Perlindungan Hukum Terhadap Tanah HGU PTPN II Perkebunan Sampali

2. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan, tahap ini disebut dengan tahap kebijakan yudikatif. 3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana, tahap ini disebut dengan tahap kebijakan eksekutif atau administratif. asal 28 ayat 1 dan 2, yaitu: Usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 Ha, dengan ket tertentu guna keperluan perusahaan pertanian, perikanan, dan peternakan. Jadi Hak

C. Perlindungan Hukum Terhadap Tanah HGU PTPN II Perkebunan Sampali

Undang-undang Pokok Agraria UUPA telah menyebut secara limitatif pengertian hak guna usaha sebagaimana diatur dalam P 1. Hak Guna Usaha Adalah hak untuk mengusahan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana disebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. 2. Hak Guna entuan bahwa jika luasnya 25 Ha atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman. 108 Dari bunyi pasal di atas dapat disimpulkan bahwa HGU sebagaimana salah satu jenis hak atas tanah dalam UUPA adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan luasan tertentu dan dalam jangka waktu 108 AP. Parlindungan, Op cit, hal. 65 Universitas Sumatera Utara Guna Usaha ini adalah hak yang khusus mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna untuk keperluan-keperluan pertanian, perikanan, dan peternakan tersebut di atas. 109 Tanah-tanah Barat ini tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum agraria Barat, misalnya mengenai cara memperolehnya, peralihannya, lenyapnya hapusnya, embeb dikuasai langsung oleh negara. Jadi ustri. Oleh karena itu di dalam areal HGU tidak mungkin ada p anannya dengan hak-hak lain dan wewenang-wewenang serta kewajiban- kewajiban yang mempunyai hak. Meskipun ada yang berpendapat bahwa HGU berasal dari Hak Erfacht yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 720 KUHPerdata 110 , namun dalam pengertian UUPA HGU bukan Hak Erfacht dari kitab Undang-undang Hukum Perdata, tetapi merupakan hak baru yang khusus diadakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat modern dan hanya diberikan terhadap tanah yang tidak dapat terjadi karena suatu perjanjian antara pemilik suatu hak milik dengan seseorang lainnya untuk menimbulkan HGU. 111 Tujuan pengguanaan HGU dibatasi hanya untuk tiga bidangsektor yaitu untuk usaha pertanain, perikanan dan peternakan, dengan pengertian pertanian termasuk juga perkebunan. Dengan adanya pembatasan ini maka Hak Guna usaha tidak dapat diberikan untuk usaha-usaha lain seperti untuk real-estate, pemukiman penduduk, dan untuk ind 109 Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, Bandung: Alumni, 1999, hal. 54 110 Penjelasan Pasal 16 UUPA 111 AP. Parlindungan, Beberapa Pelaksanaan Kegiatan dari UUPA, Bandung: Mandar Maju, 1992, hal. 7 Universitas Sumatera Utara usaha industri atau pemukiman yang tidak ada kaitannya dengan dengan ketiga bidang usaha tersebut. Untuk keperluaan usaha pertanian, peternakan dan perikanan tersebut tidak mungkin di suatu areal yang kecil. Oleh karena itu Pasal 28 UUPA mentolerir penguasaan tanah yang melampaui batas sebagai pengecualian dari Pasal 7 dan 17 UUPA, dengan catatan HGU ini haruslah banyak mempergunakan tenaga kerja dan tidak m aknya harus ada investasi modal yang besar serta manaje dengan jangka waktu terbatas, aling lama 25 tahun 2. Untuk perusahaan yang memrlukan waktu lebih lama dapat diberikan HGU untuk waktu paling lama 35 tahun ungkin dengan suatu cafital intensif dengan mempergunakan mesin-mesin sehingga tidak mempekerjakan buruh atau sedikit sekali buruh. 112 Sebagai konsekuensi HGU diberikan untuk usaha-usaha pertanian, peternakan dan perikanan maka dalam pemberian HGU membutuhkan persyaratan-persyaratan khusus dibanding pemberian terhadap hak-hak atas tanah lainnya, seperti memerlukan modal yang besar tersebut hanya dapat terhimpun dalam suatu bentuk badan hukum dan setidak-tid men yang baik termasuk penguasaan teknologi yang tinggi dan memerlukan keterampilan yang khusus. 113 HGU merupakan hak atas tanah yang diberikan hal ini dapat diketahui dari ketentuan dalam Pasal 29 UUPA, yaitu: 1. HGU diberikan untuk waktu p 112 AP. Parlindungan, Komentar atas Undang-undang Pokok Agraria, Op.cit, hal. 40 113 AP. Parlindungan, Beberapa pelaksanaan Kegiatan UUPA, Op.cit, hal. 8 Universitas Sumatera Utara 3. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya, jangka waktu yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 Pasal ini dapat diperpanjang dalam waktu paling lama 25 tahun. Dengan memperhatikan Pasal 29 UUPA di atas, bahwa jangka waktu HGU adalah 25 tahun atau 35 tahun dan kemudian dapat diperpanjang lagi paling lama 25 tahun, dengan demikian jika diperhitungkan jangka waktu HGU keseluruhannya 85 tahun. Jangka waktu dengan sedemikian lama tersebut adalah mengingat keperluan perusahaan yang mengembangkan komoditas tanaman yang berumur panjang seperti kelapa sawit, karet, kelapa, kopi dan lain-lain. Jika dibandingkan dengan Hak Konsesi atau Hak Erfacht pada zaman kolonial Belanda, maka jangka waktu tersebut lebih lama dari jangka waktu Hak Erfacht atau Hak Konsesi yaitu 75 tahun. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 8 ayat 2 PP Nomor 40 tahun 1996 disebutkan bahwa sesudah jangka waktu HGU di atas tanah yang sama, artinya bisa memperoleh tambahan jangka waktu hak ditambah dengan perpanjangannya 114 . Perpanjangan jangka waktu dan perubahan HGU harus diajukan selambat- lambatnya 2 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu HGU yang bersangkutan. Menurut ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, khusus bagi kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan atau pembaharuan Hak dapat dilakukan sekaligus dengan pembayaran uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan HGU. 114 T. Malya Lubis, Tanah dan Penanaman Modal Asing, Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Hukum Agraria Universitas Sumatera Utara Untuk dapat diberikan perpanjangan atau pembaharuan atas tanah HGU harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 PP Nomor 40 Tahun 1996, yaitu: a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut. b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak. c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak. Mengenai subjek HGU, baik menurut UUPA maupun PP Nomor 40 Tahun 1996 memberikan persepsi yang sama. Pasal 30 UUPA dan Pasal 2 PP Nomor 40 Tahun 1996 disebutkan bahwa yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha adalah: a. Warga Negara Indonesia: dan b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Orang atau badan hukum yang memiliki HGU dan tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana yang tersebut dalam ayat 1 Pasal ini, maka dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Jika pihak yang mempunyai HGU tidak lagi memenuhi syarat sebagai subjek hak dan HGU yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak ini hapus karena hukum dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Peraturan Pemerintah. Universitas Sumatera Utara Dengan demikian orang asing atau badan hukum asing tidak dapat memiliki hak atas tanah yang berupa HGU. Bila ada perusahaan asing yang ingin menanamkan modalnya dalam HGU haruslah dalam rangka penanaman modal asing dan dengan persetujuan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal BKPM barulah mereka dapat beroperasional setelah mendirikan badan hukum Indonesia. Demikian juga halnya jika usaha tersebut berupa patungan, maka berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1980 tentang Pemanfaatan Tanah HGU dan HGB dalam rangka Penanaman Modal, dimungkinkan usaha patungan dengan ketentuan HGU -nya dipegang atau didaftar atas nama peserta dari Indonesia. 115 Terhadap Subjek HGU dikenakan kewajiban sebagai berikut: a. Membayar uang pemasukan kepada Negara b. Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya. c. Mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis. d. Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal HGU. e. Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian, kemampuan lingkungan hidup, sesuai peraturan yang berlaku. 115 AP. Parlindungan, Komentar atas Undang-undang Pokok Agraria, Op.cit, hal. 168-169 Universitas Sumatera Utara f. Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan haknya. g. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGU kepada Negara sesudah haknya hapus. h. Menyerahkan sertifikat HGU yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan 116 . Bertitik tolak dari pengertian HGU, maka tanah yang dapat diberikan HGU adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara tanah negara atau tanah yang belum dilekati oleh sesuatu hak atas tanah menurut UUUPA. Apabila tanah tersebut merupakan kawasan hutan, pemberian HGU dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996. HGU dapat juga diberikan kepada perusahaan perkebunan atas tanah yang status haknya sudah ada sebelum berlakunya UUPA seperti Hak Erfacht, Hak Konsesi atau Hak Sewa dengan ketentuan wajib dikonversi menjadi HGU paling lama 24 september 1980 117 . Hal menarik dan merupakan perkembangan hukum tentang ketentuan yang menyangkut status tanah yang dapat diberikan HGU adalah penegasan dimungkinkannya pemberian HGU di atas tanah ulayat. Hal itu diatur dalam Peratutan Menteri Negeri AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Masalah Hak Ulayat masyarakat hukum adat. 116 Sudarga Gautama dan Ny. Elida T. Sortyanto, Komentar atas Peraturan-peraturan Pelaksanaan UUPA, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 107 117 Pasal III dan IV Ketentuan—Ketentuan Konversi Universitas Sumatera Utara Dalam Pasal 4 ayat 2 diatur bahwa pelepasan tanah ulayat untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan HGU atau Hak Pakai dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu, sesudah jangka waktu habis atau tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau diterlantarkan sehingga HGU dan Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang Hak Ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada. Akan tetapi sekalipun dimungkinkan diberikan HGU di atas Hak Ulayat baik oleh UUPA dan ditegaskan kembali dalam Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 namun hingga saat ini belum ada ketentuan yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaannya di lapangan. Sementara luas tanah yang dapat diberikan dengan HGU adalah minimum 5 Ha untuk perorangan, sedangkan kepada badan hukum yang ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan dengan mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu satuan usaha yang paling berdaya guna di bidang tersebut. Tentang batasan luas tanah yang dapat diberikan dengan HGU tersebut merupakan salah satu kekhususan HGU dari hak-hak atas tanah lainnya seperti hak milik, Hak Guna Bangunan yang terkena larangan penguasaan tanah melampaui batas bagi pemegang haknya, seperti diatur dalam undang-undang Nomor 56 Prp tahun Universitas Sumatera Utara 1960 yang hanya memperkenankan penguasaan tanah pertanian maksimum 20 Ha di daerah yang kurang padat penduduknya. Keberadaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai Undang-unadang Pokok tidak saja secara tegas dinyatakan dalam judul Undang-undagnya, tetapi juga diperlihatkan dalam Pasal demi pasal yang mengatur bidang agraria tersebut. Kendati Undang-undang secara formal merupakan suatu peraturan yang dibuat oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat tetapi mengingat sifatnya sebagai peraturan dasar, dalam Undang-undang tersebut hanya dimuat asas-asas dan garis besarnya saja. Sedangkan pelaksanaan lebih lanjut diatur dalam berbagai Undang-undang, Peraturan-peraturan Pemerintah dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. 118 Terbitnya UUPA seakan dimaknai sebagai bagian dari keberhasilan Bangsa Indonesia untuk secara perlahan melepaskan diri dari keterikatan peraturan hukum agraria yang bersendikan pemerintah jajahan yang amat bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara dalam melaksanakan pembangunan. Di samping itu, terjadi dualisme peraturan yaitu berlaku Peraturan-peraturan dari hukum adat dan peraturan yang didasarkan pada hukum Barat sebagai akibat dari politik hukum pemerintah jajahan. Situasi ini tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dan memicu konflik antar golongan yang dapat memecah belah persatuan. 119 118 Arie Sukanti Hutagalung, SH, M. LI dan Markus Gunawan, SH, M. Kn, Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 61 119 Arie Sukanti Hutagalung, SH, M. LI dan Markus Gunawan, SH, M. Kn, Op.cit ,hal. 67 Universitas Sumatera Utara Kenyataan negara Indonesia sebagai negara agraris menyebabkan bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan yang maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana yang merupakan impian dari bangsa Indonesia. Untuk itu hukum agraria yang berlaku harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa dan sesuai dengan kepentingan rakyat dan negara. 120 PTPN II merupakan Badan Usaha Milik Negara BUMN yang mendapat perlindungan hukum oleh Undang-undang. Sebagai badan hukum yang mengelola asset negara, PTPN II sudah tentu memiliki izin pengelolaan yakni Hak Guna Usaha dan kepadanya juga diberikan hak dan kewajiban dalam pengelolaannya. Pekebunan Sampali khususnya, memiliki sertifikat HGU No 1102003 yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang pada tanggal 20 Juni 2003 berdasarkan permohonan perpanjangan HGU yang diajukan pada tahun 1997. Pada tahun 2005 sertifikat HGU Nomor 110 dibatalkan oleh Badan Pertanahan Nasional dikarenakan sebagian areal perkebunannya dikeluarkan dari status HGU berdasarkan SK HGU BPN RI Nomor 42 Tahun 2002. Setelah dilakukannya pengeluaran sebagian areal HGU perkebunan Sampali, Badan Pertanahan Nasional melakukan pemecahan areal perkebunan Sampali menjadi 4 empat bidang dan sertifikat HGU-nya pun terbagi menjadi empat empat sertifikat dengan nomor 149, 150, 151 dan 152. Terhadap tanah yang statusnya telah 120 Ibid, hal. 68 Universitas Sumatera Utara dikeluarkan dari areal HGU oleh Badan Pertanahan Nasional, maka berdasarkan Pasal 18 PP No. 40 Tahun 1996 tanah tersebut secara langsung dikuasai oleh negara. Dan berdasarkan Diktum keempat SK BPN RI No42HGU2002 tentang Pemberian Perpanjanagan Jangka Waktu Hak Atas Tanah terletak di Kabupaten Deli Serdang, terhadap tanah yang yang telah dikeluarkan dari areal HGU, maka kepada ekas pemegang HGU diwajibkan menyerahkan pengaturan, penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah tersebut kepada Gubernur Sumatera Utara untuk selanjutnya diperoses sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku setelah memperoleh izin pelepasan asset dari menteri yang berwenang. Dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 ditegaskan sebagai berikut: 1 Sertifikat merupakan suatu tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. 2 Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 lima tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala Universitas Sumatera Utara kantor pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut. Usaha yang menuju kearah kepastian hukum atas tanah tercantum dalam ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah, dalam pasal 19 UUPA disebutkan untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas tanah, UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat ‘Rech Kadaster” artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan di selenggarakannya pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status hukum dari pada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang melekat di atas tanah tersebut. Menurut para ahli disebutkan tujuan pendaftaran ialah untuk kepastian hak seseorang, disamping untuk menghindarkan suatu sengketa perbatasan dan juga untuk penetapan suatu perpajakan. 121 a. Kepastian hak seseorang Maksudnya dengan suatu pendaftaran, maka hak seseorang itu menjadi jelas misalnya apakah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak- hak lainnya. b. Menghindari suatu sengketa perbatasan 121 A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1990, hal. 51 Universitas Sumatera Utara Apabila sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang sudah didaftar, maka dapat dihindari terjadinya sengketa tentang perbatasannya, karena dengan didaftarnya tanah tersebut, maka telah diketaui berapa luasnya serta batas-batasnya. c. Penetapan suatu perpajakan Dengan diketahuinya berapa luas sebidang tanah, maka berdasarkan hal tersebut dapat ditetapkan besar pajak yang harus dibayar oleh seseorang. Dalam lingkup yang lebih luas dapat dikatakan pendaftaran itu selain memberi informasi mengenai suatu bidang tanah, baik penggunaannya, pemanfaatannya, maupun informasi mengenai untuk apa tanah itu sebaiknya dipergunakan, demikian pula informasi mengenai kemampuan apa yang terkandung di dalamnya dan demikian pula informasi mengenai bangunannya sendiri, harga bangunan dan tanahnya, dan pajak yang ditetapkan. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti tersebut di atas, maka untuk itu UUPA melalui pasal-pasal pendaftaran tanah menyatakan bahwa pendaftaran itu diwajibkan bagi pemegang hak yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan lagi bahwa tujuan dari pendaftaran tanah tersebut adalah sebagai berikut: 122 a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak 122 A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Bandung: Mandar Maju, 1998, Op cit, hal. 126 Universitas Sumatera Utara lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Di dalam kenyataannya tingkatan-tingkatan dari pendaftaran tanah tersebut terdiri dari: a. Pengukuran Desa demi Desa sebagai suatu himpunan yang terkecil. b. Dari peta Desa demi Desa itu akan memperlihatkan bermacam-macam hak atas tanah baik Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan maupun tanah-tanah yang masih dikuasai oleh negara. c. Dari peta-peta tersebut akan dapat juga diketahui nomor pendaftaran, nomor buku tanah, nomor surat ukur, nomor pajak, tanda batas dan juga bangunan yang ada di dalamnya. Maka sesuai Pasal 19 UUPA dan Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 serta Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka PTPN II yang telah memiliki sertifikat HGU yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional secara yuridis telah memperoleh kepastian hukum atas tanahnya dan serta merta mendapat perlindungan hukum oleh Undang-undang. Universitas Sumatera Utara Akan tetapi apabila dalam proses pendaftaran atau penerbitan sertifikat HGU- nya yang masih terdapat kekeliruan atau mengandung persoalan, maka perlu kiranya ditinjau ulang baik dari segi administrasi, hak-hak lain atas tanahnya, ukuran luas maupun sejarah keberadaan tanah tersebut untuk mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum atas hak tanah, terlebih-lebih menghindarkan meluasnya sengketa yang sering terjadi. D. Perlindungan Hukum Terhadap Kelompok Masyarakat Penggarap Di Sumatera Utara yang dahulu dikenal sebagai Sumatera Timur terdapat sedikitnya ada 5 kelompok masyarakat hukum adat yang sejak dahulu cukup aktif memperjuangkan tuntutan terhadap tanah-tanah ulayat yang diklaim telah diambil secara sepihak oleh pihak perkebunan negara. Kelima kelompok masyarakat hukum adat tersebut, yakni: 1. Kesultanan Deli 2. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia BPRPI 3. Badan Kesejahteraan Masyarakat Adat Deli BKMAD 4. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Serdang KMHAS 5. Forum Perjuangan Tanah Adat Untuk Masyarakat Tani Melayu Deli Forum PETA Umat. 123 Sedangkan khusus di areal PTPN II Perkebunan Sampali tidak semua lembaga masyarakat hukum adat tersebut di atas yang melakukan tuntutan terhadap aeral 123 Tim Peneliti Independen Penelitian Masalah Tanah Eks. HGU PTPN II di Sumatera Utara, Sengketa Pertanahan Dan Alternative Penyelesaian, Op cit, hal. 224 Universitas Sumatera Utara tersebut. Dari kelima Lembaga tersebut hanya Kelompok Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia BPRPI Desa Sampali yang termasuk dalam memperjuangkan tuntutan lahan tersebut. Kelompok merupakan Cabang dari BPRPI Sumatera Utara yakni BPRPI Desa Sampali yang diketuai oleh Bapak Daud. Sebelumnya kelompok ini diketuai oleh orang tuanya yang bernama Bapak Asnawi. Pada saat terakhir penelitian dilakukan penulis diareal Perkebunan Sampali, setidaknya terdapat 6 enam kelompok lain yang sedang melakukan tuntutan terhadap areal tersebut. Keenam kelompok tersebut pada awalnya merupakan satu kesatuan dengan kelompok BPRPI, akan tetapi belakangan mereka memisahkan diri disebabkan faktor internal di tubuh organisasi tersebut. Adapun kelompok-kelompok masyarakat yang saat ini melakukan tuntutan terhadap tanah Perkebunan Sampali, diantaranya: 124 1. Kelompok masyarakat atas nama BPRPI yang menduduki lahan seluas 40 ha yang diketuai oleh Bapak Daud. Kelompok ini telah membuka satu kampung di areal tersebut yang bernama Kampung BPRPI 2. Kelompok masyarakat penggarap yang diketuai oleh Bapak Mujimin. Kelompok ini telah yang menduduki lahan seluas 63 Ha 3. Kelompok masyarakat penggarap yang diketuai saudara Ibrahim Wijaya. Kelompok ini telah menduduki lahan seluas 30 ha 4. Kelompok masyarakat penggarap yang diketuai oleh Bapak Ismail. Kelompok ini telah menduduki lahan seluas 30 Ha yang berada di Desa Tambak Bayan 124 Wawancara dengan Bapak Daud sebagai Ketua BPRPI Desa Sampali Universitas Sumatera Utara 5. Kelompok masyarakat penggarap yang diketuai oleh Bapak Syahrum yang telah menduduki lahan seluas 93 Ha 6. Kelompok masyarakat lainnya atas nama masyarakat setempat di Pasar VIII seluas 7 Ha. Jadi dari catatan keseluruhan luas Perkebunan Sampali versi PTPN II seluas 1.809, 43 Ha, maka areal yang digarap oleh masyarakat terhitung seluas ± 263 Ha. Sehingga sisa luas areal perkebunan yang masih utuh berjumlah 1.544 Ha. Mengenai sisa luas areal perkebunan Sampali ini terdapat perbedaan dengan jumlah luas yang diakui oleh Kelompok BPRPI. Menurut versi BPRPI bahwa dengan pendudukanpenggarapan masyarakat terhadap lahan perkebunan Sampali seluas 263 ha, maka sisa luas areal perkebunan sampali saat ini hanya berjumlah 1100 ha lagi. Keseluruhan Kelompok tersebut di atas, memiliki dasar penggarapan yang sama. Adapun dasar penggarapan yang dilakukan masyarakat di atas areal Perkebunan Sampali yakni berdasarkan Surat Keterangan Tanah yang dikeluarkan Oleh Kepala desa dan Camat Setempat. Surat tersebut oleh diterbitkan Kepala Desa dan Camat didasarkan kepada bukti-bukti alas hak yang dimiliki masyarakat, seperti Kartu Tanda Pendaftaran Pemilikian Tanah KTPPT yang dikeluarkan Reorganisasi Pemakaian Tanah KRPT Sumatera Timur. Tanah-tanah yang digarap oleh masyarakat mulai pada tahun 1999 hingga saat ini, telah banyak dialihkan diperjualbelikan kepada masyarakat pendatang yang membutuhkan tanah. Dari hasil pantauan, hampir seluruh masyarakat yang menduduki kawasan tersebut bukan penduduk asli daerah tersebut, tetapi mereka Universitas Sumatera Utara berasal dari daerah-daerah lain yang membangun rumah di daerah tersebut sebagai tempat tinggal. Dan sebagaian ada yang bercocok tanam yang kebetulan tanah tanahnya relatif subur. Kondisi ini sangat memperumit dalam hal proses penyelesaian sengketa yang terjadi, mengingat jumlah bangunan di daerah tersebut telah mencapai empat ratusan dan ada pula yang mencapai harga miliaran rupiah.. Apabila dalam penyelesaian nantinya pihak Perkebunan kembali memperoleh tanahnya maka negara harus mengeluarkan biaya yang besar sebagai ganti rugi kepada masyarakat. Sebab setiap warga negara yang haknya dicabut oleh pihak manapun termasuk negara, maka si pemegang hak wajib mendapat perlindungan hukum berupa ganti rugi yang adil. Hal ini berdasarkan pada Pasal 18 UUPA No. 5 Tahun 1960 yang menyatakan: ”Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang- undang”. Berdasarkan penelitian di lapangan, diketahui bahwa sebagian kelompok- kelompok masyarakat pengagarap areal Perkebunan Sampali memiliki dokumen- dokumen berupa KTPPT, Surat-surat Keterangan Tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Desa dan Camat setempat. Akan tetapi sebagian kelompok hanya memiliki fotocopy dokumen yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang pada masa lalu. Keabsahan fotocopy dokemen-dokumen tersebut sulit diteliti kebenarannya, Universitas Sumatera Utara mengingat data pembanding yang seharusnya merupakan arsip di kantor Pertanahan sudah tidak ada lagi dikarenakan alasan pindah kantor maka arsip tersebut hilang. Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa Perkara Kasasi Perdata antara PT Perkebunan Nusantara II PTPN II melawan Muhammad Darwis Dkk Kelompok BPRPI telah mengeluarkan Putusan Nomor 1734 KPdt2001 yang menolak permohonan Kasasi oleh PTPN II dan menghukum pemohon Kasasi PTPN II membayar biaya perkara pada tingkat kasasi tersebut. Adapun pertimbangan Hakim menolak permohonan kasasi PTPN II dalam putusan kasasai tersebut yakni berdasarkan dalil-dalil yang diajukan oleh para penggugat, di muka persidangan Pengadilan Negeri lubuk Pakam di antaranya, bahwa masyarakat adat yang terhimpun dalam BPRPI telah berdiam di sekitar Sumatera Timur dikenal dengan istilah petani reba atau berladang reba. Sistem perladangan yang dikembangkan oleh orang tua para penggugat dahulunya diatur oleh ketua adat atau pemangku adat. Pihak-pihak yang berperkara dalam perkara kasasi perdata ini, terdiri dari PT Perkebunan Nusantara II diwakili Direktur utamanya, Ir. E Sitorus memberikan kuasa kepada Posman Nababan, Drs. Rasman Purba dan Armida Siregar, SH sebagai pemohon kasasi yang sebelumya sebagai Tergugat I melawan Muhammad Darwis beserta 744 orang lainnya sebagai termohon Kasasi yang sebelumnya merupakan para penggugat yang tergabung dalam masyarakat adat BPRPI Kampung Tanjung Mulia, Kecamatan Percut Sei Tuan Pasar III, IV dan V Desa Sampali Kabupaten Deli Serdang. Universitas Sumatera Utara Bahwa hukum adat yang dianut oleh masyarakat adat Sumatera Timur tidak dapat diubah atau dicabut oleh siapapun kecuali masyarakat adat itu sendiri dan UUPA Nomor 51960 Pasal 3 dan 5 mendapat tempat sebagai sumber hukum yang diakui keberadaannya. Dan kedudukan penggugat dengan tanahnya memiliki hubungan magic-religius yang tidak dapat dilepaskan dengan ketentuan yuridid formal. Kemudian mengenai kontrak pertama antara Sultan Deli dengan Penguasaha belanda bernama Nienhuys, dalam akta kontrak selalu terdapat dua macam ketentuan yakni, kewajiban pihak perkebunan wajib mengadakan tanah bercocok tanam untuk rakyat penunggu dan kewajiban pihak perkebunan menyerahkan tanah bekas tanaman Tembakau tanah jaluran kepada rakyat penunggu untuk ditanami padi. Dalil lain yaitu berdasarkan SK Direktorat Agraria Medan atas nama Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara No: 592.17321 – 702783 tanggal 16 Februari 1983, di mana dinyatakan tanah seluas lebih kurang 9085 ha dikeluarkan dari areal HGU PTP IX yang ditegaskan menjadi objek landreform, selanjutnya akan didistribusikan kepada peteni penunggu yang berhak. Tanah tersebut terletak di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat. Selanjutnya pihak PTPN II sebagai tergugat memperoleh HGU Perkebunan Berdasarkan Surat Menteri Agraria No. 24HGU1965 tertanggal 10 Juni 1965 untuk 35 tahun secara tidak sah dan melawan hukum, dengan cara mengambil alih secara sepihak dan merampas tanah-tanah yang selam ini dikuasai penunggu dengan melakukan kekerasan pysik dan ketidakadilan dalam bentuk penangkapan, Universitas Sumatera Utara penahanan, penghancuran rumah ibadah, pengrusakan serta melakukan tindakan keji yang mengakibatkan para penggugat mengahadapi tindakan yang tidak manusiawi dan harus terusir dari kampung sendiri. Dalam pemeriksaan Persidangan tingkat Pertama Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, majelis hakim juga telah menolak Eksepsi dari Tergugat PTPN II. Dan dalam pokok perkara disebutkan, mengabulkan gugatan untuk sebagian, menyatkan bahwa perbuatan Tergugta adalah perbuatan melawan hukum serta menghukum Tergugat I untuk membayar ganti kerugian kepada para Pengguagat sebesar Rp. 1.154.586,590. Kemudian dalam pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Medan atas permohonan tergugat, telah dikuatkan oleh pengadilan Tinggi Medan dengan putusannya pada tanggal 06 Oktober 2000 No. 279Pdt2000PT.Mdn. Meskipun telah dikeluarkannya putusan dari Mahkamah Agung RI yang mengabulkan gugatan para penggugat atas areal perkebunan yang berada di Pasar III, IV dan V Desa Sampali, namun hingga saat ini belum ada eksekusi dari Pengadilan. Tidak adanya eksekusi tersebut disebabkan belum adanya Pelepasan asset oleh Menteri BUMN sesuai Undang-undang yang berlaku. Sehingga tanah yang menjadi tuntutan masyarakat adat yang telah diakui haknya oleh Putusan pengadilan belum dapat memperoleh kepastian hak. Merujuk kepada putusan Mahkamah Agung RI tersebut, dapat dianalisis bahwa Undang-undang melalui putusan pengadilan telah mengakui keberadaan hak atas tanah masyarakat hukum adat. Dan juga putusan ini seharusnya dapat dijadikan Universitas Sumatera Utara yurisprudensi, dalam menangani sengketa pertanahan khususnya kasus-kasus pertanahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan di areal HGU. Putusan tersebut baru merupakan salah satu penyelesaian sengketa pertanahan di areal HGU perkebunan Sampali. Di sana masih banyak terdapat tuntutan-tuntutan yang serupa dari kelompok masyarakat yang berbeda-beda, yakni tuntutan terhadap tanah masyarakat hukum adat. Jika Putusan Mahakamah Agung RI Nomor 1734 KPdt2001 dijadikan yurisprudensi dalam menangani sengketa pertanahan kelompok-kelompok masyarakat hukum adat lainnnya yang saat ini sedang mengalami jalan buntu. Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 mengenai pendudukan dan penggarapan rakyat atas areal perkebunan merupakan suatu produk hukum yang melegalisasi adanya penggarapan atas tanah perkebunan pada masa itu. Dan juga Pasal 13 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No 11 Tahun 1962 menegaskan bahwa areal perkebunan yang telah digarap rakyat dikecualikan dari pemberian Hak Guna Usaha. 125 Hukum adat di Indonesia merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia yang mengedepankan keseimbangan antara kepentingan bersama dengan kepentingan perorangan. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan dengan memposisikan manusia dan masyarakatnya dalam 125 Dayat Limbong, Opcit, hal. 183 Universitas Sumatera Utara posisi yang selaras, serasi dan seimbang sehingga tidak ada pertentangan antara masyarakat dengan individu. 126 Pemberlakuan UUPA sebagai langkah unifikasi hukum agraria dengan menempatkan hukum adat sebagai basisnya, pada tataran praktek justru mengesampingkan dan cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Tanah- tanah ulayat yang merupakan milik persekutuan adat dan dipergunakan untuk kepentingan hidup dan pembangunan masyarakat adat yang bersangkutan banyak yang digunakan untuk kepentingan sekelompok tertentu. Hal ini selain disebabkan oleh penafsiran yang keliru terhadap peraturan yang ada juga dikarenakan banyaknya peraturan perundangan dan kebijakan lokal yang saling tumpang tindih dan berujung pada legitimasi praktek-praktek penyelewengan asas-asas yang terkandung dalam UUPA. Hukum Agraria Nasional harus mewujudkan penjelmaan dari asas kerohanian, negara dan cita-cita bangsa yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Prikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari ketentuan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Konsep hak menguasai negara secara empiris telah ditafsirkan menjadi tanah dimiliki negara. Dalam artian konsep tanah negara telah dipandang sebagai elaborasi dari konsep tanah dikuasai negara, padahal konsep hak menguasai negara atas tanah hanya bersifat regularis. Wacana tanah negara sangat menakutkan bagi rakyat, sebab 126 Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Jakarta: Penerbit Republika, 2008, hal. 57 Universitas Sumatera Utara ketika negara berkehendak misalnya karena pembangunan, menguasai sebidang tanah maka dengan mudahnya negara akan mengambil kembali tanah yang dimilikinya. Sejarah mencatat bahwa negara selalu menang ketika berhadapan dengan rakyatnya sendiri. 127 Pasal 18 ayat 2 UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tegas negara mengakui dan memberikan pengakuan dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat termasuk hak-hak tradisionalnya. Hal ini merupakan bukti komitmen dan upaya dari negara untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat termasuk hak ulayat yang selama ini terpinggirkan. Namun sangat disayangkan pengakuan terhadap hak ulayat lebih pada law in book, karena pelaksanaannya tidak jarang terbentur pada persyaratan diakuinya keberadaan hak ulayat itu sendiri yang mengharuskan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Pada tataran praktek pemanfaatan tanah hak ulayat untuk kepentingan pembangunan maupun investor melalui pola penguasaan tanah melalui Hak Guna Usaha HGU berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat pemegang hak ulayat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, HGU bisa ditetapkan pada tanah-tanah selain tanah yang dikuasai langsung oleh Negara melalui mekanisme pelepasan hak dan pengeluaran status kawasan. Hal ini merupakan perluasan pemberian alas HGU berdasarkan UUPA. 127 Dayat Limbong, Opcit, hal. 184 Universitas Sumatera Utara Dalam praktek, penetapan HGU melalui mekanisme pelepasan hak justru didahului dengan paksaan dan klaim sepihak dari Negara, dengan mengabaikan transparansi, akuntibilitas, dan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan soal alokasi sumber-sumber agraria. Masalah ini juga terjadi dalam pola pengeluaran status kawasan hutan untuk alokasi tanah HGU. Penetapan tanah HGU di wilayah ini dapat dipastikan menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal, baik soal penguasaan maupun masalah pengerjaan tanahnya. Universitas Sumatera Utara

BAB IV UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ANTARA PTPN II

Dokumen yang terkait

Sisa-Sisa Budaya Feodalisme Pada Masyarakat Perkebunan (Studi deskriptif pada Masyarakat Perkebunan di PTPN II Tandem Hilir I Kec. Hamparan Perak Kab. Deli Serdang)

7 82 89

Komposisi Komunitas MakroFauna Tanah Untuk Memantau Kualitas Tanah Secara Biologis Pada Areal Perkebunan PTPN II Sampali Kecamatan Percut Sei Tuan

4 29 59

Hubungan Penggunaan Tenaga Kerja Panen dengan Efisiensi Biaya pada Perkebunan Tembakau (Studi Kasus : PTPN II Sampali)

0 17 74

Prospek Produksi Perkebunan Tebu Terhadap Peningkatan Pendapatan Karyawan PT. PN II Sampali Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang ( Studi Kasus : PTPN II Sampali Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang )

0 31 98

Korelasi Beberapa Sifat Tanah Dengan Produksi Pada Tanaman Tembakau Deli Di PTPN II Sampali Kabupaten Deli Serdang

0 44 53

Alas Hak Atas Tanah Yang Dikuasai Rakyat Pada Areal Perkebunan PTPN II Di Kabupaten Deli Serdang

1 61 5

Masyarakat Dan Perkebunan , Studi Mengenai Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat Versus PTPN-II Dan PTPN-III Di Sumatera Utara (Community And Plantations: A Study Of Land Dispute Between Community Versus PTPN-II And PTPN-III In North Sumatera

0 34 431

TAHAPAN KONFLIK AGRARIA ANTARA MASYARAKAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH (STUDI: KONFLIK MASYARAKAT NAGARI ABAI DENGAN PEMERINTAH KABUPATEN SOLOK SELATAN MENGENAI HAK GUNA USAHA PT. RANAH ANDALAS PLANTATION).

0 2 17

Sengketa Hak Guna Usaha Antara PTPN XII

0 0 30

SENGKETA PERTANAHAN HAK MASYARAKAT ADAT DENGAN HAK GUNA USAHA (HGU) PERKEBUNAN SAWIT DI KALIMANTAN SELATAN Fat’hul Achmadi Abby

0 0 20