Pendirian Perusahaan Negara (BUMN) di Indonesia

3. Pengertian dan Hakikat Pendirian

Pada hakikatnya pengertian BUMN tidak terpisahkan dari amanat UUD 1945. Pasal 33 ayat (2) menetapkan, bahwa cabang-cabang produksi atau usaha-usaha yang

Hadi Soesastro, dkk (ed), Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir: Krisis dan Pemilihan Ekonomi , (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal. 31-32. Lihat juga Mawardi Simatupang, yang antara lain mengemukakan bahwa BUMN saat ini secara umum cenderung dibebani dengan berbagai tugas yang selain tidak produktif, bahkan cenderung mendistorsi kegiatan utama dari perusahaan tersebut. Makin banyaknya biaya jenis ini akan menurunkan tingkat efisiensi perusahaan. Dari sisi pendapatan, terlalu rendahnya pendapatan yang diperoleh BUMN bisa bersumber dari rendahnya harga penjualan produk BUMN yang bisa disebabkan oleh kondisi-kondisi sebagai berikut: (1) Terjadinya kelebihan pasokan dan/atau kekurangan permintaan. Dalam pasar yang terbuka dan bersaing, tingkat harga sangat dipengaruhi oleh kondisi permintaan dan penawaran pasar dari barang tersebut. Bila terjadi kelebihan pasokan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri sampai melebihi jumlah yang diminta, maka hal tesebut bisa mengakibatkan tertekannya harga penjualan dari produksi dimaksud; (2) Kualitas produk yang dihasilkan kurang memenuhi standar. Kualitas produk yang berada di bawah standar yang ada secara otomatis akan menyebabkan harga jual lebih rendahnya dari yang seharusnya. Dalam kondisi pasar yang bersaing efek negatifnya terhadap kondisi harga bila lebih buruk dibandingkan bila pasarnya tidak bersaing; (3) Pasar produknya bersifat monopsonistis . Banyak BUMN mempunyai pembeli tunggal di pasar domestik, misalnya PT. INKA (persero). Pasar produksi yang bersifat monopsonistis menyebabkan posisi tawar perusahaan menjadi lemah, sehingga bermuara pada relatif rendahnya harga jual dari produk perusahaan tersebut. Untuk itu, BUMN seperti itu harus mencoba untuk membuka pasar luar negeri, agar produknya dapat terjual dengan baik. Mawardi Simatupang, “BUMN PASCA UU BUMN” dalam Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan (ed), BUMN INDONESIA: Isu, Kebijakan, dan Strategi, (Jakarta: Gramedia, 2006), hal. 71- 73.

102

penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh negara. Penguasaan negara atas cabang-cabang produksi atau usaha-usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak itu sangat penting dan esensial agar kesejahteraan rakyat banyak terjamin dan bisa menikmati sumber-sumber kemakmuran yang sebesar-besarnya dari bumi, air dan kekayaan-kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian Pemerintah sebagai penyelenggara negara dituntut memiliki kemauan yang kuat untuk menjabarkan Pasal 33 UUD 1945 secara lebih bermakna dan rinci, sehingga konsepsi “penting bagi negara” dan “menguasai hajat hidup orang banyak” menjadi lebih jelas dan berorientasi kepada kepentingan

kesejahteraan rakyat Indonesia. 103 Secara umum BUMN dapat dikelompokkan sebagai BUMN Pionir, BUMN

Strategis, BUMN PSO (Public Service Obligation), dan BUMN yang melaksanakan bisnis murni. 104 BUMN Pionir adalah jenis BUMN perintis yang belum dapat

dilaksanakan oleh swasta namun sangat dibutuhkan oleh masyarakat. BUMN strategis adalah jenis BUMN yang menyangkut kepentingan negara, seperti

Lihat juga Ibrahim R yang mengatakan bahwa persepsi publik terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN, baik yang dibentuk untuk kepentingan profit (bisnis) maupun non-profit (kepentingan umum), sangat tidak efisien dan sangat tidak efektif, amburadul, salah urus, manajemen dengan menggunakan kekuasaan, dan terjadinya praktik kong-x-kong. Hal itu dibuktikan oleh sejarah BUMN itu sendiri, dari periode ke periode dijadikan sapi perahan, ladang empuk, dan gondolan bagi yang berkuasa untuk kepentingan pribadi maupun kelompok, karena memang tidak mempunyai grand unified design lakul pancer ekonomi bangsa. ... Sejarah mencatat bahwa sejak nasionalisasi perusahaan Belanda berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, sampai detik ini, BUMN dan BUMD merupakan ladang garapan, sapi perahan, sebagian besar elit penguasa (pengusaha), sehingga tidak mampu memberikan kontribusi maksimal sesuai dengan jiwa Pasal 33 UUD 1945 “yang melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial. Ibrahim R, Op.Cit., hal. 12.

Mas Achmad Daniri, “Aspek Governance Badan Usaha Milik Negara”, http://www.governance-indonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=63&Itemid=2

distorsi ekonomi secara luas. 105 Tabel berikut memberikan suatu kerangka kebijakan terhadap pembuat

keputusan sebelum melakukan privatisasi dengan memperhatikan keadaan negara: 106

Bismar Nasution, Privatisasi: Menjual atau Menyehatkan. Makalah disampaikan pada Seminar Program dan Kebijakan Kementerian BUMN 2004 dengan topik: “Restrukturisasi dan Privatisasi BUMN, Manfaat dan Tantangannya dalam Upaya Meningkatkan Kinerja BUMN”, tanggal

4 September 2004, di Ruang IMTGT Biro Rektor Universitas Sumatera Utara, Medan. Lihat juga Sunita Kikeri, Jhon Nellis, Mary Shirley, Op.Cit., hal. 4. 106 Bismar Nasution, Op.Cit. hal. 5.

Tabel 2. Kerangka Kebijakan Keadaan Negara dengan Keadaan Perusahaan Keadaan Negara

Keadaan Perusahaan

Sektor Kompetitif

Sektor Non Kompetitif

Kapasitas yang tinggi Keputusan : Keputusan : untuk membuat regulasi;

 Menjamin atau Pasar yang mendukung

 Dijual

membuat pengaturan lingkungan

secara tepat.  Kemudian mempertimbangkan penjualan.

Kapasitas yang rendah Keputusan : Keputusan : untuk membuat regulasi;

 Mempertimbangkan Pasar tidak mendukung

 Dijual, dengan

memperhatikan

managemen

keadaan kompetisi.

privatisasi.  Mengusahakan pasar

yang mendukung kerangka kebijakan.  Membuat pengaturan lingkungan

secara tepat.

 Kemudian mempertimbangkan

penjualan.

Sumber: Bismar Nasution, Privatisasi: Menjual atau Menyehatkan.

Sampai sejauh ini, boleh dikatakan bahwa pengelolaan dan orientasi pengembangan BUMN telah “melenceng” dari tujuan pendiriannya semula. Hal itu terjadi karena Pemerintah belum dapat sepenuhnya memetakan perusahaan- perusahaan negara yang tepat untuk diinvestasikan sebagai BUMN, mulai dari perkebunan bekas milik pemerintah Hindia Belanda yang dinasionalisasikan hingga usaha bank, pabrik semen, perusahaan penerbangan, dan jenis-jenis usaha negara lainnya. Adanya keinginan kuat Pemerintah menswastakan beberapa BUMN tertentu Sampai sejauh ini, boleh dikatakan bahwa pengelolaan dan orientasi pengembangan BUMN telah “melenceng” dari tujuan pendiriannya semula. Hal itu terjadi karena Pemerintah belum dapat sepenuhnya memetakan perusahaan- perusahaan negara yang tepat untuk diinvestasikan sebagai BUMN, mulai dari perkebunan bekas milik pemerintah Hindia Belanda yang dinasionalisasikan hingga usaha bank, pabrik semen, perusahaan penerbangan, dan jenis-jenis usaha negara lainnya. Adanya keinginan kuat Pemerintah menswastakan beberapa BUMN tertentu

Berikut ini diterakan skema kondisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diharapkan.

KONDISI BUMN YANG DIHARAPKAN

KOMPETITIF

NON KOMPETITIF

Bisnis Murni (Orientasi Profit) PSO & KAMNEG

Contoh : 1. Perbankan (BTN)

Badan Hukum : Perjan, Perum

2. Industri Baja (Krakatau Steel)

3. Jalan Tol (Jasa Marga) 4. Perkebunan, Pembgn Prmhn, dll

Badan Hukum : PT Persero

Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas dan Penguatan Institusi Pasar Modal/ Bapepam untuk mewujudkan Kepemilikan Saham yang Tersebar dengan

Penerapan GCG.

Perusahaan yang Sehat dan Efisien

Skema 3. Kondisi BUMN yang Diharapkan

Sudah pasti bahwa perusahaan minyak seperti Pertamina harus dikuasai negara karena minyak adalah salah satu aset penting dalam penyelenggaraan negara. Namun selain minyak, aset penting lain seperti hutan juga harus dikelola dan dikuasai oleh negara dalam bentuk BUMN. Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan swasta perorangan sesungguhnya tidak mencerminkan amanat konstitusi (UUD 1945) dan sebagai konsekuensinya sebagian besar kekayaan hutan Indonesia hanya dinikmati oleh segelintir orang. Perusahaan negara yang lain seperti Pindad, PAL, IPTN dan INKA (industri kereta api) perlu dikuasai oleh negara. Kendati dalam perkembangan usaha BUMN tersebut ternyata membutuhkan dukungan perusahaan-perusahaan swasta, baik yang berkaitan dengan aktivitas produksi, pengadaan maupun distribusinya, masih dapat dibenarkan namun dengan aturan bahwa perusahaan-perusahaan swasta tersebut harus mengikuti dan tetap

berada di bawah koordinasi BUMN yang bersangkutan. 107 Bahan-bahan pokok kebutuhan rakyat seperti sandang, pangan dan papan

sudah seharusnya dikuasai dan sekaligus dimonopoli oleh negara karena masih banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk itu PN Sandang harus berorientasi untuk memproduksi tekstil murah yang terjangkau oleh rakyat banyak. Untuk kasus spesifik seperti ketergantungan hidup orang banyak terhadap industri batik tradisional yang dijalankan sebagai industri rumah tangga (home industry) khususnya di Pulau Jawa, selain memerlukan perlindungan dari “ batik printing”, mungkin perlu dijadikan sebagai perusahaan negara (BUMN) untuk

107 Indra Bastian, Op.Cit., hal. 151.

dapat memenuhi kebutuhan rakyat banyak akan tekstil yang murah dan terjangkau. Demikian pula halnya dengan keberadaan perusahaan perumahan rakyat sudah

semestinya dikuasai dan dimonopoli oleh sebuah perusahaan negara pula. 108 Dalam hal adanya keinginan Pemerintah untuk menjual perusahaan negara

kepada swasta (swastanisasi), maka Pemerintah perlu melakukan seleksi yang ketat dan bersikap rasional terhadap BUMN mana yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan amanat Konstitusi. Perusahaan negara yang sesuai dengan amanat konstitusi harus tetap dipertahankan menjadi BUMN (minimum 51 persen sahamnya dikuasai oleh negara) dan dilindungi atau dimonopoli oleh negara. Sedangkan perusahaan negara yang tidak sejalan dengan amanat Konstitusi, pihak swasta diperbolehkan membeli seluruh atau sebagian besar sahamnya. Dalam rencana penjualan BUMN kepada pihak swasta, ada beberapa pilihan: (i) dijual kepada perorangan; (ii) go-public; dan (iii) dijadikan koperasi. Namun penjualan BUMN kepada perorangan sebaiknya dihindarkan atau menjadi pilihan terakhir. Hal ini mengacu pada pemikiran demokrasi ekonomi, bahwa hanya usaha-usaha kecil yang sebaiknya menjadi usaha perorangan. Sedangkan usaha-usaha berskala besar seharusnya dimiliki oleh rakyat banyak dalam bentuk koperasi, atau perusahaan terbuka (go-public) dengan ketentuan misalnya maksimum penguasaan saham oleh perorangan bervariasi tidak lebih dari 1 sampai 5 persen. Sebagai contoh perusahaan Garuda

108 Ibid.

misalnya, maksimum 25 persen sahamnya harus dimiliki oleh negara, sedangkan sisanya dijual kepada publik melalui mekanisme pasar modal. 109

Diperolehnya dana segar dari masyarakat melalui penjualan saham baru di pasar modal akan memungkinkan Garuda untuk mengembangkan usahanya ke depan, dan tidak tertutup pula kemungkinan saham Garuda akan dijual di pasar-pasar modal luar negeri. Timbulnya keinginan investor asing untuk membeli saham Garuda atau BUMN-BUMN lainnya, baik saham lama maupun yang baru, tidak lain hanya untuk kepentingan investor asing itu sendiri. Keberhasilan investasi yang mereka tanamkan pada perusahaan-perusahaan negara tersebut akan memberikan keuntungan finansial dalam bentuk capital gain atau pembagian dividen. Singkatnya, perusahaan- perusahaan negara yang telah menjadi perusahaan terbuka tersebut juga akan memberi keuntungan yang cukup signifikan bagi pendapatan negara.

Tidak jauh berbeda dengan persoalan batik tradisional di Indonesia, terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan negara (PTP) seperti perkebunan kelapa sawit, bahwa produk minyak sawit yang dihasilkan PTP itu sendiri bukanlah sepenuhnya untuk “memenuhi hajat orang banyak”. Dalam hal menswastakan perkebunan negara, yang menjadi dasar pemikiran adalah banyaknya rakyat petani kelapa sawit yang mengantungkan hidup pada perkebunan kelapa sawit milik negara tersebut, sehingga pilihan swastanisasi yang lebih tepat untuk itu adalah pembentukan badan usaha

109 Berdasarkan data yang ada, seluruh BUMN kemungkinan besar akan dijual, baik sebagian maupun seluruh dari sahamnya. Namun perlu dicatat bahwa tidak seluruh BUMN tersebut layak untuk

dijual. Dari penjualan saham lama saja, apabila rencana penjualan ini berhasil, maka paling tidak 50 triliun rupiah bersih dapat diperoleh negara. Sebagian dari itu bisa berbentuk devisa (hasil go- internasional). Oleh sebab itu tidak heran, kalau ada pemikiran bahwa hasil penjualan BUMN akan dipakai untuk membayar utang luar negeri. Ibid, hal. 151-152.

koperasi. Dengan kata lain, saham milik negara pada perkebunan tersebut semuanya dialihkan kepada anggota koperasi yaitu para petani kelapa sawit. Para anggota koperasi (para petani) ini membeli saham PTP dengan cara mengansur dari hasil keuntungan koperasi perkebunan kelapa sawit. Maka pengalihan saham perkebunan milik negara kepada anggota koperasi, dengan capital-gain ataupun tidak, lebih bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup anggota koperasi (para petani) itu sendiri. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa para profesional yang mengelola PTP (pegawai lama) masih tetap bekerja seperti biasa di koperasi, namun mereka tidak lagi digaji oleh PTP, melainkan oleh koperasi perkebunan. Sistem seperti ini, yaitu pemisahan fungsi dan kedudukan antara pemilik dan pengelola koperasi (pihak eksekutif) harus diterapkan untuk menciptakan efektivitas pengawasan internal agar salah satu tujuan pokok pendirian koperasi dapat tercapai, yaitu meningkatkan

kesejahteraan hidup para anggota koperasi. 110 Terhadap BUMN yang masih tetap dipertahankan keberadaannya, tidak

tertutup kemungkinan untuk melakukan kerjasama dengan pihak swasta, baik dalam patungan modal, dengan persyaratan minimum 51 persen modal usaha tetap dikuasai negara, maupun dalam bentuk pinjaman, yaitu dengan menerbitkan obligasi negara misalnya. Sudah pasti bahwa kerjasama usaha dalam bentuk pinjaman ini, pihak

110 Satu hal penting yang harus diingat dalam pengelolaan perusahaan adalah profesionalisme para eksekutif. Fakta membuktikan bahwa kegagalan banyak BUMN, yang mendorong terjadinya

swastanisasi sekarang adalah tingkat profesionalisme para eksekutif yang relatif rendah dalam managerial perusahaan. Di samping itu, adanyanya berbagai macam pemborosan dan high-cost yang akuntabilitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka rusaknya perusahaan-perusahaan negara tidak terlepas dari sikap atau perilaku birokrat (pegawai negeri) sebagai pengelola yang digaji sangat rendah itu.

swasta sebagai pemegang obligasi menghendaki premi bunga yang kompetitif di pasar uang atau pasar modal. Kita ambil contoh misalnya PLN bisa berpatungan dengan modal swasta dan juga dapat menerbitkan obligasi. Dengan cara yang demikian maka tidak ada alasan yang kuat untuk mendirikan perusahaan listrik swasta. Dalam hal adanya sinyalemen bahwa PLN memiliki kinerja yang cukup buruk, itu bisa diperbaiki dengan menyempurnakan struktur organisasinya, misalnya dengan cara membentuk perusahaan-perusahaan listrik daerah, sehingga beban pusat yang cukup berat tersebut bisa dikurangi dengan mendesentralisasikan ke daerah- daerah seperti yang telah dilakukan perusahaan air minum (PAM).

Perusahaan negara di bidang jasa transportasi umum seperti kereta api dan bus kota idealnya disubsidi oleh negara mengingat kepentingannya yang lebih luas yaitu untuk “memenuhi hajat hidup rakyat banyak”. Setiap kota seharusnya memiliki satu perusahaan bus kota yang dimonopoli oleh negara atau pemerintah daerah (Pemda). Paling tidak pemerintah menunjuk suatu perusahaan swasta untuk monopoli usaha bus kota atas nama negara, dengan ketentuan boleh mengambil keuntungan maksimum sekian persen dan tarifnya ditentukan oleh negara. Bahkan bila negara menghendaki, perusahaan bus kota dapat diberikan subsidi agar tarif angkutan bus kota menjadi lebih murah untuk lebih meringankan beban masyarakat di bidang jasa transportasi umum.

Perusahaan negara di bidang industri strategis, antara lain seperti Barata, Bisma Boma Indra (BBI), INKA, PINDAD, PAL dan IPTN, diketahui memiliki berbagai masalah yang cukup kompleks. Sebagaimana perusahaan negara lainnya,

perusahaan di bidang industri stategis, pada dasarnya persoalannya tidak jauh dari masalah modal negara yang dirasakan terlalu sempit dan profesionalisme dalam kaitannya dengan birokrasi dan bisnis. Sejumlah kalangan berpendapat bahwa perusahaan negara juga harus menyetorkan keuntungan dan membayar pajak kepada negara melalui mekanisme APBN. Pendapat seperti ini boleh jadi keliru karena tidak semua perusahaan negara berorientasi untuk meraih keuntungan semata seperti seperti perusahaan bus atau kereta api misalnya. Dengan kata lain, perusahaan negara pun berhak menerima proteksi dari pemerintah pada saat mereka membutuhkan. Dengan tujuan untuk mengembangkan teknologi canggih misalnya, proteksi bisa diberikan kepada PAL, IPTN, atau INKA sampai mereka bisa mandiri. Pemberian proteksi terhadap industri strategis seperti tersebut di atas lebih bisa diterima akal, ketimbang memberikan proteksi kepada pabrik mobil. Di Indonesia, dengan mengambil contoh mobil Kijang yang dijual Rp.30 juta, padahal seharusnya laku Rp.10 juta, disubsidi oleh rakyat dan ekonomi Indonesia sebesar sekitar Rp.20 juta dikalikan dengan produksinya sekitar 250 ribu setahun, atau Rp. 5 trilyun. Dengan kepemilikan dana sebesar itu, hampir dapat dipastikan bahwa industri-industri

strategis dimaksud akan bisa memberikan manfaat bagi negara. 111 Dari sisi lain diketahui bahwa kondisi PAL tidak sama dengan kondisi IPTN.

Sebab pasar pesawat terbang di Indonesia sudah terbentuk, khususnya yang komersial. Dengan demikian secara ekonomis industri pesawat terbang bisa menyerap hasil IPTN, kendati IPTN sendiri pun untuk sementara masih perlu

111 Ibid, hal. 153.

dilindungi sampai produknya menjadi kompetitif baik di pasar domestik maupun dunia. Sedangkan PAL sendiri memiliki persoalan yang lebih berat. Sebab pasar sealines dan sea carriers, belum sepenuhnya terbentuk. Oleh sebab itu industri jasa di bidang kelautan harus diciptakan terlebih duhulu agar mampu menyerap produk PAL. Dengan kata lain, PAL masih memerlukan perlindungan sepanjang belum bisa mandiri. Untuk itu PAL perlu diberi subsidi harga, agar produknya bisa dibeli murah oleh sealiners dan sea carriers, khususnya untuk kebutuhan dalam negeri. Kalau saja PAL misalnya bisa memperoleh order 10 kapal saja setahun dengan kapasitas 10 ribu hingga 30 ribu ton selama 10 tahun. Dengan modal usaha beberapa ratus milyar rupiah, maka dalam rentang waktu itu niscaya pasar jasa kapal Indonesia akan hidup

dan berkembang seperti jasa pesawat udara sekarang. 112

4. Badan Hukum dan Sektor Usaha

Kepemilikan negara atas BUMN menurut badan hukumnya terdiri atas 4 (empat) kelompok yaitu: Persero, Perusahaan Umum (Perum), Perusahaan Jawatan

(Perjan), dan Patungan Minoritas. 113

112 Ibid, hal. 153-154.

Di negara lain, BUMN dibedakan atas dua kategori yaitu public utilities seperti pos, telekomunikasi, listrik, gas, kereta api, dan penerbangan, dan industri vital (strategis) yaitu minyak, batu bara, besi baja, perkapalan, dan otomotif. Perusahaan public utilities harus dikontrol secara terbuka oleh wakil rakyat, pers, pemerintah, masyarakat dan tidak boleh dikelola secara rahasia di mana hanya ada oknum birokrat, teknokrat, dan politisi yang mengatur tarif dan hanya secara subjektif tanpa konsultasi dan perhitungan cermat. Di negara kapitalis liberal, perhitungan tarif public utilities didiskusikan lebih dulu secara terbuka, misalnya berapa margin keuntungan yang layak diperoleh. Perusahaan public utilities tidak boleh merugi dan sebaliknya harus memperoleh laba guna reinvestasi, depresiasi, dan ekspansi di masa depan. Berkembangnya BUMN di negara lain, seirama dengan perkembangan politik dan demokrasi, karena diletakkan pada prinsip kepastian hukum, ruang gerak, dan bentuknya, serta ditempatkan pada porsi yang sesungguhnya, kendati tidak steril dari pengaruh politik, tetapi kontrol publik sangat ketat. Perhitungan tarif public utilities di negara maju didiskusikan dulu secara terbuka, misalnya bagaimana menghitung biaya produksi, batas mana margin

Persero adalah BUMN yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1969. Undang-undang mengenai Perseroan ini terus mengalami penyempurnaan seiring dengan perkembangan perekonomian nasional, salah satunya adalah penerbitan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Kemudian Pemerintah menerbitkan pula Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1998 yang antara lain menetapkan, bahwa BUMN yang berbentuk PT, seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh negara melalui

penyertaan modal secara langsung. 114 Dalam kelompok Persero ini, anak perusahaan juga termasuk 115 seperti milik Holding Company PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) dan PT

Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS). Perum sebagai BUMN diatur berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 yang kemudian disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1998 yang antara lain menetapkan, bahwa Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya

keuntungan yang layak atau dibolehkan. Memang perusahaan public utilities tidak boleh merugi dan harus untung, guna reinvestasi, depresiasi, dan ekspansi di masa depan. Namun, perolehan laba dalam hal ini, tidak boleh dipaksakan karena monopoli dan tidak ada alternatif bagi konsumen yang bisa ditentukan sekehendak pengelola perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan public utilities boleh dan berhak mengambil keuntungan, tetapi dalam batas yang wajar, layak, patut, dan memenuhi kriteria yang dirumuskan secara kuantitatif dengan memperhatikan prinsip akuntansi yang sehat untuk menjamin survival dan pertumbuhan perusahaan. Di Inggris misalnya, sektor public utilities, seperti air, listrik, gas, kereta api, dan Telkom, perhitungan menggunakan Rate of Return (ROR) dan Return Price Index Minus X (RPI-X). Dua pola ini merupakan perhitungan teknis ekonomis yang sudah mencakup kebutuhan deprisiasi, investasi, ekspansi, penelitian dan pengembangan masa depan. Dengan menggunakan ukuran ROR dan RPI-X untuk utility public harus mengumumkan secara terbuka kalkulasi laba-rugi, cash flow, investasi, serta target pengembalian investasi dan margin yang ingin diperoleh dalam waktu tertentu. Semua harus menjadi milik publik, paling sedikit harus didiskusikan di DPR, pers, dan cendikiawan sebelum keputusan diambil oleh komisi tarif independen. Di Indonesia sampai saat ini masih dikelola oleh birokrat dan teknokrat secara mutlak dan untuk publik bersifat kacau atau sporadik. Ibrahim R., Op.Cit, hal. 13.

114 Pasal 1 ayat (2) PP No. 12 Tahun 1998 tentang Persero. 115 Pasal 5 ayat (2) PP No. 12 Tahun 1998 tentang Persero.

dimiliki oleh negara, yaitu kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. 116

Perjan sebagai BUMN diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 yang selanjutnya disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2000 yang antara lain menyebutkan, bahwa Perjan adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah dan merupakan kekayaan negara, yang tidak dapat

dipisahkan serta tidak terbagi atas saham-saham. 117 Sedangkan kepemilikan negara pada Perusahaan Patungan Minoritas adalah

berbentuk saham atas perusahaan bersangkutan melalui penyertaan modal langsung dengan jumlah saham kurang dari 51%.

Berdasarkan sektor usahanya, BUMN dapat dibagi ke dalam 6 (enam) kelompok besar. Dari ke-6 kelompok sektor usaha BUMN tersebut, yang paling banyak adalah BUMN yang bergerak di sektor usaha industri dan perdagangan. Hal ini mungkin terkait erat dengan strategi pemerintah untuk mengimbangi peranan perusahaan swasta nasional dan asing di sektor usaha yang sama. Apabila dirinci lebih jauh menurut sektor usahanya, perusahaan-perusahaan BUMN tersebut hampir merambah ke semua sektor bisnis yang ada di Indonesia. Misalnya kelompok BUMN yang bergerak di sektor industri dan perdagangan, bidang usaha yang dimasuki perusahaan-perusahaan BUMN tersebut antara lain industri pupuk, semen, farmasi, tekstil, kertas penerbitan, percetakan, sampai ke industri yang sifatnya strategis

116 Pasal 1 ayat (1) PP No. 13 Tahun 1998 tentang Perum. 117 Pasal 1 ayat (1) PP No. 6 Tahun 2000 tentang Perjan.

seperti industri pesawat terbang, bahan peledak dan sebagainya. Selain itu, perusahaan-perusahaan BUMN juga memasuki industri manufaktur seperti telekomunikasi, pelabuhan laut, bandar udara, kelistrikan, dan sebagainya.

Tabel 2 berikut ini memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai peta posisi karakteristik industri BUMN berdasarkan kelompok usaha.

Tabel 3. Peta Posisi Karakteristik Industri BUMN Berdasarkan Kelompok Usaha

Monopoli Kompetiti

dan Kelompok

Jumlah Kompet Monopo

Kompetiti PSO

1 Perbankan

2 Asuransi

3 Jasa Pembiayaan

4 Jasa Kontruksi

7 Jasa Penilai

8 Jasa Lainnya

9 Rumah Sakit

13 Angkutan Darat

17 Industri Farmasi

18 Pariwisata

19 Kawasan Industri

20 Usaha Penerbangan

- Perkapalan

21 Dok

dan

22 Perkebunan

23 Pertanian

24 Perikanan

25 Pupuk

26 Kehutanan

27 Kertas

- Penerbitan

28 Percetakan

dan

29 Pertambangan

- Konstruksi Baja

34 Industri Pertahanan

35 Semen

36 Industri Sandang

37 Aneka Industri

11 25 1 Sumber: Kementerian BUMN, Tahun 2007.