Latar Belakang Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Orang Tua Angkat Menurut PP Nomor 54 Tahun 2007 dan Kompilasi Hukum Islam

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT., bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lain. 1 Setiap keluarga pasti sangat mengharapkan kehadiran seorang anak sebagai penerus keturunan dan penerus harta kekayaan orang tua. Kenyataan yang banyak dijumpai sehari-hari dalam masyarakat adalah masih banyak anak-anak yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan, dimana banyak ditemui anak jalanan, anak terlantar, yatim piatu dan anak penyandang cacat dengan berbagai permasalahan mereka yang kompleks yang memerlukan penanganan, pembinaan dan perlindungan, baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil, yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri seorang manusia yang normal, namun terkadang suatu keluarga tidak dapat memiliki anak atau keturunan. Harus pula disadari bahwa semua kuasa ada di tangan Allah SWT, jika Allah SWT tidak menghendaki, maka keinginan manusia pun tidak akan tercapai. 1 Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta:Kencana, 2008, hlm.1 Universitas Sumatera Utara Dalam rumusan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 2 Bagi keluarga yang tidak mempunyai anak, mereka akan berusaha untuk memperoleh anak meskipun anak tersebut bukan hasil dari perkawinannya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara mengangkat anak orang lain adopsi dengan maksud memelihara dan memperlakukannya seperti anak kandung sendiri. Pengangkatan anak merupakan alternatif untuk menyelamatkan perkawinan atau untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga. Pengangkatan anak terbagi dalam dua pengertian, yaitu: pertama, pengangkatan anak dalam arti luas, ini menimbulkan hubungan nasab sehingga ada hak dan kewajiban selayaknya antara anak terhadap orang tua sendiri. kedua, ialah pengangkatan anak dalam arti terbatas, yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan hubungan antara anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat hanya terbatas pada hubungan sosial saja. 3 Pengangkatan anak bukanlah hal yang baru di Indonesia, masyarakat Indonesia sudah lazim melakukan pengangkatan anak. Namun setiap masyarakat memiliki cara dan motivasi yang berbeda-beda menurut sistem hukum yang dianut 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 3 R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, cet. ke- 4, Jakarta: Sinar Grafika,2001, hlm.176 Universitas Sumatera Utara daerah bersangkutan. Keanekaragaman hukum yang mengatur tentang pengangkatan anak di Indonesia dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan tentang lembaga pengangkatan anak dari berbagai sumber hukum yang berlaku, baik dari hukum Barat BW, hukum adat yang berlaku dalam masyarakat, maupun hukum Islam yang banyak dianut oleh masyarakat. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional, yang menuju kepada unifikasi hukum. Di Indonesia, pengangkatan anak telah menjadi kebudayaan masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut kepentingan orang per orang dalam keluarga. Oleh karena itu, lembaga pengangkatan anak adopsi yang telah menjadi bagian budaya masyarakat, akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan tingkat kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu sendiri. Hukum adat atas kedudukannya dalam tata hukum nasional Indonesia merupakan hukum tidak tertulis yang berlaku sepanjang tidak menghambat terbentuknya masyarakat sosialis Indonesia dan menjadi pengatur-pengatur hidup bermasyarakat. 4 Dalam hukum adat terdapat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang berbagai masalah, termasuk mengenai pengangkatan anak. Anak angkat dalam hukum adat diartikan sebagai suatu ikatan sosial yang sama dengan 4 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1995, hlm. 64-65 Universitas Sumatera Utara ikatan biologis. Anak angkat dalam hukum adat mempunyai kedudukan yang hampir sama dengan anak sendiri, yaitu dalam hal perkawinan dan kewarisan. Hukum Islam sendiri pada prinsipnya mengakui dan membenarkan pengangkatan anak dengan ketentuan tidak boleh membawa perubahan hukum dalam nasab, wali mewali, dan waris mewaris. Seperti yang tertera dalam Surat Al Ahzab ayat 4 dan 5, yang artinya : 5 “Allah tidak menjadikan bagi seorang dua buah hati dalam rongganya: Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar sebagai ibumu. dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu adalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Pangillah mereka anak-anak angkatmu itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pad sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maulamu.” Pada awalnya tujuan dari pengangkatan anak antara lain adalah untuk meneruskan keturunan, manakala didalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. 6 Tetapi dalam perjalanannya seiring dengan perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak berubah menjadi untuk kesejahteraan anak, hal ini tercantum pula dalam Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang menyatakan: “Pengangkatan anak 5 Surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5 6 Muderis Zaini, Op.Cit Universitas Sumatera Utara adopsi menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”. Sebelum adanya peraturan pemerintah, pelaksanaan pengangkatan anak berpedoman pada Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA, yaitu SEMA Nomor 2 Tahun 1979 tanggal 7 April 1979 tentang Pengangkatan Anak, SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA Nomor 2 Tahun 1979, SEMA Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak, dan terakhir SEMA Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak. Selain itu, juga berpedoman pada Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41HUKKEPVII1984 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan anak sebagai tindak lanjut dari SEMA Nomor 6 Tahun 1983. Surat Edaran ini merupakan petunjuk dan pedoman bagi hakim-hakim Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia dalam mengambil keputusan atau ketetapan bila ada permohonan pengangkatan anak. Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak pada tanggal 3 Oktober 2007 merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan ketentuan mengenai pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak mengatur pula mengenai prosedursyarat pengangkatan anak dan ancaman pidana bagi orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan undang-undang tersebut. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak angkat Universitas Sumatera Utara adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Mengangkat anak merupakan suatu perbuatan hukum, oleh karena itu perbuatan tersebut mempunyai akibat hukum. Salah satu akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak adalah mengenai status anak angkat sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Status tentang anak angkat inilah yang sering menimbulkan permasalahan dalam keluarga. Masalah yang dapat terjadi adalah tentang sah atau tidaknya pengangkatan anak, serta kedudukan anak angkat sebagai ahli waris orang tua angkat. Menurut hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip pokok dalam kewarisan Islam adalah hubungan darah nasab keturunan. 7 Dengan kata lain bahwa peristiwa mengangkat anak menurut hukum kawarisan Islam, tidak membawa pengaruh hukum terhadap status anak angkat, yakni bila bukan merupakan anak sendiri, tidak dapat mewarisi dari orang yang setelah mengangkat anak tersebut. Hal ini, tentunya akan menimbulkan masalah dikemudian hari apabila dalam hal warisan tersebut tidak dipahami oleh anak angkat, dikarenakan menurut hukum Islam, anak angkat tidak berhak mendapatkan pembagian harta warisan dari orang tua angkatnya. Maka sebagai solusinya menurut Kompilasi Hukum Islam adalah dengan jalan pemberian “Wasiat Wajibah” sebanyak-banyaknya 13 sepertiga harta warisan orang tua 7 Hilman Hadikusuma. Hukum Waris Adat. Citra Aditya Bakti. Bandung.1990. Universitas Sumatera Utara angkatnya. Sebagaimana telah diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat 2 yang berbunyi : “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat maka diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 13 dari harta warisan orang tua angkatnya”. Permasalahan pengangkatan anak dan pembagian harta warisan menurut Kompilasi Hukum Islam tersebut diatas sangat menarik untuk dibahas. Menurut ketentuan umum dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 bahwa, “anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”. 8 Atas dasar pengertian tersebut jelaslah bahwa yang dilarang menurut hukum Islam adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal. Dari sini terlihat adanya titik persilangan menurut ketentuan hukum adat, yang menghilangkan atau memutuskan kedudukan anak angkat dengan orang tua kandungnya sendiri. Hal ini bersifat prinsip dalam lembaga Adopsi karena adanya ketentuan yang menghilangkan hak-hak ayah kandung dan dapat merombak ketentuan-ketentuan mengenai waris. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka sudah selayaknya apabila ada suatu cara untuk menjembatani masalah anak angkat, sehingga anak angkat dapat dipelihara dengan baik dan dapat terjamin masa depannya khususnya yang berkaitan dengan bagian waris anak angkat yang bersangkutan. Berpijak dari uraian diatas maka 8 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 Universitas Sumatera Utara penelitian ini mengambil judul: “Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Orang tua Angkat Menurut PP No. 54 Tahun 2007 dan Kompilasi Hukum Islam”.

B. Rumusan Masalah