Rukun dan Syarat Wasiat

Rasulullah saw bersabda: “sesungguhnya Allah bersedekah berbaik hati kepada kamu tatkala kamu akan menghadapi kematian untuk berwasiat sepertiga dari harta kamu, sebagai tambahan terhadap amalan-amalan kamu.”HR. Al Bukhari dan Muslim

B. Rukun dan Syarat Wasiat

Para ulama fikih berbeda pendapat dalam menentukan rukun wasiat. Ulama Mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun wasiat hanya satu, yaitu ijab pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta yang akan wafat. Menurut mereka, wasiat adalah akad yang hanya mengikat pihak yang berwasiat, sedangkan bagi pihak penerima wasiat, akad itu tidak bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi menyamakan antara hak yang akan diterima melalui warisan dan wasiat, yaitu hanya berlaku setelah pemilik harta meninggal dunia. Oleh sebab itu, qabul tidak diperlukan, sebagaimana yang berlaku dalam hak waris. 51 Adapun rukun wasiat terdiri atas: 1. Orang yang mewasiatkan mushi 2. Orang yang menerima wasiat musha lah 3. Harta yang diwasiatkan musha bih 4. Lafal ijab dan qabul shighat. 52 51 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op.,cit, hlm.132 52 http:ihsan26theblues.wordpress.com20110504wasiat-dalam-perspektif-fiqih-dan-khi Universitas Sumatera Utara Sesuai dengan rukun wasiat tersebut, maka beberapa syarat harus dipenuhi dalam pelaksanaan wasiat, yaitu: 1. Syarat-syarat orang yang berwasiat a. Orang yang berwasiat merupakan pemilik sempurna terhadap harta yang diwasiatkan; b. Orang yang berwasiat haruslah orang yang cakap bertindak hukum mumayiz, merdeka, berakal tidak gila dan adil; c. Wasiat dilakukan secara sadar dan sukarela. Oleh sebab itu, orang yang dipaksa untuk berwasiat atau tidak sengaja dalam berwasiat, wasiatnya tidak sah; d. Orang yang berwasiat tidak mempunyai utang yang jumlahnya sebanyak harta yang akan ditinggalkannya, karena wasiat baru bisa ditunaikan ahli waris apabila seluruh utang orang yang berwasiat telah dibayarkan. Apabila utang orang yang berwasiat meliputi seluruh harta yang ditinggalkan, maka wasiat yang dibuat tidak ada gunanya, karena hartanya habis untuk membayar hutang. 53 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, memberikan syarat bahwa orang yang berwasiat sekurang-kurangnya telah berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tidak ada paksaan dari pihak lain. 54 53 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op.,Cit, hlm. 133-134 54 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 194 ayat 1 Universitas Sumatera Utara 2. Syarat Penerima Wasiat a. Penerima wasiat adalah orang yang ditunjukkan secara khusus bahwa ia berhak menerima wasiat; b. Penerima wasiat mesti jelas identitasnya, sehingga wasiat dapat diberikan kepadanya; c. Penerima wasiat tidak berada didaerah musuh dar al-harb; d. Penerima wasiat bukan orang yang membunuh pemberi wasiat, jika yang disebut akhir ini wafatnya karena terbunuh; e. Penerima wasiat bukan kafir harbi kafir yang memusuhi Islam; akan tetapi diperbolehkan wasiat kepada kafir zimmi selama dia bersifat adil; f. Wasiat tidak dimaksudkan untuk sesuatu yang merugikan umat Islam atau sesuatu maksiat.; g. Penerima wasiat bukan ahli waris. 55 3. Syarat Harta yang Diwasiatkan Ulama fikih mengemukakan beberapa persyaratan terhadap harta yang akan diwasiatkan, yaitu: 56 55 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op.,Cit, hlm.135 56 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, hlm.1928 Universitas Sumatera Utara a. Hartabenda yang diwasiatkan adalah sesuatu yang bernilai harta secara syara’ al-mutaqawimah. Oleh sebab itu, apabila harta yang diwasiatkan itu tidak bernilai harta menurut syara’, seperti minuman keras dan babi, maka wasiatnya tidak sah. Secara lahirnya, minuman keras dan babi merupakan harta, tetapi bagi umat Islam kedua benda itu tidak termasuk harta yang halal sehingga tidak sah dijadikan objek wasiat. b. Harta yang diwasiatkan adalah sesuatu yang bisa dijadikan milik, baik berupa materi maupun manfaat. Misalnya, mewasiatkan sebidang tanah, seekor unta, atau mewasiatkan pemanfaatan lahan pertanian selama 10 tahun, atau mendiami rumah selama satu tahun. Bahkan ulama fikih membolehkan mewasiatkan sesuatu yang akan ada, sekalipun ketika akad dibuat, materi yang diwasiatkan belum ada. Misalnya, mewasiatkan buah- buahan dari sebidang kebun. Ketika wasiat dibuat, pohon itu baru berputik, apabila pemilik kebun berwasiat, “apabila saya wafat, buah- buahan dikebun ini saya wasiatkan pada fulan.” Maka wasiatnya sah. c. Harta yang diwasiatkan adalah milik mushi pewasiat, ketika berlangsungnya wasiat. d. Harta yang diwasiatkan itu tidak melebihi 13 sepertiga harta mushi pewasiat. e. Sesuatu yang diwasiatkan tidak mengandung unsur maksiat. 57 4. Syarat-syarat yang Berkaitan Dengan ijab dan qabul Shighat 57 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op.,cit, hlm.136 Universitas Sumatera Utara Pada dasarnya shighat wasiat hanya disyaratkan berupa suatu lafal perkataan atau lafadz yang jelas yang menunjukkan pada pengertian pemberian wasiat untuk seseorang atau lebih, baik secara lisan maupun tulisan. Ada beberapa ketentuan yang mesti dipenuhi dalam shighat wasiat, diantaranya: a. Ulama fikih menetapkan bahwa shighat ijab dan qabul yang digunakan dalam wasiat harus jelas, dan qabul dan ijab harus sejalan. Misalnya, apabila seseorang dalam ijab-nya menyatakan, “saya wasiatkan kepada engkau sepertiga harta saya.”, maka qabul orang yang menerima wasiat itu harus sesuai dengan ijab tersebut, yaitu “saya terima wasiat anda yang jumlahnya sepertiga harta anda.” Apabila qabul tidak sejalan dengan ijab, maka wasiat itu tidak sah. b. Ucapan qabul dari orang yang diberi wasiat ketika orang yang berwasiat masih hidup, tidak berlaku. Akan tetapi, menurut ulama Mazhab Hanafi, qabul boleh diucapkan sebelum atau sesudah orang yang berwasiat wafat. Ulama juga sepakat bahwa apabila seseorang berwasiat kepada fulan, lalu fulan wafat setelah mushi wafat tetapi belum menyatakan qabul-nya, maka ucapan qabul digantikan oleh ahli waris fulan. c. Qabul harus diungkapkan oleh orang yang telah baligh dan berakal. Apabila penerima wasiat adalah anak kecil atau orang gila, maka qabul mesti diwakili oleh walinya. d. Ulama fikih sepakat tidak mensyaratkan qabul, apabila wasiat ditujukan untuk kepentingan umum, seperti mesjid dan anak-anak yatim yang Universitas Sumatera Utara identitasnya tidak dijelaskan dalam wasiat, maka hukum wasiat bersifat mengikat, sekalipun tanpa qabul, setelah orang yang berwasiat wafat. e. Wasiat diperbilehkan melalui isyarat yang dipahami, akan tetapi menurut ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali, ketentuan ini hanya diterima apabila orang yang berwasiat itu bisu dan tidak bisa baca tulis. Apabila yang berwasiat mampu baca tulis, maka wasiat melalui isyarat tidak sah. Sebaliknya, ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’I berpendapat bahwa wasiat tetap sah melalui isyarat yang dapat dipahami, sekalipun orang yang berwasiat mampu untuk berbicara dan baca tulis. f. Qabul, menurut jumhur ulama, harus diungkapkan melalui lisan atau tindakan hukum yang menunjukkan kerelaan penerima wasiat tersebut, seperti bertindak hukum pada barang yang diwasiatkan. Menurut mereka qabul tidak cukup hanya dengan sikap tidak menolak wasiat, tetapi harus jelas. Ulama Mazhab Hanafi mengatakan qabul bisa dengan ungkapan yang jelas, atau tindakan yang menunjukkan kerelaan menerima wasiat, bahkan boleh juga dengan sikap tidak menolak sama sekali wasiat diam saja. 58

C. Hal-hal yang Membatalkan Wasiat