OPTIMASI SISTEM TENAGA LISTRIK METODE MERIT ORDER

9.4 OPTIMASI SISTEM TENAGA LISTRIK METODE MERIT ORDER

Djiteng (1990) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pembebanan merit order ( merit

loading ) adalah pembebanan yang dilakukan berdasarkan urutan dari unit pembangkit yang mempunyai biaya pembangkit termurah disusul dengan unit yang mempunyai biaya pembangkit lebih mahal. Selanjutnya Djiteng menguraikan hirarki biaya pembangkit dimulai dari yang termurah sampai dengan yang lebih mahal. Dimulai dengan PLTA yang hanya tergantungn pada adanya air. Namun salah satu kekurangan dari PLTA adalah masalah kavitasi, sehingga pembebanan harus memperhitungkan secara cermat ketersediaan air apalagi bila musim kemarau telah tiba. Oleh sebab itu disarankan untuk membebani PLTA dengan beban minimum (pada saat air surut maksimal) selanjutnya pembebanan yang disarankan berada pada range 30% - 90 % beban nominal.

unhas

lkpp

Gambar 9.9 Grafik pemakaian air sebagai fungsi beban dari unit PLTA

Urutan kedua ditempati oleh PLTU batubara kemudian PLTU memakai bahan bakar minyak residu yang mempunyai sistem pemanasan kembali (reheat sistem) dan disusul dengan

PLTU memakai bahan bakar residu minyak yang tidak memakai sistem reheat. Dalam praktek unit PLTU kebanyakan tidak mungkin diberhentikan selama satu atau dua jam untuk kemudian dioperasikan kembali dengan kondisi api ketel uap mati sama sekali. Hal ini akan menggeser grafik biaya bahan bakar/jam sebagai fungsi beban.

unhas

Tentu saja merit loading ini berubah apabila struktur harga bahan bakar berubah misalnya apabila ada PLTG yang karena sesuatu fleksibiltas penempatannya dapat menggunakan gas alam yang murah maka kedudukan PLTG ini dapat menukar kedudukan PLTU bahan bakar minyak non reheat dalam merit loading.

Berikut diberikan contoh pemakaian merit loading untuk PLTA, PLTU, PLTD dan PLTG

(Djiteng, 1990):

lkpp

Gambar 9.10 Biaya bahan bakar per jam sebagai fungsi beban sistem

Catatan :

1. PLTA minimum 500 MW

2. PLTU batubara 800 MW Rp24 Juta/jam

unhas

3. PLTU minyak residu denga reheat : 400 MW, Rp 24 Juta/jam

4. PLTU minyak residu tanpa reheat : 200 MW, Rp 14 Juta/jam

5. PLTG minyak HSD : 300 MW, Rp 36 Juta/jam Gambar disusun atas dasar asumsi unit-unit pembangkit yang tersedia untuk operasi mempunyai data sebagai berikut :

a. PLTA minimum harus berbeban 500 MW, hal ini disyaratkan untuk keperluan irigasi

dan untuk mengatasi masalah kavitasi

b. Titik A pada gambar didapat berdasar a tersebut diatas b. Titik A pada gambar didapat berdasar a tersebut diatas

Beban (MW)

F (FT)

(Rp. 10 6 /jam)

dF(PT) / dPT (Rp/kWH)

d. PLTU yang menggunakan bahan bakar minyak residu dan menggunakan reheat sistem

mempunyai kemampuan 400 MW, sehingga titik B 1 ke titik C 1 = 400 MW.

e. PLTU yang menggunakan bahan bakar minyak residu tetapi tidak menggunakan reheat sistem mempunyai kemampuan 200 MW sehingga arah titik C 1 ke titik D 1 = 200 MW

f. PLTG yang menggunakan HSD mempunyai kemampuan 300 MW sehingga arah titik

D 1 ke titik E 1 = 300 MW

Tabel 9.4

lkpp unhas

Dari penyusuan tabel 9.4, tampak bahwa nilai dF(PT) / dPT dipengaruhi oleh dua faktor yaitu

1. Besarnya beban yang harus dilayani oleh sistem seperti digambarkan oleh gambar 9.11.

2. Unit pembangkit yang tersedia yang akan menetukan kurva biaya bahan bakar seperti gambar 9.10. Berdasarkan uraian pada butir a dan b di atas maka titik A letaknya pada sumbu MW karena biaya bahan bakar PLTA = 0. Titik B dicari dengan perhitungan sebagai berikut : PLTU yang menggunakan batubara dan berbeban 800 MW berdasar angka pada butir 2 akan menghabiskan biaya : 800 x 1 x 1000 x 30 = Rp.24 juta/jam. Titik B terletak pada posisi beban 500 MW (beban PLTA yang minimum) + 800 MW = 1300 MW. Biaya bahan bakar PLTA ( = 0) + 24 juta/jam = Rp.24 juta/jam Dengan cara serupa maka akan didapatkan titik C, D, dan E

lkpp unhas