Analisis Ekonomi Uji Ransum Berbasis Pelepah Daun Sawit, Lumpur Sawit Dan Jerami Padi Fermentasi Dengan Phanerochaete Chrysosporium Pada Sapi Peranakan Ongole

(1)

ANALISIS EKONOMI UJI RANSUM BERBASIS PELEPAH DAUN SAWIT, LUMPUR SAWIT DAN JERAMI PADI FERMENTASI DENGAN

Phanerochaete chrysosporium PADA SAPI PERANAKAN ONGOLE

SKRIPSI

O L E H

LAMTIUR MANURUNG 030306015

IPT

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

ANALISIS EKONOMI UJI RANSUM BERBASIS PELEPAH DAUN SAWIT, LUMPUR SAWIT DAN JERAMI PADI FERMENTASI DENGAN

Phanerochaete chrysosporium PADA SAPI PERANAKAN ONGOLE

SKRIPSI

Oleh:

LAMTIUR MANURUNG 030306015

IPT

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Meraih Gelar Sarjana Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara Medan

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(3)

Judul Proposal : Analisis Ekonomi Uji ransum Berbasis Pelepah Daun Sawit, Jerami Padi dan Jerami Jagung Fermentasi dengan

Phanerochaete chrysosporium Pada Sapi Peranakan Ongole

Nama : Lamtiur Manurung Nim : 030306015

Departemen : Peternakan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

(Ir.Armyn Hakim Daulay, MBA) (Ir.Iskandar Sembiring, MM) Ketua Anggota

Mengetahui

(Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP) Ketua Departemen


(4)

ABSTRACT

Lamtiur Manurung., 2008 ” The Economy Analysis of Experiment Rations Based with palm oil rib, rice stubbles and corn stubbles was fermentated with Phanerochaete chrysosporium for Beef of Peranakan Ongole” under advices of Ir. Armyn Hakim Daulay, MBA as supervisor and Ir. Iskandar Sembiring, MM as co- supervisor.

This research was conducted in Kebun Laras PTPN IV, Serbalawan sub-district, Simalungun district during three month from 27th August until 20th November 2007.

The objectives of this research was to know the value economy of ration Based with palm oil rib, rice stubbles and corn stubbles was fermentated with Phanerochaete chrysosporium for Beef of Peranakan Ongole, that seem from the total of production cost, the total of production income, profit and loss, benefit cost ratio, break even point of price and break even point of production volume.

The experiment was using completely randomized design (CRD) by three treatments and six replications, where the treatment were P1 (rations based palm oil rib fermentation with Phanerochaete chrysosporium), P2 (rations based rice stubbles fermentation with Phanerochaete chrysosporium), P3 (rations based corn stubbles fermentation with Phanerochaete chrysosporium).

The result of this research showed that given rations based on palm oil

rib, rice stubbles, and corn stubbles fermentation with Phanerochaete chrysosporium in feed giving not significantly different to the total

of production cost, the total of production income, profit and loss, benefit cost ratio, break even point of price and break even point of production volume. In conclusions, make used of rations based on palm oil rib, rice stubbles and corn stubbles was give economy value so recomeded the location of livestock farm on easy to get in garden location, rice stubbles location and corn stubbles location.


(5)

ABSTRAK

Lamtiur Manurung., 2008 ”Analisis Ekonomi Uji ransum Berbasis Pelepah Daun Sawit, Jerami Padi dan Jerami Jagung Fermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium Pada Sapi Peranakan Ongole”, dibawah bimbingan Ir. Armyn Hakim Daulay, MBA sebagai ketua komisi pembimbing dan bapak Ir. Iskandar Sembiring, MM sebagai anggota.

Penelitian dilaksanakan di PTPN IV Kebun Laras, Kecamatan Serbalawan Kabupaten Simalungun selama 3 bulan dimulai dari 27 Agustus sampai 20 November 2007.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai ekonomi dari penggunaan pelepah daun sawit, jerami padi dan jerami jagung fermentasi Phanerochaete chrysosporium pada sapi Peranakan Ongole dilihat dari biaya produksi, hasil produksi, laba rugi, benefit cost ratio, BEP harga dan BEP volume produksi.

Metode yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) terdiri dari 3 perlakuan dan 6 ulangan, dimana setiap ulangan terdiri dari 6 ekor sapi.Perlakuan yang digunakan adalah P1 (ransum berbasis pelepah daun sawit fermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium), P2 (ransum berbasis jerami padi fermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium), P3 ( ransum berbasis jerami jagung fermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ransum berbasis pelepah daun sawit, jerami padi dan jerami jagung fermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap total biaya produksi, total hasil produksi, laba rugi, B/C ratio, BEP harga dan BEP volume produksi. Kesimpulan bahwa ransum berbasis pelepah daun sawit, jerami padi dan jerami jagung memberikan pengaruh nilai ekonomi yang sama, sehingga dapat dimanfaatkan didasarkan kemudahan memperolehnya di lokasi usaha.


(6)

RIWAYAT HIDUP

LAMTIUR MANURUNG, lahir pada tanggal 23 Juli 1984 di Adiankoting, Kec. Adiankoting Kab. Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Anak

pertama dari empat bersaudara dari Ayahanda J. Manurung dan Ibunda

K. Hutabarat

Pengalaman hidup yang ditempuh penulis hingga saat ini : Riwayat pendidikan :

• Tahun 1992 memesuki SD Negeri 2 No. 173148 Adiankoting tamat tahun 1997

• Tahun 1997 memasuki SLTP Negeri 2 Adiankoting tamat tahun 2000

• Tahun 2000 memasuki SMU Negeri ! Adaiankoting tamat tahun 2003

• Tahun 2003 memasuki Perguruan Tinggi Negeri Universitas Sumatera Utara Pengalaman selama kuliah

• Tahun 2003 menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Departemen Peternakan

• Tahun 2003 menjadi anggota UKM KMK USU UP FP

• Menjadi asisten Laboratorium Ilmu Makanan Ternak periode 2005/2006

• Pada tanggal 6 juni sampai 6 agustus 2006 mengikuti Praktek Verja Lapangan (PKL) di P.T Lela Wangsa Sentana, Langkat

• Pada bulan Agustus sampai bulan November 2007 melaksanakan penelitian di PTPN IV Kebun Laras, Kec. Serbalawan Kab. Simalungun


(7)

KATA PENGANTAR

Terpujilah Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kasih-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Adapun judul dari skripsi ini adalah ”Analisis Ekonomi Uji Ransum Berbasis Pelepah Daun Sawit, Jerami Padi dan Jerami Jagung Fermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium Pada Sapi Peranakan Ongole” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis mengucapakan terimakasih kepada bapak Ir. Armyn Hakim Daulay, MBA selaku ketua komisi pembimbing dan bapak Ir. Iskandar Sembiring, MM selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada bapak Dr. Ir. Zulfikar Siregar, M.P., selaku ketua Departemen Peternakan dan Ibu Ir. Tri Hesty Wahyuni, Msc, selaku sekretaris Departemen Peternakan.

Penulis menyadari bahwa skripsi masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan kedepan. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas saran yang diberikan, dan berharap skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2008


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ...i

ABSTRAK...ii

RIWAYAT HIDUP...iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Hipotesis Penelitian... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA... 4

Sapi Peranakan Ongole (PO) ... 4

Potensi dan Produktivitas Ternak Sapi Ongole... 5

Pertumbuhan dan Pertambahan Bobot Badan Sapi... 5

Pakan Ternak Sapi ... 7

Pakan Berbasis Limbah Perkebunan Kelapa Sawit ... 8

Pakan Berbasis Limbah Pertanian... 10

Bahan Pakan Pelengkap ... 12

Fermentasi ... 14

Analisis Ekonomi ... 16

Biaya Produksi ... 17

Penerimaan Pendapatan ... 18

Analisis Laba-Rugi ... 19

B/C Ratio (Benefit cost ratio) ... 21

Analisa BEP (Break even point) ... 22

IOFC (Income over feed cost) ... 23

BAHAN DAN METODE PENELITIAN... 25

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25

Bahan dan Alat Penelitian... 25

Bahan Penelitian ... 25

Alat Penelitian... 25

Metode Penelitian ... 26


(9)

Pelaksanaan Penelitian ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

Hasil ... 32

Total Biaya Produksi... 32

Total Hasil Produksi... 34

Analisis Laba-Rugi... 34

B/C Ratio (Benefit cost ratio) ... 35

BEP(Break even point)... 36

IOFC (Income over feed cost) ... 38

Pembahasan... 39

Total Biaya Produksi... 39

Total Hasil Produksi... 40

Analisis Laba rugi ... 41

B/C Ratio (Benefit cost ratio) ... 42

BEP (Break even point) Harga... 43

BEP(Break even point) Volume Produksi... 44

IOFC (Income over feed cost) ... 45

KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

Kesimpulan ... 46

Saran... 46

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

No Hal

1. Kebutuhan zat gizi untuk pertumbuhan penggemukan

pedet dan sapi muda jantan ... 8

2. Kandungan nilai gizi lumpur sawit ... 9

3. Kandungan nilai gizi pelepah daun pelepah sawit ... 9

4 Kandungan nilai gizi bungkil inti sawit ... 10

5. Kandungan nilai gizi molases ... 10

6. Kandungan nilai gizi jerami jagung ... 11

7. Kandungan nilai gizi jerami padi ... 11

8. Kandungan nilai gizi dedak padi... 12

9. Kandungan nilai gizi onggok ... 12

10. Kandungan nilai gizi mineral dalam ultra mineral... 14

11. Formulasi ransum yang dipakai ... 30

12. Total biaya produksi... 33

13. Total hasil produksi... 34

14. Laba rugi ... 35

15. B/C ratio ... 35

16. BEP harga produksi ... 36

17. BEP volume produksi ... 37

18. Income over feed cost ... 38

19. Daftar sidik ragam total biaya produksi ... 38

20. Daftar sidik ragam total hasil produksi ... 40

21. Daftar sidik ragam laba rugi... 41

22. Daftar sidik ragam B/C ratio ... 42

23. Daftar sidik ragam BEP harga produksi... 43

24. Daftar sidik ragam BEP volume produksi ... 44


(11)

DAFTAR GAMBAR

No

Hal

1. Pertumbuhan sapi Peranakan Ongole... 7 2. Titik keseimbangan BEP harga ... 37 3. Titik keseimbangan BEP volume produksi... 38


(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan merupakan sektor penyumbang terbesar dalam penyediaan kebutuhan pangan khususnya kebutuhan protein hewani. Kebutuhan protein hewani semakin meningkat, seiring dengan pertambahan penduduk, meningkatnya pengetahuan, peningkatan pendapatan serta kesadaran akan pentingnya kebutuhan protein dalam kehidupan manusia, Ternak ruminansia berperanan besar dalam memproduksi protein hewani yang dibutuhkan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan protein tersebut diperlukan jumlah ternak yang cukup besar. Namun faktor produksi ternak masih terkendala dengan ketersediaan bahan pakan hijauan dan biji-bijian untuk ternak, karena terbatasnya lahan untuk penanaman hijauan.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, harus diupayakan mencari pakan alternatif yang potensial, murah dan mudah diperoleh serta terus tersedia sepanjang tahun. Dalam hal ini limbah perkebunan kelapa sawit dan limbah pertanian merupakan pilihan utama, yang bisa dijadikan sebagai pakan alternatif, dimana sampai saat ini limbah tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Bila dilihat dari data statistik perkebunan SUMUT tahun 2006 luas areal tanaman sawit mencapai 1.044.230 Ha, produksi kelapa sawitnya (TBS) mencapai 2.935.244 ton, dimana dalam satu hektar kebun kelapa sawit dapat menghasilkan 494.1 ton pelepah daun sawit, limbah PKS (Pabrik kelapa sawit) sebanyak 0.042 ton lumpur sawit, dan 567 kg BIS (Bungkil Inti Sawit). Hasil sampingan pabrik kelapa sawit masing-masing yaitu 0.2% Lumpur sawit dan Bungkil Inti Sawit 45% dari TBS (tandan buah sawit segar) yang diolah. Penggunaannya dalam pakan sapi


(13)

memberikan nilai tambah yakni menambah pakan dan mengurangi pencemaran lingkungan serta menambah nilai bagi petani.

Bahan pakan yang berasal dari limbah perkebunan mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi, khususnya lignin yaitu bahan yang tidak dapat dicerna, sehingga mengganggu pencernaan zat-zat lain dan tingkat kecernaan menurun. Oleh karena itu pakan difermentasikan dengan Phanerochaete chrysosporium untuk meningkatkan kecernaannya.

Phanerochaete chrysosporium adalah jamur lapuk putih dari kelas basidiomycetes yang dikenal kemampuannya dalam mendegradasi lignin, karena Phanerochaete chrysosporium menghasilkan enzim peroksidase ektraseluler yang berupa lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) untuk mendegradasi lignin.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengetahui sejauh mana nilai ekonomi pemberian limbah perkebunan dan pertanian fermentasi Phanerochaete chrysosporium pada sapi Peranakan Ongole.

Analisa usaha ternak sangat diperlukan untuk mengetahui kelayakan suatu usaha peternakan. Untuk itu penulis mencoba melakukan analisa terhadap usaha penggemukan sapi yang menggunakan pakan pelepah daun sawit, jerami padi dan jerami jagung fermentasi Phanerochaete chrysosporium terhadap produksi sapi peranakan Ongole.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui nilai ekonomi dari penggunaan ransum berbasis pelepah daun sawit, jerami padi dan jerami jagung fermentasi Phanerochaete chrysosporium pada sapi Peranakan Ongole.


(14)

Hipotesis Penelitian

Pemberian ransum berbasis pelepah daun sawit, jerami padi dan jerami jagung fermentasi Phanerochaete chrysosporium memberikan nilai ekonomi yang sama.

Kegunaan Penelitian

• Sebagai bahan informasi bagi peternak sapi serta masyarakat pada umumnya, mengenai penggunaan pelepah daun sawit, jerami padi dan jerami jagung fermentasi Phanerochaete chrysosporium terhadap produksi sapi Peranakan Ongole ditinjau dari sudut ekonomi.

• Sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian sarjana di Departemen Peternakan pada Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.


(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Peranakan Ongole (PO)

Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, mereka dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Menurut

Williamson and Payne (1993), bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi

sebagai berikut: Phylum : Chordata, Subphylum : Vertebrata, Class : Mamalia, Ordo: Artiodactyla, Sub ordo : Ruminantia, Famili : Bovidae, Genus : Bos, Spesies : Bos Indicus

Murtidjo (1990) melaporkan bahwa ciri-ciri sapi Peranakan Ongole (PO) adalah: Persentase karkas 44%, warna bulu putih kehitam-hitaman dengan warna kulit kuning, tinggi sapi jantan dan betina mencapai + 135-150 Cm, bobot badan sapi jantan mencapai 600 Kg dan bobot badan sapi betina mencapai 450 Kg, termasuk tipe sapi pekerja, terdapat lipatan kulit dibawah leher dan perut, dan telinga panjang menggantung.

Potensi dan Produktivitas Ternak Sapi Ongole

Sapi potong sebagai penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia didukung oleh populasi sekitar 12,1 juta ekor yang didominasi oleh tiga bangsa sapi utama yakni sapi Peranakan Ongole (67%), sapi Bali (26%) dan sapi Madura (7%) (Ditjenak, 1998).

Saat ini penyebaran sapi Peranakan Ongole telah meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia, konsentrasi sapi Peranakan Ongole terbesar adalah di Jawa dan Sumatera, tetapi diberbagai daerah penyebarannya ada seperti di


(16)

daerah Madura, kalimantan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Utara. Pada tahun 2005 ditaksir jumlah sapi Peranakan Ongole di Indonesia sekitar 3,2 juta (www.google.com).

Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan penting artinya didalam kehidupan masyarakat. Sebab seekor ternak atau sekelompok ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan, terutama sebagai makanan berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang dan kulit yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan industri kulit (Sugeng, 2000).

Pertumbuhan dan Pertambahan Bobot Badan Sapi

Menurut Anggorodi (1990) pertumbuhan murni mencakup urat daging, tulang, otak, dan semua jaringan tubuh lainnya (kecuali jaringan lemak) dan alat-alat tubuh. Pada umumnya pertumbuhan pada ternak mamalia dapat dibagi dalam dua periode yakni prenatal dan postnatal, pertumbuhan prenatal berlangsung antara waktu ovum dibuahi sampai anak lahir, dan pertumbuhan postnatal adalah pertumbuhan setelah lahir.

Potensi pertumbuhan dalam periode ini dipengaruhi oleh faktor bangsa dan jenis kelamin. Pola pertumbuhan ternak tergantung pada sistem manejemen yang dipakai, tingkat nutrisi yang tersedia, kesehatan dan iklim. Laju pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh umur, lingkungan dan genetik dimana bobot badan awal fase penggemukan berhubungan dengan bobot badan dewasa (Tomaszeweska et al.,1993).


(17)

Anonimous (1982) melaporkan bahwa sapi Peranakan Ongole hasil perkawinan silang dari sapi Ongole Sumba dengan sapi Brahman sapi Peranakan Ongole sudah banyak menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Sifat dari sapi Peranakan Ongole adalah mudah beradaptasi dengan lingkungan, tenaganya kuat, daya tahan terhadap panas tinggi (17,90C-40,40C) dan pemeliharaannya tidak sulit serta dapat memanfaatkan bahan-bahan yang berserat kasar tinggi seperti jerami dan alang-alang, diperoleh sifat ekonomisnya sebagai berikut : Berat lahir 24 kg, berat sapih (umur 6-7 bulan) rata-rata 143 kg., berat pada umur 1-24 bulan rata-rata 260 kgdanpertambahan bobot badan mencapai 0.8 kg/hari.

Proses pertumbuhan yang dialami ternak sapi ini dimulai semenjak awal terjadinya pembuahan hingga pedet itu lahir, dilanjutkan sampai sapi menjadi dewasa. Selama proses pertumbuhan ini berlangsung, bisa dilukiskan sebagai kurva berbentuk seperti huruf ”S”. Kurva ini menunjukkan pertumbuhan saat pembuahan berlangsung lambat, kemudian menjadi agak cepat pada saat menjelang kelahiran. Sesudah pedet lahir pertumbuhan semakin cepat hingga usia penyapihan. Dari usia penyapihan hingga usia pubertas laju pertumbuhan masih bertahan pesat. Akan tetapi dari usia pubertas hingga usia jual laju pertumbuhannya mulai menurun dan akan terus menurun hingga usia dewasa, dan akhirnya pertumbuhanya terhenti (Sugeng, 2000). Pada Grafik 1 dapat dilihat pertumbuhan sapi Peranakan Ongole.


(18)

Bobot Badan (Kg)

>615 Umur Jual

425-615 Dewasa

260

Umur Pubertas

143

Penyapihan 24

Kelahiran

0-23 Pertumbuhan

0-9 0 6-7 18-23 24 25 Umur (Bulan) Grafik 1. Pertumbuhan sapi Peranakan Ongole

Sumber: Anonimous (1982).

Pakan Ternak

Menurut Kartadisastra (1997) kebutuhan ternak terhadap pakan jumlahnya setiap hari tergantung pada jenis, umur ternak, fase pertumbuhan (dewasa, bunting, dan menyusui). Kondisi tubuh (normal atau sakit) dan lingkungan tempat hidupnya serta bobot badannya.

Pakan yang diberikan jangan sekedar dimaksudkan untuk mengatasi lapar atau sebagai pengisi perut saja melainkan harus benar-benar bermanfaat untuk kebutuhan hidup, membentuk sel-sel baru, mengganti sel-sel yang rusak dan untuk produksi. (Widayati dan Widalestari, 1996).

Penyediaan pakan harus diupayakan secara terus-menerus dan sesuai dengan standar gizi menurut status ternak yang dipelihara. Pemberian pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi ternak dapat menyebabkan defisiensi zat makanan sehingga ternak mudah terserang penyakit (Cahyono, 1998).


(19)

Tabel 1. Kebutuhan zat gizi untuk pertumbuhan – penggemukan pedet dan sapi- muda Jantan (dalam bahan kering)/hari

Berat (kg) Tambahan berat (kg) Makanan kasar (%) Protein kasar (%) TDN (%) ME (Mcal/kg) Ca (%) P (%) 100 150 200 250 300 350 400 450 0,0 0,7 1,1 0,0 0,7 1,1 0,0 0,7 1,1 0,0 0,9 1,3 0,0 0,9 1,3 0,0 0,9 1,3 0,0 1,0 1,3 0,0 1,0 1,3 100 50-60 15 100 50-60 15 100 70-80 15 100 45-50 15 100 55-65 15 100 45-55 15 100 45-55 15 100 45-55 15 8,7 14,8 18,2 8,7 12,6 15,6 8,5 10,8 13,6 8,5 11,1 12,7 8,6 10,0 11,7 8,5 10,0 10,8 8,5 9,4 10,4 8,5 9,3 10,4 55 70 86 55 70 86 55 64 86 55 72 86 55 83 55 72 83 55 72 86 55 72 72 86 2,0 2,5 3,1 2,0 2,5 3,1 2,0 2,3 3,1 2,0 2,6 3,1 2,0 2,5 3,0 2,0 2,6 3,0 2,0 2,6 3,1 2,0 2,6 3,1 0,18 0,70 1,04 0,18 0,46 0,76 0,18 0,32 0,59 0,18 0,35 0,50 0,18 0,27 1,41 0,18 0,25 0,32 0,18 0,22 0,29 0,18 0,19 0,26 0,18 0,48 0,70 0,18 0,36 0,54 0,18 0,28 0,43 0,18 0,31 0,38 0,18 0,23 0,32 0,18 0,22 0,28 0,18 0,21 0,26 0,18 0,19 0,25

Sumber: NRC (1995).

Pakan Berbasis Limbah Perkebunan Kelapa Sawit Lumpur Sawit

Lumpur Sawit merupakan larutan buangan yang dihasilkan selama proses ektraksi minyak, yang mengandung padatan, sisa minyak dan air, biasanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Lumpur sawit dapat diberikan secara langsung atau setelah mendapat perlakuan. Pada ternak ruminansia, lumpur sawit


(20)

tanpa perlakuan dapat diberikan sampai 50% dari konsentrat (Hutagalung dan Jalaluddin, 1982)

Tabel 2. Kandungan nilai gizi lumpur sawit

Uraian Kandungan (%) Protein kasar 13,2a Lemak kasar 13b Serat kasar 17,8a Abu 13,9a TDN 79b

Sumber : a. Laboratorium Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2005). b. Laboratorium Makanan Ternak IPB Bogor (2000).

Pelepah Daun Kelapa Sawit

Pelepah daun kelapa sawit merupakan limbah padat perkebunan kelapa sawit, dimana keberadaannya cukup melimpah sepanjang tahun di Indonesia, khususnya Sumatera Utara. Dilihat dari kandungan protein kasar, pelepah daun kelapa sawit setara dengan mutu hijauan (Prayitno dan Darmoko, 1994).

Tabel 3. Kandungan nilai gizi pelepah daun kelapa sawit

Uraian Kandungan (%) Bahan kering 93,4 a Protein kasar 5,8 a Lemak kasar 5,8 a Serat kasar 48,6 a Energi (Kkal/Kg) 5600 b

Sumber:a. Laboratorium Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU Medan (2000) b. Laboratorium Makanan Ternak IPB Bogor (2000)

Bungkil Inti Sawit

Menurut Davendra (1997) protein bungkil inti sawit lebih rendah daripada bungkil yang lain. Namun demikian masih dapat dijadikan sebagai sumber protein. Kandungan asam amino esensialnya cukup lengkap, imbangan kalsium fospor cukup lengkap


(21)

Tabel 4. Kandungan nilai gizi bungkil inti sawit

Uraian Kandungan (%) Berat kering 92,6a Protein kasar 15,4a Lemak kasar 2,4a Serat kasar 16,9a TDN 72,0b EM (Kkal/kg) 2810,0b Sumber: a. Laboratorium Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2005) b. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak IPB Bogor (2000).

Molases

Molases merupakan hasil sampingan pengolahan tebu menjadi gula. Bentuk fisiknya berupa cairan yang kental dan berwarna hitam. Kandungan karbohidrat, protein, dan mineral yang cukup tinggi, sehingga bisa dijadikan pakan ternak walaupun sifatnya sebagai pakan pendukung. Kelebihan molases terletak pada aroma dan rasanya, sehingga bila dicampur pada pakan ternak bisa memperbaiki aroma dan rasa ransum (Widayati dan Widalestari, 1996).

Tabel 5. Kandungan nilai gizi molases

Uraian kandungan (%) Bahan kering 67,50 Protein kasar 3-4 Lemak kasar 0,08 Serat kasar 0,38 TDN 81,00 Sumber: Laboratorium Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2000).

Pakan Berbasis Limbah Pertanian Jerami Jagung

Jerami jagung merupakan sisa dari tanaman jagung setelah buahnya dipanen dikurangi akar dan sebagian batang yang tersisa dan dapat diberikan pada ternak, baik dalam bentuk segar maupun kering. Pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai makanan ternak ruminansia seperti kerbau, sapi, kambing dan domba (Jamarun, 1991).


(22)

Tabel 6. Kandungan nilai gizi jerami jagung

Uraian Kandungan

Abu 8,42a

Protein kasar 3 ,3b

Lemak kasar 1,06a

Serat kasar 30,5a

TDN 30,0b

Bahan kering 60,0b

Sumber : Jamarun (1991) Sumoprastowo (1993).

Jerami Padi

Jerami padi adalah bagian batang dan daun padi setelah dipanen bulir-bulir bersama dengan tangkainya dikurangi dengan batang dan bagian batang yang tertinggal setelah disabit. Kartadisastra (1997) melaporkan jerami padi masih potensial sebagai sumber energi, tetapi daya cernanya rendah. Konsumsinya menjadi terbatas, namun jumlahnya sangat besar. Karakteristiknya ditandai dengan rendahnya kandungan protein, mineral, khususnya kalsium dan fospor sedangkan serat kasarnya tinggi.

Tabel 7. Kandungan nilai gizi jerami padi

Uraian Kandungan (%) Bahan kering 3,5

Protein kasar 4,5 Serat kasar 35,0 Lemak kasar 1,5 TDN 43,0 Sumber: NRC (1995).

Dedak Padi

Dedak padi merupakan hasil ikutan dalam proses pengolahan gabah menjadi beras yang mengandung bagian luar yang tebal, tetapi bercampur dengan bagian penutup beras. Hal ini yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya serat kasar dedak. Bila dilihat dari pengolahan gabah menjadi beras dapat dipastikan serat kasarnya tinggi (Rasyaf, 1992).


(23)

Tabel 8. Kandungan nilai gizi dedak padi

Uraian Kandungan (%) Bahan kering 89,1

Protein kasar 13,8 Lemak kasar 8,2 Serat kasar 8,0 TDN 64,3 Sumber: NRC (1995).

Onggok

Pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka dihasilkan limbah yang disebut onggok. Ketersediaan onggok sangat bergantung pada jumlah varietas dan mutu ubi kayu yang diolah menjadi tapioka, ekstraksi pati tapioka. Moertinah (1984) melaporkan bahwa dalam pengolahan ubi kayu menghasilkan 15-20% pati dan 5-20% onggok kering, sedangkan onggok basah dihasilkan 70-79%.

Tabel 9. Kandungan nilai gizi onggok

Uraian Kandungan

Bahan Kering 81,7

Protein kasar 0,6

Lemak kasar 0,4

Serat kasar 12

TDN 76

Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU Medan (2000) Bahan Pakan Pelengkap

Urea

Murtidjo (1990) melaporkan bahwa pemberian Nitrogen Non-Protein (NPN) pada makanan sapi dalam batas tertentu, seperti penggunaan urea cukup membantu ternak untuk mudah mengadakan pembentukan asam amino esensial. Penggunaan urea tidak bisa lebih dari setengah persen dari jumlah bahan kering dan lebih dari 2 gr untuk setiap bobot badan 100 kg ternak.


(24)

Urea CO(NH2)2 ditambahkan dalam pakan ruminansia dengan kadar yang berbeda-beda ternyata dirombak menjadi protein oleh mikroorganisme rumen. Sejumlah protein dan urea mempertinggi daya cerna sellulosa dalam hijauan (Anggorodi, 1990). Basir (1990) melaporkan bahwa selain meningkatkan kualitas hijauan, urea juga dapat sebagai pengganti protein butir-butiran. Urea dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein dan pertumbuhan produksi ternak ruminansia.

Urea yang diberikan didalam pakan ruminansia, didalam rumen akan dipecah oleh enzim urease menjadi amonium, dimana amonium bersama mikroorganisme akan membentuk protein mikroba dengan bantuan energi. Apabila urea berlebih atau tidak dicerna oleh tubuh ternak maka urea akan diabsorbsi oleh dinding sel rumen. Kemudian dibawa aliran darah ke hati dan didalam hati dibentuk kembali amonium yang akhirnya diekresikan melalui urine dan feses (Parakkasi, 1995).

Ultra Mineral

Mineral adalah zat anorganik, yang dibutuhkan dalam jumlah yang kecil, namun berperan penting agar proses fisiologis dapat berlangsung dengan baik. Mineral digunakan sebagai kerangka pembentukan tulang, gigi, pembentukan darah, pembentukan jaringan tubuh serta diperlukan sebagai komponen enzim yang berperan dalam proses metabolisme didalam sel. Penambahan mineral dalam pakan ternak dapat dilakukan untuk mencegah kekurangan mineral dalam pakan (Setiadi dan Inouno, 1991).


(25)

Penambahan mineral dapat meningkatkan pertambahan bobot badan 10-25% dan dapat menurunkan mortalitas. Sapi tidak dapat memenuhi kebutuhan mineral dari pakannya (Parakkasi, 1995).

Tabel 10. Kandungan nilai gizi ultra mineral

Uraian Kandungan (%) Kalsium karbonat 50,00

Fospor 25,00 Mangan 0,35 Iodium 0,20 Kalium 0,10 Cuprum 0,15 Sodium 22,00 Magnesium 0,15 Clorida 1,05 Iron 0,80 Zincum 0,20 Sumber: Eka Farma

Garam

Garam atau biasanya dikenal dengan NaCl merangsang sekresi saliva. Terlalu banyak garam akan menyebabkan retensi air sehingga menimbulkan udema. Defisiensi garam lebih sering terdapat pada hewan herbivora daripada hewan lainnya. Ini disebabkan hijauan dan butiran mengandung sedikit garam. Gejala defisiensi garam adalah nafsu makan hilang, bulu kotor, makan tanah, keadaan badan tidak sehat, produksi mundur sehingga menurunkan bobot badan (Anggorodi, 1990).

Fermentasi

Fermentasi adalah proses penguraian unsur-unsur organik kelompok terutama karbohidrat untuk menghasilkan energi melalui reaksi enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang biasanya terjadi dalam keadaan anaerob dan diiringi dengan pembebasan gas (Sarwono, 1996).


(26)

Penambahan bahan-bahan nutrien kedalam fermentasi dapat menyokong dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu bahan yang dapat digunakan pada proses fermentasi adalah urea. Urea yang akan ditambahkan pada proses fermentasi akan diurai oleh enzim urease menjadi amonia dan karbondioksida yang selanjutnya digunakan untuk pembentukan asam amino (Fardiaz, 1989).

Melalui fermentasi terjadi pemecahan substrat oleh enzim – enzim tertentu terhadap bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Selama proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang, selain dihasilkan enzim juga dihasilkan protein ekstraselluler dan protein hasil

metabolisme kapang sehingga terjadi peningkatan kadar protein (Winarno, 1997 disitasi sembiring, 2006).

Phanerochaete chrysosporium

Phanerochaete chrysosporium memiliki klasifikasi sebagai berikut: Divisio : Mycota, sub divisio : Eumycota, class : Bacidiomycetes, famili : Hymenomyceta, genus : Phanerochaete, spesies : Phanerochaete chrysosporium (Herlina, 1998).

Phanerochaete chrysosporium adalah jamur lapuk putih dari kelas basidiomycetes. Phanerochaete chrysosporium menghasilkan enzim berupa peroksidase ekstraselular yang berupa lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) yang berperan dalam mendegradasi lignin (Valli et al, 1992 ).

Syarat tumbuh dari Phanerochaete chrysosporium adalah tumbuh pada suhu 390C dengan suhu optimum 370C dengan pH berkisar 4-4,5 dan memerlukan kandungan oksigen yang tinggi (Eaton et al, 1980 disitasi Sembiring, 2006).


(27)

Analisis Ekonomi

Dalam membangun suatu perusahaan, perlu beberapa pertimbangan ekonomi dasar seperti: apa yang dihasilkan, bagaimana menghasilkannya, seberapa banyak harus dihasilkan, dan bagaimana harus memasarkannya. Untuk itu perlu pencataan semua kegiatan keluar/masuknya selama periode penggemukkan. Hal ini disebabkan karena tanpa ada data yang lengkap meliputi catatan keluar masuknya pada sepanjang waktu pemeliharaan maka informasi apakah suatu usaha tersebut rugi atau laba menjadi tidak jelas. Dalam penerapannya perlu dicatat biaya tetap dan biaya variabel dan sekaligus penerimaannya. Analisis ekonomi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu pimpinan usaha peternakan dalam melengkapi informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan dalam merencanakan usaha. Namun sayang kegiatan ini jarang dilakukan oleh para peternak dipedesaan (Rasyaf, 1988).

Menurut Riyanto (1978) analisis ekonomi peternakan adalah usaha untuk mengetahui bagaimana kebutuhan dana tersebut digunakan. Dengan kata lain dengan analisis ekonomi tersebut dapat diketahui darimana datangnya dana, untuk apa dana itu digunakan dan sejauh mana keuntungan (profit) yang dicapai. Dengan mengetahui analisis tersebut maka pimpinan perusahaan akan dapat mengambil kebijaksanaan tentang penjualan produk yang hendak dicapai dan menekan tingkat kesalahan agar tidak mengalami kerugian. Disamping itu, pimpinan perusahaan dapat juga mengetahui laba yang diperoleh atau kerugian yang akan diderita dengan tingkat penjualan yang dapat dicapai perusahaan (Sirait, 1987).


(28)

Analisis usaha ternak merupakan kegiatan yang sangat penting bagi suatu usaha ternak komersial. Melalui usaha ini dapat dicari langkah pemecahan berbagai kendala yang dihadapi. Analisis usaha peternakan bertujuan mencari titik tolak untuk memperbaiki kendala yang dihadapi. Hasil analisis ini dapat digunakan untuk merencanakan perluasan usaha baik menambah cabang usaha atau memperbesar skala usaha. Berdasarkan data tersebut dapat diukur keuntungan usaha dan tersedianya dana yang riil untuk periode selanjutnya. Menurut Suharno dan Nazaruddin (1994) gambaran mengenai usaha ternak yang memiliki prospek cerah dapat dilihat dari analisis usahanya. Analisis dapat juga memberikan informasi lengkap tentang modal yang diperlukan, penggunaan modal, besar biaya untuk bibit, pakan dan kandang, lamanya modal kembali dan tingkat keuntungan yang diperoleh.

Biaya Produksi

Biaya adalah nilai dari semua korbanan ekonomis yang diperlukan yang tidak dapat dihindarkan, dapat diperkirakan dan dapat diukur untuk menghasilkan sesuatu produk. Biaya bagi perusahaan adalah nilai dari faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan output (Budiono 1990). Pengeluaran atau biaya bagi perusahaan adalah sebagai nilai input yang digunakan untuk memproduksi suatu output tertentu. Pengeluaran perusahaan adalah semua uang yang dikeluarkan sebagai biaya produksi (Kardarsan, 1995).

Biaya produksi tidak dapat dipisahkan dari proses produksi sebab biaya produksi merupakan masukan atau input dikalikan dengan harganya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ongkos produksi adalah semua pengeluaran atau


(29)

semua beban yang harus ditanggung oleh perusahaan untuk menghasilkan suatu jenis barang atau jasa yang siap untuk dipakai konsumen (Nuraini, 2003).

Wasis (1997) menyatakan biaya ialah pengorbanan-pengorbanan yang mutlak harus diadakan atau harus dikeluarkan agar dapat diperoleh sesuatu hasil. Untuk menghasilkan sesuatu barang atau jasa tentu ada bahan, tenaga dan jenis pengorbanan yang lain yang tidak dapat dihindarkan.

Menurut Syahruddin (1990) fungsi produksi adalah suatu daftar (schedule) yang memperlihatkan besarnya jumlah barang dan jasa secara maksimum, dapat dihasilkan oleh sejumlah masukan (input) tertentu pada tingkatan tehnologi tertentu. Yang diartikan dengan masukan disni adalah semua ongkos ekonomi yang terdiri dari berbagai faktor produksi dan bahan baku yang diperlukan.

Didalam teori biaya produksi dikenal biaya produksi jangka pendek dan biaya jangka panjang. Biaya produksi jangka pendek meliputi biaya tetap (fixed cost). Sedangkan produksi jangka panjang, semua biaya adalah biaya berubah. Biaya berubah adalah biaya yang besarnya berubah-ubah tergantung dari sedikit banyaknya jumlah output yang dihasilkan (Supriono, 2001).

Penerimaan Pendapatan

Perusahaan yang beroperasi atau mempunyai kegiatan sesuai dengan didirikannya perusahaan tersebut akan mengharapkan adanya penerimaan pendapatan dari operasi perusahaan yang dilaksanakan. Bagi perusahaan yang memproduksi barang, maka penerimaan pendapatan berasal dari penjualan barang tersebut. Demikian juga dengan perusahaan jasa, penerimaan pendapatan perusahaan tersebut berasal dari usaha penjualan jasa yang dilakukan perusahaan tersebut (Agus, 1990).


(30)

Nuraini (2003) melaporkan didalam pelaksanaan operasi perusahaan, kadang-kadang terdapat adanya penerimaan diluar operasi perusahaan, seperti penerimaan bunga bank karena perusahaan mempunyai rekening giro, penerimaan dari penjualan mesin dan peralatan yang tidak dipergunakan lagi. Namun demikian penerimaan tersebut tidak diperhitungkan, karena kegiatan tersebut tidak berasal dari kegiatan operasi perusahaan. Besarnya penerimaaan total dari perusahaan akan tergantung kepada banyaknya penjualan produk atau jasa. Dengan demikian maka besarnya penerimaan pendapatan akan tergantung kepada dua variabel yaitu variabel harga dan variabel jumlah yang dijual.

Napitupulu dan Pawitra (1990) melaporkan pendapatan adalah penciptaan barang-barang yang efektif sesuatu periode yang berkaitan dengan penerimaan. Penilaian kuantitas pendapatan menghasilkan penerimaan penjualan. Dengan demikian pendapatan ini dapat ditentukan secara pasti.

Penerimaan dapat dibagi menjadi penerimaan nyata dan penerimaan yang diperhitungkan. Penerimaan nyata adalah penerimaan yang diterima dari hasil penjualan baik tunai maupun piutang (kredit). Penerimaan yang diperhitungkan adalah nilai output yang dikonsumsi peternak atau yang dihadiahkan. Penerimaan bersumber dari pemasaran atau penjualan hasil usaha seperti panen tanaman dan

hasil olahannya serta panen dari peternakan dan hasil olahannya (Kadarsan, 1995).

Analisa Laba –Rugi

Keuntungan adalah tujuan setiap usaha. Keuntungan dapat dicapai jika jumlah pendapatan yang diperoleh dari usaha tersebut lebih besar daripada jumlah pengeluarannya. Bila keuntungan dari suatu usaha semakin meningkat, maka


(31)

secara ekonomis usaha tersebut layak dipertahankan atau ditingkatkan. Untuk memperoleh angka yang pasti mengenai keuntungan atau kerugian, yang harus dilakukan adalah pencatatan biaya. Tujuan pencatatan biaya juga agar peternak atau pengusaha dapat mengadakan evaluasi terhadap bidang usaha (Murtidjo, 1995).

Laba merupakan ukuran yang membedakan antara apa yang perusahaan masukkan untuk membuat dan menjual produk dengan apa yang diterimanya. Perhitungan laba jelas untuk banyak keputusan manejemen. Jika laba konsisten positif, perusahaan dapat tetap berada dalam bisnis tersebut, tetapi jika mengalami kerugian perusahaan dapat mencari produk yang lain yang akan diolah yang dapat mendatangkan keuntungan (Hansen dan Mowen, 2001).

Untuk memperoleh angka yang pasti mengenai tingkat keuntungan atau kerugian suatu usaha, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pencatatan, baik untuk pos-pos pengeluaran (biaya) maupun pos-pos pendapatan. Sekecil apapun biaya dan pendapatan tersebut harus dicatat. Dalam usaha penggemukan sapi pencatatan mutlak harus dilakukan. Tujuannya adalah agar peternak atau pengusaha dapat mengadakan evaluasi terhadap bidang usahanya, sehingga kerugian besar bisa dihindarkan sejak dini. Selain itu analisis ekonomi bisa terus dilakukan, sehingga usaha bisa berjalan lebih efisien dari waktu ke waktu secara

keseluruhan akan semakin meningkatkan jumlah keuntungan (Sodiq dan Abidin, 2002).

Pada umumnya perusahaan akan merencanakan keuntungan total didalam pelaksanaan operasi perusahaan. Akan lebih mudah untuk memperhitungkan keuntungan yang dicapai oleh perusahaan dengan target keuntungan perunit dari


(32)

produk yang dijual. Besarnya keuntungan perunit dipengaruhi oleh volume atau tingkat produksi dalam perusahaaan, maka perubahan volume penjualan dari jumlah yang direncanakan akan ikut mempengaruhi besar keuntungan perunit yang telah ditentukan tersebut (Agus, 1990).

Pencatatan perlu dilakukan untuk dua pos besar yaitu pos pengeluaran atau biaya dan pos pendapatan. Biaya dibagi menjadi dua bagian yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variable (variable cost). Biaya tetap diartikan sebagai biaya yang besarnya tetap, walaupun hasil produksinya berubah sampai batas tertentu. Termasuk dalam biaya tetap ini adalah sewa lahan, bangunan kandang, pembelian peralatan dan tenaga kerja. Biaya variabel jumlahnya dapat berubah sesuai hasil produksi atau harga dipasaran pada waktu itu . Termasuk dalam biaya ini adalah biaya pembelian sapi bakalan dan biaya pakan (Sudarmono dan Sugeng, 2005).

Keuntungan yang optimal juga dapat diperoleh dengan peningkatan produktifitas ternak, lingkungan dan peternak itu sendiri. Meningkatkan produktifitas dengan cara memperhatikan rencana pengembangan ternak disamping mengendalikan suasana kandang, makanan, parasit dan penyakit,

pergerakan perkawinan dan pengetahuan tentang ternak itu sendiri (Edey et all ., 1981).

B/C Ratio (benefit cost ratio)

Efisiensi usaha tani ditentukan dengan menggunakan konsep BCR (benefit cost ratio), yaitu imbangan antara total penghasilan (out put) dengan total biaya (input). Nilai BCR > 1 menyatakan usaha tersebut menguntungkan. Semakin besar nilai BCR maka usaha dinyatakan semakin efisien (Karo-karo et al.,1995).


(33)

B/C Ratio adalah nilai atau manfaat yang diperoleh dari setiap satuan biaya yang dikeluarkan. Dimana B/C Ratio diperoleh dengan cara membagikan total penerimaan dengan total pengeluaran. Kadariah (1987) menyatakan bahwa untuk mengetahui tingkat efisiensi suatu usaha dapat digunakan parameter yaitu dengan mengukur besarnya pemasukan dibagi besarnya kurbanan, dimana bila :

B/C Ratio > 1 : Efisien B/C Ratio = 1 : Impas

B/C Ratio < 1 : Tidak efisien

Analisis BEP (break event point)

Informasi yang sangat penting bagi suatu perusahaan antara lain adalah kapan perusahaan dapat menutup keseluruhan biaya total atau bahkan mencapai suatu laba minimum. Napitupulu dan Pawitra (1990) melaporkan bahwa analisis break event point adalah titik mati (titik impas) dimana tujuannya untuk menentukan kuantitas penjualan atau penerimaan dimana biaya total dapat ditutup atau bahkan memperoleh suatu laba minimum. Titik ini disebut titik pulang pokok.

Rony (1990) mengatakan analisis break event point (BEP) atau titik impas merupakan sarana bagi manajemen untuk mengetahui pada titik berapa hasil penjualan sama dengan jumlah biaya sehingga perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau kerugian. Break event point bermanfaat dalam memproyeksi penjualan yang diingini dalam rangka merealisir proyeksi laba atau mengkalkulasi kerugian seminimal mungkin.

Analisis pulang pokok, akan berusaha untuk mengetahui hubungan antara penerimaan pendapatan perusahaan, biaya dan tingkat produksi didalam sebuah


(34)

perusahaan, maka untuk menyusun perhitungan pulang pokok ini tentunya tidak terlepas dari masalah-masalah tersebut. Dengan demikian maka didalam perhitungan pulang pokok nantinya akan selalu berhubungan dengan masalah penerimaan pendapatan perusahaan, biaya yang harus ditanggung perusahaan dan tingkat produksi yang akan diselenggarakan oleh perusahaan.

Keadaan pulang pokok dalam perusahaan-perusahaan pada umumnya akan dapat terdiri dari beberapa macam, ada yang rendah dan ada pula yang tinggi. Besarnya marginal income yang diperoleh dalam perusahaan tersebut serta besarnya biaya tetap dalam perusahaan yang bersangkutan akan ikut mempengaruhi tinggi dan rendah pulang pokok dalam perusahaan, apabila biaya tetap yang ada dalam perusahaan relatif tinggi, sedangkan marginal income yang diperoleh rendah, maka pulang pokok yang ada dalam perusahaan yang bersangkutan ini akan menjadi tinggi, tetapi jika marginal income didalam perusahaan tinggi, maka pulang pokok yang terjadi akan menjadi rendah. Keadaan pulang pokok didalam perusahaan ini akan menjadi sedang (tidak rendah dan tidak pula tinggi) (Supriyono, 2001).

Dalam hal ini titik impas usaha penggemukan sapi akan dicapai dengan perhitungan sebagai berikut :

BEP Volume Produksi = Total biaya produksi Harga jual/kg

BEP Harga = Total biaya produksi


(35)

Income Over Feed Cost (IOFC)

Income Over Feed Cost (IOFC) adalah selisih dari total pendapatan dengan total biaya pakan yang digunakan selama usaha penggemukan ternak. IOFC ini merupakan barometer untuk melihat seberapa besar biaya pakan yang merupakan biaya terbesar dalam usaha penggemukan ternak. IOFC diperoleh dengan menghitung selisih pendapatan usaha peternakan dikurangi biaya pakan. Dalam usaha peternakan, biaya terbesar yang dikeluarkan adalah biaya variabel terutama biaya pakan dan biaya tenaga kerja. Besarnya biaya pakan berkisar antara 60-80% dari total biaya. Pendapatan merupakan perkalian antara produksi peternakan atau pertambahan bobot badan akibat perlakuan dengan harga jual (Prawirokusumo, 1990).


(36)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di PTPN IV kebun Laras, kecamatan Serbalawan kabupaten Simalungun selama 3 bulan penelitian. Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan November 2007.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan

- Sapi jantan Peranakan Ongole sebanyak 18 ekor (x = 206,89 Kg, sd ± 30,84 ; (145,21 kg - 268,57 kg)

- Pakan sapi sesuai dengan perlakuan masing-masing. - Rumput, sebagai pakan adaptasi

- Phanerochaete chrysosporium, sebagai bahan untuk fermentasi bahan

pakan. - Air minum.

- Obat-obatan, disesuaikan dengan kondisi sapi selama penelitian. - B-Kompleks, sebagai vitamin.

Alat

- Chopper, sebagai alat untuk mencacah bahan pakan dan hijauan. - Kandang individual 18 unit beserta perlengkapannya

- Ember - Goni plastik

- Tempat pakan dan minum.

- Lampu, sebagai alat penerangan kandang.


(37)

- Timbangan untuk menimbang bobot hidup berkapasitas 1000 kg dengan kepekaan 1 kg, timbangan 50 kg dengan kepekaan 50 gr dan timbangan untuk menimbang bahan pakan

- Alat tulis, sebagai alat pencatatan data selama penelitian

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 (tiga) perlakuan dan 6 (enam) ulangan.

P1 = Ransum berbasis pelepah daun sawit fermentasi yang terdiri dari: Pelepah daun sawit fermentasi, dedak padi, BIS, lumpur sawit, onggok, molases, urea, garam dan mineral.

P2 = Ransum berbasis jerami padi fermentasi yang terdiri dari : Jerami padi fermentasi, dedak padi, BIS, lumpur sawit, onggok, molases, urea, garam dan mineral.

P3 = Ransum berbasis jerami jagung fermentasi yang terdiri dari : Jerami jagung fermentasi, dedak padi, BIS, lumpur sawit, onggok, molases, urea, garam dan mineral.

Ulangan yang didapat berasal dari :

t (n – 1) > 15 3 (n – 1) > 15 3n - 3 > 15 3n > 18


(38)

Susunan perlakuan didalam penelitian :

P11 P21 P31

P12 P22 P32

P13 P23 P33

P14 P24 P34

P15 P25 P35

P16 P26 P36

Model rancangan acak lengkap (RAL) adalah : Yij = μ+ ゥi + Σij

Dimana :Yij : Hasil pengamatan pada ulangan ke-i dan perlakuan ke-j. i : 1, 2, 3 ( perlakuan)

j : 1, 2, 3, 4,5,6 (ulangan.)

μ : Nilai rata-rata (mean ) harapan ゥi : Pengaruh faktor perlakuan ke-i

ΣIj : Pengaruh galat (experimental error) perlakuan ke-i ulangan ke-j (Hanafiah, 2002).

Parameter Penelitian Total biaya Produksi

Total biaya produksi atau total pengeluaran yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk, diperoleh dengan cara menghitung:

- Biaya bakalan

- Biaya kandang ( sewa kandang) - Biaya peralatan


(39)

- Biaya obat-obatan - Biaya tenaga kerja

Total Hasil Produksi

Total hasil produksi atau total penerimaan yaitu seluruh produk yang dihasilkan dalam kegiatan ekonomi diperoleh dengan cara menghitung penjualan sapi (jumlah sapi yang dijual/harga/kilogram).

Analisa Laba- Rugi

Analisa laba rugi yaitu untuk mengetahui apakah usaha tersebut rugi atau menguntungkan dengan cara menghitung selisih antara total penerimaan (total reserve) dan total pengeluaran (total cost).

B/C Ratio (benefit cost ratio)

B/C Ratio (benefit cost ratio) diperoleh dengan cara membagikan total hasil produksi dengan total biaya produksi atau dituliskan dengan rumus:

B/C Ratio = Output Input

Dimana:

Output: Pengeluaran yang diperoleh dari usaha yang diberikan berupa hasil Penjualan

Input : Korbanan yang diberikan berupa biaya-biaya Dimana bila:

B/C Ratio > 1: Efisien B/C Ratio = 1 : Impas


(40)

BEP (break even point)

BEP (break even point) yaitu kondisi dimana suatu usaha dinyatakan tidak untung dan tidak rugi dan disebut titik impas. BEP (break even point) diperoleh dengan rumus:

BEP Volume Produksi = Total biaya produksi Harga jual/kg

BEP Harga = Total biaya produksi

Berat Sapi setelah penggemukan(kg)

Income Over Feed Cost (IOFC)

Income Over Feed Cost diperoleh dengan menghitung selisih pendapatan usaha peternakan dikurangi dengan biaya pakan. Pendapatan merupakan perkalian antara pertambahan bobot badan akibat perlakuan ( dalam kg bobot hidup) dengan harga jual, sedangkan biaya pakan adalah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan ternak tersebut ( Prawirokusumo, 1990).

Pelaksanaan Penelitian Persiapan kandang

Kandang dan semua peralatan yang digunakan seperti tempat pakan dan minum dibersihkan dan didesinfektan dengan rodalon

Pengacakan sapi

Sapi yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 18 ekor sapi jantan Peranakan Ongole. Sapi ditimbang bobot awalnya, kemudian dilihat apakah bobot awal dari 18 ekor sapi homogen yaitu dengan menggunakan rumus X ± 2 sd. Setelah bobot awalnya homogen kemudian ditempatkan ke unit percobaan secara acak.


(41)

Tabel 11.Formulasi pakan yang dipakai

No. Uraian P1 P2 P3

1. Pelepah Daun Sawit fermentasi 29 - - 2. Jerami Padi fermentasi - 28 - 3. Jerami Jagung fermentasi - - 32.5 4. BIS (Bungkil Inti Sawit) 23 23 23 5 Dedak Padi 16.65 11.3 5 6. Lumpur Sawit 9.34 15 20

7. Onggok 16.6 17.2 14.11 8. Molases 3 3 3

9. Urea 1.5 1.6 1.49 10. Garam 0.4 0.5 0.5 11. Mineral 0.4 0.4 0.4

12. Jumlah 100 100 100 13. Protein Kasar (PK) 12.3 12.3 12.3

14. Serat Kasar (SK) 19.1 19.1 19.1

15. TDN 67.1 67.2 67.2 Pemberian pakan dan minum

Pakan yang diberikan adalah dalam bentuk kering, bahan yang difermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium dicampur dengan ransum yang telah disusun formulanya. Ransum diberikan tiga kali sehari. Sisa ransum ditimbang keesokan harinya untuk mengetahui konsumsi sapi. Sebelum dilaksanakan penelitian diberikan waktu untuk beradaptasi selama dua minggu dengan pakan percobaan sedikit demi sedikit.

Pemberian air minum dilakukan secara ad libitum, air diganti setiap hari dan tempatnya dicuci dengan air bersih.

Pemberian Obat-obatan.

Ternak sapi pertama masuk kandang diberikan obat cacing selama masa adaptasi, sedangkan obat lainnya diberikan bila ternak sakit.

Parameter Penelitian A. Total biaya produksi


(42)

Total biaya produksi atau total pengeluaran yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk, diperoleh dengan menghitung data biaya :

1. Biaya bakalan = Jumlah bakalan x harga bakalan/ kg bobot hidup 2. Biaya ransum = Jumlah konsumsi ransum x harga ransum/kg 3. Upah tenaga kerja = Jumlah tenaga kerja x upah/orang

4. Sewa kandang = Berdasarkan sewa kandang

5. Biaya peralatan = Jumlah peralatan yang dipakai x harga peralatan 6. Biaya obat-obatan = Berdasarkan besarnya biaya obat-obatan

B. Hasil pendapatan diperoleh dari :

- hasil penjualan sapi = Jumlah sapi x harga sapi/kg bobot hidup C. Analisis laba rugi = Hasil pendapatan – total biaya produksi D. B/C Ratio = Hasil pendapatan

Total biaya produksi E. BEP harga = Total biaya produksi

Berat sapi setelah penggemukan (kg) BEP volume = Total biaya produksi

Harga jual/kg


(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

1.Total Biaya Produksi

Total biaya produksi adalah penjumlahan dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk tertentu. Sehingga diperoleh biaya produksi yang dikeluarkan selama penelitian ini sebagai berikut :

a. Biaya pembelian bakalan yaitu : biaya yang dikeluarkan untuk membeli

bakalan sapi sebanyak 18 ekor, dimana harga perkilogram bobot hidupnya Rp 20000., berat bakalan perlakuan yaitu : P1= 207.83 kg, P2= 211.33 kg, P3= 201.5 kg, maka rataan biaya untuk bakalan sapi untuk setiap ekor penelitian adalah P1= Rp 4.156.666,66,- P2= 4.226.666,66,- P3= 4.030.000,-

b.Biaya ransum diperoleh dari biaya yang dikeluarkan untuk membeli ransum selama penelitian yang diperoleh dari total konsumsi ransum yang dikonsumsi dikalikan dengan harga ransum perkilogramnya. Sehingga diperoleh biaya ransum setiap ekor dalam setiap perlakuan yaitu P1= Rp 397.160,15,- P2= Rp 408.634,69,- P3= Rp 325.044,15,-

c.Biaya obat-obatan

Biaya obat-obatan diperoleh dari harga obat-obatan yang diberikan selama penelitian. Dimana dalam penelitian ini biaya obat-obatan yang dikeluarkan untuk setiap ekor dalam setiap perlakuan yaitu : P1= Rp 15.000,- P2= Rp 15.000-, P3= Rp 15.000,-


(44)

d. Biaya sewa kandang

Biaya sewa kandang diperoleh dari total biaya sewa kandang selama penelitian dibagi jumlah ternak yaitu Rp 300.000 selama 84 hari penelitian. Maka biaya sewa kandang untuk tiap ekor perlakuan adalah : P1= Rp 16.666,66,- P2= Rp 16.666,66,- P3= Rp 16.666,66,-

e. Biaya peralatan

Biaya peralatan diperoleh dari harga tempat minum, sapu lidi dan biaya sewa timbangan, maka total biaya peralatan adalah Rp 294.000,- maka biaya peralatan untuk setiap ekor setiap perlakuan adalah P1= Rp16.333,33,- P2= Rp 16.333.33,- P3= Rp 16.333,33,-

f. Biaya tenaga kerja

Biaya tenaga kerja diperoleh dari biaya yang dikeluarkan untuk memelihara sapi, dalam penelitian sistem pengupahan ditetapkan sebesar Rp 650.000/bulan, dengan perhitungan bahwa setiap unit peternakan sapi 20 ekor membutuhkan 1 orang tenaga kerja. Sedangkan pada penelitian ini dipelihara sebanyak 18 ekor sapi dengan masa pemeliharan selama 84 hari (3 bulan),

sehingga upah tenaga kerja untuk tiap ekor setiap perlakuan yaitu: P1= Rp 90.997,- P2= Rp 90.997,- P3= Rp 90.997,-

Dari keseluruhan biaya diatas, maka data total biaya produksi diperoleh seperti pada Tabel 12.

Tabel 12. Total biaya produksi selama penelitian Ulangan Perlakuan

1 2 3 4 5 6

Total Rataan

P1 4.735.764 4.400.241 4.544.376 4.037.771 5.835.658 4.603.124 28.156.934 4.692.822,3 P2 4.236.875 5.444.861 5.179.783 3.924.769 5.522.148 4.337.345 28.645.781 4.774.296,8 P3 4.762.317 4.249.766 4.417.378 3.378.855 5.439.712 4.716.209 26.964.237 4.494.039,5 Total 13.734.956 14.094.868 14.141.537 11.341.395 16.797.518 13.656.678 83.766.952 13.961.158,7 Rataan 4.578.318 4.698.289 4.713.845 3.780.465 5.599.172 4.552.226 13.961.158,7 4.653.719,5


(45)

Dari Tabel 12 diatas dapat dilihat bahwa rataan biaya produksi yang tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar Rp 4.774.296,8 selama penelitian, kemudian diikuti pada perlakuan P1 sebesar Rp 4.692.822,3 selama penelitian dan rataan terkecil terdapat pada P3 sebesar Rp 4.494.039,5 selama penelitian.

2. Total Hasil Produksi

Total hasil produksi adalah penjumlahan dari semua masukan yang diperoleh dari suatu produk tertentu, dimana masukan diperoleh dari :

Penjualan sapi yaitu perkalian antara berat sapi setelah digemukkan (kg) dengan harga sapi perkilogram (Rp 20.000,-). Sehingga diperoleh hasil penjualan tiap ekor setiap perlakuan adalah : P1 sebesar Rp 4.913.333,33,- P2 sebesar Rp 4.936.666,67,- dan P3 sebesar Rp 4.613.333,33,-.

Dari hasil penelitian diperoleh data total hasil produksi seperti pada Tabel 13 Tabel 13. Total hasil produksi selama penelitian.

Ulangan Perlakuan

1 2 3 4 5 6

Total Rataan

P1 5.080.000 4.720.000 4.640.000 3.880.000 2.920.000 5.240.000 29.480.000 4.913.333,3 P2 3.900.000 5.420.000 5.380.000 4.340.000 6.160.000 4.420.000 29.620.000 4.936.666,7 P3 4.960.000 4.280.000 4.620.000 3.540.000 5.540.000 4.740.000 27.680.000 4.613.333,3 Total 13.940.000 14.420.000 14.640.000 11.760.000 17.620.000 14.400.000 86.780.000 14.463.333,3 Rataan 4.646.666,7 4.806.666,7 4.880.000 3.920.000 5.873.333,3 4.800.000 28.926.666,7 4.821.111,1

Dari tabel 13 dapat dilihat bahwa rataan total hasil produksi yang tertinggi terdapat pada P2 sebesar Rp 4.936.666,7 selama penelitian, kemudian diikuti pada perlakuan P1 sebesar Rp 4.913.333,3 selama penelitian dan ratan terkecil terdapat pada perlakuan P3 sebesar Rp 4.613.333,3 selama penelitian.

3. Analisi Laba Rugi

Analisis laba rugi adalah untuk mengetahui apakah suatu usaha laba atau rugi. Laba rugi dalam penelitian ini diperoleh dari selisih antara total hasil


(46)

produksi dengan total biaya produksi. Dari hasil penelitian diperoleh data laba rugi seperti pada Tabel 14.

Tabel 14. Analisis laba rugi selama penelitian.

Ulangan Perlakuan

1 2 3 4 5 6

Total Rataan P1 344.236 319.759 95.624 157.771 84.342 636.876 1.496.614 249.435,7 P2 336.875 24.861 200.217 415.231 637.852 82.655 1.697.691 282,948,5 P3 197.683 30.234 202.622 161.145 100.288 23.791 715.763 119.293,8 Total 878.794 374.854 498.463 592.153 822.482 743.322 3.910.068 651.678 Rataan 292.931 124.951,3 166.154,3 197.384,3 274.160 247.774 1.303.356 217.226

Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa rataan laba rugi yang tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar Rp 282.948,5 selama penelitian, kemudian diikuti pada perlakuan P1 sebesar Rp 249.435,7 selama penelitian dan rataan terkecil terdapat pada perlakua P3 sebesar Rp 119.293,8 selama penelitian.

4. B/C Ratio

Untuk mengetahui efisiensi usaha yang dilakukan, maka harus dicari B/C ratio. Pada penelitian B/C ratio diperoleh dari pembagian total hasil produksi dengan total biaya produksi. Dari hasil penelitian diperoleh data B/C ratio seperti pada Tabel 15.

Tabel 15. B/C Ratio selama penelitian.

Ulangan Perlakuan

1 2 3 4 5 6

Total Rataan P1 1.07 1.07 1.02 0.96 1.01 1.13 6.26 1.04 P2 0.92 0.99 1.03 1.10 1.11 1.01 6.16 1.03 P3 1.04 1.00 1.04 1.04 1.01 1.00 6.13 1.02 Total 3.03 3.06 3.09 3.10 3.13 3.14 18.55 3.09 Rataan 1.01 1.02 1.03 1.03 1.04 1.05 6.18 1.03


(47)

Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa rataan B/C ratio tertinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar 1,04 diikuti pada perlakuan P2 sebesar 1,03 dan rataan terkecil terdapat pada perlakuan P3 sebesar 1,02.

5. BEP (Break Even Point)

Terdapat dua macam break event point (BEP) yang biasa dipakai yaitu break even point harga dan break event point volume produksi.

a. Break Even Point Harga Produksi

Pada penelitian ini break even point harga produksi diperoleh dari hasil pembagian hasil total biaya produksi dengan berat sapi setelah digemukkan (kg). Dari hasil penelitian diperoleh data BEP harga produksi seperti Tabel 16.

Tabel 16. BEP harga sapi selama penelitian (Rp)

Ulangan Perlakuan

1 2 3 4 5 6

Total Rataan

P1 18.644 18.645 19.587 20.813 19.715 17.569 114.973 19.162, 2 P2 21.727 20.091 19.255 18.086 17.929 19.625 116.713

19.452, 2 P3 19.202 19.858 19.122 19.089 19.637 19.899 116.807

19.467, 8 Total 59.573 58.594 57.964 57.988 57.281 57.093 348.493

58.082, 2 Rataan

19.857,

7 19.531 19.321, 3

19.329,

3 19.093 19.031 116.164 19.360, 7

Dari Tabel 16 dapat dilihat bahwa rataan BEP harga produksi yang tertinggi terdapat pada perlakuan P3 sebesar Rp 19.467,8-, kemudian diikuti pada perlakuan P2 sebesar Rp 19.452,2,- dan rataan yang terkecil terdapat pada perlakuan P1 sebesar Rp 19.162,2-.


(48)

Pada penelitian break even point volume produksi diperoleh dari hasil pembagian total biaya produksi dengan harga jual sapi per kg. Dari hasil penelitian diperoleh data Break even point volume produksi seperti pada Tabel 17. Tabel 17. Break even point volume produksi selama penelitian (kg).

Ulangan Perlakuan

1 2 3 4 5 6

Total Rataan P1 236 220 227 201 291 230 1.405 234,2 P2 211 272 258 196 276 216 1.429 238,2 P3 238 212 220 168 271 235 1.344 224,0 Total 685 704 705 565 838 681 4.178 696,3 Rataan 228,3 234,7 235 188,3 279,3 227 1.392 232,1

Dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa rataan BEP volume produksi yang tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar 238,2 kg, kemudian diikuti pada perlakuan P1 sebesar 234,2 kg dan rataan yang terkecil terdapat pada perlakuan P3 sebesar 224,0 kg.

6. Income Over Feed Cost

Income over feed cost adalah selisih antara pendapatan dengan total biaya ransum yang dikeluarkan sehingga diperoleh rataan nilai IOFC seperti pada Tabel 18.

Tabel 18. Income over feed cost selama penelitian (Rp)

Ulangan Perlakuan

1 2 3 4 5 6

Total Rataan P1 483.232 458.755 234.620 18.775 223.338 775.872 2.194.592 365.765,3 P2 197.879 114.135 339.213 554.227 776.848 221.651 2.203.953 367.325,5 P3 336.679 169.230 341.618 300.141 239.284 162.787 1.549.739 258.289,8 Total 1.017.790 742.120 915.451 873.143 1.239.470 1.160.310 5.948.284 991.380,7 Rataan 339.263,3 247.373 305.150,3 291.047 413.156,7 386.770 1.982.761 330.460,2


(49)

Pembahasan

Total biaya produksi

Untuk melihat pengaruh pemberian dari ketiga perlakuan tersebut terhadap total biaya produksi pemeliharaan sapi jantan selama 3 bulan penelitian dilakukan analisis keragaman seperti terlihat pada Tabel 19.

Tabel 19. . Daftar sidik ragam total biaya produksi selama penelitian

SK DB JK KT F hitung F0.05 F0.01

Perlakuan 2 249.393.763.730,8

124.696.881.865,

4 0,3tn 3,6

6 6,36

Galat 15 6.552.310.488.623,7

436.820.699.241,

6

Total 17

Keterangan : tn = tidak nyata kk = 14,20 %

Hasil analisis keragaman pada Tabel 19 menunjukkan bahwa F hitung lebih kecil dari Ftabel 0.05. Hal ini berarti pemberian ransum berbasis pelepah daun sawit, jerami padi dan jerami jagung fermentasi Phanerochaete chrysosporium memberikan pengaruh tidak nyata terhadap total biaya produksi.

Dari tabel 12 dapat kita lihat adanya perbedaan biaya produksi pemeliharaan selama penelitian menunjukkan perbedaan, namun perbedaan itu sangat kecil, dimana rataan biaya produksi tertinggi pada perlakuan P2 sebesar Rp 4.774.296,8 selama penelitian dan terendah terdapat pada perlakuan P3 4.494.039,5 selama penelitian. Secara matematik berbeda, disebabkan karena perbedaan harga bakalan yang berbeda untuk setiap perlakuan demikian juga harga ransum perkilogramnya setiap perlakuan. Hal ini didukung Nuraini (2003) yang menyatakan bahwa biaya produksi tidak dapat dipisahkan dari proses produksi sebab biaya produksi merupakan masukan atau input dikalikan dengan harganya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ongkos produksi adalah semua


(50)

pengeluaran atau semua beban yang harus ditanggung oleh perusahaan untuk menghasilkan suatu jenis barang atau jasa yang siap untuk dipakai konsumen.

Total Hasil Produksi

Untuk melihat pengaruh pemberian ransum dari ketiga perlakuan terhadap total hasil produksi pemeliharaan sapi selama penelitian, maka dilakukan analisis keragaman seperti pada Tabel 20.

Tabel 20. Daftar sidik ragam total hasil produksi

SK DB JK KT F hitung F0.05 F0.01

Perlakuan 2 177.777.777,8

195.088.888.888,

9 0,4tn 3,66 6,36

Galat 15 8.210.200.000.000

547.346.666.666,

7

Total 17

Keterangan : tn = tidak nyata kk =15,34%

Hasil analisis keragaman pada Tabel 20 menunjukkan bahwa F hitung lebih kecil dari Ftabel 0.05. Hal ini berarti bahwa pemberian ransum berbasis pelepah

daun sawit, jerami padi dan jerami jagung fermentasi Phanerochaete chrysosporium memberikan pengaruh tidak nyata terhadap total

hasil produksi.

Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa rataan hasil produksi menunjukkan perbedaan yang sangat kecil atau hampir sama. Hal ini terjadi karena pertambahan bobot badan sapi tidak menunjukkkan perbedaan yang nyata pula, sehingga harga jual sapi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini didukung oleh Napitupulu dan Prawitra (1990) yang menyatakan bahwa pendapatan adalah penciptaan barang-barang yang efektif sesuatu periode yang berkaitan dengan penerimaan penilaian kuantitas menghasilkan penerimaan penjualan.


(51)

Analisis Laba Rugi

Untuk melihat pengaruh pemberian ransum dari ketiga perlakuan terhadap laba rugi pemeliharaan sapi selama penelitian, maka dilakukan analisis keragaman seperti pada Tabel 21.

Tabel 21. Daftar sidik ragam laba rugi

SK DB JK KT

F

hitung F0.05 F0.01

Perlakuan 2 8.968.5713.406,3

44.842.856.703,

2 1.2tn 3,66 6,36

Galat 15 561.740.804.551,7

37.449.386.970,

1

Total 17

Keterangan : tn = tidak nyata

Analisis keragaman uji ransum berbasis pelepah daun sawit, jerami padi dan jerami jagung fermentasi Phanerochaete chrysosporium menunjukkan pengaruh tidak nyata. Dari Tabel 14 dapat kita lihat bahwa rataan laba rugi menunjukkan perbedaan yang tidak nyata, rataan tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar Rp 282.948,5 selama penelitian dan rataan terkecil terdapat pada perlakuan P3 sebesar Rp 119.293,8 selama penelitian. Hal ini terjadi karena selisih setiap total biaya produksi dengan total hasil produksi adalah rendah dan hampir sama pada setiap perlakuan. Hal ini didukung oleh Sodiq dan Abidin (2002) yang menyatakan pencatatan biaya mutlak dilakukan, tujuannya agar peternak atau pengusaha dapat mengadakan evaluasi terhadap bidang usahanya, sehingga potensi kejadian tidak diinginkan seperti terjadinya kerugian besar bisa dilakukan, selain itu mengenai efisiensi usaha bisa terus dilakukan sehingga usaha bisa berjalan lebih efisien dari waktu ke waktu.


(52)

B/C Ratio

Untuk melihat pengaruh uji ransum dari ketiga perlakuan terhadap B/C ratio pemeliharaan sapi selama penelitian, maka dilakukan analisis keragaman seperti pada Tabel 22.

Tabel 22. Daftar sidik ragam B/C Ratio

SK DB JK KT F hitung F0.05 F0.01

Perlakuan 2 0,00154 0,00077 0,258tn 3,66 6,36

Galat 15 0,04495 0,00300

Total 17

Keterangan : tn = tidak nyata kk = 5,31%

Hasil analisis keragaman pada Tabel 22 menunjukkan bahwa F hitung lebih kecil dari Ftabel 0.05. Hal ini berarti uji ransum berbasis pelepah daun sawit, jerami padi dan jerami jagung fermentasi Phanerochaete chrysosporium memberikan pengaruh tidak nyata terhadap B/C ratio.

Pada Tabel 15 dapat kita lihat bahwa rataan B/C ratio menunjukkan perbedaan yang tidak nyata, dimana B/C ratio tertinggi terdapat pada P1 sebesar 1,04 diikuti P2 sebesar 1,03 dan ratan terendah terdapat pada P3 sebesar 1,02. Hal ini terjadi karena perbandingan antara hasil produksi yang tidak berpengaruh nyata dengan biaya produksi yang tidak berpengaruh nyata juga. Hal ini didukung oleh karo-karo et al.,(1995) yang menyatakan bahwa efisiensi usaha tani ditentukan dengan menggunakan konsep BCR (benefit cost ratio) yaitu imbangan antara total penghasilan (out put) dengan total biaya (input). Nilai BCR >1 menyatakan usaha tersebut menguntungkan. Semakin besar nilai BCR maka usaha dinyatakan semakin efisien.


(53)

BEP Harga Produksi

Untuk melihat pengaruh uji ransum dari ketiga perlakuan terhadap BEP harga produksi pemeliharaan sapi selama penelitian, maka dilakukan analisis keragaman seperti pada Tabel 23.

Tabel 23. Daftar sidik ragam BEP harga produksi

SK DB JK KT F hitung F0.05 F0.01

Perlakuan 2 355.555,1 177.777,6 0,159tn 3,66 6,36

Galat 15 16.824.200,5 1.121.613,4

Total 17

Keterangan : tn = tidak nyata kk = 3,28 %

Hasil analisis keragaman pada Tabel 23 menunjukkan bahwa F hitung lebih kecil dari Ftabel 0.05. Hal ini berarti uji ransum berbasis pelepah daun sawit, jerami padi dan jerami jagung fermentasi Phanerochaete chrysosporium memberikan pengaruh tidak nyata terhadap BEP harga produksi. Hal ini terjadi karena rataan total biaya produksi menunjukka perbedaan yang tidak nyata dan pertambahan bobot badan yang tidak nyata, sehingga dengan demikian menunjukkan perbedaan yang tidak nyata.

Dari Tabel 16 dapat dilihat bahwa titik modal/titik impas akan tercapai jika harga bobot hidup P1 sebesar Rp 19.162,2, P2 sebesar Rp 19.452,2 dan P3 sebesar Rp 19.467,8, agar modal/biaya yang dikeluarkan kembali. Hal ini sesuai dengan pendapat Rony (1990) yang menyatakan bahwa titik impas adalah sarana untuk mengetahui pada titik berapa hasil penjualan sama dengan jumlah biaya sehingga perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau kerugian. Titik impas bermanfaat dalam memproyeksi penjualan yang diingini dalam rangka merealisir proyeksi laba atau mengkalkulasi kerugian seminimal mungkin.


(54)

BEP Volume Produksi

Untuk melihat pengaruh uji ransum dari ketiga perlakuan terhadap BEP volume produksi pemeliharaan sapi selama penelitian, maka dilakukan analisis keragaman seperti pada Tabel 24.

Tabel 24. Daftar sidik ragam BEP volume produksi

SK DB JK KT F hitung F0.05 F0.01

Perlakuan 2 640,1 320,05 0,293tn 3,66 6,36

Galat 15 1.640,7 1.093,44

Total 17

Keterangan : tn = tidak nyata kk = 14,26%

Hasil analisis keragaman pada Tabel 24 menunjukkan bahwa F hitung lebih kecil dari Ftabel 0.05. Hal ini berarti uji ransum berbasis pelepah daun sawit, jerami padi dan jerami jagung fermentasi Phanerochaete chrysosporium memberikan pengaruh tidak nyata terhadap BEP volume produksi.

Break even point volume produksi memberikan gambaran tentang total produksi yang harus dicapai dalam usaha dengan harga sapi yang telah ditentukan agar modal/biaya yang dikeluarkan dapat kembali. Dari Tabel 17 dapat kita lihat bahwa titik modal akan tercapai jika berat sapi yang dihasilkan untuk P1 sebesar 234,2 kg selama penelitian, P2 sebesar 238,2 kg selama penelitian dan P3 sebesar

224 kg selama penelitian. Hal ini didukung oleh pendapat Napitupulu dan Pawitra (1990) yang mengatakan bahwa BEP dimaksudkan untuk

menentukan penjualan atau penerimaan, dimana biaya total dapat ditutup atau bahkan memperoleh suatu laba minimum


(55)

Income Over Feed Cost

Untuk melihat pengaruh uji ransum dari ketiga perlakuan terhadap income over cost pemeliharaan sapi selama penelitian, maka dilakukan analisis keragaman seperti pada Tabel 25.

Tabel 25. Daftar sidik ragam Income over feed cost (IOFC)

SK DB JK KT F hitung F0.05 F0.01

Perlakua

n 2 4.688.438.765,5 23.442.193.825,72 0,504tn 3,66 6,36

Galat 15

698.243.307.809,

7 46.549.553.853,98

Total 17

Keterangan : tn = tidak nyata kk = 65,28 %

Hasil analisis keragaman pada Tabel 25 menunjukkan bahwa F hitung lebih kecil dari Ftabel 0.05. Hal ini berarti uji ransum berbasis pelepah daun sawit, jerami padi dan jerami jagung fermentasi Phanerochaete chrysosporium memberikan pengaruh tidak nyata terhadap IOFC. Hal ini dipengaruhi dari selisih pendapatan yang dihasilkan pertambahan bobot badan dikali harga jual dengan biaya ransum (total konsumsi dikali harga ransum) yang dikeluarkan selama penelitian, disamping itu juga karena biaya ransum yang tidak terlalu murah. Menurut Prawirokusumo (1990) income over feed cost dipengaruhi oleh besarnya pendapatan dan biaya pakan yang dikeluarkan selama berusaha.


(56)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian bahwa pemberian pelepah daun sawit, jerami padi dan jerami jagung fermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium pada sapi Peranakan Ongole memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap total biaya produksi, total hasil produksi, B/C ratio, BEP harga produksi dan BEP volume produksi, maka dapat disimpulkan bahwa ketiga jenis ransum dapat diberikan pada ternak karena kemudahan mendapatkannya didaerah perkebunan dan pertanian padi dan jagung

Saran

Disarankan kepada peternak terutama yang tinggal didaerah perkebunan sawit dapat memberikan ransum berbasis hasil sampingan perkebunan dan peternak yang tinggal di daerah pertanian padi dan jagung dapat memberikan ransum berbasis jerami padi dan jerami jagung karena kemudahan memperolehnya.


(57)

DAFTAR PUSTAKA

Agus. A. 1990. Analisis Pulang Pokok. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Anonimous, 1982. Kawan Beternak I. Kanisius, Yogyakarta.

Anggorodi, 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta.

Basir, H.J.,1990. Penggunaan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak Laporan Penelitian Jurusan Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Syah Kuala Darussalam, Banda Aceh.

Budiono, 1990. Ekonomi Mikro Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.1 Edisi Kedua Cetakan Ke II BEFE, Yogyakarta.

Cahyono, B., 1998. Beternak Domba dan Kambing. Kanisius, Yogyakarta.

Davendra, C., 1997. Utilization of Feedingstuff From The Oil Palm. Feedingstuff for Livestock In South East Asia, Serdang, Malaysia.

Direktorat Jenderal Peternakan, 2003. Statistik Peternakan Indonesia, Jakarta. Edey, T. N., A. C. Bray R. S Copland and T., Oshea, 1981. Alamat Course

Manual in Tropical Sheep and Goat Production. University of Brawijaya Malang, Indonesia.

Fardiaz, 1989. Fisiologi Fermentasi. PAU IPB dan LSI IPB, Bogor.

Hanafiah, A.H., 2000. Rancangan Percobaan : Teori dan Aplikasi. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Palembang.

Hansen dan Mowen. 2001. Manejemen Biaya. Salemba Empat Patria, Jakarta. Herlina, C., 1998. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Grafindo Perkasa,

Jakarta.

Hutagalung, R.I. and S. Jalaluddin, 1982. Feeds for Farm Animals from the Oil Palm. University Pertanian Malaysia Serdang.

Jamarun, N. 1991. Penyediaan, Pemanfaatan dan Nilai Gizi Limbah Pertanian Sebagai Makanan Ternak di Sumatera Barat. Pusat Penelitian universitas Andalas, Padang.

Kartadisastra, H. R., 1997. Penyediaan dan Pengolahan Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius, Yogyakarta.


(58)

Kadarsan, H., 1995. Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan Agribisnis. Cetakan Ke II. PT Gramedia, Jakarta.

Kadariah.,1987. Pengantar Operasi Proyek. Lembaga Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Karo-Karo, S., Junias and Henk Knipsheer, 1995. Farmers Shares, Marketing Margin and Demand for Small Ruminan in North Sumatera, Working Paper No.150 November.

Lokakarya Sapi Potong. http/ wwww geogle/ Internet.

Moertinah, S., 1984. Limbah Tapioka di Indonesia dan Kemungkinan Penanganan Dasar Studi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. IPB, Bogor. Murtidjo, B.A., 1990. Beternak Sapi Potong, Kanisius, Yogyakarta.

Murtidjo, B.A., 1995. Memelihara Domba, Kanisius, Yogyakarta.

N.R.C., 1995. Nutrien Requiment of Beef Cattle, National Academy of Science, Washington DC, USA.

Napitupulu, S dan Pawitra B., 1990. Biaya Produksi. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, Jakarta.

Nuraini. I., 2003. Pengantar Ekonomi Mikro. Universitas Muhammadiyah, Malang.

Parakkasi, A., 1995. Ilmu Makanan Ternak Ruminan. IPB, Bogor.

Prayitno dan Darmoko, 1994. Prospek Industri Bahan Baku Limbah Padat Kelapa Sawit di Indonesia : Berita Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan, SUMUT

Prawirokusumo, S., 1990. Ilmu Gizi Komperatif. BPFE, Yogyakarta. Rasyaf, M., 1988. Beternak Itik Komersial. Kanisius, Yogyakarta

Rasyaf, M., 1992. Seputar Makanan Ayam Kampung. Kanisius, Yogyakarta Riyanto, B., 1978. Dasar Perbelanjaan.Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Rony, S., 1990. Biaya Produksi. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, Jakarta Sarwono, 1996. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya, Jakarta.

Setiadi, B dan I. Inounu, 1991. Beternak Kambing dan Domba Sebagai Ternak Potong. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.


(59)

Sirait, M.B., 1987. Dasar-Dasar Ekonomi Sebagai Aspek Ilmu Ekonomi dan Ilmu Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Siregar, S.B., 1994. Ransum Ternak Riminansia. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sembiring, P., 2006. Biokonversi Limbah Pabrik Minyak Inti Sawit dengan Phanerochaete chrysosporium dan Implikasinya Terhadap Performans Ayam Broiler. Disertasi Doktor. Universitas Padjajaran, Bandung.

Sodiq, A dan Z. Abidin, 2002. Penggemukan Domba : Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Sugeng, Y. B., 2000. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sudarmono. A. S dan Y.B. Sugeng., 2005. Beternak Domba. Penebar Swadaya, Jakarta.

Suharno, B dan Nazaruddin, 1994. Ternak Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta. Sumoprastowo. R. M., 1993. Beternak Domba Pedaging dan Wol. Bharatara

Karya Aksara, Jakarta.

Supriyono. S. U., 2001. Akuntansi Manejemen : Proses Pengendalian Manejemen. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Syahruddin, 1990. Dasar-Dasar Teori Ekonomi Mikro. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, Jakarta.

Tomaszewaska, M.W., J. M. Mastika, A. Djaja Negara, S. Gardiner, dan T.R. Wiradarya, 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surabaya.

Valli, K. Barry., J.Brock Dines., Joshi and H. Mitchael.1992. Degradation of 2,4

Dinitrotolune by the Lignin-Degrading. Fungus Phanerochaete chrysosporium. Journal. Applied and Environmental

Mikrobiology, Januari.

Wasis,1997. Pengantar Ekonomi Perusahaan. P.T Alumni, Bandung.

Widayati. E dan Widalestari. Y., 1996. Limbah Untuk Pakan Ternak. Trubus Agrisorana, Surabaya.

Williamson. G dan W.J. A Payne, 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


(60)

Lampiran 1. Analisis ekonomi ransum berbasis pelepah daun sawit, jerami

padi dan jerami jagung fermentasi dengan

Phanerochaete chrysosporium

Analisis ekonomi ransum berbasis pelepah daun sawit fermentasi selama penelitian

No Uraian P1

1 2 3 4 5 6 A.Biaya Produksi(Rp/ekor)

a. Bibit 4.200.000 3.860.000 4.020.000 3.540.000 5.280.000 4.040.000 b. Pakan 396.768 401.249 385.380 358.775 416.662 424.128 c. Obat-obatan 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 d. Sewa kandang 16.666 16.666 16.666 16.666 16.666 16.666 e. Peralatan 16.333 16.333 16.333 16.333 16.333 16.333 f. Tenaga kerja 90.997 90.997 90.997 90.997 90.997 90.997

Total biaya produksi 4.735.764 4.400.241 4.544.376 4.037.771 5.835.658 4.603.124 B. Hasil Produksi

Penjualan Sapi 5.080.000 4.720.000 4.640.000 3.880.000 5.920.000 5.240.000 Hasil Produksi 5.080.000 4.720.000 4.640.000 3.880.000 5.920.000 5.240.000

C. Laba Rugi 344.236 319.759 95.624 -157.771 84.342 636.876 D. B/C Ratio 1,07 1,07 1,02 0,96 1.01 1,13 E. BEP Harga 18.644 18.645 19.587 20.813 19.715 17.569

BEP Volume 236 220 227 201 291 230

Analisis ekonomi ransum berbasis jerami padi fermentasi selama penelitian

No Uraian P2

1 2 3 4 5 6 A.Biaya Produksi(Rp/ekor)

a. Bibit 3.720.000 4.900.000 4.620.000 3.380.000 4.940.000 3.800.000 b. Pakan 377.879 405.865 420.787 405.773 443.152 398.349 c. Obat-obatan 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 d. Sewa kandang 16.666 16.666 16.666 16.666 16.666 16.666 e. Peralatan 16.333 16.333 16.333 16.333 16.333 16.333 f. Tenaga kerja 90.997 90.997 90.997 90.997 90.997 90.997

Total biaya produksi 4.236.875 5.444.861 5.179.783 3.924.76 5.522.148 4.337.345 B. Hasil Produksi

Penjualan Sapi 3.900.000 5.420.000 5.380.000 4.340.000 6.160.000 4.420.000 Hasil Produksi 3.900.000 5.420.000 5.380.000 4.340.000 6.160.000 4.420.000

C. Laba Rugi - 336.875 -24.861 200.217 415.231 637.852 82.655 D. B/C Ratio 0.92 0.99 1.03 1.10 1.11 1.01 E. BEP Harga 21.727 20.917 19.255 18.086 17.929 19.625 BEP Volume 211 272 258 196 276 216


(61)

Analisis ekonomi ransum berbasis jerami jagung fermentasi selama penelitian

No Uraian P3

1 2 3 4 5 6 A.Biaya Produksi(Rp/ekor)

a. Bibit 4.280.000 3.800.000 3.940.000 2.920.000 4.980.000 4.260.000 b. Pakan 343.321 310.770 338.382 319.859 320.716 317.213 c. Obat-obatan 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 d. Sewa kandang 16.666 16.666 16.666 16.666 16.666 16.666 e. Peralatan 16.333 16.333 16.333 16.333 16.333 16.333 f. Tenaga kerja 90.997 90.997 90.997 90.997 90.997 90.997

Total biaya produksi 4.762.317 4.249.766 4.417.378 3.378.855 5.439.712 4.716.209 B. Hasil Produksi

Penjualan Sapi 4.960.000 4.280.000 4.620.000 3.540.000 5.540.000 4.740.000 Hasil Produksi 4.960.000 4.280.000 4.620.000 3.540.000 5.540.000 4.740.000

C. Laba Rugi 197.683 30.234 202.622 161.145 100.288 23.791 D. B/C Ratio 1.04 1.00 1.04 1.04 1.01 1.00 E. BEP Harga 19.202 19.858 19.122 19.089 19.637 19.899 BEP Volume 238 212 220 168 271 235 Lampiran 2. Ransum Sapi Peranakan Ongole


(1)

Lampiran 2.

P1 = Ransum berbasis Pelepah daun sawit fermentasi

Bahan Jlh Bahan

(%)

PK (%) SK (%) TDN (%) Harga Ransum (Rp) Pelepah daun sawit

fermentasi

29 1.9865 10.2109 17.4812 43.5

Bungkil inti sawit Dedak padi 23 16.65 3.542 2.2977 3.887 1.332 16.560 10.565 161 166.5 Lumpur sawit Onggok Molases 9.34 16.6 3 1.2328 0.0996 0.102 1.6625 1.992 0.0114 7.3786 12.616 2.43 9.34 199.2 75

Urea 1.51 3.0502 - - 19.5

Garam 0.50 - - - 5.00

Mineral 0.40 - - - 20

Total 100 12.3108 19.0958 67.1218 699.04

P2 = Ransum berbasis jerami padi fermentasi

Bahan Jlh Bahan

(%)

PK (%) SK (%) TDN (%) Harga Ransum (Rp) Jerami padi fermentasi Dedak padi 28 11.3 1.792 1.5594 9.604 0.904 16.0076 7.232 42 113 Bungkil inti sawit 23 3.542 3.887 16.56 161 Lumpur sawit Onggok 15 17.2 1.98 0.1032 2.67 2.064 11.85 13.072 15 206.4

Molases 3 0.102 0.0114 2.43 75

Urea 1.6 3.232 - - 20.8

Garam 0.50 - - - 5

Mineral 0.40 - - - 20


(2)

P3 = Ransum berbasis jerami jagung fermentasi

Bahan Jlh Bahan

(%)

PK (%) SK (%) TDN (%)

Harga Ransum (Rp) Jerami jagung

fermentasi Dedak padi

32.5 5

2.2425 0.69

9.5225 0.4

18.525 3.2

48 50 Bungkil inti sawit 23 3.542 3.887 16.56 161

Lumpur sawit 20 2.64 3.56 15.8 20

Onggok Molases

14.11 3

0.08466 0.102

1.6932 0.0114

10.7236 2.43

169.32 75

Urea 1.49 3.0098 - - 19.37

Garam 0.5 - - - 5

Mineral 0.4 - - - 20


(3)

Lampiran 3. Perbanyakan dan pembiakan Phanerochaete chrysosporium

Disiapkan PDA sebanyak 39 gram

Dicampur dengan aquades sebanyak 1 liter

Dipanaskan hingga mendidih dan diaduk supaya merata

Disterilkan pada suhu 1200C dengan tekanan 1 atmosfer

Didinginkan hingga suhu 45-500C

Dituangkan pada 20 tabung reaksi masing-masing sebanyak 10 ml untuk pembuatan agar miring

Phanerochaete chrysosporium ditanam dengan menggoreskan pada agar murni

(PDA) dengan menggunakan ose

Ditutup tabung reaksi dengan kapas steril

Tabung reaksi disimpan pada suhu kamar 280C hingga terbentuk hifa/miselium antara 2-5 hari

Biakan ditambahkan aquadse steril sebanyak 10 ml

Dikocok sehingga spora tersuspensi (Sembiring, 2006).


(4)

Lampiran 4. Biakan Phanerochaete chrysosporium pada inokulum bungkil inti sawit

Bungkil inti sawit diayak sebanyak 100 gram

Dimasukkan kedalam plastik

Ditambahkan aquades sebanyak 20 ml

Ditambahkan HCL 0,1 N 2 tetes

Diaduk hingga merata

Disterilkan pada suhu 1200C selama 2 menit

Didinginkan sampai suhu 450C

Diaduk dengan 10 ml suspensi spora kapang hingga merata

Diinkubasi pada suhu 280C selama 96 jam

Dikeringkan selama bertahap dengan suhu 370C selama 48 jam

Digiling sampai halus selanjutnya dipakai sebagai inokulum


(5)

Lampiran 5. Cara fermentasi bahan

Cara fermentasi bahan

Ditimbang bahan yang akan difermentasi

Ditambahkan inokulum sebanyak 5% dari bahan yang akan difermentasi, diaduk hingga rata

Ditambahkan aquades sebanyak 20% dari bahan yang akan difermentasi

Disimpan dalam suhu kamar selam 4 hari

Hasil bahan fermentasi

Dikeringkan dengan sinar matahari sebelum dicampur dengan bahan pakan lainnya


(6)