Sisa-Sisa Budaya Feodalisme Pada Masyarakat Perkebunan (Studi deskriptif pada Masyarakat Perkebunan di PTPN II Tandem Hilir I Kec. Hamparan Perak Kab. Deli Serdang)

(1)

SISA-SISA BUDAYA FEODALISME PADA MASYARAKAT PERKEBUNAN (Studi deskriptif pada Masyarakat Perkebunan di PTPN II Tandem Hilir I Kec.

Hamparan Perak Kab. Deli Serdang)

SKRIPSI

Oleh: RINI SYAHFITRI

NIM 070901049

Departemen Sosiologi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui dan dipertahankan oleh :

Nama : Rini Syahfitri

NIM : 070901031

Departemen : Sosiologi

Judul : SISA-SISA BUDAYA FEODALISME PADA

MASYARAKAT PERKEBUNAN

(STUDI DESKRIPTIF PADA MASYARAKAT PERKEBUNAN DI PTPN II TANDEM HILIR I KEC. HAMPARAN PERAK KAB. DELI SERDANG)

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

(Drs. Muba Simanihuruk, M.Si) (Dra. Lina Sudarwati, M.Si) NIP. 196703171993031002 NIP. 1966031819899032001

Dekan

(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) NIP. 1968052519922031002


(3)

ABSTRAK

Globalisasi merupakan suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, berhubungan, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara.

Akibat dari globalisasi adalah munculnya modernisasi baik dalam bidang teknologi, sosial maupun budaya. Modernisasi membuat masyarakat kepada era yang lebih maju. Ini dikarenakan modernisasi membentuk pola pikir masyarakat agar lebih modern. Modernisasi membawa dampak bagi para penganutnya baik itu dampak positif maupun dampak yang negatif. Modernisasi dapat membuat masyarakat menjadi semakin konsumtif tanpa mengetahui manfaat yang akan diperoleh dari adanya penggunaan sesuatu yang diarahkan oleh konsep modernisasi. Sama halnya dengan masyarakat perkebunan yang sedang berkembang. Mereka akan dengan terbuka menerima kemajuan-kemajuan, baik di bidang teknologi, sosial dan budaya yang masuk. Kemajuan-kemajuan tersebut dapat dilihat secara langsung dengan mulai banyaknya masyarakat perkebunan yang telah menggunakan alat-alat berteknologi canggih, seperti handphone dengan fitur lengkap. Kehidupan para buruh perkebunan ini pun memiliki keterikatan dan ketergantungan kepada pihak penguasa perkebunan sehingga hal ini menghambat gerak sosial para buruh perkebunan untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada generasi mereka selanjutnya. Dari sinilah masyarakat perkebunan mulai menerima pengaruh globalisasi guna menuju kepada masyarakat yang modern.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi deskriptif. Di dalam pengumpulan data peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam dimana peneliti tidak hanya sekedar dapat mengamati secara langsung kondisi informan di PT. Perkebunan Nusantara I (Persero) Desa Tandem Hilir I Kec. Hamparan Perak Kab. Deli Serdang, tetapi juga dapat melakukan wawancara mendalam dengan mereka. Data yang diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dengan menggunakan panduan wawancara (interview guide). Hal ini dimaksudkan untuk dapat memperoleh data yang sesuai dengan masalah yang diteliti dan tujuan dari penelitian ini, kemudian data tersebut dapat diinterpretasikan.

Dari penelitian yang telah dilakukan sampai pada tahap interpretasi data, ditemukan bahwa feodalisme di dalam penelitian yang dimaksud adalah suatu paham yang menjunjung tinggi adanya atasan dan bawahan. Sehingga ada pihak yang ditindas dan pihak yang menindas. Sisa-sisa budaya feodalisme secara sadar atau tidak ternyata telah dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat perkebunan. Ini dapat dilihat dari hasil penelitian di lapangan ternyata ada pula yang sejak kecil telah bertempat tinggal dikarenakan orangtua mereka sendiri memang merupakan masyarakat asli di perkebunan. Adapun bentuk lain dari sisa-sisa budaya feodalisme yang masih dilestarikan adalah atasan yang biasanya memegang wewenang dan peranan yang sangat penting diperkebunan masih melakukan hal-hal seperti dalam pengambilan keputusan hanya segelintir orang yang dilibatkan dan orang-orang tersebut adalah dari kalangan petinggi di perkebunan juga.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena hingga pada saat ini masih diberikan limpahan nikmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “ Sisa-Sisa Budaya Feodalisme Pada Masyarakat Perkebunan (Studi Deskriptif pada Masyarakat Perkebunan di PT. Perkebunan Nusantara II). Shalawat beriring salam senantiasa tercurah keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga serta para sahabatnya yang telah memberikan penulis motivasi berupa semangat untuk terus berjuang meraih cita-cita.

Skripsi ini disusun sebagia salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 dengan gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Sosiologi Universitas Sumatera Utara. Dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak diberi bantuan baik berupa waktu, tenaga, pemikiran, kritikan, saran, kerjasama maupun diskusi dengan pihak-pihak yang penulis anggap berkompeten dalam penelitian ini.

Maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ungkapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memotivasi penulis baik secara material maupun spiritual terutama kepada :

1. Orang tua penulis yang tak pernah lelah memberikan kasih sayang yaitu Ayahanda H. Muhammad Husin dan Ibunda Hj. Relawati. Khususnya untuk Ibunda, terima kasih atas cinta yang terus mengalir dalam setiap kata dan perbuatannya, harapmu selalu kudengar dari semua doa-doamu. Ananda akan selalu berdoa semoga segala yang telah engkau korbankan dapat digantikan oleh


(5)

Allah SWT kelak. Dan ananda selalu menyayangimu walaupun telah begitu banyak waktu yang sering ananda lewatkan.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si sebagai Ketua Departemen Sosiologi, Ketua Penguji sekaligus Dosen Wali yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama kuliah di Departemen Sosiologi.

4. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan dan menyumbangkan ide-ide serta saran dan kritikan dari awal penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. 5. Bapak Drs. T.I. Saladin, M.SP selaku dosen Penguji II atas waktu dan

kesempatan yang diberikan kepada penulis dalam memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana.

6. Bapak dan Ibu dosen serta staf di Departemen Sosiologi yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menuntut ilmu di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

7. Untuk Kak Feni dan Kak Bety, terima kasih karena selalu memberikan kemudahan dalam urusan administrasi kuliah.

8. Kepada seluruh informan dalam penelitian ini yaitu masyarakat PT. Perkebunan Nusantara II (Persero) Tandem Hilir I.


(6)

9. Untuk kakak dan adikku tersayang, Widya Astuti, S.Pd dan Ayu Novitasari terima kasih telah memberikan nasehat dan doanya. Meskipun sering melewati ’badai’ namun jika berpisah terasa kehilangannya.

10. Untuk seseorang yang telah memberikan motivasi kepada penulis, Sriyanto Rizal, S.TP terima kasih atas perhatian dan kasih sayangnya selama ini.

11. Terima kasih kepada seluruh Keluarga Besar HmI Komisariat FISIP USU yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang tak dapat diperoleh dimanapun

12. Buat Indra ’Kocik’, Ika, Wanda, Kiki, Tri, Wirda, Aink, Rholand, Akbar, Amir, Rizal (Acong), Rozi terima kasih untuk semua kebersamaan yang telah sama-sama dilewati dalam suka dan duka. Dan yang penulis tidak lupakan, Ara Auza teman seperjuangan sejak SMA sampai sekarang, terima kasih atas pertemanan yang telah kita jalin.

13. Buat Ayu Wulandari dan Ester Verawati Pasaribu terima kasih atas waktu yang telah kita lewati bersama dalam suka dan duka tetap setia walaupun berbeda. 14. Untuk teman-teman di Batu Kristal (Aya, Ferdi, Afdhal, Dika, Budi, Nenda,

Firdha, Miftah dan yang lainnya) dan Stambuk 2008, 2009 (Rayi, Joni, Oci, Adoel, dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu) dan 2010 terima kasih atas proses yang telah dijalani bersama. Terus melangkah dengan semangat untuk meraih cita-cita.

15. Buat teman-teman OBL 2011 Aceh-Sumut terutama kelompok 2 (Dea, Dedi, Roni, Roby, Tabitha, Bang Roy, Emma, Illa, dan Jasman) dan abang-abang senior, penulis ucapkan terima kasih atas pengalaman dan pelajaran yang telah diberikan di OBL 2011. Semoga dapat bertemu di lain kesempatan.


(7)

Penulis menyadari bahwa di dalam penelitian dan penyelesaian skripsi ini masih terdapat ketidaksempurnaan. Namun penulis berharap agar skripsi ini nantinya dapat bermanfaat bagi pembaca. Semoga penelitian ini dapat pula menjadi pedoman pada penelitian-penelitian selanjutnya.

Medan, Agustus 2011


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah……… 1

1.2. Perumusan Masalah………... 7

1.3. Tujuan Penelitian………... 8

1.4. Manfaat Penelitian………. 8

1.5.Definisi Konsep……….. 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Konsep Budaya Feodalisme………..10

2.2. Teori Struktural Fungsional...13

2.3. Teori Mobilitas Sosial...17

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian... 21

3.2. Lokasi Penelitian... 21

3.3. Unit Analisis dan Informan... 22


(9)

3.5. Interpretasi Data... 24

3.6. Jadwal Kegiatan... 25

3.7. Keterbatasan Penelitian... 25

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1. Sejarah PTP. Nusantara II Kebun Tandem Hilir I... 27

4.1.2. Gambaran Umum Wilayah PTP. Nusantara II... 29

4.1.3. Kondisi Iklim dan Topografi Wilayah PTP. Nusantara II... 29

4.2. Struktur Organisasi di PT. Perkebunan Nusantara II... 30

4.3. Profil Informan... 36

4.4. Interpretasi Data... 58

4.4.1. Sisa-Sisa Budaya Feodalisme Dalam Lingkungan PTPN II... 58

4.4.2. Budaya Feodalisme Dalam Struktur Birokrasi di PTPN II... 62

4.4.3. Sisa-Sisa Budaya Feodalisme Menyebabkan Mobilitas Sosial.66 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan... 73

5.2. Saran... 76

DAFTAR PUSTAKA... 77 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 1 Jadwal Kegiatan……….. 25


(11)

ABSTRAK

Globalisasi merupakan suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, berhubungan, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara.

Akibat dari globalisasi adalah munculnya modernisasi baik dalam bidang teknologi, sosial maupun budaya. Modernisasi membuat masyarakat kepada era yang lebih maju. Ini dikarenakan modernisasi membentuk pola pikir masyarakat agar lebih modern. Modernisasi membawa dampak bagi para penganutnya baik itu dampak positif maupun dampak yang negatif. Modernisasi dapat membuat masyarakat menjadi semakin konsumtif tanpa mengetahui manfaat yang akan diperoleh dari adanya penggunaan sesuatu yang diarahkan oleh konsep modernisasi. Sama halnya dengan masyarakat perkebunan yang sedang berkembang. Mereka akan dengan terbuka menerima kemajuan-kemajuan, baik di bidang teknologi, sosial dan budaya yang masuk. Kemajuan-kemajuan tersebut dapat dilihat secara langsung dengan mulai banyaknya masyarakat perkebunan yang telah menggunakan alat-alat berteknologi canggih, seperti handphone dengan fitur lengkap. Kehidupan para buruh perkebunan ini pun memiliki keterikatan dan ketergantungan kepada pihak penguasa perkebunan sehingga hal ini menghambat gerak sosial para buruh perkebunan untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada generasi mereka selanjutnya. Dari sinilah masyarakat perkebunan mulai menerima pengaruh globalisasi guna menuju kepada masyarakat yang modern.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi deskriptif. Di dalam pengumpulan data peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam dimana peneliti tidak hanya sekedar dapat mengamati secara langsung kondisi informan di PT. Perkebunan Nusantara I (Persero) Desa Tandem Hilir I Kec. Hamparan Perak Kab. Deli Serdang, tetapi juga dapat melakukan wawancara mendalam dengan mereka. Data yang diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dengan menggunakan panduan wawancara (interview guide). Hal ini dimaksudkan untuk dapat memperoleh data yang sesuai dengan masalah yang diteliti dan tujuan dari penelitian ini, kemudian data tersebut dapat diinterpretasikan.

Dari penelitian yang telah dilakukan sampai pada tahap interpretasi data, ditemukan bahwa feodalisme di dalam penelitian yang dimaksud adalah suatu paham yang menjunjung tinggi adanya atasan dan bawahan. Sehingga ada pihak yang ditindas dan pihak yang menindas. Sisa-sisa budaya feodalisme secara sadar atau tidak ternyata telah dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat perkebunan. Ini dapat dilihat dari hasil penelitian di lapangan ternyata ada pula yang sejak kecil telah bertempat tinggal dikarenakan orangtua mereka sendiri memang merupakan masyarakat asli di perkebunan. Adapun bentuk lain dari sisa-sisa budaya feodalisme yang masih dilestarikan adalah atasan yang biasanya memegang wewenang dan peranan yang sangat penting diperkebunan masih melakukan hal-hal seperti dalam pengambilan keputusan hanya segelintir orang yang dilibatkan dan orang-orang tersebut adalah dari kalangan petinggi di perkebunan juga.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.2.Latar Belakang Masalah

Salah satu tantangan terberat yang dihadapi dunia ini adalah globalisasi dengan segala aspek. Globalisasi merupakan suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, berhubungan, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Globalisasi disini meliputi sektor sosial, ekonomi, politik maupun budaya dan kemudian dapat pula membawa dampak positif maupun negatif.

Globalisasi membuat semakin terbukanya dunia pasar untuk produk ekspor Indonesia dengan syarat harus mampu bersaing di pasar internasional. Hal ini membuka kesempatan bagi pengusaha di Indonesia untuk menciptakan produk-produk berkualitas, kreatif, dan dibutuhkan oleh pasar dunia. Globalisasi juga membuat masyarakat semakin mudah dalam mengakses modal investasi dari luar negeri. Apabila investasinya bersifat langsung, misalnya dengan pendirian pabrik di Indonesia maka akan membuka lapangan kerja. Hal ini bisa mengatasi kelangkaan modal di Indonesia. Kemudian globalisasi dapat meningkatkan kegiatan pariwisata, sehingga membuka lapangan kerja di bidang pariwisata sekaligus menjadi alat untuk mempromosikan produk Indonesia.

Akibat dari globalisasi adalah munculnya modernisasi baik dalam bidang teknologi, sosial maupun budaya. Modernisasi membuat masyarakat kepada era yang lebih maju. Ini dikarenakan modernisasi membentuk pola pikir masyarakat agar lebih


(13)

modern. Modernisasi membawa dampak bagi para penganutnya baik itu dampak positif maupun dampak yang negatif. Modernisasi dapat membuat masyarakat menjadi semakin konsumtif tanpa mengetahui manfaat yang akan diperoleh dari adanya penggunaan sesuatu yang diarahkan oleh konsep modernisasi.

Sama halnya dengan masyarakat perkebunan yang sedang berkembang. Mereka akan dengan terbuka menerima kemajuan-kemajuan yang dibawa oleh pengaruh dari globalisasi, baik di bidang teknologi, sosial dan budaya yang masuk. Kemajuan-kemajuan tersebut dapat dilihat secara langsung dengan mulai banyaknya masyarakat perkebunan yang telah menggunakan alat-alat berteknologi canggih, seperti handphone dengan fitur lengkap.

Kemudian dalam menjalin hubungan kerja sama sebagai suatu proses dari globalisasi pada berbagai macam sektor salah satunya pada sektor perdagangan dengan negara luar, sektor migas Indonesia juga mengandalkan hasil non migas untuk diekspor misalnya usaha di bidang perkebunan.

Pada masa kolonial sampai dengan saat ini, sejarah indonesia tidak terlepas dari adanya sektor perkebunan. Ini dikarenakan, pada sektor perkebunan memiliki peranan yang penting dalam menentukan pendapatan masyarakat sekitar di bidang perekonomian. Namun pada masa inilah kemudian terkenal dengan sistem feodalisme.

Adanya perusahaan perkebunan di wilayah Sumatera secara tidak langsung telah memotivasi orang-orang dari berbagai etnis untuk mengadu nasib di tanah yang memiliki beberapa macam jenis tanaman perkebunan. Mereka datang dari berbagai daerah dengan motivasi yang sama yaitu untuk memperbaiki taraf hidup.


(14)

Maka seperti halnya dengan wilayah perkebunan lain, Sumatera Utara juga merupakan salah satu propinsi di kepulauan Sumatera yang terkenal sebagai daerah perkebunan di Indonesia. Dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil perkebunan ternyata diperlukan pula peningkatan kualitas dari sumber daya masyarakat sebagai tenaga kerja pelaksana memiliki andil yang cukup besar, misalnya para karyawan umum yang merupakan kelompok mayoritas di perkebunan.

Di Desa Tandem Hilir dengan hasil sumber daya alam berupa tembakau ini nantinya akan digunakan sebagai bahan baku rokok. Masyarakat perkebunan di Desa Tandem Hilir ini terus-menerus memasok tembakau tersebut bahkan meskipun sejak tahun 2005 pasokan tembakau untuk Indonesia mulai dikurangi dikarenakan adanya larangan merokok. Perusahaan dalam hal ini terkait dengan pemerintah menjalin kerja sama dengan pihak asing agar hasil perkebunan ini nantinya dapat di ekspor ke luar negeri karena dirasa akan lebih menguntungkan mereka.

(http://barlanti.multiply.com/journal/item/3/Uniknya_Masyarakat_Perkebunan.diakse s pada tanggal 27 Nopember 2010 pukul 14.40 WIB)

Kehidupan para buruh perkebunan memiliki keterikatan dan ketergantungan kepada pihak penguasa perkebunan sehingga hal ini menghambat gerak sosial para buruh perkebunan untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada generasi mereka selanjutnya. Dari sinilah masyarakat perkebunan mulai menerima pengaruh globalisasi guna menuju kepada masyarakat yang modern.

Lalu berangkat dari permasalahan inilah yang terus-menerus memaksa masyarakat perkebunan untuk bekerja padahal upah yang mereka terima hanya dapat mencukupi kehidupan selama mereka berkerja. Hal ini dikarenakan sebagian besar


(15)

dari masyarakat perkebunan memang diikutsertakan sebagai pekerja namun lebih kepada buruh kasar yang hanya ada pada musim tanam dan musim panen tiba. Kemudian ketika mereka tidak sedang bekerja, mereka akan menjadi kuli-kuli kontrak pada pekerjaan lainnya. Pekerja yang ditempatkan di kantor pada perusahaan milik pemerintah ini adalah orang-orang yang dirasa memiliki kemampuan di bidang perkebunan. Akan tetapi ada masyarakat perkebunan yang karena faktor keturunan dapat memperoleh pekerjaan serta tempat tinggal yang disediakan oleh pihak perkebunan.

Masyarakat perkebunan bertempat tinggal di sekitar perkebunan tersebut karena perusahaan menganggap bahwa akan lebih mudah dan terjangkau apabila disediakan tempat tinggal bagi para pekerja. Namun kondisi sosial yang tercipta menimbulkan pengklasifikasian masyarakat perkebunan berdasarkan jabatannya di perusahaan karena adanya pembedaan dari segi struktur tempat tinggal antara kepala perusahaan, staf dan buruh. Di perkebunan dapat ditemukan tiga jenis pemukiman yang khas yaitu pemukiman perkebunan khusus diperuntukkan bagi kepala bagian administrasi yang berada di sekitar perusahaan, kemudian ada pemukiman perkebunan yang dihuni oleh staf perkebunan yang terdiri dari kepala tata usaha maupun kepala bagian staf perusahaan dan pemukiman perkebunan bagi para karyawan perusahaan perkebunan baik karyawan kantor kebun, maupun karyawan pabrik yang ada di lingkungan tersebut. Pada pemukiman perkebunan tersebut akan ditemukan beraneka ragam etnis dari berbagai daerah. Hal tersebut kemudian yang akan dapat mengakibatkan terjadinya stratifikasi sosial di dalam masyarakat perkebunan itu sendiri.


(16)

Kemudian adanya perbedaan pemukiman pada kelas-kelas sosial pada masyarakat perkebunan secara tidak langsung telah dikelompok-kelompokkan di perkebunan ini akan menjadi tempat berkumpulnya berbagai etnis pada satu lingkungan perkebunan dan berinteraksi dalam jangka waktu yang lama.

Interaksi yang terus-menerus akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur, perilaku, sikap dan watak sebagai suatu bentukkan dari adanya komunikasi yang saling mempengaruhi diantara individu maupun kelompok tertentu sehingga tidak mengherankan ketika memasuki pemukiman masyarakat perkebunan akan ditemukan suatu masyarakat yang unik. Masyarakat yang terbentuk melalui proses pembedaan yang telah terbentuk dari adanya budaya feodalisme pada masyarakat perkebunan. Dengan demikian secara tidak langsung perkebunan membentuk suatu masyarakat/budaya lama (http://macheda.blog.uns.ac.id/2010/05/20/masyarakat-perkebunan-dan-orde-kolonial/ diakses pada tanggal 27 Nopember 2010 pukul 14.47 WIB)

Budaya ialah gagasan, tindakan dan karya manusia dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 2009: 144). Budaya juga merupakan suatu bentuk tindakan yang telah dibiasakan oleh manusia melalui belajar. Budaya dapat dibentuk melalui proses dalam suatu sistem tatanan di masyarakat tertentu. Masyarakat terdiri dari berbagai macam individu yang mendiami suatu wilayah tertentu. Di dalam masyarakat perkebunan masih dapat terlihat sisa-sisa dari budaya pada masa kolonial Belanda. Hal ini dikarenakan pada masyarakat perkebunan ada kecenderungan penguasaan terhadap satu kelompok dengan kelompok yang lain seperti sistem tuan


(17)

tanah. Inilah yang nantinya akan membentuk suatu paham yakni paham feodal atau lebih dikenal dengan feodalisme.

Terciptanya paham feodal seperti masih dapat ditemukan sistem tuan tanah dalam masyarakat perkebunan ternyata dapat membuktikan bahwa feodalisme telah ada dan dibawa oleh nenek moyang masyarakat di perkebunan sendiri karena salah satu faktor yang sangat cepat untuk mempengaruhi adalah faktor kultural atau kebudayaan(http://barlanti.multiply.com/journal/item/3/Uniknya_Masyarakat_Perkeb unan. diakses pada tanggal 27 Nopember 2010 pukul 14.40)

Budaya feodalisme mendorong terbentuknya korupsi, kolusi dan nepotisme pada masyarakat perkebunan baik dalam bidang pendidikan, pekerjaan, maupun dalam kehidupan sosial sehari-hari.

Akibat dari adanya pengaruh budaya feodalisme yang dianut oleh masyarakat perkebunan inilah yang membuat mereka terbagi dalam kelompok-kelompok/kelas-kelas tertentu. Ini disebabkan dari ciri masyarakat yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain.

Setiap masyarakat mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Apabila suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan materiil daripada kehormatan maka gejala tersebut akan menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda. Lapisan masyarakat memiliki banyak bentuk, akan tetapi bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu kelas ekonomis, politis, dan yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat (Soekanto, 2009:197-199).


(18)

Lapisan masyarakat telah ada sejak masyarakat mengenal kehidupan bersama. Lapisan masyarakat atau stratifikasi sosial lebih diidentikkan dengan adanya dua kelompok atau lebih yang bertingkat dalam suatu masyarakat tertentu dimana setiap anggota-anggotanya memiliki kekuasaan, hak-hak istimewa dan penghargaan yang tidak sama pula (Narwoko dan Suyanto, 2004: 132)

Di dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat perkebunan, antara kelas yang satu dengan kelas yang lain memiliki pembedaan dalam proses sosialisasi. Hal ini diakibatkan dari adanya budaya yang telah terbentuk pada masyarakat perkebunan itu sendiri. Mulai dari perbedaan dalam pembagian kerja, upah yang diterima, fasilitas perumahan maupun interaksi diantara mereka.

Maka dalam hal ini untuk lebih memahami dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kondisi kehidupan yang secara langsung maupun tidak langsung ternyata telah mengelompokkan masyarakat itu sendiri. Peranan masyarakat disini sangat penting untuk menjalin interaksi dan proses sosial antar sesama masyarakat tanpa adanya pembedaan perlakuan.

1.3.Perumusan Masalah

Agar lebih mempermudah penelitian dan penelitian memiliki arah yang jelas untuk menginterpretasikan data serta fakta ke dalam penulisan laporan penelitian, maka dirumuskanlah permasalahannya.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam latar belakang masalah tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana sisa-sisa


(19)

budaya feodalisme pada masyarakat perkebunan dengan studi deskriptif masyarakat perkebunan di PTPN II Tandem Hilir I Kec. Hamparan Perak Kab. Deli Serdang.

1.4.Tujuan Penelitian

Di dalam sebuah penelitian, memang membutuhkan cara pandang tujuan. Oleh karena itu yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sisa-sisa budaya feodalisme pada masyarakat perkebunan dengan studi deskriptif masyarakat perkebunan di PTP. Nusantara-II Tandem Hilir I Kec. Hamparan Perak Kab. Deli Serdang.

1.5.Manfaat Penelitian

Setiap penelitian nantinya diharapkan mampu dapat memberikan manfaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain, terlebih bagi ilmu pengetahuan. Untuk itu manfaat dari penelitian ini adalah:

1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa Sosiologi, serta dapat memberikan kontribusi bagi ilmu sosial.

1.4.2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan kajian ilmiah bagi penulis dan mampu juga sebagai referensi dan rujukan penelitian yang terkait dalam penelitian ini.


(20)

1.6.Definisi Konsep

Di dalam sebuah penelitian ilmiah, definisi konsep diperlukan untuk dapat mempermudah dan memfokuskan peneliti melakukan penelitian. Selain itu, definisi konsep juga berfungsi sebagai panduan bagi peneliti untuk meneliti kasus secara lebih terperinci sehingga tidak menimbulkan kekacauan akibat dari kesalahpahaman dalam menafsirkan di lapangan. Definisi konsep merupakan unsur dalam penelitian yang penting untuk menggambarkan fenomena yang akan diteliti.

Maka yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini, yaitu: a. Masyarakat Perkebunan

Ialah kumpulan dari orang-orang yang berada di suatu wilayah perkebunan dengan kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu hubungan sosial tertentu seperti adanya interaksi yang terjalin secara terus menerus.

b. Budaya Feodalisme

Adalah suatu bentuk dari kebiasaan di suatu masyarakat yang dilihat dari paham mengenai struktur kekuasaan atas untuk mengendalikan berbagai wilayah yang diperoleh melalui kerja sama dengan penguasa di wilayah tersebut sebagai bentuk dari pengakuan atas kekuasaannya.

c. Karyawan

Para pekerja yang bekerja pada perusahaan dimana tenaga kerja itu harus tunduk kepada perintah dan peraturan kerja yang diadakan oleh pengusaha atau majikan yang bertanggungjawab atas lingkungan perusahaan kemudian tenaga kerja itu akan memperoleh upah atau jaminan hidup yang wajar.


(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1. Konsep Budaya Feodalisme

Terciptanya budaya feodalisme dapat terjadi apabila masyarakat selalu berorientasi pada atasan, senior, dan pejabat untuk menjalankan suatu kegiatan atau usaha. Budaya ini cenderung mengakibatkan masyarakat menjadi terkungkung, kurang kreatif karena selalu menurut pada atasan. Maka hanya kelas atas dengan jumlah sedikit yang akan mendapatkan keuntungan, sementara kelompok bawah sebagai mayoritas tidak mendapat apa–apa dan akan selalu hidup dalam keterbatasan.

Budaya feodalisme ini sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia karena memang merupakan warisan dari zaman kerajaan yang menganut sistem patron–klien hampir sama seperti yang terjadi pada masyarakat di Jepang.(Situmorang, 1995: 18-20)

Feodalisme ini tercermin dengan nilai yang ada dalam masyarakat yang terlalu berorientasi pada atasan, pada senior dan ke orang – orang yang mempunyai pangkat atau kedudukan yang tinggi, yang selalu diminta restunya setiap kali akan melakukan usaha atau kegiatan. Sehingga dalam hal ini masyarakat dalam melakukan sesuatu selalu bergantung pada atasannya. Pengaruh budaya feodalisme yang ternyata dapat mengikis nilai-nilai demokrasi berbangsa dan bernegara.

Indikator suatu bentuk feodalisme (http://sistem-stratifikasi-sosial-dalam. diakses pada tanggal 30 April 2011 pukul 14.30 WIB) adalah sebagai berikut :


(22)

1. Memiliki kekuasaan yang terpusat sehingga harus ditaati dan dihormati karena dianggap mempunyai hak istimewa.

2. Terdapat pada lapisan utama, yakni raja dan kaum bangsawan (kaum feodal) dan lapisan di bawahnya, yakni rakyat.

3. Adanya ketergantungan dan patriomonialistik; Artinya, kaum feodal merupakan tokoh panutan yang harus disegani, sedangkan rakyat harus mengabdi dan selalu dalam posisi dirugikan.

4. Terdapat hubungan antarkelompok yang diskriminatif yang tidak adil dan cenderung sewenang-wenang.

5. Golongan bawah cenderung memiliki sistem stratifikasi tertutup.

Feodalisme telah mengakar dalam diri masyarakat Indonesia. Feodalisme merupakan salah satu nilai yang dalam hal ini menyebabkan mental masyarakat semakin terbelakang. Karena, dengan budaya feodalisme yang ada di dalam masyarakat dapat mengakibatkan masyarakat menjadi selalu tersubordinasi oleh atasan, senior, ataupun orang yang dituakan. Sehingga daya saing antar masyarakat menjadi terbatasi oleh rasa segan dan takut. Masyarakat juga menjadi pasrah dan tidak suka bekerja keras, karena mereka menganggap dengan menurut kepada atasan, senior, mereka akan mendapatkan apa yang diinginkan. Dalam hal ini mental penjilat akan tumbuh subur dalam budaya feodalisme sehingga usaha sendiri untuk maju begitu sulit untuk dilakukan karena hanya berharap pada atasan.


(23)

Feodalisme juga menjadikan masyarakat sulit untuk mengembangkan kreatifitas dalam berusaha. Karena yang dilakukan selama ini hanya atas perintah atasan. Ini menjadikan masyarakat menjadi tertahan suatu mental terbelakang, yaitu mental yang tidak ingin maju, tidak suka bekerja keras, pemalas, dan suka menjilat. Feodalisme juga manjadikan masyarakat mudah putus asa, menyerah pada keadaan karena mereka menganggap tidak dapat melakukan apa–apa, yang ia bisa hanya bergantung pada atasan, senior dan lain-lain. Sisa-sisa budaya feodalisme masih banyak berkembang dalam masyarakat perkebunan. Seperti dimana sebagian besar lebih memilih menjadi buruh yang mengabdikan dirinya pada majikan, karena mereka mengangap majikanlah yang paling berkuasa dan paling dihormati sehingga mereka lebih memilih menjadi buruh dari pada melakukan usaha sendiri. Inilah yang mengakibatkan masyarakat perkebunan selalu berada dalam keterbatasan karena tidak mau untuk melakukan yang lebih, dan hanya menurut pada atasan/majikan. Sehingga pemikiran masyarakat perkebunan akan terkooptasi pada hal seputar perkebunan dan enggan untuk keluar dari pemikiran sempit tersebut.

Feodalisme dapat membentuk budaya "setia atau tunduk" kepada orang yang telah berjasa, orang yang telah memberi uang atau bentuk berupa upeti dan lainnya. Dimana tanpa disadari bangsa Indonesia sebagian besar sudah terbebani dengan sebuah kesetiaan kepada seseorang yang harus dihormati karena telah berjasa tersebut.

Inilah yang mengakibatkan kita terbelenggu oleh budaya tersebut terhadap suatu figur atau teladan yang dianggap dihormati ataupun berperilaku seakan-akan sebagai


(24)

"budak" dari seseorang yang dianggap telah berjasa atau dihormati atau orang yang memiliki pengaruh kuat.. Di dalam kultur budaya feodal seseorang yang menjadi figur atau teladan dapat melakukan hal lebih banyak, dapat memerintah, dapat menguasai dan dapat juga memaksa terhadap orang yang disebut "budak" atau orang yang berperilaku seakan-akan "budak" karena telah mengabdikan dirinya sendiri kepada orang atau kelompok tertentu.

(http://indonesianvoices.com/index.php?option=com_content&view=article&id=817 :feodalisme-membentuk-budaya-korupsi&catid=48:melawan-korupsi Diakses pada tanggal 22 Juni 2011 Pukul 14.21 WIB).

2.2. Teori Struktural Fungsional

Teori struktural fungsional merupakan suatu pemikiran yang dipengaruhi oleh pemikiran yang menganggap masyarakat sebagai organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut adalah konsekuensi agar tetap dapat bertahan hidup. Pendekatan struktural fungsional ini bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.

Durkheim mengemukakan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian–bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing–masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut yang nantinya akan saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan


(25)

sistem (http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_struktural_fungsional diakses pada tanggal 1 Februari 2011 pada pukul 12.44 WIB)

Teori fungsional menyebutkan bahwa secara khusus, ketidaksetaraan imbalan berfungsi sebagai insentif untuk memotivasi manusia agar melaksanakan peran-peran penting dalam masyarakat, sehingga fungsi-fungsi kemasyarakatan dapat berjalan efektif. Suatu tingkat imbalan ekonomi dan sosial sesuai dengan sumbangannya terhadap masyarakat (Sanderson, 1995: 287).

Di dalam masyarakat perkebunan terdiri dari tiga lapisan/kelas sosial yaitu; kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Dimana di antara kelas-kelas tersebut akan terdapat kecenderungan untuk saling tergantung antara kelas atas dengan kelas menengah dan dengan kelas bawah ataupun sebaliknya untuk menjalankan peran dan fungsinya di perusahaan dengan sebaik-baiknya. Karena ketergantungan inilah nantinya akan membentuk kesatuan yang tersistem. Maka seperti yang telah disebutkan di atas apabila ada salah satu dari kelas-kelas tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya akan merusak keseimbangan dari sistem yang telah terstruktur. Di sisi yang lain, Merton berpandangan bahwa teori struktural fungsional memusatkan pada organisasi, kelompok, masyarakat dan kebudayaan, serta objek-objek yang dimaksudkan dari struktural fungsional harus terpola. Seperti yang dikemukakan Merton mengenai fungsi manifest dan fungsi laten. Fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak dikehendaki. Maka dalam struktur yang ada, hal-hal yang tidak relevan seperti disfungsi laten dipengaruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan selalu ada. Tetapi, lebih dari itu konsep


(26)

Merton mengenai fungsi manifest dan laten yang mengatakan bahwa fungsi selalu berada dalam suatu struktur yang terstruktur. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua struktur sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial (Poloma, 2000: 35-37). Tetapi beberapa sistem sosial dapat dihapuskan yaitu dengan mengakui bahwa struktur sosial dapat menyebabkan perubahan sosial.

Kemudian analisis Merton tentang adanya hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Budaya didefinisikan sebagai rangkaian nilai normatif teratur yang mengendalikan perilaku yang sama untuk seluruh anggota masyarakat. Struktur sosial didefinisikan sebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan mempengaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu. Anomi terjadi ketika terdapat disfungsi antara norma-norma dan tujuan kultural yang terstruktur secara sosial dengan anggota kelompok untuk bertindak menurut norma dan tujuan tersebut. Posisi mereka dalam struktur menyebabkan beberapa orang tidak mampu bertindak menurut norma-norma yang normatif. Dimana kebudayaan menginginkan adanya beberapa jenis perilaku yang dihindari oleh struktur sosial.

Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian disfungsi antara kebudayan dengan struktur akan memunculkan disfungsional yakni penyimpangan dalam masyarakat (Poloma, 2000:46). Artinya, anomi Merton tentang stratifikasi sosial bahwa teori struktural fungsional ini harus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya.

Di sini apabila dikaitkan dengan masyarakat perkebunan dalam menyikapi budaya feodalisme yang telah tercipta adalah adanya keteraturan maka ada pula ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak pada


(27)

status didalamnya tetapi kaitannya dalam peran. Anomi atau disfungsi cenderung dipahami ketika peran dalam struktur berdasarkan status tidak dijalankan akibat dari adanya berbagai faktor.

Davis dan Moore berpandangan bahwa suatu jenis pekerjaan hendaknya diberi imbalan yang lebih tinggi karena alasan tingginya tingkat kesulitan dan kepentingannya, sehingga memerlukan bakat dan pendidikan yang lebih hebat pula. Mereka membenarkan bahwa hal tersebut tidak berlaku pada masyarakat yang tidak bersifat kompetitif di mana kebanyakan jabatan pekerjaan merupakan sesuatu yang diwariskan, bukannya sesuatu yang dicapai melalui usaha. Walaupun imbalan mencakup prestise dan pengakuan masyarakat, namun uang merupakan imbalan yang paling utama sehingga diperlukan ketidaksamarataan penghasilan agar semua jenis pekerjaan dapat diduduki oleh orang-orang yang kemampuannya cocok untuk jenis pekerjaan tersebut (Horton dan Hunt, 1992: 27-28).

Teori ini menyatakan bahwa orang yang menempati posisi istimewa itu berhak mendapatkan hadiah mereka; imbalan seperti itu perlu diberikan kepada mereka demi kebaikan masyarakat.

Kemudian, ada pula pandangan yang mengatakan bahwa struktur sosial yang telah ada sejak masa lalu, maka ia akan terus ada di masa datang. (Ritzer, 2008: 120).

2.3. Teori Mobilitas Sosial

Menurut Horton dan Hunt (Narwoko, 2004) mobilitas dapat diartikan sebagai suatu gerakan perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial juga dapat berupa peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan


(28)

biasanya termasuk pula dari segi penghasilan yang dapat dialami oleh beberapa individu atau keseluruhan anggota kelompok.

Mobilitas sosial terbagi menjadi 2 jenis yaitu : 1. Mobilitas Sosial Vertikal

Mobilitas sosial vertikal adalah perpidahan individu atau objek sosial dari kedudukan sosial yang satu menuju ke kedudukan yang lainnya yang tidak sederajat. Mobilitas sosial vertikal ini terdiri dari:

a. Gerak Sosial Meningkat (social climbing), yaitu gerak perpindahan angggota masyarakat dari kelas sosial yang rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi. b. Gerak Sosial Menurun (social slinking), yaitu gerak perpindahan anggota

masyarakat dari kelas sosial lain lebih rendah posisinya. 2. Mobilitas Sosial Horizontal

Adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial lainnya yang massih sederajat. Dalam mobilitas horizontal tidak terjadi perubahan dalam derajat status seseorang atau objek sosial lainnya.

Seperti yang telah dikemukakan oleh Horton dan Hunt, bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi tingkat mobilitas pada masyarakat modern, yaitu:

a. Faktor Struktural, yaitu jumlah relatif dari kedudukan tinggi yang bisa dan harus diisi serta kemudahan untuk memperolehnya.

b. Faktor Individu , yaitu kualitas setiap orang yang dapat ditinjau dari segi tingkat pendidikan, penampilan, keterampilan pribadi, dan termasuk faktor


(29)

kesempatan yang menetukan siapa yang akan berhasil mencapai kedudukan tersebut.

Mobilitas juga terbagi menjadi dua jenis, yaitu mobilitas intragenerasi yang mengacu pada mobilitas sosial yang dialami seseorang dalam masa hidupnya, misalnya dari status asisten dosen menjadi dosen atau perwira pertama menjadi perwira tinggi. Kemudian ada yang disebut dengan mobilitas antargenerasi yang mengacu pada perbedaan status yang dicapai seseorang ataupun melalui status yang dimiliki oleh orangtuanya. Misalnya, anak seorang tukang becak berhasil menjadi seorang dokter.

Pada umumnya, cara orang untuk dapat melakukan mobilitas sosial ke atas adalah sebagai berikut :

a. Perubahan Standar Hidup

Yaitu berupa kenaikan penghasilan akan tetapi tidak menaikkan status nya secara otomatis, melainkan akan mrefleksikan suatu standar hidup yang lebih tinggi. Hal ini yang akan mempengaruhi peningkatan status, contohnya; seorang buruh kasar, karena keberhasilan dan prestasinya, ia diberikan kenaikan pangkat menjadi karyawan tetap sehingga apabila ditinjau dari segi tingkat pendapatannya akan meningkat. Status sosialnya di masyarakat tidak dapat dikatakan naik apabila tidak berubah standar hidupnya, misalnya ia memutuskan untuk tetap hidup sederhana sama seperti ketika ia menjadi buruh kasar.


(30)

b. Perkawinan

Untuk meningkatkan status sosial yang lebih tinggi dapat dilakukan malalui perkawinan. Contohnya: seorang wanita yang berasal dari keluarga sangat sederhana menikah dengan laki-laki dari keluarga kaya dan terpandang di lingkungannya. Perkawinan ini dapat menaikkan status wanita tersebut. c. Perubahan Tempat Tinggal

Untuk meningkatkan status sosial, seseorang dapat berpindah tempat tinggal dari tempat tinggal yang lama ke tempat tinggal yang baru atau dengan cara merekonstruksi tempat tinggalnya yang lama menjadi lebih megah, indah dan mewah. Maka secara otomatis seseorang yang memiliki tempat tinggal mewah tersebut akan diberi label sebagai orang kaya oleh masyarakat sekitar. Hal ini menunjukkan terjadinya gerak sosial ke atas.

d. Perubahan Tingkah Laku

Untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi, orang berusaha menaikkan status sosialnya dan berperilaku layaknya kelas yang lebih tinggi sebagi aspirasi dari kelasnya. Bukan hanya tingkah laku, tetapi juga pakaian, ucapan, minat dan sebagainya. Ia merasa dituntut untuk mengkaitkan diri dengan kelas yang dinginkannya. Contoh, agar penampilannya meyakinkan dan dianggap sebagai orang dari golongan lapisan kelas atas, ia selalu mengenakan pakaian yang bagus-bagus. Jika bertemu dengan kelompoknya, ia pun berbicara dengan menyelipkan berbagi istilah-istilah asing yang biasa disebut bahasa ’gaul’.


(31)

e. Perubahan Nama

Dalam suatu masyarakat, sebuah nama diidentifikasikan pada posisi sosial tertentu. Gerak ke atas dapat dilaksanakan dengan mengubah nama yang menunjukkan posisi sosial yang lebih tinggi. Contoh: di kalangan masyarakat feodal di Jawa, seseorang yang memiliki status sebagai orang yang masih memiliki keturunan ningrat kebanyakan mendapat sebutan ’Raden Mas’ untuk laki-laki dan ’Raden Ayu’ untuk perempuan di depan nama aslinya.


(32)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti di sini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi deskriptif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk menghasilkan data berupa tulisan dan tingkah laku yang didapat dari apa yang diamati serta memaparkan fenomena sosial di masyarakat. Penelitian kualitatif juga diartikan sebagai pendekatan yang dapat menghasilkan tulisan serta dapat dianalisis nantinya.

Menurut Bagong Suyanto (2005: 166) dalam penelitian kualitatif diberikan keleluasaan dan kesempatan bagi peneliti untuk dapat menggali informasi secara lebih mendalam terutama permasalahan yang akan diangkat tergolong hal yang sensitif.

Sedangkan studi deskriptif berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu seperti pendapat yang sedang berkembang ataupun kondisi sosial yang ada.

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di PTP. Nusantara II, di Jl. Listrik Desa Tandem Hilir I Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang. Lokasi penelitian ini diambil berdasarkan pertimbangan yang diantaranya adalah lokasi ini belum pernah diteliti fenomena sosial dan masalah yang berkenaan dengan masyarakat perkebunan di PTPN II Tandem Hilir I ini.


(33)

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit Analisis

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto, 2006: 121). Adapun yang menjadi unit analisis di dalam penelitian ini adalah masyarakat perkebunan di PTP. Nusantara II.

3.3.2. Informan

Adapun Informan dalam penelitian ini adalah Karyawan PTP. Nusantara II dan masyarakat yang tinggal di perkebunan tersebut.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan atau mengumpulkan data informasi yang dapat menjelaskan dan menjawab permasalahan penelitian yang bersangkutan secara objektif. Dalam hal ini, teknik pengumpulan data yang dilakukan penelitian ini dibagi menjadi dua cara yaitu:

3.4.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diambil dari sumber data atau sumber pertama dilapangan. Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan studi lapangan dalam hal ini yaitu berupa :

1. Observasi

Adalah pengamatan yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan data dari lapangan secara objektif, yang diamati di lapangan adalah bagaimana


(34)

sisa-sisa dari budaya feodalisme pada masyarakat perkebunan di PTPN II Tandem Hilir I Kec. Hamparan Perak Kab. Deli Serdang.

2. Wawancara Mendalam

Merupakan proses tanya-jawab secara langsung dengan informan di lokasi penelitian yang menggunakan panduan atau pedoman wawancara. Data ini berupa teks hasil wawancara dan diperoleh melalui wawancara dengan informan yang terkait dengan penelitian ini. Data tersebut dapat direkam atau dicatat oleh peneliti (Bungin, 2007: 108). Hal ini dilakukan untuk mengetahui lebih banyak dan mendalam mengenai sisa-sisa budaya feodalisme pada masyarakat perkebunan di PTP. Nusantara-II Tandem I Hilir, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari beberapa literatur diantaranya adalah :

a. Studi kepustakaan merupakan sumber utama untuk memilih dan menetapkan jenis penelitian yang berkorelasi dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Data-data diperoleh melalui buku-buku, media massa dan bentuk tulisan lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.(M. Arif, 2001:18) b. Dokumentasi ialah usaha untuk mendapatkan data tertulis yang tersedia di


(35)

hasil penelitiannya misalnya berupa foto-foto penting yang diperoleh di lapangan.

3.5. Interpretasi Data

Setelah data telah terkumpul, maka terlebih dahulu akan dimulai dengan melakukan tahap pemeriksaan terhadap data yang diperoleh. Kemudian data yang diperoleh dari lapangan yang berupa hasil observasi, wawancara mendalam dan hasil kajian pustaka yang dibaca dan dipahami kembali. Hal tersebut dimaksudkan agar didapatkan hasil yang saling berkorelasi antar data. Lalu, data-data yang diperoleh akan dikelompokkan sesuai dengan permasalahan yang telah ditetapkan, kemudian dipisahkan yang pada akhirnya nanti akan menghasilkan suatu interpretasi data yang baik dan dapat mengungkapkan permasalahan dari penelitian yang dilakukan. Selanjutnya, akan dipelajari dan dipahami dengan teliti agar dapat diperoleh hasil dan kesimpulan yang baik serta dapat dipertanggungjawabkan.


(36)

3.6. Jadwal Kegiatan

No. Kegiatan Bulan Ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi √

2 ACC Judul √

3 Penyusunan Proposal √ √ √

4 Seminar Proposal √

5 Revisi Proposal √

6 Penelitian ke Lapangan √ √

7 Pengumpulan Data dan Interpretasi Data

√ √

8 Bimbingan Skripsi √ √

9 Penulisan Laporan Akhir √ √

10 Sidang Meja Hijau √

3.7. Keterbatasan Penelitian

Dalam setiap penelitian sering mengalami hambatan baik itu yang muncul dari faktor internal maupun eksternal diri peneliti sendiri. Adapun keterbatasan yang penulis hadapi adalah sebagai berikut:

a. Faktor Internal

Faktor internal yang dimaksud disini adalah berupa kendala yang berasal dari dalam diri peneliti yang meliputi keterbatasan waktu dalam melakukan penelitian


(37)

dan kurangnya literatur sebagai pendukung penelitian ini yang akhirnya membuat peneliti belum dapat sepenuhnya mendeskripsikan hasil penelitian ini dengan maksimal dan mendalam sehingga masih terdapat kekurangan dalam penyajian dan interpretasi data.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang berupa kendala-kendala yang muncul dari luar, yaitu adanya kendala waktu para informan yang dikarenakan sebagian dari informan memiliki kesibukan lain diluar jam kerja mereka sehingga intensitas pertemuan antara peneliti dengan informan harus juga menyesuaikan waktu luang yang dimiliki oleh informan tersebut. Kemudian tingkat pendidikan dari beberapa informan yang diantara informan lainnya tergolong rendah ternyata menyebabkan peneliti kurang efektif dalam mendapatkan informasi ataupun memperoleh data yang diperlukan karena terdapat perbedaan pemahaman dalam mengartikan dan memahami pertanyaan dari peneliti. Ada pula informan yang memiliki sikap kurang terbuka terhadap pertanyaan yang ditanyakan oleh peneliti. Dan kendala eksternal lainnya seperti belum maksimalnya peneliti dalam mengumpulkan data dikarenakan informan yang dianggap dapat menginterpretasikan maksud dari pertanyaan dalam penelitian ini hanya sedikit.


(38)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Sejarah PTP. Nusantara II Kebun Tandem Hilir I

Pada awalnya, Kebun Tandem Hilir hanya memiliki satu komoditas tanaman yaitu tanaman Tembakau Deli. Sejarah pertama kali tanaman tembakau ditanam di Deli pada tahun 1864 oleh seorang yang berkebangsaan Belanda yang bernama Jacobus Nienhuys. Hasil tanaman tembakau tersebut sangat baik, maka pada tahun 1869 berdirilah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang tembakau yaitu Deli Maatschappij dan tahun-tahun berikutnya berkembanglah perusahaan-perusahaan tembakau lainnya seperti pada tahun 1875 berdiri Deli Batavia Maatschappij, kemudian pada tahun 1877 Tabak Maatschappij, dan pada tahun 1889 Senembah Maatschappij. Pada mulanya areal tanaman tembakau meluas sampai ke Asahan dan Siak, akan tetapi kemudian hanya tinggal di daerah Deli Serdang dan Langkat. Hal ini dikarenakan areal yang paling sesuai untuk menghasilkan daun dengan mutu yang baik terletak diantara Sungai Ular dan Sungai Wampu. Sewaktu pengambil-alihan perkebunan oleh pemerintah yaitu pada tahun 1957 ternyata yang mengelola budidaya tembakau hanya tinggal dua perusahaan yaitu Verenigde Deli Maatschappij (V.D.M) dengan 17 (tujuh belas) kebun dan Senembah Maatschappij dengan 5 (lima) kebun. Kemudian berdasarkan PP No. 4 tahun 1968, kedua perusahaan tersebut dilebur menjadi PNP-IX.


(39)

Dalam usaha pengembangan dan swasembada Gula Nasional, pemerintah membentuk proyek Gula PTPN-II yang dilatarbelakangi oleh percobaan penanaman tebu di lahan tembakau oleh PPIG ( proyek Pengembangan Industri Gula/Ditjen Perkebunan) yang dimulai pada tahun 1975. Penelitian juga melihat kemungkinan penanaman tebu diantara rotasi tanaman Tembakau Deli sebagai usaha peningkatan produktivitas tanah, pencegahan penyakit layu Tembakau Deli melalui penanaman tebu sebelum bercocok tanam Tembakau Deli, ini dilakukan untuk menekan biaya umum serta pencegahan penyerobotan lahan oleh masyarakat pada saat tanah dihutankan selama lima tahun. Tanaman tebu di Kebun Tandem Hilir dimulai pada tahun 1982 yang digiling pada tahun 1983 di PG. Sei Semayang, PG Kwala Madu selesai dibangun pada akhir tahun 1983 dan mulai digiling pada tahun 1984 serta kebun Tandem Hilir termasuk dalam lingkungan PG Kwala Madu sejak tahun 1983 sampai dengan sekarang.

Sesuai dengan perkembangan pada saat ini Kebun Tandem Hilir hanya memiliki satu komoditi yaitu tanaman tebu, sedangkan tanaman Tembakau Deli pada tahun 2005 tidak ditanami lagi disebabkan produktivitas pada tanaman Tembakau Deli tidak mencapai target serta nilai perolehan penjualan tidak mencapai Harga Pokok Produksi (HPP) yang diharapkan oleh perusahaan. Pengelolaan produksi Tembakau Kebun Tandem Hilir pada tahun panen 2004/2005 dioleh di Kebun Tandem. Maka pada tahun 2005 areal Tembakau Deli Kebun Tandem Hilir dialihkan 100% ke konversi tanaman tebu.


(40)

4.1.2. Gambaran Umum Wilayah PTP. Nusantara II

Kebun Tandem Hilir merupakan salah satu perkebunan milik PTP. Nusantara II dipimpin oleh serang manager dan bergerak di bidang usaha sub sektor perkebunan yang mengupayakan komoditi perkebunan yaitu tanaman tebu yang dikelola oleh lima Daerah Pertanaman (DP) yang terdiri dari DP I, II, III, IV dan V. Kebun tersebut juga termasuk dalam wilayah desa Tandem Hilir I, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang yang berada pada jarak ± 40 km dari Kota Medan. Kebun Tandem Hilir memiliki luas areal 1.751,75 Ha.

Berdasarkan letak wilayah, kebun Tandem Hilir memiliki batas-batas wilayah yaitu sebagai berikut :

 Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tandem Hilir II  Sebelah Selatan berbatasan dengan Kebun Tandem PTPN-II  Sebelah Timur berbatasan dengan Kebun Buluh Cina PTPN-II  Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Langkat

4.1.3. Kondisi Iklim dan Topografi Wilayah PT. Perkebunan Nusantara II Wilayah PTPN II atau yang lebih dikenal dengan Kebun Tandem Hilir ini memiliki ketinggian tempat ± 50 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan topografi datar. Curah hujan berkisar antara 1200-2100 mm/tahun dengan temperatur rata-rata sekitar 220C-320C.(Sumber: Data dari PTPN II)


(41)

4.2. Struktur Organisasi di PT. Perkebunan Nusantara II

Sumber: Data dari Kantor PTPN II

Kebun Tandem Hilir dipimpin oleh seorang manager, dalam hal ini pelaksanaan kerja dibantu oleh seorang kepala Dinas Tanaman terdiri dari dua orang Asisten Tanaman. Dalam melaksanakan administrasi kebun dibantu oleh seorang KTU (Kepala Tata Usaha)/Asisten Administrasi.

Adapun tugas dan wewenang masing-masing jabatan sebagai berikut : a. Manager

Fungsi manager adalah membantu direktur teknis dalam melaksanakan tugas-tugas di unit kebun meliputi, perencanaan, pengendalian, evaluasi, dan pengawasan secara menyeluruh melalui petunjuk teknis baku.

Manager mempunyai kewajiban membantu direksi dalam menjalankan kebijakan dari tujuan yang telah digariskan oleh perusahaan, antara lain :

- Melaksanakan perencanaan, pengorganisasian, pengendalian dan pengawasan di kebun, guna menunjang usaha pokok secara efektif dan efisien.

Manager

Kepala Dinas

KTU Asisten

Tanaman

Asisten Tanaman


(42)

- Menyediakan informasi yang akurat dan up to date untuk kepentingan direksi sebagai landasan pengambilan keputusan.

- Membantu direksi mencapai sasaran yang sudah ditetapkan perusahaan. Mentaati semua peraturan berupa sistem dan prosedur perusahaan untuk menjalankan operasional.

Selain memiliki kewajiban, seorang manager juga memiliki wewenang, antara lain :

- Membuat dan mengajukan rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP). - Menyusun Program kerja di kebun yang berkaitan dengan upaya

meningkatkan produksi tanaman dan kinerja kebun.

- Melakukan pengendalian biaya, fisik dan mutu agar tetap sesuai standar. - Melakukan pengawasan, analisis dan tindakan perbaikan di bidang tanaman,

administrasi dan keuangan.

- Mengadakan konsultasi dan koordinasi dengan instalasi terkait (kepolisian, pemuka masyarakat, lembaga pemerintahan dan sebagainya) dan pembinaan wilayah untuk pengembangan aset perusahaan.

- Memberikan usulan dan saran kepada direksi untuk perbaikan kinerja perusahaan.

- Menilai kondisi staf dan melakukan mutasi serta mengusulkan demosi atau promosi karyawan staf di kebun.

Selain memiliki kewajiban dan wewenang seorang manager mempunyai tugas, tanggung jawab dan hubungan kerja sebagai berikut :


(43)

Tugas

- Dalam menjalankan tugasnya manager oleh kepala dinas tanaman dan para asisten.

- Mengendalikan kegiatan-kegiatan harian operasional kebun.

- Menyediakan bahan-bahan untuk diolah di pabrik sesuai kapasitas optimal dan persyaratan mutu.

- Menjaga keutuhan areal perkebunan dari gangguan yang datang dari luar. Tanggung jawab

- Manager bertanggung jawab kepada direksi. Hubungan kerja

- Melaksanankan koordiasi dan kerjasama dengan bagian, unit usaha dan dinas di PTPN-II serta pihak di luar perkebunan.

Personalia

Unit kebun tanaman semusim dipimpin oleh seorang manager dibantu oleh : - Kepala Dinas Tanaman

- Kepala Dinas Tata Usaha - Asisten Tanaman

- PAPAM

- Karyawan Pelaksana

b. Kepala Dinas Tanaman

Fungsi kepala dinas tanaman membantu manager dalam melaksanakan tugas-tugas operasional di unit kebun baik dalam bidang perencanaan, pengendalian,


(44)

evaluasi, dan pengawasan yang menyangkut bidang tanaman sesuai sistem dan prosedur baku.

Kepala dinas tanaman memiliki kewajiban membantu manager melaksanakan tugas dan kebijaksanaan (policy) yang ditetapkan perusahaan yaitu :

- Mengevaluasi dan melakukan perbaikan seperlunya terhadap penyimpangan operasional kerja yang terjadi di lapangan

- Mengendalikan biaya agar operasional kerja berjalan efektif dan efisien - Memberi usulan dan saran kepada manager

- Melakukan penilaian kondisi karyawan dan mengusulkan mutasi, demosi atau promosi.

Tugas

Dalam melaksanakan tugas kepala dinas tanaman dibantu oleh asisten dan pegawai dalam hal :

- Membuat laporan pertanggungjawaban kerja

- Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh manager

- Mengkondisikan pemasukan hasil panen dari seluruh afdeling untuk dikirim ke pabrik

- Mengkoordinasi seluruh asisten yang dibawahnya untuk mencapai target perusahaan yang ditetapkan

Tanggung Jawab


(45)

c. Kepala Dinas Tata Usaha

Fungsi kepala dinas tata usaha membantu kepala bagian dalam pengaturan laporan keuangan dan ketenagakerjaan yang diperlukan oleh perusahaan.

Asisten SDM dan umum mempunyai kewajiban untuk membantu manager dalam melaksanakan tugasnya di bidang administrasi. Selain memiliki kewajiban, seseorang asisten SDM dan umum juga mempunya wewenang sebagai berikut :

- Mengkoordinir seluruh kegiatan administrasi perkantoran

- Bersama dinas/bagian yang lain, menyusun rencana kerja tahunan (jangka pendek)

- Mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan kerja - Pengendalian sumber dana dan penggunaan dana

- Menyimpan uang kas dan surat-surat berharga milik perusahaan - Melakukan inspeksi ke kantor unit dalam lingkup pabrik/perkebunan

- Menganalisis dan memberikan tindakan terhadap hasil kerja bidang manager - Pengawasan dan pengendalian terhadap persediaan bahan/barang

- Pengamanan terhadap aset perusahaan - Melaksanakan standar biaya dan fisik - Membuat laporan kegiatan pabrik/kebun

- Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh manager

Selain memiliki kewajiban dan wewenang, seorang asisten SDM dan umum mempunyai tanggung jawab kepada manager.


(46)

d. PAPAM

PAPAM mempunyai kewajiban membantu manager dalam melaksanakna tugasnya di bidang keamanan. Selain memiliki kewajiban, seorang PAPAM juga mempunyai wewenang sebagai berikut :

- Menyusun rencana kerja tahunan bidang keamanan

- Bersama dinas/unit yang lainnya mengkoordinir latihan untuk keselamatan kerja - Melakukan inspeksi/patroli secara sistematis

- Pengawasan terhadap keamanan aset perusahaan, tenaga kerja beserta keluarganya

- Menganalisis dan memperbaiki serta meningkatkan hasil kerja keamanan - Melakukan tugas lain yang diberikan oleh manager

Selain memiliki kewajiban dan wewenang, PAPAM mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut :

Tugas

PAPAM dijabat oleh seorang bintara/perwira TNI yang dibantu oleh regu hansip dalam bertugas untuk mengamankan kebun.

Tanggung Jawab

Secara struktural, PAPAM bertanggung jawab kepada PAPAM PTPN II di kantor direksi, tapi secara fungsional mereka bertanggung jawab kepada manager.

e. Karyawan Pelaksana

Berbeda dengan karyawan pimpinan, karyawan pelaksana secara eksplisit tidak mempunyai tanggung jawab manajerial, artinya kewajiban, tugas dan wewenang yang


(47)

diberikan kepadanya bersifat lebih khusus dan tertentu yaitu sebagai pelaksana sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Dengan demikian, karyawan pelaksana hanya dimintai pertanggungjawaban atas beban kerja mereka sesuai jabatan yang melekat padanya, tanpa harus terkait dengan proses manajerial. Sejumlah karyawan tersebut diatur dan disusun berdasarkan bidang kekhususan kerjanya. Misalnya pemanen dipimpin oleh mandor panen, karywan pemeliharaan dipimpin oleh mandor pemeliharaan dan seterusnya.

4.3. Profil Informan

Profil informan disini adalah data diri dari para informan yang telah diteliti dan diperolah segala informasi-informasi yang diperlukan dalam penelitian. Kemudian dari hasil penelitian dapat ditentukanlah informan yaitu sebanyak 9 informan. Yang terdiri dari 1 orang manager, 1 orang KTU, 3 orang staf, dan 4 orang karyawan. Adapun profil informan yang diperoleh adalah sebagai berikut :

4.3.1 Informan ke-1

1. Nama : Taman

2. Usia : 47 tahun

3. Jenis Kelamin : Laki-laki 4. Suku/Agama : Jawa/Islam 5. Pendidikan terakhir : SMA

Pak Taman adalah salah seorang karyawan di Perkebunan Tandem Hilir I dan bertempat tinggal di Jl. Listrik Desa Tandem Hilir I PTPN II. Ia sudah bekerja


(48)

menjadi seorang hansip sejak tahun 1989 dengan golongan I/a dan bertempat tinggal di wilayah PTPN II sejak tahun 1995 yaitu sekitar 16 tahun. Menurutnya, bertempat tinggal di PTPN merupakan satu keuntungan lain dari beberapa fasilitas perusahaan yang masih dapat ia dan keluarganya nikmati. Ia tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk membayar sewa perumahan. Bahkan ia juga dapat memiliki pekerjaan sampingan lain yaitu beternak seekor Lembu betina yang baru beberapa bulan ini ia ganti dari Kambing menjadi Lembu. Karena menurutnya, beternak Lembu lebih aman daripada Kambing. Ia pernah memelihara beberapa ekor Kambing dan karena rumah yang tidak didukung pagar yang dapat memberikan keamanan bagi ternaknya tersebut maka kambing-kambing yang telah ia pelihara selama beberapa tahun pun hilang dicuri orang tak dikenal. Padahal hasil dari beternak inilah yang nantinya dapat menambah uang belanja dan biaya keperluan pendidikan anaknya.

Di PTPN, penetapan golongan berdasarkan pendidikan terakhir yang dimiliki oleh karyawan tersebut. Karena Pak Taman berpendidikan terakhir sampai SMA, maka dirasa sudah cukup pas apabila ia berada pada posisi sebagai satpam.

Kondisi lingkungan di sekitar perkebunan zaman sekarang berbeda dengan zaman dahulu saat ia masih kanak-kanak. Kalau sekarang, akuinya, sudah mulai membaur antara sesama masyarakat disini. Jadi perbedaan pun tidak begitu nampak lagi sekarang. Beda pada waktu dulu semasa ia kecil, selain karena letak pemukiman ynag memang sudah dibedakan antara kepala bagian dengan karyawan yang dibawahinya. Ini diketahuinya karena memang ia tinggal di perkebunan sejak kecil. Orang tua Pak


(49)

Taman sendiri merupakan pekerja di perkebunan juga sehingga ia pun mendapatkan kesempatan kerja di perkebunan yang sama.

Menurutnya, perselisihan sesekali pasti ada terjadi, akan tetapi tidak sampai menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Karena, perselisihan diantara setiap karyawan itu sudah biasa karena memang setiap orang memiliki perbedaan pendapat.

Praktek KKN sebenarnya bukan hanya ada di wilayah perkebunan saja, akan tetapi pada saat ini sudah bisa ditemukan di manapun. Sedangkan di wilayah perkebunan sendiri, apabila dikatakan ada atau tidaknya praktek KKN menurutnya, dapat dikatakan ada tetapi memang tidak secara langsung dirasakan. Pak Taman pun mengatakan bahwa apabila dirinya ditanya mengenai pernah atau tidaknya ia mengalami praktek KKN, ia pun tidak dapat mengatakan pernah atau tidak karena memang terkadang tidak terlihat tapi dapat dirasakan keberadaannya. Hal ini yang kemudian mengakibatkan masyarakat sudah menganggap ini menjadi suatu hal yang biasa saja.

Atasan memiliki fungsi dan peran yang berbeda dengan bawahan. Namun ada saatnya bawahan akan sangat diperlukan oleh atasan, dalam hal ini yang menjadi atasan dari Pak Taman adalah PAPAM yang membawahi para satpam. Dalam pengambilan keputusan pun biasanya hanya diwakilkan oleh PAPAM saja, satpam-satpam tidak diikutsertakan. Jadi dapat dikatakan bahwa Pak Taman selaku satpam-satpam hanya menjalankan hasil dari kebijakan yang telah diputuskan tetapi biasanya atasan sudah mengetahui keinginan dari bawahannya. Ini terjadi karena sesama pekerja sudah terjalin interaksi yang baik.


(50)

Pengaruh di kehidupan sehari-hari Pak Taman sendiri tidak begitu dirasakannya, hanya tingkat keamanan yang telah menjadi kebiasaannya sebagai satpam sering terbawa sampai di lingkungan tempat tinggalnya. Karena atasan sering menerapkan kesiagaan terhadap penjagaan keamanan di lingkungan perkebunan.

4.3.2 Informan ke-2

1. Nama : Hendriati Saragih

2. Usia : 46 tahun

3. Jenis Kelamin : Perempuan 4. Suku/Agama : Batak/Islam 5. Pendidikan terakhir : SMA

Ibu Hendriati Saragih atau yang lebih akrab dipanggil Bu Betty adalah salah seorang karyawan di Perkebunan Tandem Hilir I dan bertempat tinggal di Jl. Listrik Desa Tandem Hilir I PTPN II. Ia sudah bekerja sebagai karyawan pelaksana sejak tahun 1991 dan bertempat tinggal di wilayah PTPN II sejak tahun 2009 yaitu sekitar 2 tahun. Menurutnya, tinggal di PTPN merupakan satu keuntungan dari beberapa fasilitas yang disediakan oleh perusahaan yang masih dapat ia rasakan. Ia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membayar sewa perumahan apalagi ia sendiri belum memiliki rumah pribadi. Bu Betty sendiri tidak memiliki pekerjaan sampingan, hanya gaji perbulan yang ia terima itulah yang dipergunakan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ia memiliki seorang anak angkat yang masih berusia 10 tahun.


(51)

Bu betty berpendidikan terakhir sampai SMA, maka ia pun merasa sudah cukuplah posisi sebagai karyawan pelaksana yang ia jalankan. Apalagi ia bekerja di PTPN II memang ada yang menawarkan lowongan pekerjaan tersebut kepadanya.

Menurut Bu Betty, karena ia juga baru menetap di wilayah perkebunan selama dua tahun maka ia merasa masih sama saja kondisi lingkungan di sekitar perkebunan dengan wilayah tempat tinggalnya dahulu. Ia pun kurang peduli dengan kondisi di sekitar. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di kantor kemudian dirumahnya bersama dengan seorang anak angkat yang sangat ia sayangi tersebut.

Menurut Bu Betty, perselisihan di perkebunan hanya terjadi sedikit-sedikit saja. Biasanya dikarenakan misalnya, ada masalah kecil diantara sesama karyawan.

Praktek KKN di wilayah perkebunan pasti ada akan tetapi bentuk-bentuknya yang tidak dapat diketahui apa-apa saja. Maka menurutnya, apabila ditanya mengenai pernah atau tidaknya ia mengalami praktek KKN, ia tidak dapat mengatakan pernah atau tidak karena kadang tidak terlihat akan tetapi dapat dirasakan keberadaannya. Inilah yang mengakibatkan masyarakat menganggap ini menjadi suatu hal yang biasa saja.

Atasan dan bawahan pasti akan berbeda. Akan tetapi, biasanya ada ketergantungan antara atasan dengan bawahan. Dalam pengambilan keputusan pun biasanya hanya karyawan tertentu yang dilibatkan. Bu Betty sendiri biasanya hanya menjalankan hasil dari kebijakan yang telah diputuskan. Inilah yang terjadi apabila antara sesama pekerja sudah terjalin interaksi yang baik. Tapi memang apabila ada


(52)

seorang karyawan melanggar peraturan yang telah ditetapkan maka akan ada sanksi yang akan ia terima.

Di dalam kehidupan sehari-hari Bu Betty ini, pengaruhnya tidak begitu dirasakan, namun apabila secara langsung memang tidak begitu dapat dirasakan tetapi terbawa sampai di lingkungan tempat tinggalnya. Ini dikarenakan antara atasan dan bawahan jarang diterapkan keberkuasaan terhadap kantor, kalau memang ia diharuskan untuk memutuskan sebuah kebijakan di lingkungan perkebunan ya sudah tidak ada permasalahan.

4.3.3 Informan ke-3

1. Nama : Suemi

2. Usia : 52 tahun

3. Jenis Kelamin : Perempuan 4. Suku/Agama : Jawa/Islam 5. Pendidikan terakhir : SMA

Ibu Suemi atau yang biasa dipanggil Bu Emi adalah salah seorang karyawan di Perkebunan Tandem Hilir I dan tinggal di Jl. Listrik Desa Tandem Hilir I PTPN II. Ia sudah bekerja sebagai karyawan pelaksana sejak tahun 1983 dan bertempat tinggal di wilayah PTPN II sejak ia lahir mengalami masa kecil di perkebunan dan sampai sekarang. Tinggal di PTPN merupakan keuntungan dari beberapa fasilitas yang disediakan oleh perusahaan yang dapat ia rasakan. Ia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membayar sewa perumahan. Bu Emi sendiri sebenarnya memiliki rumah


(53)

sendiri namun untuk lebih memudahkan ia menjangkau ke kantor maka ia memilih tinggal di perkebunan dan menikmati fasilitas yang diberikan dari perusahaan. Bu Emi tidak memiliki pekerjaan sampingan, hanya ia mendapat uang tambahan dari sewa rumah yang ia terima itulah yang dipergunakan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Bu Emi memiliki pendidikan terakhir sampai SMA, maka ia pun merasa sudah cukup puas dengan posisi sebagai karyawan pelaksana yang ia tempati sekarang. Ia bekerja di PTPN II pun karena ada yang menawarkan pekerjaan pada posisi tersebut kepadanya.

Menurut Bu Emi, selama ia tinggal dan menetap selama bertahun-tahun di wilayah perkebunan, ia merasa ada perbedaan saat ia kecil dengan saat sekarang. Kondisi lingkungan di sekitar perkebunan dengan wilayah tempat tinggalnya dahulu masih susah ditemukan interaksi antara pemukiman di tempat tinggal para staf dengan tempat tinggal karyawan biasa. Berbeda dengan sekarang yang lebih terbuka interaksi di antara para karyawan baik itu staf maupun karyawan pelaksana dan satpam lebih sering terlihat.

Menurut Bu Emi, perselisihan yang terjadi di perkebunan hanya perselisihan antara sesama saja. Biasanya dikarenakan misalnya, ada masalah kecil diantara sesama karyawan karena ketidakcocokan antara satu orang dengan orang lain itu biasa.

Di wilayah perkebunan praktek KKN ada tetapi bentuk-bentuknya seperti apa saja yang tidak dapat diketahui secara langsung. Jadi, bila ditanya pernah atau tidaknya ia


(54)

mengalami praktek KKN, ia tidak dapat mengatakan secara tepatnya pernah atau tidak karena kadang tidak terlihat akan tetapi dapat dirasakan keberadaannya. Inilah yang mengakibatkan masyarakat menganggap ini menjadi hal yang biasa.

Diantara atasan dan bawahan pasti akan ada yang berbeda. Karena secara birokrasi, tidak mungkin fasilitas yang diterima oleh kepala tata usaha dengan buruh kasar sama padahal tanggung jawab yang diemban oleh kepala tata usaha jauh lebih berat daripada buruh kasar yang bekerja tetapi tidak secara keseluruhan menanggungjawabi apa yang nantinya akan terjadi di perusahaan. Dan biasanya memang ada ketergantungan antara atasan dengan bawahan. Dalam memutuskan suatu kebijakan biasanya atasan memiliki kebijaksanaan tersendiri seperti dengan hanya memanggil beberapa karyawan yang mempunyai pengaruh diantara karyawan yang lain, yakni sebagai wakil dari karyawan-karyawan yang lain. Menurut Bu Emi, biasanya dirinya hanya menjalankan hasil dari kebijakan yang telah diputuskan tersebut. Akan tetapi siapapun itu, apabila ia melanggar peraturan yang telah ditetapkan maka ia harus menerima sanksi yang telah dibuat dan diatur di perusahaan.

Bagi Bu Emi, dalam kehidupan sehari-harinya ini, pengaruh dari kekuasaan yang dilakukan di kantor tidak begitu dirasakan di wilayah rumahnya. Ini karena antara atasan dan bawahan hanya sedikit sekali diterapkan di kantor, apabila ia sebagai atasan diharuskan untuk memutuskan sebuah kebijakan di lingkungan perkebunan dan dirasa baik bagi keberlangsungan perusahaan ya tidak ada masalah.


(55)

4.3.4 Informan ke-4

1. Nama : H. Sudarman, S.P

2. Usia : 49 tahun

3. Jenis Kelamin : Laki-laki 4. Suku/Agama : Jawa/Islam 5. Pendidikan terakhir : S1 Pertanian

Bapak Sudarman yang merupakan salah seorang karyawan di Perkebunan Tandem Hilir I, ia juga bertempat tinggal di sekitar wilayah PTPN II sejak tahun 1990. Ia sudah bekerja di PTPN sejak tahun 1987 dengan golongan IV/b sebagai kepala gudang bagian managerial. Ia melihat bahwa, bertempat tinggal di PTPN selain jangkauan yang mudah dari perusahaan disamping itu ia juga dapat menghemat biaya pengeluaran yang dapat dialokasikannya ke pendidikan anak-anaknya. Ia juga tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk membayar sewa perumahan. Denagn penghasilan yang ia terima beserta istrinya yang juga bekerja, ternyata dapat membantu mempertahankan ekonomi rumah tangga mereka serta dapat menyokong pendidikan anak-anaknya.

Penetapan golongan di PTPN berdasarkan pendidikan terakhir yang dimiliki oleh karyawan tersebut. Karena memang Bapak Sudarman berpendidikan terakhir sampai Sarjana, maka posisi sebagai kepala bagian bidang manajerial di perkebunan untuk seorang lulusan sarjana pertanian ini sudah tepat.

Kemudian, kondisi di sekitar perkebunan di PTPN II tandem Hilir ini berbeda dengan di perkebunan-perkebunan yang lain, ini disebabkan karena di PTPN II


(56)

Tandem Hilir sudah tidak lagi diterapkan budaya-budaya pada masa kolonialisme terdahulu sehingga para karyawannya pun tidak takut lagi untuk mengemukakan aspirasinya yang berkenaan dengan keberlangsungan perusahaan untuk kedepannya. Apapun pendapat dari seluruh karyawan tanpa memandang ia dari golongannya, perusahaan dengan tangan terbuka menerimanya apabila itu memang dibutuhkan dan sejalan dengan perusahaan. Maka perbedaan dalam mengemukakan pendapat di sini tidak begitu terbatasi seperti dahulu pada masa kolonialisme Belanda yang masih menerapkan sistem feodalismenya di wilayah perkebunan di Indonesia. Walaupun memang tidak menutup kemungkinan masih ada sedikit budaya yang terlestarikan di masyarakat.

Menurutnya, perselisihan di antara karyawan sesekali ada terjadi, tetapi tidak sampai menimbulkan pertikaian antara mereka itu sendiri yang berkepanjangan. Perselisihan diantara setiap karyawan apalagi dalam perbedaan dalam berpendapat itu sudah biasa karena memang setiap orang memiliki prinsip yang berbeda pula antara yang satu dengan yang lainnya.

Diskriminasi pun tidak ia temukan selama ia bekerja di PTPN II ini, karena di PTPN ini semua dapat membaur dengan baik. Sebagai atasan, ia harus mengetahui dan mampu dalam memanajemen anggotanya yang dalam hal ini para karyawannya sebagai bawahan. Bukan malah memperlakukannya seperti layaknya kuli.

Menurut Bapak Sudarman, praktek KKN bukan saja hanya terjadi di wilayah perkebunan, akan tetapi pada saat ini sudah dapat ditemukan di sektor manapun. Sedangkan apabila dikatakan ada atau tidaknya praktek KKN di wilayah perkebunan


(57)

menurutnya, dapat dibilang ada keberadaannya tetapi tidak secara langsung dapat dirasakan. Bapak Sudarman juga mengatakan bahwa apabila dirinya sampai saat ini tidak pernah mengalami praktek KKN. Walaupun hal tersebut dianggap oleh masyarakat sudah menjadi suatu hal yang lumrah.

Atasan memiliki fungsi dan peran yang berbeda dengan bawahan. Namun ada saatnya bawahan akan sangat diperlukan oleh atasan, dalam hal ini yang menjadi atasan dari Bapak Sudarman adalah manager yang membawahi seluruh karyawan di PTPN II kebun Tandem Hilir. Jadi dapat dikatakan bahwa Bapak Sudarman selaku kepala bagian bidang managerial selain memutuskan, ia juga harus mampu menjalankan hasil dari kebijakan yang telah diputuskan.

Di dalam kehidupan sehari-hari Bapak Sudarman, pengaruh pengambilan keputusan yang memang biasanya hanya diwakilkan oleh beberapa karyawan yang dianggap mumpuni untuk memecahkan suatu permasalahan yang berkenaan dengan perusahaan tidak terbawa di wilayah tempat tinggalnya.

4.3.5 Informan ke-5

1. Nama : Suriadi

2. Usia : 50 tahun

3. Jenis Kelamin : Laki-laki 4. Suku/Agama : Jawa/Islam 5. Pendidikan terakhir : SMP


(58)

Pak Suriadi merupakan salah seorang karyawan di Perkebunan Tandem Hilir I dan bertempat tinggal di Jl. Listrik Desa Tandem Hilir I PTPN II. Ia sudah bekerja sebagai tukang suruh di PTPN-II sejak tahun 1992 dengan golongan I/a dan bertempat tinggal di wilayah PTPN II sejak tahun 1992 yaitu sekitar 14 tahun. Ia memiliki pekerjaan sampingan lain yaitu beternak Lembu. Menurutnya, beternak Lembu dapat menambah uang belanja dan membiaya keperluan pendidikan anaknya. Baginya, bertempat tinggal di PTPN adalah keuntungan dari ketersediaan fasilitas perusahaan yang dapat ia dan keluarganya nikmati.

Pak Suriadi yang hanya memiliki pendidikan terakhir sampai SMP, maka menurutnya sudah cukup memuaskan berada pada posisi sebagai tukang suruh. Walaupun memang terkadang ia harus siap untuk bekerja lebih keras.

Sedangkan kondisi lingkungan di sekitar perkebunan sepengetahuan Pak Suriadi selama 14 tahun ini baik-baik saja, hubungan antara para karyawan di perusahaan pun baik. Menurut Pak Suriadi, tidak pernah mengalami diskriminasi di PTPN-II ini selama 14 tahun ia telah bekerja.

Kemudian menurut Pak Suriadi, perselisihan diantara para pekerja pasti ada terjadi, tetapi tidak sampai parah (maksudnya adalah tidak sampai pada tingkat perselisihan yang dapat memecah-belah hubungan antar karyawan). Hal ini disebabkan karena perselisihan diantara setiap karyawan itu biasa apalagi setiap orang memiliki perbedaan.

Di wilayah PTPN-II, praktek KKN tidak ada atau memang mungkin dirinya tidak mengetahui secara pasti apa itu KKN dan bentuk-bentuknya.


(59)

Menurutnya, atasan mempunyai tugas yang berbeda dengan bawahan. Akan tetapi, ada saatnya bawahan akan sangat diperlukan oleh atasan, karena pekerjaan yang biasa dilakukan oleh Pak Suriadi termasuk pekerjaan yang kasar. Dalam pengambilan keputusan pun biasanya hanya diwakilkan oleh atasan saja dirinya tidak diikutsertakan. Jadi dalam arti kata bahwa Pak Suriadi hanya menjalankan hasil dari kebijakan yang diputuskan tetapi umumnya selama ini atasan sudah mengetahui kebutuhan dari bawahannya.

Di dalam kehidupan Pak Suriadi, pengaruhnya sendiri tidak begitu dirasakannya, hanya ketundukkannya terhadap seseorang yang dianggapnya lebih daripada dirinya maka ia pun akan langsung meenghormati orang tersebut dan menjadi kebiasaannya sebagai tukang suruh apabila di rumah ia lebih giat dalam melakukan hal apapun itu.

Dan biasanya, atasan sering menerapkan kedisiplinan dalam bekerja maka di dalam mengambil keputusan pun sebagai seorang atasan, ia akan lebih cenderung untuk memutuskan suatu kebijakan yang berhubungan dengan kepentingan para karyawan. Atasan memiliki wewenang dalam mengambil keputusan, jadi apabila seorang atasan menetapkan sesuatu untuk kemudian akan dijadikan suatu kebijakan maka harus ada pembedaan yang akan dirasakan karena tidak mungkin apabila perilaku yang dilakukan oleh seorang atasan dengan tingkat pendidikan tinggi, kondisi perekonomian terpenuhi, dan fasilitas yang diberikan dari perkebunan pun pasti akan berbeda. Pak Suriadi sendiri menyatakan bahwa ternyata memang ada pengaruh yang muncul di kehidupan sehari-harinya.


(60)

4.3.6 Informan ke-6

1. Nama : Siti Hajar

2. Usia : 48 tahun

3. Jenis Kelamin : Perempuan 4. Suku/Agama : Melayu/Islam 5. Pendidikan terakhir : SMA

Ibu Siti Hajar atau yang biasa dipanggil Bu Nizar adalah salah seorang karyawan di Perkebunan Tandem Hilir I dan tinggal sekitar perumahan di PTPN II. Ia sudah bekerja sebagai karyawan pelaksana sejak tahun 1985 dan bertempat tinggal di wilayah PTPN II sejak tahun 1985, tetapi memang ia dari kecil sudah tinggal bersama orang tuanya di perkebunan dan sampai sekarang ia sudah memiliki keluarga. Bertempat inggal di sekitar wilayah PTPN yang merupakan beberapa fasilitas yang disediakan oleh perusahaan yang dapat ia peroleh. Selain dapat memudahkan ia menjangkau ke kantor, tinggal di perkebunan dapat memberikan manfaat tersendiri bagi dirinya dan keluarga. Apalagi Bu Nizar memiliki seorang suami yang sama-sama bekerja di PTPN-II. Bu Nizar tidak memiliki pekerjaan sampingan tetapi penghasilan yang diperolehnya dari gaji setiap bulan yang ia dan suaminya dapatkan dimanfaatkan untuk biaya kehidupannya sehari-hari.

Bu Nizar memiliki pendidikan terakhir sampai SMA, dengan golongan II/a menurutnya posisi sebagai karyawan pelaksana yang ia tempati sekarang sudah cukup lumayan. Ia bekerja di PTPN II pun karena ada yang menawarkan pekerjaan pada posisi tersebut kepadanya.


(61)

Menurut Bu Nizar, selama ia tinggal dan menetap selama bertahun-tahun di wilayah perkebunan, ia merasa ada perbedaan saat ia kecil dengan saat sekarang. Kondisi lingkungan di sekitar perkebunan dengan wilayah tempat tinggalnya dahulu masih susah ditemukan interaksi antara pemukiman di tempat tinggal para staf dengan tempat tinggal karyawan biasa. Berbeda dengan sekarang yang lebih terbuka interaksi di antara para karyawan baik itu staf maupun karyawan pelaksana dan satpam lebih sering terlihat.

Menurut Bu Nizar, perselisihan yang terjadi di perkebunan hanya perselisihan antara sesama saja. Biasanya dikarenakan misalnya, ada masalah kecil diantara sesama karyawan karena ketidakcocokan antara satu orang dengan orang lain itu biasa.

Di wilayah perkebunan praktek KKN ada tetapi bentuk-bentuknya seperti apa saja yang tidak dapat diketahui secara langsung. Jadi, bila ditanya pernah atau tidaknya ia mengalami praktek KKN, ia tidak dapat mengatakan secara tepatnya pernah atau tidak karena kadang tidak terlihat akan tetapi dapat dirasakan keberadaannya. Inilah yang mengakibatkan masyarakat menganggap ini menjadi hal yang biasa.

Diantara atasan dan bawahan pasti akan ada yang berbeda. Karena secara birokrasi, tidak mungkin fasilitas yang diterima oleh kepala tata usaha dengan buruh kasar sama padahal tanggung jawab yang diemban oleh kepala tata usaha jauh lebih berat daripada buruh kasar yang bekerja tetapi tidak secara keseluruhan menanggungjawabi apa yang nantinya akan terjadi di perusahaan. Dan biasanya memang ada ketergantungan antara atasan dengan bawahan. Dalam memutuskan


(62)

suatu kebijakan biasanya atasan memiliki kebijaksanaan tersendiri seperti dengan hanya memanggil beberapa karyawan yang mempunyai pengaruh diantara karyawan yang lain, yakni sebagai wakil dari karyawan-karyawan yang lain. Menurut Bu Nizar, biasanya dirinya hanya menjalankan hasil dari kebijakan yang telah diputuskan tersebut. Akan tetapi siapapun itu, apabila ia melanggar peraturan yang telah ditetapkan maka ia harus menerima sanksi yang telah dibuat dan diatur di perusahaan.

Bagi Bu Nizar, dalam kehidupan sehari-harinya ini, pengaruh dari kekuasaan yang dilakukan di kantor tidak begitu dirasakan di wilayah rumahnya. Ini karena antara atasan dan bawahan hanya sedikit sekali diterapkan di kantor, apabila ia sebagai atasan diharuskan untuk memutuskan sebuah kebijakan di lingkungan perkebunan dan dirasa baik bagi keberlangsungan perusahaan ya tidak ada masalah. 4.3.7 Informan ke-7

1. Nama : Samarela Sembiring, S.P

2. Usia : 51 tahun

3. Jenis Kelamin : Laki-laki 4. Suku/Agama : Karo/Kristen 5. Pendidikan terakhir : S1 Pertanian

Pak Sembiring atau yang lebih akrab dipanggil Pak Sam adalah salah seorang karyawan di Perkebunan Tandem Hilir I dan bertempat tinggal di sekitar areal Tandem Hilir I PTPN II. Ia sudah bekerja sejak tahun 1985 dengan golongan IV/a dan bertempat tinggal di wilayah PTPN II sejak tahun 1995. Menurutnya, bertempat tinggal di PTPN merupakan pemanfaatan dari beberapa fasilitas perusahaan yang


(63)

masih dapat ia dan keluarganya nikmati. Ia tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk membangun rumah tempaynya tinggal.

Golongan yang diterima oleh Pak Sembiring ternyata didasarkan pada pendidikan terakhir yang dimilikinya. Karena Pak Sembiring yang berpendidikan terakhir sampai sarjana, maka dirasa sudah cukup apabila ia diletakkan di perkebunan ini dengan kapasitasnya sebagai lulusan pertanian.

Kondisi lingkungan di sekitar perkebunan berbeda. Menurutnya, kondisi lingkungan perkebunan saat ini sudah mulai membaur antara sesama masyarakat di perkebunan. Maka perbedaan pun tidak begitu tampak lagi sekarang. Beda pada waktu dulu semasa ia kecil, selain karena letak pemukiman ynag memang sudah dibedakan antara kepala bagian dengan karyawan yang dibawahinya. Ini diketahuinya karena memang ia tinggal di perkebunan sejak kecil. Keluarga dalam hal ini adik Pak Sembiring sendiri merupakan pekerja di perkebunan juga sehingga ia pun mendapatkan kesempatan kerja di perkebunan yang sama.

Menurutnya, perselisihan sesekali pasti ada terjadi, akan tetapi tidak sampai menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Karena, perselisihan diantara setiap karyawan itu sudah biasa karena memang setiap orang memiliki perbedaan pendapat.

Praktek KKN sebenarnya bukan hanya ada di wilayah perkebunan saja, akan tetapi pada saat ini sudah bisa ditemukan di manapun. Sedangkan di wilayah perkebunan sendiri, apabila dikatakan ada atau tidaknya praktek KKN menurutnya, dapat dikatakan ada tetapi memang tidak secara langsung dirasakan. Pak Sembiring pun mengatakan bahwa apabila dirinya ditanya mengenai pernah atau tidaknya ia


(1)

1. Sisa-sisa budaya feodalisme yang ditinggalkan oleh bangsa Belanda sebenarnya apabila benar-benar dipahami dapat membawa pengaruh yang baik bagi perkebunan dan masyarakat perkebunan.

2. Peninggalan tersebut yang baik seperti penyediaan sarana dan prasarana dari perusahaan untuk kesejahteraan karyawan sendiri, misalnya; tersedianya tempat tinggal, tempat beribadah, sarana olahraga, sarana pendidikan dan lahan pertanian untuk bercocok tanam.

3. Kebun Tandem Hilir sudah selayaknya meningkatkan etos kerja karyawan dengan memberikan penghargaan dan membuat aturan ketat agar sistem yang berjalan tidak menimbulkan kesenjangan.

4. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya yang masih berkaitan dengan sisa-sisa budaya feodalisme pada masyarakat perkebunan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Nasution, M, dkk. 2001. Metode Penyusunan Proposal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Medan: FISIP USU dan Percetakan Monora

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial. Jakarta: Kencana

Faisal, Sanapiah. 2007. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Horton, Paul B., dan Hunt, Chester L. 1992. Sosiologi: Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga

Irfan, Drs, M.Si. 2010. Materi Kuliah Sosiologi. Medan: Untuk Kalangan Sendiri Koentjaraningrat, Prof, Dr. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka

Cipta

Kusni Sulang. 2010. Kalimantan Tengah dan Feodalisme, (Online),

Moleong, L. J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Narwoko, DJ dan Suyanto, Bagong. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan.

Jakarta: Prenada Media

Poloma, M, Margaret. 2000. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada


(3)

Ritzer, George & Douglas J. 2008. Teori Sosiologi Modern : Edisi Ke-6. Jakarta : Kencana

Sarjono, R., Agus. 1999.Pembebasan Budaya-Budaya Kita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan Kesetiaan Bushi Dari Tuan Kepada Keshogunan Dalam Feodalisme Zaman Edo (1603-1868) Di Jepang. Medan : USU Press

Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Suyanto, Bagong. 2005. Metode Penelitian Sosial. Jakarta : Kencana Media Group Winarno, Budi. 2008. Globalisasi : Peluang atau Ancaman Bagi Indonesia. Jakarta :

Erlangga

Sumber Internet

pada tanggal 27 Nopember 2010 pukul 14.40 WIB

http://macheda.blog.uns.ac.id/2010/05/20/masyarakat-perkebunan-dan-orde-kolonial/ diakses pada tanggal 27 Nopember 2010 pukul 14.47 WIB


(4)

http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_struktural_fungsional diakses 1 Februari 2011 pada pukul 12.44 WIB

http://indonesianvoices.com/index.php?option=com_content&view=article&id=817:f eodalisme-membentuk-budaya-korupsi&catid=48:melawan-korupsi. diakses pada tanggal 22 Juni 2011 Pukul 14.21 WIB


(5)

LAMPIRAN

Gambar 1. Perkebunan Tebu milik PTPN II Tandem Hilir


(6)

Gambar 3. Bekas Tempat Pengolahan Gambar 4. Salah satu plang yang ada Tembakau Deli di Kebun Tandem Hilir

Gambar 5. Pak Taman sedang berjaga di Pos Penjagaan di depan pintu masuk Kebun Tandem Hilir