik, bahkan dalam masyarakat untuk
mendapatkaan kesepakatan mengenai besar dan bentuk ganti rugi tanah lebih banyak mengarah kepada sifat intimidasi dan paksaan dengan maksud untuk mendapatkan
tanah dengan untung yang banyak sehingga sifat kekeluargaan sudah tidak ada lagi bagi pihak yang berkepentingan dengan tanah akibat hilang
Terlepas dari faktor budaya malu ini dalam konteks kriminologi dapat mengakibatkan bumerang tersendiri dalam permasalahan kejahataan pertanahan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kaitannya dengan budaya, Frank pernah berbicara tentaang ”The doctrine of culture responcibility”. Yang dapat dialihkaan menjadi ”the doctrine of
culture resfoncibility”. Jika pemikiran ini dirujuk pada budaya orang Indonesia yang katanya adalah kekeluargaan, maka sangaat menarik untuk memperhatikan analisis
frank bahwa ”Until the culture make the conservation of human values the dominant theme, the individual cannot or will not, find his fulfilment.”. Budaya membuat
perlindungan akan nilai-nilai manusia thema yang dominan, perorangan tidak bisa atau tidak akan memperoleh penyelesaiaannya. Nilai-nilai sosial dan aspek budaya
kuasaan dan wewenang untuk itu. Hukum itu harus nkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat agar hukum itu
dapat berjalan secara efektif.
92
akan selalu dinamis dalam mencari faktor penyebab timbulnya korban dalam kasus pertanahan.
91
Faktor budaya pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang
dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Maka budaya Indonesia merupakan dasar atau mendasari hukum adat yang berlaku. Hukum adat tesebut merupakan
kebiasaan yang berlaku di kalangan rakyat banyak. Akan tetapi di samping itu berlaku pula hukum yang tertulis perundang-undangan yang dibentuk oleh
pemerintah yang mempunyai ke dapat mencermi
91
J. E. Sahetapy, Teori Kriminologi, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992, hal. 177
92
Ediwarman, Op cit, hal. 160
Universitas Sumatera Utara
BAB III RHADAP HGU PTPN II PERKEBUNAN