Dinamika Aktor dan Strateginya

A. Dinamika Aktor dan Strateginya

asifnya pembangunan hotel di Kota Yogyakarta dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, secara tidak langsung

mengakibatkan perebutan atas ruang publik. Ruang publik yang seharusnya bisa dinikmati oleh setiap orang maupun masyarakat yang tinggal di sekitarnya berangsur-angsur hilang tergantikan oleh tinggi dan kokohnya bangunan hotel yang mulai memenuhi sudut-sudut ruang Kota Yogyakarta yang dulu sangat bersahaja. Hal ini memunculkan berbagai gerakan penolakan yang dilakukan oleh beberapa organisasi pemerhati lingkungan, yang khawatir atas pembangunan yang semakin lama semakin memarginalkan masyarakat dan menghilangkan hak-hak masyarakat.

Perebutan ruang Kota Yogyakarta tersebut melibatkan berbagai aktor, yang saling mempengaruhi dalam pengambilan dan pelaksanaan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota Yogyakarta untuk mengendalikan pembangunan hotel yang semakin lama, tidak terkendali. Terdapat setidaknya tiga aktor yang berperan dan

Berebut Ruang dan Tanah di Kot a Ist imewa Berebut Ruang dan Tanah di Kot a Ist imewa

Pertama, aktor yang paling berperan disini yakni Pemerintah Kota Yogyakarta, sebagai pengambil kebijakan yakni Walikota Yogyakarta; serta sebagai pelaksana kebijakan yakni Dinas Perizinan Kota Yogyakarta; serta SKPD terkait lainnya. Kepentingan yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam hal ini ingin mewujudkan Visi Kota Yogyakarta yakni salah satunya menjadikan Kota Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata terkemuka di Asia Tenggara, hal ini juga didukung dengan kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam rangka mendirikan usaha.

Kemudahan mendirikan usaha di Kota Yogyakarta ini mendapat urutan keempat di dunia, seperti yang tertuang dalam laporan Survey Doing Bussiness 2011, yang dirilis tahun 2012 oleh International Finance Corpotation (IFC). Survey yang dilakukan oleh Bank Dunia ini dilaksanakan di 20 kota di Indonesia serta 183 negara. 48

Kota Yogyakarta juga tercatat menempati urutan nomor lima dalam kemudahan dalam pengurusan Izin Mendirikan Bangunan.

Berbagai kemudahan untuk mendirikan usaha yang diberikan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta ini merupakan sinyal dibukanya keran usaha untuk para investor untuk menanamkan investasinya di Kota Yogyakarta, dengan harapan naiknya Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta naiknya pertumbuhan ekonomi.Kemudahan dalam pengurusan izin mendirikan bangunan ternyata dapat menarik para pemrakarsa hotel untuk membangun hotelnya di Kota Yogyakarta,

48 Kota Jogja Peringkat 4 Dunia, diakses melalui h Ʃ p://m.harianjogja.com/

baca/2012/05/23/kemudahan-berbisnis-kota-jogja-peringkat-4-dunia-188055 pada tanggal 18/11/2016 pukul 23:01 WIB.

60 JOGJA-KU(DUNE ORA) DIDOL 60 JOGJA-KU(DUNE ORA) DIDOL

Kepentingan aktor Pemerintah untuk menjadikan Kota Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata terkemuka di Asia Tenggara, dengan berbagai kemudahan yang menyertainya ternyata berdampak pada masifnya pembangunan hotel yang kian tak terkendali. Akibatnya kemudian yakni adanya berbagai dampak negatif yang timbul akibat pembangunan hotel tersebut, dan timbulnya berbagai aksi penolakan yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh organisasi pemerhati lingkungan.

Aktor kedua, yakni Investor atau pemrakarsa pembangunan hotel. Investor dalam hal ini merupakan kelompok sasaran dari kebijakan yang diambil dan dilaksanakan oleh pemerintah Kota Yogyakarta. Kepentingan dari kelompok ini yakni jelas, ingin menanamkan modalnya dalam bidang penyediaan akomodasi pariwisata.

Investor atau pemrakarsa pembangunan hotel ini bukan hanya investor lokal, namun juga dari luar daerah, maupun dari perusahaan besar lainnya. Mereka datang ke Kota Yogyakarta untuk meluaskan jaringannya, dan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan mendirikan hotel di Kota Yogyakarta. Pemrakarsa hotel ini tidak semuanya memiliki tanah di Kota Yogyakarta, sehingga bisa ditebak yang terjadi kemudian adalah beralihnya pemilikan dan penguasaan tanah di Kota Yogyakarta.

Berebut Ruang dan Tanah di Kot a Ist imewa

Problem yang terjadi kemudian yakni bahwa tidak semua penguasaan tanah di Kota Yogyakarta yang akan digunakan untuk pembangunan hotel sesuai dengan peraturan yang berlaku tentang subyek dan obyek Hak Atas Tanahnya (HAT). Dari data permohonan IMB yang masuk di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta membuktikan bahwa banyak subyek HAT tidak sesuai dengan Hak Atas Tanahnya, sehingga termasuk kedalam pengkaburan fakta hukum.

Berbagai cara dilakukan oleh para pemrakarsa hotel demi ter- laksananya pembangunan hotel, salah satunya yakni dengan meng- anggap remeh proses konsultasi publik dalam rangka pembangunan hotel. Dibanyak kasus yang terjadi, konsultasi publik terhadap masyarakat terdampak pembangunan hotel ini dilaksanakan oleh pemilik tanah bukan oleh pemrakarsa hotel sendiri. Padahal pemilik tanah dan pemrakarsa hotel merupakan dua pihak yang berbeda, sehingga yang terjadi kemudian adalah tidak adanya komunikasi yang searah yang dilakukan oleh para pemrakarsa hotel kepada masyarat sekitarnya tentang dampak-dampak dari pembangunan hotel yang akan dilaksanakan serta upaya-upaya pencegahan yang telah disusun untuk menanggulangi dampak tersebut. Selain itu, meningkatnya permintaan akan lokasi pembangunan hotel menyebabkan konfl ik penguasaan tanah di beberapa tempat, terutama untuk tanah Sultan Grond, maupun untuk tanah-tanah di pinggiran Sungai Code.

Aktor ketiga, yakni Organisasi Non Pemerintah. Organisasi non Pemerintah ini dapat berupa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun organisasi pemerhati lingkungan lainnya, serta kelompok masyarakat yang berjuang untuk menuntut keadilan dalam pembangunan dan dalam tata ruang dan pertanahan. Seruan demi seruan diperdengarkan dan dipertontonkan oleh berbagai kelompok

62 JOGJA-KU(DUNE ORA) DIDOL 62 JOGJA-KU(DUNE ORA) DIDOL

Kepentingan dari kelompok ini adalah agar pemerintah mengambil tindakan untuk membatasi pembangunan hotel yang terjadi dan menuntut adanya keadilan dan pemerataan dalam pembangunan. Berbagai cara dilakukan oleh aktor resisten ini untuk menarik perhatian pemerintah agar menghentikan pembangunan hotel yang terjadi, salah satunya yakni keringnya sumur warga Kampung Miliran, akibat eksploitasi yang dilakukan oleh Hotel Fave menyebabkan munculnya aksi teatrikal Mandi Pasir yang dilakukan oleh Dodok serta keluarnya fi lm dokumenter yang diproduksi oleh Watchdoc yang berjudul “Belakang Hotel” pada tahun 2014.Dalam fi lm dokumenter ini diperlihatkan adanya kompetisi dalam perebutan air tanah antara warga Miliran dengan salah satu hotel dengan menyuguhkan taggar #JogjaAsat sebagai simbol perlawanan.Pasang surut perjuangan yang dilakukan oleh para pemerhati lingkungan maupun kelompok resisten ini membuktikan bahwa pemerintah belum bisa mengendalikan pembangunan hotel yang kian masif di Kota Yogyakarta.

Ketiga aktor ini saling mempengaruhi dalam rangka mewujudkan kepentingan masing-masing. Pemerintah berusaha untuk mempengaruhi kelompok sasaran (pemrakarsa hotel) untuk melaksanakan kebijakan pengendalian pembangunan hotel, namun disatu sisi meningkatnya investasi di Kota Yogyakarta juga memberikan dampak positif yakni naiknya PAD, sehingga hal ini tentu saja berpengaruh pada kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah itu sendiri. Pemrakarsa hotel pun dengan kekuatannya tetap berusaha untuk mempengaruhi jalannya kebijakan yang dilaksanakan oleh

Berebut Ruang dan Tanah di Kot a Ist imewa Berebut Ruang dan Tanah di Kot a Ist imewa