3. Membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.
43
BAB III
WASIAT WAJIBAH DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Wasiat
Wasiat merupakan salah satu bentuk pemilikan atas harta yang dikenal dan diakui dalam syariat Islam, disamping bentuk-bentuk pemilikan lainnya. Wasiat
diambil dari kata washoitu al syaia, uushihi yang bermakna asholtuhu yaitu menyampaikan sesuatu. Maka muushi yaitu yang berwasiat adalah orang yang
menyampaikan pesan di waktu hidupnya untuk dilaksanakan sesudah ia mati. Dengan demikian, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang,
piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati.
44
A. Hanafi mendefinisikan wasiat dengan pesan seseorang untuk menyisihkan sebagian harta bendanya untuk orang yang ditentukannya dan pelaksanaannya terjadi
sesudah ia meninggal dunia.
45
43
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Pasal 17
44
M. Fahmi Al Amruzi, Rekonstrusi Wasiat Wajibah Dalam Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta : Aswaja Pressindo, hlm. 124
45
A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1970, hlm. 37
Universitas Sumatera Utara
Definisi tersebut mencakup seluruh bentuk wasiat, seperti pemilikan harta, pembebasan seseorang dari utangnya, pembagian harta bagi ahli waris yang
ditinggalkan, wasiat berupa pemberian manfaat, dan mencakup pula wasiat berupa pesan untuk melaksanakan kewajiban yang masih tersangkut pada harta yang
ditinggalkan.
46
Oleh sebab itu, terdapat perbedaan antara wasiat dan pemilikan harta lainnya seperti jual beli dan sewa menyewa, karena pemilikan dalam kedua bentuk
akad yang disebutkan terakhir ini bisa berlaku ketika yang bersangkutan masih hidup. Adapun wasiat, sekalipun akadnya dibuat ketika orang yang berwasiat masih hidup,
tetapi baru bisa direalisasikan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia. Sebelum itu, akad wasiat tersebut tidak memiliki akibat hukum apapun dari segi
perpindahan hak milik kepada orang yang diberi wasiat. Pendapat Imam Syafi’i mengatakan bahwa wasiat tidak boleh untuk ahli
waris, karena turunnya ayat-ayat kewarisan yang berarti tidak boleh merugikan hak- hak ahli waris.menurut Ibn Qudamah, pengikut madzhab Hanbali, menyatakan
membolehkan adanya wasiat kepada ahli waris apabila dikehendaki.
47
Sedangkan menurut Imam Malik, wasiat boleh dilaksanakan bila disetujui oleh ahli waris. Bila
yang menyetujui hanya sebagian maka wasiat diambil dari orang yang membolehkan saja. Hal ini sesuai dengan Pasal 195 ayat 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam yang
menyebutkan sebagai berikut:
46
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op.,Cit, hlm 126
47
M. Fahmi Al Amruzi, Op.,Cit, hlm. 125
Universitas Sumatera Utara
2 Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
3 Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
48
Berbeda dengan hukum Islam, dalam hukum perdata barat, wasiat berupa hibah tidak dibatasi berapa besarnya, sedangkan dalam hukum Islam besarnya wasiat
paling banyak hanya 13 sepertiga harta peninggalan. Menurut Oemarsalim, jika wasiat testament tersebut menetapkan penghibahan barang tertentu dipakailah
sebutan “legaat”, sedangkan istilah “efstelling” digunakan untuk penghibahan semua harta warisan atau bagian tertentu seperberapa atas harta warisan terhadap
seseorang tertentu.
49
Sedangkan menurut Syi’ah Imamiyah, bahwa wasiat boleh untuk ahli waris maupun bukan ahli waris, dan tidak tergantung pada persetujuan ahli waris lainnya,
sepanjang tidak melebihi 13 sepertiga harta warisan.
50
Wasiat mempunyai dasar yang kuat dalam syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Ayat-ayat tentang perintah untuk memberikan wasiat dan
yang berhubungan wasiat dapat dilihat dalam: Q.S Al Baqarah ayat 180.
48
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 195 ayat 2 dan 3
49
Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Cet. IV, Jakarta: Rineka Cipta, hlm 83
50
Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, terjemahan Afif Muhammad, Cet. II, Jakarta: Basrie Press, hlm 240
Universitas Sumatera Utara
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang seorang diantara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Q.S Al Baqarah ayat 181. “maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya,
maka sesungguhnya dosanya bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Q.S An Nisa ayat 11. “…Pembagian-pembagian tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat, banyak
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah swt.” Q.S An Nisa ayat 12.
“Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak member mudharat kepada ahli waris. Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Mengetahui lagi Maha Penyantun.”
Universitas Sumatera Utara
Rasulullah saw bersabda: “sesungguhnya Allah bersedekah berbaik hati kepada kamu tatkala kamu akan menghadapi kematian untuk berwasiat
sepertiga dari harta kamu, sebagai tambahan terhadap amalan-amalan kamu.”HR. Al Bukhari dan Muslim
B. Rukun dan Syarat Wasiat