Hak Guna Usaha Versus Hak Garapan Masyarakat (Studi Mengenai Sengketa Antara PTPN II Perkebunan Sampali Dengan Masyarakat Di Desa Sampali Deli Serdang)

(1)

HAK GUNA USAHA VERSUS HAK GARAPAN MASYARAKAT:

(STUDI MENGENAI SENGKETA ANTARA PTPN II

PERKEBUNAN SAMPALI DENGAN MASYARAKAT

DI DESA SAMPALI DELI SERDANG)

TESIS

O L E H :

RAHMAT SYUKRI HARAHAP 077005146/HK

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2010


(2)

HAK GUNA USAHA VERSUS HAK GARAPAN MASYARAKAT:

(STUDI MENGENAI SENGKETA ANTARA PTPN II

PERKEBUNAN SAMPALI DENGAN MASYARAKAT

DI DESA SAMPALI DELI SERDANG)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Pada Fakultas Hukum Program Studi

Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

O L E H :

RAHMAT SYUKRI HARAHAP 077005146/HK

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2010


(3)

Judul Tesis : HAK GUNA USAHA VERSUS HAK GARAPAN MASYARAKAT: (STUDI MENGENAI SENGKETA ANTARA PTPN II PERKEBUNAN SAMPALI DENGAN MASYARAKAT DI DESA SAMPALI DELI SERDANG)

Nama Mahasiswa : Rahmat Syukri Harahap Nomor Pokok : 077005146

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M. Hum) Ketua

(Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum) (Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan,

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 08 Maret 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M. Hum Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum

2. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M. Hum 4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M. Hum


(5)

ABSTRAK

Salah satu daerah di Sumatera Utara yang saat ini menghadapi permasalahan yang kompleks mengenai penggarapan rakyat atas areal perkebunan berada di Desa Sampali Kabupaten Deli Serdang. Di daerah tersebut terdapat salah satu lahan PTPN II yakni, Perkebunan Sampali yang luas arealnya berjumlah 1.809 yang , 43 Ha. Dari luas lahan HGU tersebut terdapat ± 300 Ha yang saat ini sedang diduduki oleh kelompok masyarakat penggarap. Penguasaan/penggarapan yang dilakukan masyarakat terhadap areal tersebut sudah berlangsung selama lebih kurang 10 tahun dimulai sejak tahun 1999, namun hingga kini sengketa antara kedua pihak belum dapat diselesaikan.

Untuk mengetahui dan menelaah secara yuridis permasalahan di atas dan langkah-langkah penyelesaiannya, maka penulis melakukan penelitian yang bertujuan diantaranya: Untuk mengetahui dan menjelaskan Faktor-faktor penyebab timbulnya sengketa, Bagaimana Perlindungan hukum terhadap tanah HGU PTPN II Pekebunan Sampali dan kelompok masyarakat penggarap dan untuk mengetahui dan menjelaskan upaya penyelesaian sengketa antara PTPN II Perkebunan Sampali dengan kelompok masyarakat di Desa Sampali Deli Serdang. Metode Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, yakni metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam perundang-undangan. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan tentang fakta dan kondisi serta gejala yang terjadi di lapangan. Selanjutnya dilakukan analisis kritis dalam arti memberikan penjelasan-penjelasan terhadap fakta dan gejala yang terjadi baik dalam kerangka sistimatisasi maupun sinkronisasi yang merujuk pada aspek yuridis.

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Faktor-faktor penyebab timbulnya sengketa tanah antara PTPN II Perkebunan Sampali dengan masyarakat di Desa Sampali, antara lain: Adanya bukti-bukti alas hak yang dikeluarkan oleh Pejabat Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan Di Areal Perkebunan, Seperti: SK GUBSU No. 36/K/1951, KTPPT Tahun 1954-1956, Surat Izin Menggarap (SIM), SK BPPSPT, SK Mendagri No. 44/DJA/1981, SK GUBSU, Surat Keterangan Tanah (SKT) Kepala Desa dan Camat, Bukti pembayaran Ipeda, Surat Pembagian Tanah objek landreform, Pengakuan kesaksian dan uraian kronologis tuntutan yang diperbuat oleh masyarakat/penuntut. Faktor Politik (Political factor), Faktor Ekonomi (Economic factor) dan Faktor Sosial Budaya (Sosial and Culture Factor) turut melatarbelakangi faktor timbulnya sengketa-sengketa pertanahan di daerah ini.

Perlindungan Hukum Terhadap Tanah HGU PTPN II telah diatur jelas dalam Pasal 19 UUPA dan Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 serta Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Maka Terhadap tanah HGU PTPN II Perkebunan Sampali Berdasarkan sertifikat HGU tentunya mendapat perlindungan hukum oleh Undang-undang. Surat-surat alas hak


(6)

yang dikeluarkan oleh Kepala Desa dan Camat seperti Surat Keterangan Tanah (SKT) berdasarkan KTTPT, Akta Van Konsessie dan Surat Izin Meggarap (SIM) yang dimiliki oleh masyarakat merupakan salah satu alas hak penguasaan hak masyarakat yang dapat diakui dan mendapat perlindungan hukum. Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 75/Pdt.G/1999/PN. LP yang mengabulkan Gugatan Masyarakat diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung RI No. 1734 K/Pdt/2001 dalam pertimbangannya mengakui keberadaan hak atas tanah kelompok masyarakat Adat Di atas areal Perkebunan Sampali.

Dalam rangka melakukan upaya penyelesaian sengketa antara Pihak PTPN II dengan kelompok masyarakat penggarap, kedua belah pihak telah melakukan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, Penyelesaian secara Non litigasi yang terdiri dari Upaya Mediasi dan Politis. Pendekatan negoisasi (musyawarah) antara kedua pihak secara langsung, belum pernah dilakukan. Sedangkan pertemuan yang difasilitasi Kanwil BPN Provsu dan DPRDSU tidak menemukan penyelesaian. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan Pemerintah Daerah Sumatera Utara dan Kanwil BPN Provsu belum mampu menuntaskan persoalan yang terjadi berhubung karena terganjal oleh izin pelepasan aset dari Menteri BUMN. Kedua, penyelesaian secara Litigasi, yakni upaya hukum gugatan perdata yang dimenangkan oleh kelompok masyarakat hingga ke Mahkamah Agung RI dan telah berkekuatan hukum tetap, namun belum dapat dieksekusi akibat belum adanya izin pelepasan asset dari Kementerian BUMN. Dan pihak kepolisian Poltabes medan yang menangani laporan pengaduan oleh PTPN PTPN II mengalami kesulitan menuntaskan kasus ini dengan alasan di atas areal Perkebunan juga terdapat bukti-bukti hak yang dimiliki masyarakat secara sah.

Kata kunci : Hak Guna Usaha

Hak Garapan Masyarakat PTPN II


(7)

ABSTRACT

One area in North Sumatra, which is currently facing the complex problems of the people on the cultivation of plantation areas in the Village Deli Serdang Sampali. In the area of land is one of PTPN II, Plantation arealnya broad Sampali amounted 1809, 43 Ha. Area of the HGU is ± 300 ha which is currently occupied by tenants groups. Mastery / cultivation of society committed to the area had been going on for about 10 years starting in 1999, but until now the dispute between the two sides have not be resolved.

To find and examine the above issues and resolution steps juridically, the authors conduct research that aims include: To determine and explain the factors causing conflict, How the legal protection of land plantation HGU PTPN II Sampali and tenants and community groups to know and explain the dispute resolution efforts between PTPN II Plantation Sampali with community groups in the Village Deli Serdang Sampali. Methods The approach taken in this research is normative legal research methods, the research method refers to the legal norms contained in the legislation. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan tentang fakta dan kondisi serta gejala yang terjadi di lapangan. This research is descriptive analysis of a study that aims to describe the facts and circumstances and the symptoms that occur in the field. Then performed a critical analysis in terms of providing explanations of the facts and symptoms that occur both in terms of both synchronization sistimatisasi referring to the juridical aspect.

From the results of research by the author, it can draw the following conclusion: The factors causing land dispute between the PTPN II Sampali Plantation Village community Sampali, among others: The evidence base rights issued by the Land Settlement Officer Garapan In Plantation area, like: SK GUBSU No. 36/K/1951, KTPPT Tahun 1954-1956, Surat Izin Menggarap (SIM), SK BPPSPT, SK Mendagri No. 36/K/1951, KTPPT Year 1954-1956, Working Permit (SIM), SK BPPSPT, Minister of Home Affairs Decree No. 44/DJA/1981, Land Certificate (SKT) and sub-district chief, IPEDA payment receipt, the object of land reform land distribution, recognition chronological description of the testimony and claims that done by the people / attorney. Factors Political Factors Social Economic and Cultural Factors contribute factors behind the emergence of land disputes in this area.

Legal Protection Against Land HGU PTPN II has been set clearly in Article 19 and Article 3 BAL and Government Regulation No. 32. 24 of 1997 on Land Registration. On the ground then HGU PTPN II Plantation Sampali Based HGU certificate must receive legal protection by the Act. Base letters rights issued by the village chief and sub-district as the Land Certificate (SKT) on KTTPT, Deed Van


(8)

Konsessie and Meggarap license (SIM) which is owned by the community is one proof that the public's right of ownership can be recognized and receive legal protection . Court Decision No. Lubuk Pakam. 75/Pdt.G/1999/PN. LP is granted Community Claim reinforced by Supreme Court Decision No. 1734 K/Pdt/2001. In the judge's discretion to admit the existence of land rights Indigenous communities in the area of Plantation Sampali.

In the context of dispute settlement efforts between the Parties PTPN II with tenants groups, both sides have taken steps as follows: First, the Non-Settlement of litigation and Political Mediation Efforts. Approach to negotiations (consultation) between the two parties directly, has not been done. Meanwhile, the Regional Office facilitated the meeting and Provsu BPN DPRDSU not find a solution. The policies that made the Regional Government of North Sumatra and the office of BPN Provsu, not yet able to solve problems that occur because since the release hampered by permission of the Minister of state-owned assets. Secondly, the settlement of litigation, ie legal effort that won a civil lawsuit by community groups to Court Agung RI and has permanent legal power, but can not be executed due to lack of permission from the Ministry of the release of state-owned assets. Poltabes police and field reports on complaints handling by PTPN PTPN II had difficulty completing this case on the grounds of Plantation area there is also evidence that people have the right legally.

Keywords: Hak Guna Usaha Garapan Rights Society PTPN II


(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas Nikmat dan rahmat berupa kekuatan, kesehatan serta kemampuan yang diberikan-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada program Strarta 2 terlebih-lebih lagi dalam penyelesaian tesis ini yang berjudul “HAK GUNA

USAHA VERSUS HAK GARAPAN MASYARAKAT: (Studi Mengenai Sengketa Antara Ptpn Ii Perkebunan Sampali Dengan Masyarakat Di Desa Sampali Deli Serdang) dengan baik. Shalawat dan Salam dihaturkan kepeda

junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa ummat-Nya dari era kejahiliahan hingga ke era yang pesat dengan ilmu pengetahuan.

Dalam proses penyelesaian tesis ini mulai dari awal hingga akhir, penulis menyadari banyak mendapat bimbingan, bantuan, dukungan, saran dan masukan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima ksih kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&SP. A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum USU sekaligus Anggota Komisi Pembimbing penulis, yang telah meluangkan


(10)

waktu dan kesempatan untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Magister Imu Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M. Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Penguji Tesis penulis pada tahap penyelesaian penyusunan tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M. Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan kesempatan untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

6. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Anggoat Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan kesempatan untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

7. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M. Hum, selaku penguji yang telah meluangkan waktu dan kesempatan dalam Pengujian tesis penulis pada Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Ibu Dosen yang telah memberikan pendidikan serta pengetahuan kepada penulis dalam proses belajar mengajar selama dalam perkuliahan. 9. Pihak PTPN II mulai dari Direksi hingga seluruh jajarannya, khususnya


(11)

membantu penulis dalam memperoleh data-data penunjang dalam penyelesaian Tesis ini.

10.Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasianal Provinsi Sumatera Utara, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian terhadap data-data dan literatur yang penulis butuhkan.

11.Unit Juru Periksa Satuan Reserse Umum Kepolisian Kota Besar Medan dan Sekitarnya (POLTABES MS), yang telah bersedia memberikan keterangan dan informasi yang penulis butuhkan dalam menyelesaikan Tesis ini.

12.Pengurus Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Desa Sampali, yang telah memberikan informasi dan data-data yang penulis butuhkan.

13.Teristimewa kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta H. Musthafa Kiron Harahap dan Hj. Dahniar Amhani Siregar yang senantiasa mendidik putra-putrinya dibarengi ketulusan Doa dan jerih payah serta kasih sayang, motivasi dan topangan moril maupun materil yang sungguh besar nilainya bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan Strata 2 pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

14.Teristimewa pula kepada para Saudara-saudaraku tersayang Abanganda Drs. H. Zulkarnain Hrp, Kakanda Juhroini Hrp, Abanganda H. Efendi Hrp, Ilham Hrp, S. Ag, Darwis Hrp, M. Si, Ahmad Hrp, SH, Adinda Nikmah Hrp, S. Sos, Briptu Adil Makmur Hrp, Punama Hidayat Hrp dan Jamiatul Hasanah


(12)

Hrp, yang turut memberikan perhatian dan Doa dalam proses penyelesaian pendidikan penulis.

15.Teman-teman seperjuangan di Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Sumatera Utara TA. 2007, yang tidak mungkin seluruhnya disebutkan dalam tesis ini. Juga tak lupa untuk kekasih tercinta Rice Sari yang selalu memberikan motifasi dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan. 16.Para Staf dan Pegawai Biro SPS USU, yang juga sering memberikan bantuan

kepada penulis mulai dari perkuliahan sampai pada tahapan penyelesaian tesis ini.

Semoga atas segala bantuan, dukungan, arahan dan motivasi yang serta doa yang diberikan oleh semua pihak kepada penulis, mendapat ganjaran yang baik dari Allah SWT berupa pahala, hidayah dan kemuliaan. Amien

Penulis menyadari dalam penulisan ini masih belum dapat mecapai kesempurnaan, untuk itu penulis mengaharapkan kritikan, masukan dan saran yang membangun untuk dapat mendekati kesempurnaan. Akhirnya penulis berharap, semoga tesis ini bermanfaat kepada semua pihak, terutama bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang ilmu hukum pertanahan.

Medan, Maret 2010 Penulis


(13)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Rahmat Syukri Harahap Tempat/Tgl. Lahir : Hadundung/24 Oktober 1982

Agama : Islam

Status : Belum menikah Pekerjaan : Advokat

Pendidikan Formal :

- SD Negeri No. 112225 Hadundung (Tahun 1989 – 1995) - MTs. Daar al Ma’arif Kota Pinang (Tahun 1995 – 1998) - MAS. Nurul Hakim Tembung Medan (Tahun 1998 – 2001) - Sarjana Hukum Islam IAIN IB Padang (Tahun 2001 – 2006) - Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (Tahun 2007 - 2010)


(14)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR ISTILAH ... xiii

DAFTAR SINGKATAN... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 14

C. Tujuan Penelitian... 14

D. Manfaat Penelitian... 15

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Konsepsi ... 25

G. Metode Penelitian... 25

1. Metode Pendekatan ... 25

2. Sumber Data ... 26

3. Tehnik Pengumpulan Data ... 27

4. Analisis Data ... 28

BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA SENGKETA TANAH HGU PTPN II PERKEBUNAN SAMPALI.DENGAN MASYARKAT DI DESA SAMPALI ... 29

A. Sejarah Tanah HGU PTPN II Perkebunan Sampali ... 29

1. Sejarah Hak Atas Tanah Perkebunan Di Sumatera Timur .. 29

2. Sejarah Hak Atas Tanah PTPN II ... 36


(15)

B. Sejarah Sengketa Tanah HGU PTPN II Perkebunan Sampali

Di Desa Sampali ... 52

C. Alasan Penguasaan/Penggarapan Yang Dilakukan Masyarakat Di Atas Lahan PTPN II Perkebunan Sampali ... 62

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TANAH HGU PTPN II PERKEBUNAN SAMPALI DAN KELOMPOK MASYARAKAT PENGGARAP... 78

A. Kebijakan Hukum Agraria Mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Korban Sengketa Pertanahan... 78

B. Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kasus-kasus Pertanahan ... 83

C. Perlindungan Hukum Terhadap Tanah HGU PTPN II Perkebunan Sampali ... 89

D. Perlindungan Hukum Kelompok Masyarakat Penggarap ... 103

BAB IV UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ANTARA PTPN II PERKEBUNAN SAMPALI DENGAN MASYARAKAT DI DESA SAMPALI ... 114

A. Penyelesaian Secara Non Litigasi ... 114

1. Melalui Musyawarah Mufakat ... 114

2. Melalui Upaya Politis ... 125

B. Penyelesaian Secara Litigasi ... 136

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 152

A. Kesimpulan ... 152

B. Saran ... 154

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Daftar dan Luas Areal PTPN II


(17)

DAFTAR ISTILAH

Conflict : Konflik Disfute : Sengketa

Onderneming : Perusahaan Perkebunan

Consessie : Kontrak Perusahaan Perkebunan Belanda dengan Sultan Rights : Hak


(18)

DAFTAR SINGKATAN

UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria HGU : Hak Guna Usaha

HGB : Hak Guna Bangunan

PTPN II : Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara II SKT : Surat Keterangan Tanah


(19)

ABSTRAK

Salah satu daerah di Sumatera Utara yang saat ini menghadapi permasalahan yang kompleks mengenai penggarapan rakyat atas areal perkebunan berada di Desa Sampali Kabupaten Deli Serdang. Di daerah tersebut terdapat salah satu lahan PTPN II yakni, Perkebunan Sampali yang luas arealnya berjumlah 1.809 yang , 43 Ha. Dari luas lahan HGU tersebut terdapat ± 300 Ha yang saat ini sedang diduduki oleh kelompok masyarakat penggarap. Penguasaan/penggarapan yang dilakukan masyarakat terhadap areal tersebut sudah berlangsung selama lebih kurang 10 tahun dimulai sejak tahun 1999, namun hingga kini sengketa antara kedua pihak belum dapat diselesaikan.

Untuk mengetahui dan menelaah secara yuridis permasalahan di atas dan langkah-langkah penyelesaiannya, maka penulis melakukan penelitian yang bertujuan diantaranya: Untuk mengetahui dan menjelaskan Faktor-faktor penyebab timbulnya sengketa, Bagaimana Perlindungan hukum terhadap tanah HGU PTPN II Pekebunan Sampali dan kelompok masyarakat penggarap dan untuk mengetahui dan menjelaskan upaya penyelesaian sengketa antara PTPN II Perkebunan Sampali dengan kelompok masyarakat di Desa Sampali Deli Serdang. Metode Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, yakni metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam perundang-undangan. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan tentang fakta dan kondisi serta gejala yang terjadi di lapangan. Selanjutnya dilakukan analisis kritis dalam arti memberikan penjelasan-penjelasan terhadap fakta dan gejala yang terjadi baik dalam kerangka sistimatisasi maupun sinkronisasi yang merujuk pada aspek yuridis.

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Faktor-faktor penyebab timbulnya sengketa tanah antara PTPN II Perkebunan Sampali dengan masyarakat di Desa Sampali, antara lain: Adanya bukti-bukti alas hak yang dikeluarkan oleh Pejabat Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan Di Areal Perkebunan, Seperti: SK GUBSU No. 36/K/1951, KTPPT Tahun 1954-1956, Surat Izin Menggarap (SIM), SK BPPSPT, SK Mendagri No. 44/DJA/1981, SK GUBSU, Surat Keterangan Tanah (SKT) Kepala Desa dan Camat, Bukti pembayaran Ipeda, Surat Pembagian Tanah objek landreform, Pengakuan kesaksian dan uraian kronologis tuntutan yang diperbuat oleh masyarakat/penuntut. Faktor Politik (Political factor), Faktor Ekonomi (Economic factor) dan Faktor Sosial Budaya (Sosial and Culture Factor) turut melatarbelakangi faktor timbulnya sengketa-sengketa pertanahan di daerah ini.

Perlindungan Hukum Terhadap Tanah HGU PTPN II telah diatur jelas dalam Pasal 19 UUPA dan Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 serta Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Maka Terhadap tanah HGU PTPN II Perkebunan Sampali Berdasarkan sertifikat HGU tentunya mendapat perlindungan hukum oleh Undang-undang. Surat-surat alas hak


(20)

yang dikeluarkan oleh Kepala Desa dan Camat seperti Surat Keterangan Tanah (SKT) berdasarkan KTTPT, Akta Van Konsessie dan Surat Izin Meggarap (SIM) yang dimiliki oleh masyarakat merupakan salah satu alas hak penguasaan hak masyarakat yang dapat diakui dan mendapat perlindungan hukum. Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 75/Pdt.G/1999/PN. LP yang mengabulkan Gugatan Masyarakat diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung RI No. 1734 K/Pdt/2001 dalam pertimbangannya mengakui keberadaan hak atas tanah kelompok masyarakat Adat Di atas areal Perkebunan Sampali.

Dalam rangka melakukan upaya penyelesaian sengketa antara Pihak PTPN II dengan kelompok masyarakat penggarap, kedua belah pihak telah melakukan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, Penyelesaian secara Non litigasi yang terdiri dari Upaya Mediasi dan Politis. Pendekatan negoisasi (musyawarah) antara kedua pihak secara langsung, belum pernah dilakukan. Sedangkan pertemuan yang difasilitasi Kanwil BPN Provsu dan DPRDSU tidak menemukan penyelesaian. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan Pemerintah Daerah Sumatera Utara dan Kanwil BPN Provsu belum mampu menuntaskan persoalan yang terjadi berhubung karena terganjal oleh izin pelepasan aset dari Menteri BUMN. Kedua, penyelesaian secara Litigasi, yakni upaya hukum gugatan perdata yang dimenangkan oleh kelompok masyarakat hingga ke Mahkamah Agung RI dan telah berkekuatan hukum tetap, namun belum dapat dieksekusi akibat belum adanya izin pelepasan asset dari Kementerian BUMN. Dan pihak kepolisian Poltabes medan yang menangani laporan pengaduan oleh PTPN PTPN II mengalami kesulitan menuntaskan kasus ini dengan alasan di atas areal Perkebunan juga terdapat bukti-bukti hak yang dimiliki masyarakat secara sah.

Kata kunci : Hak Guna Usaha

Hak Garapan Masyarakat PTPN II


(21)

ABSTRACT

One area in North Sumatra, which is currently facing the complex problems of the people on the cultivation of plantation areas in the Village Deli Serdang Sampali. In the area of land is one of PTPN II, Plantation arealnya broad Sampali amounted 1809, 43 Ha. Area of the HGU is ± 300 ha which is currently occupied by tenants groups. Mastery / cultivation of society committed to the area had been going on for about 10 years starting in 1999, but until now the dispute between the two sides have not be resolved.

To find and examine the above issues and resolution steps juridically, the authors conduct research that aims include: To determine and explain the factors causing conflict, How the legal protection of land plantation HGU PTPN II Sampali and tenants and community groups to know and explain the dispute resolution efforts between PTPN II Plantation Sampali with community groups in the Village Deli Serdang Sampali. Methods The approach taken in this research is normative legal research methods, the research method refers to the legal norms contained in the legislation. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan tentang fakta dan kondisi serta gejala yang terjadi di lapangan. This research is descriptive analysis of a study that aims to describe the facts and circumstances and the symptoms that occur in the field. Then performed a critical analysis in terms of providing explanations of the facts and symptoms that occur both in terms of both synchronization sistimatisasi referring to the juridical aspect.

From the results of research by the author, it can draw the following conclusion: The factors causing land dispute between the PTPN II Sampali Plantation Village community Sampali, among others: The evidence base rights issued by the Land Settlement Officer Garapan In Plantation area, like: SK GUBSU No. 36/K/1951, KTPPT Tahun 1954-1956, Surat Izin Menggarap (SIM), SK BPPSPT, SK Mendagri No. 36/K/1951, KTPPT Year 1954-1956, Working Permit (SIM), SK BPPSPT, Minister of Home Affairs Decree No. 44/DJA/1981, Land Certificate (SKT) and sub-district chief, IPEDA payment receipt, the object of land reform land distribution, recognition chronological description of the testimony and claims that done by the people / attorney. Factors Political Factors Social Economic and Cultural Factors contribute factors behind the emergence of land disputes in this area.

Legal Protection Against Land HGU PTPN II has been set clearly in Article 19 and Article 3 BAL and Government Regulation No. 32. 24 of 1997 on Land Registration. On the ground then HGU PTPN II Plantation Sampali Based HGU certificate must receive legal protection by the Act. Base letters rights issued by the village chief and sub-district as the Land Certificate (SKT) on KTTPT, Deed Van


(22)

Konsessie and Meggarap license (SIM) which is owned by the community is one proof that the public's right of ownership can be recognized and receive legal protection . Court Decision No. Lubuk Pakam. 75/Pdt.G/1999/PN. LP is granted Community Claim reinforced by Supreme Court Decision No. 1734 K/Pdt/2001. In the judge's discretion to admit the existence of land rights Indigenous communities in the area of Plantation Sampali.

In the context of dispute settlement efforts between the Parties PTPN II with tenants groups, both sides have taken steps as follows: First, the Non-Settlement of litigation and Political Mediation Efforts. Approach to negotiations (consultation) between the two parties directly, has not been done. Meanwhile, the Regional Office facilitated the meeting and Provsu BPN DPRDSU not find a solution. The policies that made the Regional Government of North Sumatra and the office of BPN Provsu, not yet able to solve problems that occur because since the release hampered by permission of the Minister of state-owned assets. Secondly, the settlement of litigation, ie legal effort that won a civil lawsuit by community groups to Court Agung RI and has permanent legal power, but can not be executed due to lack of permission from the Ministry of the release of state-owned assets. Poltabes police and field reports on complaints handling by PTPN PTPN II had difficulty completing this case on the grounds of Plantation area there is also evidence that people have the right legally.

Keywords: Hak Guna Usaha Garapan Rights Society PTPN II


(23)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah sebagai suatu sumber daya alam, sangat penting artinya bagi kehidupan manusia. Pemanfaatan tanah dalam berbagai sektor kegiatan seperti pertanian, pemukiman, sarana umum dan lain-lain mengakibatkan tanah menjadi suatu benda yang kian hari semakin sangat dibutuhkan. Selain itu tanah merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia adalah merupakan kenyataan bahwa permintaaan akan kebutuhan terhadap tanah terus bertambah sesuai dengan pertambahan penduduk dan kegiatan pembangunan. Secara umum, luas tanah di bumi ini tidak akan bertambah, sedangkan jumlah populasi manusia yang membutuhkan tanah tetap bertambah.1

Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia yang semakin bertambah maka diperlukan tanah baik untuk pertanian maupun untuk pemukiman guna mencukupi kebutuhan hidup. Ketergantungan manusia terhadap tanah sudah berlangsung lama yakni sejak manusia memulai pola hidup bertani dan memanfaatkan tanah di sekitarnya baik sejak hidup berpindah-pindah atau menetap.

Pesatnya pertambahan penduduk dan peningkatan pembangunan fisik yang sedang dilaksanakan mengakibatkan permasalahan tanah pun semakin meningkat dan

1

Hasyim Purba, dkk, Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Asas Musyawarah Mufakat, (Medan: CV. Cahaya Ilmu, 2006), hal. 1


(24)

bertambah kompleks. Tidak berlebihan jika disebutkan bahwa masalah pertanahan yang terjadi di wilayah antara kota dan kabupaten khususnya antara areal pekebunan dan wilayah pemukiman penduduk di suatu kota dan kabupaten merupakan suatu perspektif yang harus dihadapi. Keadaan tersebut disebabkan bahwa kota sebagai suatu unit memiliki ruang hidup yang terbatas yang mempunyai penduduk yang lebih padat, sehingga gerakan penduduk untuk mencari tanah cenderung diarahkan pada areal perkebunan yang terletak di pinggiran kawasan kota. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya konflik dan benturan kepentingan yang tidak dapat dihindarkan antara berbagai kepentingan yang membutuhkan tanah.

Kasus pertanahan di Sumatera Utara, khususnya di daerah perkebunan mempunyai sejarah yang cukup panjang. Sumatera Utara yang sebelumnya disebut sebagai Sumatera timur memang daerah perkebunan yang menjadi rebutan kalangan investor asing, terutama investor swasta Belanda dengan kekuatannya sebagai penjajah di Indonesia.2

Berdasarkan pemantauan, yang paling besar presentasinya adalah sengketa masalah tanah. Tuntutan ini demikian derasnya, di mana-mana, di wilayah Sumatera Utara, terutama di sektor perkebunan, lahan perkebunan menjadi ajang dan tumpuan penjarahan dan pendudukan dari para penggarap yang mengaku dirinya petani. Ini dimulai dari Kotamadya Medan, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkat

2

Afrizon Alwi, dkk, Penyelesaian Sengketa Tanah Di Sumatera Utara, (Medan: CV. Cahaya Ilmu, 2006), hal. 78


(25)

yang menjadi korban adalah PTPN II dan PTPN III, sebagian besar areal HGU nya jatuh dan diduduki oleh rakyat penggarap.

Tuntutan masyarakat penggarap berdalih demi reformasi dan atau karena reformasi, tanpa mendalami dengan benar maksud dan cita-cita reformasi itu sendiri. Secara internal, pelanggaran hukum, pelanggaran HAM, telah berlangsung di mana-mana. Para aparat penegak hukum, tidak mampu berbuat banyak.

Di samping itu, penguasaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alas hak yang sah dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalam posisi yang demikian pemerintah dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi pihak perkebunan yang membutuhkan tanah dan berpotensi menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak memilik bukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal ini terutama terjadi pada tanah-tanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan oleh pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah merupakan hak milik komunal (hak ulayat), sehingga mereka menganggap hak penguasaan otomatis melekat pada hak penghunian atas tanah tersebut secara turun-temurun.

Keadaan itu bukan tidak diketahui oleh pihak yang memerlukan tanah dalam hal ini perkebunan, tetapi dengan berbagai alasan untuk melaksanakan usaha yang telah direncanakan tetap dilakukan penguasaan lahan. Akibatnya sulit bagi pihak yang membutuhkan tanah untuk menentukan tentang keabsahan pemegang hak penguasaan lahan yang diakui oleh rakyat.


(26)

Sengketa dan perbedaan kepentingan pertanahan antara petani/masyarakat dengan perkebunan sangat rumit dan unik. Hal tersebut tidak terlepas dari situasi di Sumatera Utara yang secara kulturnya didukung dengan heterogenitas suku dan tarik-menarik kepentingan akibat kebutuhan ekonomi, baik bagi investor asing maupun tuntutan masyarakatnya.

Situasi konflik pertanahan yang berlangsung sejak zaman kolonial hingga saat ini, khususnya dalam areal perkebunan yang berasal dari konsesi yang diberikan Sultan kepada Onderneming di atas tanah ulayat. Hak konsesi berubah menjadi hak

erfact dan kemudian berubah menjadi Hak Guna Usaha. Peristiwa hukum ini

menghilangkan kedudukan hak ulayat masyarakat adat sehingga menimbulkan konflik baik vertikal maupun horizontal.

Konflik pertanahan yang berlanjut menjadi sengketa pertanahan antara rakyat dengan pemerintah dan pihak Onderneming yang sekarang menjadi pihak PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II, khususnya antara masyarakat penggarap, rakyat penunggu dan masyarakat adat. Sengketa ini dalam praktek sulit diselesaikan, bahkan belum diselesaikan muncul lagi sengketa baru.3

Beberapa kasus pertanahan yang terjadi di areal perkebunan PTPN-II dapat dikategorikan karakteristik tuntutan masyarakat terhadap lahan tersebut, antara lain:

3

Syafruddin Kalo, Diktat: Pencetus Timbulnya Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat


(27)

1. Tuntutan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) terhadap areal PTPN II agar diberikan lahan tanah jaluran berdasarkan hak adat Melayu.

2. Tuntutan masyarakat penggarap terhadap tanah di areal perkebunan PTPN di Sumatera Utara.

3. Tuntutan eks karyawan PTPN II terhadap areal perkebunan tentang tapak perumahan dan lahan pertanian yang digugat untuk dilepaskan dari areal HGU dan dibagikan kepada eks karyawan.

4. Dan lain-lain.4

Pada tahun 1863, Sultan Deli saat itu di bawah pengaruh Kerajaan Siak dengan restu Belanda telah memberikan konsesi luas kepada investor Belanda untuk perkebunan Tembakau dalam jangka waktu 75 s/d 99 tahun tanpa batas-batas yang jelas.5 Sengketa tersebut terus berlanjut sampai berakhirnya/batalnya perjanjian KMB, dan kembali kepada Negara Kesatuan Repulik Indonesia (NKRI), bahkan sejak dibentuknya UUPA masalah ini tetap tidak dapat diselesaikan, tetap berlanjut sampai masa pemerintahan Orde Baru hingga Reformasi.6

Secara umum perbedaan kepentingan (conflict) dan sengketa (dispute) pertanahan pada dewasa ini (sejak orde baru dan orde reformasi) dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu, sengketa sesama anggota masyarakat, sengketa antara anggota masyarakat dengan pemerintah dan sengketa antara anggota masyarakat

4

Ibid, hal. 23 5

Ibid, hal. 13 6


(28)

dengan pihak pengusaha perkebunan, baik swasta maupun BUMN.7 Tuntutan masyarakat hukum adat atas HGU Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara pada umumnya berasal dari badan-badan atau lembaga-lembaga tertentu yang mengatasnamakan kelompok masyarakat hukum adat.

Dalam rangka menyelesaikan pendudukan/penggarapan di atas tanah perkebunan khususnya yang terjadi pada areal perkebunan tembakau yang dikuasai oleh PTPN II, pemerintah telah melakukan berbagai upaya termasuk dengan membentuk beberapa tim antara lain: 1) Tahun 1951 – 1953 dibentuk KPPT (Kantor Penyelenggara Pembagian Tanah), 2) Tahun 1954 – 1957 dibentuk KRPT (Kantor Register Pemakaian Tanah), 3) Tahun 1958 – 1962 dibentuk BPPST (Badan Pelaksana Penyelesaian Sengketa Tanah Perkebunan Sumatera Timur), 4) Tahun 1963 – 1965 dibentuk Panitia Landreform, 5) Tahun 1978 – 1979 dibentuk Tim Inventarisasi dan Operasi Sadar, 6) Tahun 1979 – 1980 dibentuk TPTGA (Tim Penyelesaian tanah Garapan dan Areal PTP-IX), 7) Tahun 1998 dibentuk Tim Tanah, 8) Tahun 2000 – 2004 dibentuk panitia B Plus.8

Hasil kerja berbagai tim tersebut memang dapat meyelesaikan masalah pada zamannya dan semua tim merekomendasikan penciutan areal perkebunan sebagai jalan keluar sehingga areal perkebunan tembakau berkurang secara signifikan.9 Akan

7

Syafruddin Kalo, Diktat: Pencetus Timbulnya Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat

versus Perkebunan Di Sumatera Timur dari Zaman Kolonial sampai Reformasi, Op. Cit, hal. 18

8

Elfachri Budiman, tesis, Tinjauan Hukum Terhadap Pengeluaran Areal Hak Guna Usaha

Dan Pelepasan Asset Negara Atas Tanah Yang Dikuasai Oleh PT Perkebuana Nusantara II, Medan,

2004, hal.. 8 9

Oloan Sitorus, Dkk, Penataan Penguasaan Tanah Perkebunan Tembakau Deli, (Jakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2002), hal. 6


(29)

tetapi sekalipun telah diciutkan sebagian besar areal perkebunan tembakau, belakangan tetap muncul masalah di areal perkebunan seperti penggarapan baru atau tuntutan-tuntutan pengembalian tanah garapan kepada pemerintah dengan melampirkan bukti-bukti berupa produk dan tim sebelumnya sehingga penggarapan hingga saat ini belum dapat dituntaskan.

Pada saat ini penguasaan terhadap tanah perkebunan telah menggeser benturan kepentingan antara berbagai pihak sehingga keterkaitan ke arah masalah politik dan bisnis secara langsung telah mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Hal ini semakin jelas tatkala kelompok tani dari masyarakat kecil berbenturan dengan pengusaha maupun pemerintah untuk memperoleh sebidang tanah pada areal perkebunan yang diperuntukkan bagi pembangunan industri ataupun kepentingan bisnis dengan menyadarkan diri kepada kepentingan masyarakat petani. Permasalahan yang terjadi adalah tuntutan tersebut seakan-akan menjadi tuntutan masyarakat yang murni untuk memperjuangkan tanah pertanian bagi masyarakat petani.10

Pembuat Undang-undang Pokok Agraria menempatkan posisi penguasaan tanah dengan konsep tersendiri yang berbeda dengan konsep yang diimpor Belanda di Indonesia, konsep hak menguasai Negara adalah pencerminan dari hak ulayat dalam

10

Dayat Limbong, Tesis, Alas Hak Tanah Yang Dikuasai Rakyat Pada Areal Perkebunan


(30)

skala nasional. Namun dalam praktek, perbedaan persepsi tentang hak menguasai Negara telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan.11

Kebijakan dan regulasi di bidang pertanahan ditegakkan pada landasan konstitusi negara yaitu pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Peraturan Pelaksanaan dari ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104) atau disebut juga Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), serta dijabarkan dalam berbagai peraturan organik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres), Peraturan Menteri/Pejabat dan lain-lain.12

Hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada subjek hukum diatur dalam Pasal 16 UUPA yang terdiri dari: 1) Hak Milik, 2) Hak Guna Usaha, 3) Hak Guna Bangunan, 4) Hak Pakai, 5) Hak Sewa, 6) Hak Membuka Tanah, 7) Hak Memungut Hasil Hutan, 8) Hak-hak lain serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak-hak lain misalnya Hak Pengelolaan, sedangkan hak yang sifatnya sementara adalah Hak Gadai, Hak Guna Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang dan Hak Seawa Tanah Pertanian.

11

Syafruddin Kalo, Kapita Selekta Hukum Pertanahan: Studi Tanah Perkebunan di Sumetera

Timur , (Medan: USU Press, 2005), hal. 5

12


(31)

Hak Guna Usaha (HGU) sebagai salah satu jenis hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 28 s/d Pasal 34 UUPA. Aturan lebih lanjut mengenai HGU terdapat dalam PP Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Bangunan, HGU dan Hak Pakai pada Pasal 2 s/d pasal 18. Perpanjangan HGU yang dapat diperpanjang atau pembaharuan atas tanah HGU harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, yaitu:

1. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan pemberian hak tersebut

2. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak 3. Pemegang hak masih memenuhi syarat-syarat sebagai pemegang hak.13

Sebagaimana diketahui bahwa PTPN II merupakan Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki oleh Negara yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.14 PTPN II bergerak di bidang usaha Perkebunan yang areal tempat usahanya berada di Sumatera Utara.

Perusahaan Perseroan PTPN II bergerak di bidang usaha Pertanian dan Perkebunan didirikan dengan Akte Notaris GHS Loemban Tobing, SH No. 12 tanggal 5 April 1976 yang diperbaiki dengan Akte Notaris No. 54 tanggal 21 Desember 1976 dan pengesahan Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusan No. Y.A. 5/43/8 tanggal 28 Januari 1977 dan telah diumumkan dalam Lembaran Negara

13

Sudargo Gautama, Komentar atas Peraturan-Peraturan Pelaksanaan Undang-undang

Pokok Agraria, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 10

14


(32)

No. 52 tahun 1978 yang telah didaftarkan kepada Pengadilan Negeri Tingkat I Medan tanggal 19 Pebruari 1977 No. 10/1977/PT.

Perseroan Terbatas ini bernama Perusahaan Perseroan (Perseroan) PT Perkebunan II disingkat “PTPN II" merupakan perubahan bentuk dan gabungan dari PN Perkebunan II dengan PN Perkebunan Sawit Seberang. Pendirian perusahaan ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1969, Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1969 Tentang Perusahaan Perseroan dan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1975.

Pada tahun 1984 menurut Keputusan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham, Akte Pendirian tersebut diatas telah dirubah dan diterangkan dalam Akte Notaris Imas Fatimah Nomor 94 tanggal 13 Agustus 1984 yang kemudian diperbaiki dengan Akte Nomor 26 tanggal 8 Maret 1985 dengan persetujuan Menteri Kehakiman Nomor C2-5013-HT.0104 tahun 1985 tanggal 14 Agustus 1985. Sesuai dengan Keputusan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham tanggal 20 Desember 1990 Akte tersebut mengalami perubahan kembali dengan Akte Notaris Imas Fatimah Nomor 2 tanggal 1 April 1991 dengan persetujuan Menteri Kehakiman Nomor C2-4939-HT.01.04TH-91 tanggal 20 September 1991.

Pada tanggal 11 Maret 1996 kembali diadakan reorganisasi berdasarkan nilai kerja dimana PT Perkebunan II dan PT Perkebunan IX yang didirikan dengan Akte Notaris GHS. Loemban Tobing, SH Nomor 6 tanggal 1 April 1974 dan sesuai dengan Akte Notaris Ahmad Bajumi, SH Nomor 100 tanggal 18 September 1983 dilebur dan


(33)

digabungkan menjadi satu dengan nama PTPN II yang dibentuk dengan Akte Notaris Harun Kamil, SH Nomor 35 tertanggal 11 Maret 1996.15

Akte pendirian ini kemudian disyahkan oleh Menteri Kehakiman RI dengan Surat Keputusan No. C2.8330.HT.01.01.TH.96 dan diumumkan dalam Berita Negara RI Nomor 81. Pendirian Perusahaan yang merupakan hasil peleburan PTP-II dan PTP-IX berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 tahun 1996. Kemudian pada tanggal 8 Oktober 2002 terjadi perubahan modal dasar perseroan sesuai Akte Notaris Sri Rahayu H. Prastyo, SH.1:34 PM 7/21/2008.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PTPN II mengelola asset negara dalam bentuk kekayaan negara yang telah dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta Perseroan Terbatas lainnya. PTPN II sendiri dalam rangka operasionalisasi dan manajemennya berada di bawah pembinaan Menteri Negara BUMN, oleh karena itu apabila asset negara tersebut hendak dilepaskan harus mendapatkan izin dari Menteri Negara BUMN.

Salah satu daerah di Sumatera Utara yang saat ini menghadapi permasalahan yang kompleks mengenai penggarapan rakyat atas areal perkebunan berada di Desa Sampali, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Di daerah tersebut terdapat salah satu lahan PTPN II yakni, Perkebunan Sampali yang luas arealnya berjumlah 1.809, 43 Ha. Dari luas lahan tersebut terdapat ± 300 Ha yang saat ini sedang diduduki oleh kelompok masyarakat penggarap.

15


(34)

Penguasaan/penggarapan yang dilakukan masyarakat terhadap areal tersebut sudah berlangsung selama lebih kurang 10 tahun dimulai sejak tahun 1999. Sejak dimulainya penguasaan/penggarapan hingga saat ini di areal tersebut telah berdiri pesat berbagai tipe perumahan mulai dari rumah sederhana hingga rumah permanen, diperkirakan jumlah bangunan rumah berkisar 400 unit. Dan di atas lahan tersebut juga telah ditanami palawija yang diusahai oleh penduduk penggarap setempat. Sebelum dilakukannya penggarapan/pendudukan, di areal tersebut terdapat perkebunan cokelat.

Pihak PTPN II sebagai pemegang HGU dalam hal ini telah berulang kali melaporkan tindakan atas penguasaan lahannya yang dilakukan kelompok masyarakat kepada aparat Kepolisian. Namun hingga kini belum dapat diselesaikan yang menyebabkan sengketa tanah antara kedua pihak terus berlarut-larut.

Demikian juga sebaliknya, kelompok masyarakat penggarap juga telah melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan, mulai dari tingkat pertama hingga di tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Akan tetapi upaya ini juga masih belum membuahkan solusi, proses persidangan yang dilalui hingga kini belum mampu memberikan suatu kepastian hak baik kepada pihak PTPN II maupun kepada kelompok masyarakat penggarap meskipun telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

Menurut keterangan warga setempat, mulai bulan Juli 2008 sampai dengan bulan Desember 2008 masyarakat setempat telah menerima surat peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dari PTPN II yang terdiri dari Peringatan I, II, III agar membongkar


(35)

bangunan yang dianggap liar dan memanen tanaman palawija di areal tersebut, akan tetapi peringatan tersebut belum dilaksanakan penduduk setempat dengan alasan bahwa mereka telah membeli lahan tersebut kepada yang mengaku sebagai pemiliknya dengan bukti-bukti Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan oleh Pemerintah Desa dan Kecamatan Percut ei Tuan.16

Selain Surat Keterangan tanah (SKT) yang dimiliki oleh masyarakat sebagai dasar penguasaan mereka terhadap lahan tersebut, masih terdapat pula bukti alas hak lain yang mereka miliki, seperti Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) yang dikeluarkan oleh Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah (KRPT) Sumatera Timur Tahun 1956.

Sebagai daerah perkebunan wilayah ini sangat potensial menimbulkan konflik, khususnya permasalahan penguasaan/penggarapan rakyat atas tanah areal pekebunan. Kondisi ekonomi yang mengalami krisis beberapa tahun belakangan ini semakin memperparah situasi di lokasi areal Perkebunan. Era reformasi yang bergulir menjadi momentum perjuangan rakyat untuk menguasai areal-areal perkebunan yang kebetulan sedang kosong.

Melihat persoalan tersebut di atas bahwa masalah penguasaan tanah perkebunan oleh rakyat masih merupakan masalah yang perlu mendapatkan penyelesaian. Dasar yuridis yang tersedia seakan-akan belum mampu untuk meredam konflik tersebut sehingga dibutuhkan pemikiran-pemikiran untuk mencari suatu pola yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menyelesaikan permasalahnnya.

16


(36)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan kenyataan tersebut di atas, maka pokok permasalahan dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab timbulnya sengketa tanah antara PTPN II Perkebunan Sampali dengan masyarakat di Desa Sampali Deli Serdang?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap tanah HGU PTPN II Perkebunan Sampali dan kelompok masyarakat penggarap di Desa Sampali Deli Serdang? 3. Bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa tanah antara PTPN II Perkebunan

Sampali dengan kelompok masyarakat di Desa Sampali Deli Serdang?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan Faktor-faktor penyebab timbulnya sengketa tanah antara PTPN II Perkebunan Sampali dengan masyarakat di Desa Sampali Deli Serdang,

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan perlindungan hukum terhadap tanah HGU PTPN II Pekebunan Sampali dan kelompok masyarakat penggarap di Desa Sampali Deli Serdang,

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan upaya penyelesaian sengketa antara PTPN II Perkebunan Sampali dengan kelompok masyarakat di Desa Sampali Deli Serdang.


(37)

D. Manfaat Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai sebagaimanan tersebut di atas, maka penelitian ini juga diharapkan mempunyai manfaat, yang antara lain:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep kajian yang pada gilirannya dapat memberikan andil bagi pembangunan ilmu hukum pertanahan.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini juga dapat digunakan:

a. Sebagai pedoman dan masukan atau informasi kepada pemerintah Badan Pertanahan Nasional (BPN) guna menentukan kebijakan dan langkah-langkah untuk mencegah masalah yang timbul atas penguasaan tanah perkebunan khususnya di Desa Sampali, Kabupaten Deli Serdang.

b. Untuk memberikan informasi kepada pemerintah dan masyarakat tentang hukum yang berlaku yang berkaitan dengan pemberian hak atas tanah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan pada kepustakaan khususnya di lingkungan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, sepanjang yang diketahui dari hasil-hasil penelitian yang sudah ada atau yang sedang dilaksanakan tentang ” Hak Guna Usaha Versus Hak Garapan Masyarakat: Studi Mengenai Sengketa Antara PTPN II Perkebunan Sampali Dengan Masyarakat Di Desa Sampali Deli Serdang” belum pernah dilakukan penelitian. Akan tetapi ada beberapa yang telah melakukan penelitian yang berkaitan dengan HGU PTPN II , antara lain:


(38)

1. Dayat Limbong, Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang berjudul: Alas Hak Atas Tanah Yang Dikuasai Rakyat Pada Areal PTPN II Di Kabupaten Deli Serdang.

2. Elfachri Budiman, Tinjauan Hukum Terhadap Pengeluaran Areal Hak Guna Usaha Dan Pelepasan asset Negara Atas Tanah Yang Dikuasai Oleh PTPN II.

Meskipun terdapat kesamaan lokasi penelitian, akan tetapi dilihat dari titik permasalahan yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya terdapat adanya perbedaan khususnya pada permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah atau secara akademik.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran yang sistematis mengenai masalah yang akan diteliti. Teori ini masih bersifat sementara yang akan dibuktikan kebenarannya dengan cara meneliti secara realitas. Kerangka teoritis lazimnya dipergunakan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dan juga dapat dipergunakan dalam penelitian hukum, yaitu pada penelitian hukum sosiologis atau empiris.17 Sedangkan teori hukum merupakan suatu keseluruhan pernyataan

17


(39)

yang saling berkaitan dengan sistim konseptual aturan-atuiran hukum dan putusan-putusan hukum dan sistim tersebut untuk sebagian yang penting untuk dipositifkan.18

Konsep dasar tentang tentang kasus-kasus pertanahan platform dari filosofis konstitusional tercermin dalam perumusan sila ke lima Pancasila yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kemudian dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ”Bumi dan air dan kekeayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang pelaksanaannya melahirkan UUPA No.5 Tahun 1960. UUPA No.5 Tahun 1960 ini merupakan induk dari segala peraturan mengenai hukum pertanahan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA.19

Hak pada seseorang berkolerasi dengan kewajiban pada orang lain untuk tidak mengganggu kemerdekaan. Dan mengenai hak-hak yang berhubungan barang-barang yang dimiliki seseorang biasanya bisa dialihkan, sedangkan kewajiban dapat berupa kewajiban positif dan kewajiban negatif. Kewajiban positif menghendaki dilakukannya perbuatan positif dan kewajiban negatif adalah kewajiban yang menghendaki agar suatu pihak tidak melakukan sesuatu seperti kewajiban seseorang untuk tidak melakukan sesuatu yang mengganggu milik orang lain.20

Salmond mengatakan, bahwa hak merupakan kepentingan yang diakui dan

dilindungi oleh hukum. Memenuhi kepentingan itu merupakan suatu kewajiban

18

J.J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 160

19

Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), cet I, hal. 35

20


(40)

sedangkan melalaikannya adalah suatu kesalahan. Kemudian Allen merumuskan hak itu sebagai suatu kekuasaan berdasarkan hukum yang dengannya seseorang dapat melaksanakan kepentingannya. Sedangkan Holland melihat hak itu sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perbuatan atau tindakan seseorang tanpa menggunakan wewenang yang dimilikinya tetapi didasarkan atas suatu paksaan masyarakat yang terorganisir.21

Menurut Salmond ada beberapa karakteristik atau cirri-ciri hak yang diatur oleh hukum, yaitu:

a. Melekat pada seseorang, orang ini disebut sebagai pemilik hak (The owner of

the right) atau pemegang hak (The subject of the it, the person entitled, or the person inherence).

b. Seseorang yang terkena oleh hak itu terikat oleh suatu kewajiban tertentu. Orang ini disebut memiliki kewajiban (The person bound to) atau subjek dari kewajiban (The subject of duty or the person of inicidence).

c. Hak ini mewajibkan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu kepentingan bagi kepentingan pemegang hak.

d. Melakukan atau tidak melakukan perbuatan tadi berkaitan dengan suatu objek tertentu (Object and subject matter of the right).

21

Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu, (Bandung: PT Ramaja Rosdakarya, 1991), hal. 66


(41)

e. Setiap hak memiliki titel atau fakta-fakta atau peristiwa –peristiwa yang atas dasar itu hak tersebut, melekat pada seseorang.22

Menurut Lili Rasjidi ada empat macam yang tergolong ke dalam jenis hak, antara lain:

a. Hak dalam arti sempit

b. Kebebasan-kebebasan (liberties) c. Kekuasaan (power)

d. Kekebalan

Hak dalam arti sempit akan meletakkan suatu kewajiban bagi yang terkena oleh hak itu. Hak yang merupakan kebebasan akan melahirkan tidak ada hak (no

rights). Hak yang berupa kekuasaan akan berhadapan dengan pertanggungjawaban

(liabilities). Dan hak kekebalan ini sebagai kekebalan terhadap kekuasaan atas dasar hukum yang dimiliki orang lain. Kekebalan ini merupakan pengecualian dari adanya hubungan hukum tertentu yang diubah oleh yang lain.23 Adapun kewajiban ialah perbuatan seseorang yang harus dilakukannya, perbuatan yang bertentangan dengannya adalah kesalahan. Menyuruh melakukan kewajiban pada seseorang berarti orang itu harus melakukan suatu perbuatan tertentu.24

Kemudian jika dikaitkan dengan situasi dan kondisi dalam kasus-kasus pertanahan, maka faktor-faktor penyebabnya antara lain:

22

Ibid, hal. 68 23

Ibid, hal. 71 24


(42)

1. Penyimpangan prilaku hukum25 2. Disintegrasi dari peraturan hukum26

3. Faktor politik, ekonomi, social budaya, keamanan dan ketertiban baik secara nasional, regional, dan global.

Penyimpangan dalam kasus-kasus pertanahan yang disebabkan oleh disintegrasi dari rule of law dapat terjadi akibat keabsahan dari hukum itu sendiri cenderung goyah, efektivitas hukum yang melemah serta bobot hukum yang merosot. Ketiga gejala ini saling berkaitan. Keabsahan dari suatu hukum baru itu sendiri cenderung goyah misalnya sering dalam penyusunan dan penjabarannya diimbangi sedemikian rupa dengan mencantumkan pasal-pasal ketetapan pengecualian dan meniadakan sanksi-sanksi yang efektif dalam rangka memenuhi keberatan dari para penentang hukum baru, yaitu dengan cara memperkecil peluang efektifitas hukum tersebut.27

Proses perubahan sosial yang tengah berlangsung dalam masyarakat yang begitu kompleksitas menimbulkan berbagai macam perubahan sebagaimana yang dikemukakan Mulyana W. Kusumah.28 Perubahan-perubahan itu meliputi perubahan politik, ekonomi dan sosial serta perubahan-perubahan nilai-nilai dan pranata-pranata sosial yang menyertainya melahirkan sejumlah permasalahan yang menyangkut berbagai ketidakharmonisan, ketidakseimbangan dan ketidakmerataan yang

25

Donal Black, The Behavior Of Law, (Academic Press, 1976), hal. 9 26

A.A.G. Peters, Hukum Dan Pertimbangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum Buku III, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), hal. 323

27

Ediwarman, Op cit hal. 45 28

Mulyana W. Kusumah, Kejahatan Dan Penyimpangan Suatu Persfektif Kriminologi, (Yogyakarta: Yayasan LBH, 1998), hal. 65


(43)

merupakan faktor-faktor sosio-struktural, faktor interaksi menyimpang meliputi kejahatan maupun delinkuensi.

Menurut Sri Sumantri Martosoewignjo mengemukakan bahwa sebagai negara hukum harus memenuhi 4 (empat) kriteria, yaitu: 29

1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum atau perundang-undangan,

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara), 3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara,

4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlejke controle),. Dari kriteria negara hukum tersebut di atas, maka hukum yang dibuat harus dapat melindungi warganya serta bermanfaat bagi masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh aliran Utility dari Jeremy Bentham dalam konsepsinya menyatakan hukum itu harus bermanfaat bagi masyarakat guna mencapai hidup bahagia.30Teori Utilitas adalah hukum bertujuan mewujudkan apa yang berfaedah, (kebahagian terbesar untuk jumlah terbanyak). “The Greatest Happiness For The Greatest

Number”, hukum bisa dikatakan berhasil guna apabila sebanyak mungkin dapat

mewujudkan keadilan31.

Teori ini berpendapat bahwa: tujuan hukum adalah mengayomi kepentingan manusia secara aktif (mendapatkan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam

29

Antje M. Ma’mun, Pendaftran Tanah Sebagai Pelaksanaan UU Untuk Mencapai

Kepastian Hukum Hak-Hak Atas tanah Di Kodya Bandung, (UNPAD, 1996), hal. 68

30

R. otje Salaman, Sosiologi Hukum, suatu pengantar, 1983, hal. 11 31


(44)

proses yang berlangsung secara wajar ) dan pasif (mengupayakan pencegahan tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak). Pengayoman yag dimaksudkan dalam teori ini meliputi:

1. Mewujudkan ketertiban dan keteraturan 2. Mewujudkan kedamaian sejati

3. Mewujudkan keadilan

4. Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial warga masyarakat selama tidak melanggar hak dan merugikan orang lain.

Apabila pendapat tersebut dikaitkan dengan pendapat Satcipto Rahardjo32, maka kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain oleh hukum dengan diintegrasikan sedemikian rupa sehingga tubrukan-tubrukan itu bisa ditekan sekecil-kecilnya.

Garis politik kebijakan petanahan dalam GBHN tahun 1999-200433 telah diwujudkan sebagai visi dan misi dalam Program Pembangunan Nasional (propenas) sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Undang-undang RI nomor 25 Tahun 2000 adalah: ”Mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transfaran dan produktif dengan mengutamakan

32

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 52 33


(45)

hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang”.34

Mengingat sengketa pertanahan bersifat multi dimensi, maka teori atau pendekatan yang dapat menjelaskan secara holistik atau secara sistematik mengenai penyelesaian kasus-kasus pertanahan tersebut adalah teori kontrol sosial yang dikembangkan oleh Hirschi (1972) di Amerika Serikat. Salah satu alasan penting dalam hal ini teori ini dapat diuji secara konkrit empiris, dibandingkan teori-teori kriminologi lain dan disamping itu juga memberikan sumbangan penting untuk menjelaskan prilaku seseorang. Menurut Hirschi ada 4 unsur dari kontrol sosoial antara lain:35

1. Attachment, diartikan sebagai keterikatan seseorang pada orang lain (orang tua) atau lembaga (sekolah) dapat mencegah atau, menghambat yang bersangkutan untuk melakukan kejahatan.

2. Involvement, berarti bahwa frekuensi kegiatan seseorang akan memperkecil kecendrungan yang bersangkutan untuk terlibat dalam kejahatan.

3. Commitment, diartikan bahwa sebagai suatu investasi seseorang dalam masyarakat antara lain dalam bentuk pendidikan, reputasi yang baik kemajuan dalam bidang wiraswasta akan memperkecil seseorang untuk terlibat dalam kejahatan.

34

Undang-undang RI No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenasa) Tahun 2000-2004, (Jakarta, CV. Eko Jaya, 2001), hal. 76

35

Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: PT Erisco, 1992), hal. 36


(46)

4. Belief, merupakan unsur yang mewujudkan pengakuan seseorang akan norma-norma yang baik dan adil dalam masyarakat. Unsur ini menyebabkan seseorang mengahargai norma-norma dan aturan-aturan serta merasakan adanya kewajiban moral untuk mentaatinya.

Di samping teori kontrol sosial yang dikemukakan oleh Hirschi, ada lagi teori kontrol sosial yang dikemukakan oleh Donald Black tentang prilaku hukum seseorang yang relevan untuk diterapkan dalam rangka penyelesaian kasus-kasus sengketa pertanahan.

Dalam teori kontrol sosial yang dikemukakan olah Donald Black, ada 4 (empat) macam bentuk kontrol sosial yaitu pidana (penal), ganti rugi (conpensatory), pemeriksaan (therapeutic), penyelesaian (conciliatory0.

Teori ini berusaha menjelaskan bentuk perlidungan kasus-kasus pertanahan, baik terhadap pemilik tanah maupun yang membutuhkan tanah. Teori ini memandang bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki moral yang murni oleh karena itu setiap individu bebas berbuat sesuatu dan kebebasan ini akan membawa seseorang pada tindakan yang bermacam-macam yang lazimnya didasarkan pada pilihan taat pada hukum atau melanggar aturan-aturan hukum. Taat pada hukum, maka segala bentuk pelanggaran ataupun kejahatan akan terhindar terhadap seseorang untuk melakukannya.


(47)

2. Konsepsi

Pada bagian kerangka konsepsi akan dijelaskan hal-hal yaang berkenaan dengan konsep yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini yang merupakan defenisi operasional untuk memberikan pegangan bagi penulis, sebagai berikut: 1. Hak Guna Usaha

Menurut UUPA pada Pasal 28 ayat (1) disebutkan bahwa Hak Guna Usaha adalah Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana disebut dalam Pasal 29 guna Perusahaan Pertanian, Perikanan dan Peternakan.36

2. PT Perkebunan Nusantara II

PT Perkebunan Nusantara II merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bergerak di bidang usaha perkebunan yang areal usahanya berada di Sumatera Utara.

3. Sengketa

Adalah sengketa pertanahan yang terjadi antara PTPN II Perkebunan Sampali dengan kelompok masyarakat penggarap di Desa Sampali Deli Serdang.

G. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan

Metode Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, yakni metode penelitian yang mengacu pada

36


(48)

norma hukum yang terdapat di dalam perundang-undangan. Artinya dalam penelitian ini yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber hukum yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan tentang fakta dan kondisi serta gejala yang terjadi di lapangan. Selanjutnya dilakukan analisis kritis dalam arti memberikan penjelasan-penjelasan terhadap fakta dan gejala yang terjadi baik dalam kerangka sistimatisasi maupun sinkronisasi yang merujuk pada aspek yuridis. Dengan demikian akan terjawab permasalahan yang menjadi objek penelitian.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui, antara lain: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yakni:

1. Dasar falsafah negara Indonesia, yakni Pancasila, sila ke 5 ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

2. Norma atau kaidah dasar, yakni Undang-Undang Dasar 1945, alinea ketiga 3. Peraturan Dasar, yakni Batang Tubuh Undang-undang Dasar 1945 dan

Peraturan-peraturan Presiden RI serta Keputusan Presiden

4. Peraturan Perundang-undangan yang menyangkut dengan peraturan hukum pertanahan

b. Bahan hukum sekunder, bahan ini dimaksudkan memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Undang-undang, hasil dari penelitian, karya ilmiah dari pakar hukum dan ditambah dengan hasil penelitian yang


(49)

diperoleh dari beberapa intansi yang terkait berupa wawancara yang dilakukan dengan informan dan nara sumber yang berkompeten di bidangnya.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum hukum penunjang, antara lain:

1. Bahan-bahan yang memberikan petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya: kamus, ensiklopedi dan lain-lain.

2. Bahan hukum primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya: Sosiologi, Filsafat, Sastra, Metode Penelitian dan lain-lain sebagainya yang dipergunakan untuk melengkapi proses penelitian.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini maka dilakukan tehnik pengumpulan data sebgai berikut:

1. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang berasal dari hasil inventarisasi survei lapangan dari instansi yang berhubungan dengan topik penelitian yang dilakukan.

2. Wawancara yang dibantu dengan pedoman wawancara

Wawancara dilakukan terhadap informan melului metode wawancara terarah dengan membuat pedoman wawancara kepada individu dari masyarakat dan lembaga-lembaga yang terkait, antara lain:

1. Ketua Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) Desa Sampali, Bapak Daud


(50)

2. Kepala Seksi Sengketa Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) Provinsi Sumatera Utara, Ibu Masniari, SH

3. Unit Juru Periksa Satuan Reserse Umum, Kepolisian Kota Besar Medan Sekitarnya (Poltabes MS), Bapak Aiptu Suardi Matondang

4. Kepala Urusan Hukum Pertanahan PTPN II, Bapak Armen SH.

5. Warga masyarakat di Areal Perkebunan Sampali Desa Sampali, bapak Sudarso.

4. Analisis Data

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian tersebut dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Data yang diperoleh dari bahan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan di bidang hukum pertanahan, warga masyarakat, badan hukum, instansi pemerintah dan PTPN II disusun secara sistematis untuk memperoleh gambaran mengenai status peraturan di bidang pertanahan. Dan kemudian ditarik suatu kesimpulan dengan menggunakan logika berfikir deduktif – induktif.


(51)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA SENGKETA TANAH HGU PTPN II PERKEBUNAN SAMPALI

DENGAN MASYARAKAT DI DESA SAMPALI A. Sejarah Tanah HGU PTPN II Perkebunan Sampali

1. Sejarah Hak Atas Tanah Perkebunan Di Sumatera Timur

Wilayah Sumatera Timur yang terdapat di Propinsi Sumatera Utara daerahnya menjulur dari dataran pantai ke darat hingga sampai ke dataran berbukit-bukit mulai dari Kabupaten Aceh Timur, Langkat, Deli Serdang, Asahan sampai dengan daerah Labuhan Batu sepanjang 280 kilometer dari Barat Laut ke Tenggara. Atau dapat juga dikatakan bahwa daerah Sumatera Timur merentang dari perbatasan Aceh sampai kerajaan Siak di Riau sekarang.37

Sumatera Timur dibagi dalam tiga bagian. Pertama, dataran rendah, kedua, pegunungan, ketiga, dataran tinggi karo dan simalungun. Sumatera Timur adalah dataran rendah yang sangat luas, di daerah ini terdapat hutan Payau yang ditumbuhi bakau dan nipah, tanahnya yang subur menjadi kunci sukses wilayah ini menjadi kantong perkenunan. Kesuburan tanah di Sumatera Timur ini disebabkan sungai-sungai yang jumlahnya sangat banyak selalu membawa banjir, airnya melimpah ruah menggenangi tanah kiri kanan sungai, air bah ini membawa kesuburan pada tanah.38

37

Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera

Timur (Tahun 1800-1975), (Bandung: Alumni, 1978), hal. 13

38


(52)

Antony Reid menyatakan: ”sampai pertengahan abad ke 19 Sumater Timur didiami oleh orang Melayu, Batak-Karo dan Simalungun. Mereka inilah yang disebut sebagai penduduk asli Sumatera Timur”.39 Adapun yang dimaksudkan dengan suku Melayu dalam hal ini adalah golongan yang menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar suku bangsa serta memakai adat resam dan bahasa Melayu secara sadar dan berkelanjutan.40

Masyarakat Melayu yang dipimpin oleh Sultan terhadap negerinya juga mengalami masalah tanah. Sultan sebagai pemangku adat menganggap dirinya sebagai pemilik tanah, oleh karena itu Suku Melayu memperoleh hak atas tanah dengan menguasai tanah tersebut atau karena kehendak Sultan dengan pemberian hak atas karunia. Sultan juga membuat perjanjian dengan pengusaha untuk memakai tanah, namun tanah kampung tidak termasuk tanah yang diserahkan.41

Hal yang berbeda terdapat di Kesultanan Deli, Sultan Deli yang diangkat oleh kepala-kepala Urung/Datuk Empat Suku (Serbanyaman, Sepuluh Dua Kuta, Sukapiring dan Senembah Deli) secara formal menguasai seluruh kawasan kesultanan namun masing-masing Datuk berkuasa penuh dan juga punya otonom yang sangat luas di daerahnya.42

39

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan Di Sumatera Utara, (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), hal. 87

40

Mahadi, Op.Cit, hal. 13 41

Supardy Marbun, Tesis: Masalah tanah Adat Melayu Deli di Kotamadya Medan dan

Perkembangannya, (Medan: SPS USU, 1999), hal. 56

42

Chainur Arrasyid, Sultan dan Datuk Empat Suku Mewakili Puak Melayu Bekas Kesultanan


(53)

Sultan berhak membagi-bagikan tanah kepada rakyat/kaulanya, sehingga bagi masyarakat Melayu dikenal adanya hak-hak atas tanah yang diberikan oleh Sultan dengan nama Grant-Sultan. Pada mulanya Grant Sultan merupakan hak atas tanah yang diberikan oleh Sultan tanpa bukti hak secara tertulis akan tetapi diakui sebagai hak milik karena pada saat itu orang tidak memerlukan surat sebab tanah masih banyak dan luas sehingga penduduk dengan leluasa berpindah-pindah untuk mengerjakan tanah-tanah yang disukainya kemudian diberikan Sultan kepadanya.

Barulah setelah datangnya perusahaan perkebunan yang memerlukan tanah yang luas dan membutuhkan kepastian mengenai tanah yang diserahkan kepada mereka, maka timbullah suatu faktor baru dalam penguasaan tanah , yaitu untuk hidup menetap di suatu tempat tertentu dan timbul keinginan supaya hak atas tanah itu mendapat pengakuan dan penetapan dari penguasa. Maka Kepala Urung kemudian mengeluarkan surat keterangan yang diberi nama ”Grant Datuk” atau Surat kampung.43

Di samping itu Sultan Deli mengeluarkan surat keterangan penyerahan tanah kepada seseorang sebagai ”karunia” ditulis tangan dengan menggunakan huruf arab. Jadi Grant Sultan ada yang dikeluarkan oleh kepala-kepala Urung XII Kota, Serbanyaman, Suikapiring dan Senembah Deli dan diketuai oleh Sultan, juga ada Grant sultan yang langsung ditandatangani Sultan..44

43

Mahadi, Op.cit, hal. 256 44


(54)

Masyarakat Melayu sebagian besar mendiami daerah Pesisir Sumatera Utara dan juga sebagian besar hidup sebagai Nelayan, sedangkan penduduk yang ada di pedalaman mengutamakan usaha pertanian dan hasil hutan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup mereka.45 Namun setelah kedatangan pengusaha Belanda dan membuka perkebunan di Sumatera Timur, masyarakat banyak yang berubah menjadi pekerja di sektor perkebunan, sungguhpun belakangan masyarakat Melayu banyak yang tidak mampu menjadi buruh perkebunan terutama mengurus tembakau sehingga para tuan tanah perkebunan mendatangkan kuli dari luar Sumatera Timur seperti Malaka, Jawa dan Cina.46

Dalam catatan sejarah, ekspansi kekuatan kolonial masuk ke Sumatera Timur melalui Kerajaan Siak, karena pada mulanya Kesultanan yang ada di Sumatera Timur seperti Kesultanan Deli, Bilah, Panai, Kualuh, Asahan, Batubara, Bedagai, Serdang Percut, Perbaungan dan Langkat merupakan kerajaan jajahan Kesultanan Siak Sri Indrapura. Sebagaimana tercantum dalam perjanjian/traktat antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Siak pada tahun 1858.47

Karena kerajaan Siak telah ditaklukkan, Belanda berusaha menggunakan Siak untuk menegakkan pengaruhnya di Sumatera Timur. Melalui kontrak Siak bersama seluruh wilayah kekuasaannya berada di bawah kekuasaan Belanda sehingga dapat dikatakan secara de jure Belanda telah menaklukkan Raja-raja di Sumatera Timur. Namun secara de facto kerajaan di Sumatera Timur belum mengakui kedaulatan Siak

45

Supardi Marbun, Op.cit, hal. 52 46

T. Keizerina Devi, Poenali Sanctie, (Medan: PPS USU, 2004), hal. 60 47


(55)

disebabkan pada waktu itu Kerajaan Aceh berdaulat di Sumatera Timur. Baru pada tahun 1862 Belanda dapat mengukuhkan kekuasaannya terhadap Sumatera Timur.48

Setelah Sumatera Timur ditaklukkan oleh Belanda maka masuklah pengusaha asing ke daerah ini untuk menanamkan modalnya di bidang usaha perkebunan Tembakau. Jacobus Nienhuys yang datang ke Deli sekitar tahun 1863 merupakan orang Belanda pertama yang membuka perkebunan Tembakau di tanah Deli. Pada Tahun 1864 kebun Tembakau dibuka pertama kali di dekat Martubung dan pada saat panen menghasilkan 50 bal tembakau dan dikirim melalui Penang untuk dijual ke Belanda.

Kemudian pada tahun 1865 kebun Nienhuys menghasilkan 189 bal Tembakau. Tahun 1867 Nienhuys pulang ke Belanda untuk mencari tambahan modal usaha, sesudah kembali lagi ke Deli, Nienhuys berhasil mengadakan kontrak dengan memperoleh konsesi tanah dari Sultan Deli yang letaknya memanjang antara Mabar dan Deli Tua.49 Kontrak tanah pertama dengan penguasa Deli diberikan kepada Nienhuys secara Pribadi, yakni selama 99 tahun untuk penyewaan 2000 bau.50

Oleh karena Nienhuys dengan Sultan dinilai telah berhasil dan sukses, Kontrelour Deli, Cats de Raet, membantu Nienhuys untuk menandatangani kontrak kedua dengan Sultan Deli dengan luas seberapa ia sanggup menanaminya selama

48

Syafruddin Kalo, Desertasi, Masyarakat dan Perkebunan: Studi Mengenai Sengketa

Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II dan PTPN III Di Sumatera Utara, (Medan: PPS

USU, 2003), hal. 32-34 49

Pemda Medan, Sejarah Pemerintah Dati II Kodya Medan, Tanpa Penerbit, hal. 46 50

Syafruddin Kalo, Desertasi, Masyarakat dan Perkebunan: Studi Mengenai Sengketa


(56)

lima tahun.51 Kontrak antara Nienhuys dengan Sultan Deli yang memberikan hak konsesi atas tanah ditetapkan dalam Akta 1877 Konsesi yang ditandatangani oleh Sultan dan mendapat legalisasi dari Residen.52

Dalam kontrak-kontrak penyerahan tanah yang dilakukan oleh Sultan sebagai penguasa kepada pihak swasta sebelum Akta 1877 tanah kampung tidak termasuk wilayah yang dikuasai pihak perkebunan. Sultan membuat Retriksi bahwa tanah kampung tidak termasuk ke dalam tanah yang diserahkan. Kemudian dalam kontrak akta 1877 antara lain disebutkan, tanah yang diserahkan kepada pihak perkebunan adalah tanah-tanah hutan.53

Akan tetapi kedudukan Sultan dalam memberikan hak konsesi ini terdapat perbedaan pendapat, apakah Sultan sebagai pemilik tanah, sebagai pemangku adat atau sebgai kepala Swapraja, hal ini berimplikasi terhadap status tanah-tanh yang diberikan tersebut. H. Van Anrooy54 menyatakan, Sultan menganggap dirinya sebagi pemilik terhadap tanah dan hutan yang terdapat di wilayah kekuasaannya, sehingga akta kontrak tahun 1877 memuat substansi bahwa Sultan menyerahkan tanah perkebunan selaku pemilik.55

Sementara dalam Surat Azmy Perkasa Alam Alhaj, selaku Sultan Deli dan Kepala masyarakat Deli tanggal 11 Maret 1996 yang ditujukan kepada Menteri

51

Mahadi, Op.cit, hal. 38 52

Direktorat Agraria Provinsi Sumatera Utara, Himpunan Risalah Pertumbuhan dan

Perkembangan Hak Konsesi dan Erfach Perkebunan Besar dan Penyelesaian Pendudukan Rakyat atas Tanah Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara, (Medan, 1976), hal. 4

53

Supardi Marbun, Op. Cit, hal. 62 54

Mahadi, Op.cit, hal. 87 55


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Alwi, Afrizon dkk, Penyelesaian Sengketa Tanah Di Sumatera Utara, Medan, CV. Cahaya Ilmu, 2006

Ardiwilaga, R. Rostandi, Hukum Agraria Indonesia, Bandung, Masa Baru, 1972 Arief, Barda Nawawi, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra

Aditya Bakti, 1996

Bruggink, J.J. H, Refleksi Tentang Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1999 Devi, T. Keizerina, Poenali Sanctie,(Medan, PPS USU, 2004

Donal, Black, The Behavior Of Law, Academic Press, 1976

Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003

Gautama, Sudarga, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria, Bandung, Alumni, 1989 _______, Sudargo, Masalah Agraria Berikut Peraturan-peraturan dan

Contoh-contoh, Bandung, Alumni, 1983

_______, Sudargo, Komentar atas Peraturan-Peraturan Pelaksanaan

Undang-undang Pokok Agraria, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1997

_______, Sudarga, dan Ny. Elida T. Sortyanto, Komentar atas Peraturan-peraturan

Pelaksanaan UUPA, Citra Aditya Bakti, 1997

Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1997

Harsono, Boedi, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Jakarta, Universitas Trisakti, 2002

_______, Boedi, Hukum Agararia Indonesia, Sejarah pembentukan Undang-undang


(2)

J. E. Sahetapy, Teori Kriminologi, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1992 Purba, Hasyim, dkk, Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Asas Mausyawarah

Mufakat, Medan, CV. Cahaya Ilmu, 2006

Kartasapoetra, G, et. al, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Pendayagunaan Tanah, Jakarta, Rineka Cipta, 1991

Kalo, Syafruddin, Kapita Selekta Hukum Pertanahan: Studi Tanah Perkebunan di

Sumetera Timur , Medan, USU Press, 2005

Kusumah, Mulyana W, Kejahatan Dan Penyimpangan Suatu Persfektif Kriminologi, Yogyakarta, Yayasan LBH, 1998

Lubis, T. Malya, Tanah dan Penanaman Modal Asing, Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Hukum Agraria

Mas’ud, Mochtar, Tanah dan Pembangunan, Jakarta, Pustaka Sinar harapan, 1997 Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di

Sumatera Timur Tahun 1800-1975, Bandung, Alumni, 1978

Ma’mun, Antje M, Pendaftran Tanah Sebagai Pelaksanaan UU Untuk Mencapai

Kepastian Hukum Hak-Hak Atas tanah Di Kodya Bandung, UNPAD, 1996

Musthafa, Bachsan, Hukum Agraria Dalam Persfektif, Bandung, Remaja Karya, 1984 Muladi, Kapita Selekta Sistim Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, 1995

M. Solly Lubis, Sistem Nasioanal, Medan, USU Press, 1988

Notonogoro, Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, Jakarta, CV. Pancaran Tujuh, 1984

Parlindungan, AP, et.al, Kumpulan Tulisan Beberapa Pakar Dalam Rangka

Menyambut HUT ke-70 Tahun, Bandung, Mandar Maju, 1998

__________, AP, Beberapa Masalah Dalam UUPA, Bandung, Alumni, 1987

__________, AP, Komentar atas Undang-undang Pokok Agraria, Bandung, Mandar Maju, 1998


(3)

__________, AP, Beberapa Pelaksanaan Kegiatan dari UUPA, Bandung, Mandar Maju, 1992

Parangin-angin, Efendi, Hukum Agraria Di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut

Pandang Praktisi Hukum, Jakarta, Rajawali, 1986

Pelzer, Karl J, Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1991

Peters, A.A.G, Hukum Dan Pertimbangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum Buku III, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1990

Projodikoro, Wirjono, Bunga Rampai Hukum, Jakarta, PT. IkhtiarBaru, 1984

Purbacaraka, Purnadi dan A. Ridwan Halim, Sendi-sendi Hukum Agraria, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1996

Rasjidi, Lili, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu, Bandung, PT Ramaja Rosdakarya, 1991

Reid, Anthony, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan hancurnya Kerajaan Di Sumatera

Utara, Jakarta, Sinar Harapan, 1987

Romli, Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung, PT Erisco, 1992

Ruchiyat, Eddy, Politik Pertanahan Sebelum Dan Sesudah Berlakunya UUPA, Bandung, Alumni, 1986

________, Eddy, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, Bandung, Alumni, 1999

Saleh, K. Wantjik, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1980 Salaman, R. Otje, Sosiologi Hukum, suatu pengantar, 1983

Sitorus, Oloan, Dkk, Penataan Penguasaan Tanah Perkebunan Tembakau Deli, Jakarta, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2002

Subekti, R, Pembinaan HukumNasional, Bandung, Alumni, 1985

Sutiknjo, Imam, Proses terjadinya UUPA, Peran Serta Seksi Agraria UGM, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1987


(4)

________, Imam, Politik Agraria Nasional, Jogjakarta, Gajah Mada University Press,1990

Suandra, I Wayan, Hukum Pertanahan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1991

Sumardjono, Maria S. W. Kebijakan Partanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2005

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981

________, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, 1983 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986

_________, Soerjono, dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998

Soejanto, Beberapa Pengertian Di Bidang Pengawasan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983,

Soetojo, M, Undang-undang Pokok Agraria dan Pelaksanaan Landreform, Jakarta, SPPT), 1971

Soeprapto, R., Undang-undang Pokok Agraria Dalam Praktek, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986

Yamin, Muhammad, dan Abd. Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum

Agraria, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2004

Tim Peneliti Independen Penelitian Masalah Tanah Eks. HGU PTPN II di Sumatera Utara, Sengketa Pertnahan Dan Alternative Penyelesaian, Medan: PT Cahaya Ilmu, 2006


(5)

B. Makalah, Tesis, Journal

Elfachri, Budiman, Tesis, Tinjauan Hukum Terhadap Pengeluaran Areal Hak Guna

Usaha Dan Pelepasan Asset Negara Atas Tanah Yang Dikuasai Oleh PT Perkebuana Nusantara II, Medan, 2004

Dayat Limbong, Tesis, Alas Hak Tanah Yang Dikuasai Rakyat Pada Areal

Perkebunan PTPN II di Kabupaten Deli Serdang, 2002,

Chainur Arrasyid, Artikel, Sultan dan Datuk Empat Suku Mewakili Puak Melayu

Bekas Kesultanan Deli, Harian Analisa, Medan, 2000

Balans, Tesis, Tinjauan Hukum Atas Penciutan Areal PT Perkebunan IX (Persero) , Julianto, Skripsi, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penciutan Areal Tembakau Deli

Di Propinsi Sumatera Utara, STPN Yogyakarta, 2004

Supardy Marbun, Tesis: Masalah tanah Adat Melayu Deli di Kotamadya Medan dan

Perkembangannya, Medan, SPS USU, 1999

Asliah Hatta, Jurnal, Beberapa Faktor Penghambat Pembebasan Hak Atas Tanah

Untuk Keperluan Pembangunan Di Kodya Bandar Lampung, Lampung,

Universitas Lampung, 1997

Syafruddin Kalo, Desertasi, Masyarakat dan Perkebunan: Studi Mengenai Sengketa

Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II dan PTPN II Di Sumatera Utara, Medan, PPS USU, 2003

Syafruddin Kalo, Diktat: Pencetus Timbulnya Sengketa Pertanahan Antara

Masyarakat versus Perkebunan Di Sumatera Timur dari Zaman Kolonial sampai Reformasi, 2004

Pemda Medan, Sejarah Pemerintah Dati II Kodya Medan

Direktorat Agraria Provinsi Sumatera Utara, Himpunan Risalah Pertumbuhan dan

Perkembangan Hak Konsesi dan Erfach Perkebunan Besar dan Penyelesaian Pendudukan Rakyat atas Tanah Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara, Medan, 1976


(6)

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960

Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

Undang-undang RI No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-200

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang HGU, HGB, Hak Pakai Atas

Tanah.

Ketetapan-ketetapan MPR RI, Hasil Sidang Umum MPR 1999

TAP MPR RI Nomor: IX/MPR/2001 Tanggal 9 november 2001 Tentang Pembaruan


Dokumen yang terkait

Sisa-Sisa Budaya Feodalisme Pada Masyarakat Perkebunan (Studi deskriptif pada Masyarakat Perkebunan di PTPN II Tandem Hilir I Kec. Hamparan Perak Kab. Deli Serdang)

7 82 89

Komposisi Komunitas MakroFauna Tanah Untuk Memantau Kualitas Tanah Secara Biologis Pada Areal Perkebunan PTPN II Sampali Kecamatan Percut Sei Tuan

4 29 59

Hubungan Penggunaan Tenaga Kerja Panen dengan Efisiensi Biaya pada Perkebunan Tembakau (Studi Kasus : PTPN II Sampali)

0 17 74

Prospek Produksi Perkebunan Tebu Terhadap Peningkatan Pendapatan Karyawan PT. PN II Sampali Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang ( Studi Kasus : PTPN II Sampali Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang )

0 31 98

Korelasi Beberapa Sifat Tanah Dengan Produksi Pada Tanaman Tembakau Deli Di PTPN II Sampali Kabupaten Deli Serdang

0 44 53

Alas Hak Atas Tanah Yang Dikuasai Rakyat Pada Areal Perkebunan PTPN II Di Kabupaten Deli Serdang

1 61 5

Masyarakat Dan Perkebunan , Studi Mengenai Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II Dan PTPN-III Di Sumatera Utara (Community And Plantations: A Study Of Land Dispute Between Community Versus PTPN-II And PTPN-III In North Sumatera

0 34 431

TAHAPAN KONFLIK AGRARIA ANTARA MASYARAKAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH (STUDI: KONFLIK MASYARAKAT NAGARI ABAI DENGAN PEMERINTAH KABUPATEN SOLOK SELATAN MENGENAI HAK GUNA USAHA PT. RANAH ANDALAS PLANTATION).

0 2 17

Sengketa Hak Guna Usaha Antara PTPN XII

0 0 30

SENGKETA PERTANAHAN HAK MASYARAKAT ADAT DENGAN HAK GUNA USAHA (HGU) PERKEBUNAN SAWIT DI KALIMANTAN SELATAN Fat’hul Achmadi Abby

0 0 20