Sistem Ekonomi yang Berkeadilan (Demokrasi Ekonomi)

D. Sistem Ekonomi yang Berkeadilan (Demokrasi Ekonomi)

Pergulatan pemikiran di seputar topik “negara, pasar dan keadilan sosial”, baik yang bersifat akademik maupun populer merupakan wacana publik yang masih tetap aktual dibicarakan sampai saat ini. Keyakinan kaum Neo-Liberalis bahwa perdagangan bebas yang disertai dengan pengurangan campur tangan negara seminimum mungkin akan mendatangkan kemakmuran dan demokrasi, namun dalam konteks Indonesia justru memunculkan persoalan. Sebab perubahan sistem politik yang tidak mengarah pada demokrasi merupakan prakondisi yang melahirkan reaksi penolakan terhadap sistem perdagangan bebas. Dapat diasumsikan bahwa masyarakat yang dapat menerima perdagangan bebas adalah masyarakat yang liberal, transparan dan demokratis. Jika suatu negara memiliki sistem politik yang otoriter, seperti pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, maka konsep perdagangan bebas

Tanri Abeng menyebutkan bahwa berdasarkan hasil penelitian Paul Krugman diketahui pertumbuhan ekonomi Indonesia yang begitu pesat sebelum krisis disebabkan oleh dorongan pertumbuhan investasi, bukan karena efisiensi dan inovasi. Tanri Abeng, “Kelemahan Fundamental Makro Ekonomi Indonesia”, 1999, dalam Sofyan A. Djalil, Good Corporate Governance, (Jakarta: tanpa penerbit, 2002), hal.1.

Lihat Paolo Mauro, “Dampak Korupsi pada Pertumbuhan Investasi dan Belanja Pemerintah: Sebuah Analisis Lintas Negara” dalam Kimberley and Elliot, Korupsi dan Ekonomi Dunia , diindonesiakan oleh A. Rahman Zainuddin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hal. 134- 136. Dapat ditambahkan bahwa menurut laporan Bank Dunia, diperkirakan sekitar 20% dana-dana proyek Bank Dunia telah masuk ke kantong pejabat-pejabat Indonesia. Lihat Forum Keadilan No. 11 (Tahun VII, 7 Sepember 1998), hal. 67.

melakukan kolusi dengan oknum-oknum pejabat negara. 159 Muhammad Hatta yang merumuskan Pasal 33 UUD 1945 terlahir dalam

situasi dan kondisi bangsa yang sedang berjuang meraih kemerdekaan, bukan hadir di tengah kebebasan mimbar akademik seperti sekarang ini. Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan garis besar perekonomian nasional itu memuat keinginan yang kuat untuk merombak struktur perekonomian masyarakat Indonesia, dari sistem ekonomi kolonial yang menindas rakyat menjadi sistem ekonomi nasional yang mensejahterakan rakyat; dari sistem ekonomi yang sangat subordinatif menuju perekonomian yang berlandaskan asas-asas demokrasi (demokrasi ekonomi). Cita- cita untuk dapat merombak struktur ekonomi nasional tersebut dimaknai oleh Muhammad Hatta sebagai kehendak mewujudkan sistem sosialisme Indonesia dengan sistem ekonomi yang menekankan kebersamaan dan kekeluargaan, namun tetap memberi tempat bagi artikulasi individualitas, karena keinsyafan akan harga

159 Heru Nugroho, Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. vi. Bandingkan. Musi Umar mengatakan bahwa keberhasilan suatu negara melaksanakan demokrasi

ekonomi akan membuktikan keberhasilannya dalam mengelola bangsa. Demokrasi di bidang politik, tanpa diikuti demokrasi ekonomi, hanya akan melahirkan kesenjangan di antara rakyat. Itu sebabnya, dibutuhkan visi yang kuat untuk melaksanakan demokrasi ekonomi jika tidak ingin melihat bangsa ini hancur. Penyebab kegagalan demokrasi ekonomi di Indonesia ada lima hal: (1) salah memilih konsep pembangunan yang hanya peduli pada pertumbuhan; (2) pembangunan tanpa ideologi pembebasan; (3) pemimpin yang tidak punya keberanian moral untuk berpihak pada perbadayaan kaum pribumi; (4) ekonomi yang pro pasar bebas; dan (5) kualitas sumber daya manusia yang rendah. Lihat “Perlu Visi Kuat untuk Bangun Demokrasi Ekonomi”, Harian Kompas, 14 April 2007.

diri. Dalam hal ini, Muhammad Hatta menolak ekonomi pasar yang bertumpu pada persaingan bebas (survival of the fittest), namun pada saat yang sama juga menampik etatisme negara. Idealnya politik pemerintahan dan politik ekonomi nasional yang

bermuara pada demokrasi politik dan ekonomi dirumuskan sebagai berikut: 160 “ Pendeknya cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun

perekonomian rakyat, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat. Pendek kata rakyat itu daulat alias raja atas dirinya. Tidak lagi orang seorang atau sekumpulan orang pandai atau segolongan kecil saja yang memutuskan nasib rakyat dan bangsa, melainkan rakyat sendiri. Inilah arti kehidupan rakyat! Inilah suatu dasar demokrasi atau kerakyatan yang seluas-luasnya. Tidak saja dalam hal politik, melainkan juga dalam hal ekonomi dan sosial ada demokrasi; keputusan dengan mufakat rakyat yang banyak”.

Dalam Daulat Rakyat yang ditulisnya pada tahun 1933, Bung Hatta menyampaikan pemikirannya tentang bagaimana mengelola perekonomian rakyat

Indonesia dalam negara Indonesia merdeka sebagai berikut 161 : “ Suatu soal yang tidak boleh luput dari perhatian kita di waktu sekarang

ialah keadaan ekonomi rakyat kita. Bahwa penghidupan rakyat bertambah lama bertambah sempit, hingga penghasilan bertambah lama bertambah turun, pengangguran bertambah lama bertambah banyak dan gaji atau upah bertambah lama bertambah turun…Keadaan ini hanya dapat diperbaiki berangsur-angsur dangan memberi susunan kepada produksi dan konsumsi rakyat, pendeknya dengan mengadakan koperasi produksi dan koperasi konsumsi dan dibantu dengan koperasi kredit…Yang sanggup mengobati adalah rakyat sendiri. Dan pokok segala usaha adalah kemauan tetap. Kemauan itulah yang harus kita bangkitkan. Ini dasarnya ‘self-help’ yang senantiasa menjadi buah bibir kita”.

160 Sri-Edi Swasono, “Pengantar” dalam Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (ed), Muhammad Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif. Ekonomi Masa Depan , (Jakarta: UI Press, 1992), hal. xviii.

Lembaga Pengkajian Ekonomi Pancasila, “Ekonomi Pancasila”, (Jakarta: LPEP, 1982), hal. 49.

161

Sedangkan pandangannya mengenai persoalan politik perekonomian negara yang akan disusun dalam negara Indonesia merdeka disampaikan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan. Pada sidang ini beliau mengatakan bahwa dalam hal politik perekonomian negara, ekonomi hendaklah disusun atas dasar koperasi dan asas kekeluargaan. Oleh karena Indonesia memiliki kekayaan alam dan bahan mentah yang melimpah ruah, maka pemerintah harus menjaga dan memelihara kekayaan tersebut dengan jalan menguasainya dengan maksud mempergunakannya “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Oleh sebab itu “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Selain itu, pemerintah harus melibatkan diri secara langsung dalam mengusahakan “produksi yang besar-besar

yang menguasai hajat hidup orang banyak”. 162 Dan ketika berpidato di Bukit Tinggi pada tahun 1932, Bung Hatta ada mengemukakan ciri-ciri dari sistem perekonomian

162 Lihat Dilear Noer, Muhammad Hatta: Biografi Politik, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 227- 228. Sehubungan dengan politik ekonomi Indonesia, Bung Hatta membedakan pengertian antara

“ politik perekonomian jangka panjang” dan “politik perekonomian jangka pendek”. Menurut Hatta:”… Politik perekonomian berjangka panjang meliputi segala usaha dan rencana untuk menyelenggarakan berangsur-angsur ekonomi Indonesia yang berdasarkan koperasi… Di sebelah menunggu tercapainya hasil politik perekonomian berjangka panjang ini, perlu ada politik perekonomian jangka pendek, yang realisasinya bersandar kepada bukti-bukti yang nyata…”. Lihat Mubyarto dan Revrisond Baswir, Pelaku dan Politik Ekonomi Indonesia , (Yogyakarta: Liberty, 1989), hal. 33. Menurut Ace Partadiredja, “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara” adalah semua kegiatan produksi barang dan jasa yang ‘sine qua non’ untuk menjalankan roda pemerintahan yang apabila tidak ada membuat pemerintahan menjadi macet atau paling tidak terhambat. Sedangkan “cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak” adalah semua cabang produksi barang dan jasa yang hasilnya dipakai oleh semua orang, atau hampir semua orang. Jadi termasuk sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan dan pemberian kesempatan kerja, kurang lebih sama dengan konsep ‘basic need’ yang ditawarkan oleh organisasi buruh sedunia (ILO). Namun dari waktu ke waktu selalu terjadi pergeseran suatu barang dari yang tidak menguasai hajat hidup orang kemudian menjadi menguasai hajat hidup orang banyak. Misalnya dahulu “radio pernah menjadi barang mewah yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi sekarang semua keluarga, termasuk yang miskin sekalipun memerlukannya” sebagai sumber informasi dan hiburan. Ibid, hal. 74-76.

yang bersifat sosialis. Dalam hubungan ini, Bung Hatta mengemukakan bahwa sosialisme Indonesia timbul karena tiga faktor, yaitu 163 :

“Pertama, sosialisme Indonesia timbul karena suruhan agama. Karena adanya etik agama yang menghendaki adanya rasa persaudaraan dan tolong menolong antara sesama manusia dalam pergaulan hidup, orang terdorong ke sosialisme…Jadi sosialisme Indonesia muncul dari nilai- nilai agama, terlepas dari marxisme…Yang ada hanyalah perjumpaan cita-cita sosial-demokrat Barat dengan sosilisme-religius (Islam), di mana marxisme sebagai pandangan hidup materialisme tetap ditolak. Kedua , sosilisme Indonesia merupakan ekspresi daripada jiwa berontak bangsa Indonesia yang memperoleh perlakuan yang sangat tidak adil dari si penjajah. Ketiga , para pemimpin Indonesia yang tidak dapat menerima marxisme sebagai pandangan yang berdasarkan materialisme, mencari sumber- sumber sosialisme dalam masyarakat sendiri…dasar-dasar bagi sosialisme Indonesia terdapat pada masyarakat desa yang kecil, yang bercorak kolektif, yang banyak sedikitnya masih bertahan sampai sekarang…”

Sebagian dari hasil pemikiran Bung Hatta tersebut kemudian tercermin dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Adapun maksud dan tujuan dari dibentuknya Pasal 33 tersebut terdapat pada penjelasannya sebagai berikut:

“ Dalam Pasal 33 tercantum dasar ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan

yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran segala orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya.

Abdul Madjid dan Sri-Edi Swasono (ed), Wawasan Ekonomi Pancasila, (Jakarta, 1988), hal. 6.

Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan orang seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam terkandung dalam bumi adalah pokok- pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” 164

Meskipun dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 dinyatakan bahwa bentuk perusahaan yang sesuai dengan “asas kekeluargaan” adalah koperasi, akan tetapi pengertian “asas kekeluargaan” itu sendiri tidak dijelaskan apa maksudnya sehingga hal ini kemudian telah menimbulkan aneka ragam penafsiran dari berbagai kalangan anggota masyarakat dan pejabat pemerintah.

Dalam tulisannya yang berjudul “Cita-cita Koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945”, Bung Hatta mengatakan bahwa pengertian asas kekeluargaan dalam Pasal 33 tersebut adalah koperasi. Asas kekeluargaan adalah suatu istilah yang diterapkan di Taman Siswa, untuk menunjukkan bagaimana guru dan murid-murid yang tinggal padanya hidup sebagai suatu keluarga. Begitu pulalah hendaknya corak koperasi di Indonesia, di mana hubungan antara anggota-anggota koperasi satu sama lain harus

mencerminkan orang-orang yang bersaudara yang merupakan satu keluarga. 165 Keinginan Bung Hatta agar koperasi berperan dalam sistem perekonomian nasional

berdasarkan pemikiran bahwa prinsip-prinsip koperasi sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Dalam koperasi, hubungan antara anggota koperasi satu sama lain harus mencerminkan orang-orang bersaudara (sekeluarga). Rasa solidaritas dipupuk dan diperkuat dengan cara setiap anggota dididik menjadi orang-orang yang

164 Ibid.

Lihat Sri-Edi Swasono (ed), Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, (Jakarta: 1987), hal. 16.

karena adanya masyarakat. Setiap anggota koperasi harus mempunyai rasa tanggung jawab moril dan sosial karena apabila tanggung jawab moril dan sosial tidak ada,

maka koperasi tidak akan tumbuh dan tidak akan membuahkan hasil. 167 Namun Bung Hatta menggaris-bawahi bahwa konsep “dikuasai oleh negara”

dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tidak berarti bahwa negara sendiri yang menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Akan tetapi kekuasaan negara yang dimiliki oleh pemerintah digunakan antara lain untuk membuat peraturan yang dapat melancarkan jalannya perekonomian dan peraturan yang melarang praktik “ penghisapan” oleh pemilik pemodal terhadap orang atau pemilik usaha kecil yang

lemah. 168 Dengan mengacu kepada penjelasan Pasal 33 UUD 1945 diketahui bahwa

ayat 1, 2 dan 3 Pasal 33 UUD 1945 ini pada dasarnya merupakan landasan dari Demokrasi Ekonomi atau lebih populer dengan istilah Sistem Ekonomi Kerakyatan, adalah suatu sistem perekonomian yang mengutamakan peningkatan partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses penyelenggaraan perekonomian. Dengan demikian maka dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan ini setiap anggota masyarakat tidak hanya diperlakukan sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek yang memiliki

Menurut Mohammad Hatta, pengertian individualitas dan individualita berbeda. Tidak seperti individualisme yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, makna individualita menunjuk kepada kepribadian atau watak seseorang. Lihat Dilear Noer, Op.Cit., hal. 227-228.

167 Mohammad Hatta, (1) “Penjabaran Pasal 33 UUD’45”, (Jakarta: 1980), hal. 27-28.

Mohammad Hatta, (2) “Cita-cita Koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945” dalam Sri-Edi Swasono (ed), Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, (Jakarta: 1987), hal. 17.

UUD 1945, 169 namun dalam implementasinya ditafsirkan secara keliru oleh berbagai pihak. Para pihak yang ingin mempertahankan keberadaan BUMN cenderung

memahami konsepsi “dikuasai oleh negara” sebagai diselenggarakan langsung oleh pemerintah. Berbeda dengan konsepsi dasar yang ditawarkan oleh Bung Hatta, bahwa pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 lebih menekankan pada segi dimilikinya hak oleh negara, bukan pemerintah, untuk mengendalikan penyelenggaraan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Penyelenggaraannya secara langsung dapat diserahkan kepada badan-badan pelaksana BUMN atau perusahaan swasta, yang bertanggung jawab kepada pemerintah, namun operasionalnya dikendalikan oleh negara. Sebaliknya, para pihak yang ingin melakukan privatisasi atau menjual BUMN kepada para pemilik modal perseorangan, cenderung menafsirkan bahwa hak negara untuk mengendalikan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut hanya semata-mata sebagai hak untuk membuat peraturan perundang-undangan. Padahal terdapat perbedaan

169 Revrisond Baswir, “Privatisasi BUMN: Menggugat Model Ekonomi Neoliberalisme IMF” dalam I Wibowo dan Francis Wahono (ed), Neoliberalisme, (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat

Cerdas, 2003), hal. 213.

mendasar antara hak untuk mengendalikan dan hak untuk membuat peraturan perundang-undangan. 170

Dalam hal untuk mengendalikan tersebut, selain mengandung hak untuk membuat peraturan perundang-undangan, juga mengandung hak untuk membangun suatu institusi dengan dasar undang-undang, termasuk hak untuk menyelenggarakan BUMN yang bertujuan untuk menjamin tercapainya tujuan pelaksanaan campur tangan negara dalam perekonomian, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan, BUMN dipandang sebagai salah satu instrumen yang sengaja dikembangkan oleh negara untuk meningkatkan kemampuannya dalam menjamin pengutamaan kemakmuran rakyat di atas kemakmuran individu. Dengan kata lain, fungsi BUMN dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah sebagai salah satu instrumen penyeimbang bagi negara untuk mengatur bekerjanya mekanisme pasar secara berkeadilan. Sebagai ilustrasi, jika koperasi adalah instrumen penyeimbang mekanisme pasar yang modalnya dimiliki secara langsung oleh para anggotanya, maka BUMN adalah instrumen penyeimbang mekanisme pasar yang modalnya dimiliki oleh negara atas nama seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi BUMN untuk memonopoli suatu cabang produksi tertentu. Hal ini tidak hanya berlaku pada cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Lebih jauh bahkan tidak tertutup kemungkinan bagi BUMN untuk menjual sebagian sahamnya di pasar modal atau membagikannya kepada para karyawan, konsumen, dan kepada pemerintah daerah.

170 Ibid, hal. 214.

Sebaliknya, tidak ada pula alasan untuk mengharamkan keberadaan BUMN atau serta merta memindahkan kepemilikan seluruh BUMN secara penuh kepada para pemilik modal perseorangan. Mengharamkan keberadaan BUMN tidak hanya akan melemahkan kemampuan negara dalam mengendalikan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi secara langsung mengancam pemenuhan amanat konstitusi untuk mengutamakan

kemakmuran rakyat banyak di atas kemakmuran individu. 171 Mengenai hubungan antara public utilities dan kekuasaan pemerintah, Bung

Hatta mengemukakan bahwa public utilities sebaiknya diusahakan oleh pemerintah dengan pengadaan pelayanan umum seperti listrik, gas, air adalah bidang usaha yang harus digarap pemerintah, ditambah dengan cabang-cabang produksi yang penting lainnya seperti industri pokok dan tambang perlu pula dimiliki atau dikuasai oleh negara. Namun dalam hal ini pengertian “dikuasai” bukan otomatis dikelola langsung oleh pemerintah, tetapi dapat dengan menyerahkannya pada pihak swasta, asalkan tetap berada di bawah pengawasan pemerintah. Kepemilikan perusahaan-perusahaan tersebut sebaiknya di tangan pemerintah, akan tetapi pimpinan perusahaannya

Ibid, hal. 215. Menurut Hadori Yunus, pengertian dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat pada hakikatnya merupakan penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam untuk kepentingan nasional dan untuk tujuan mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jika kekayaan alam tidak dikuasai oleh negara mengakibatkan setiap orang akan mengeksploitasinya sehingga kekayaan alam itu dikhawatirkan hanya akan dihambur-hamburkan. Hadori Yunus, “Nasionalisme dalam Ekonomi Pancasila”, dalam Mubyarto dan Boediono (ed), Ekonomi Pancasila, (Yogyakarta: BPFE, 1994), hal. 129. Bandingkan dengan Mubyarto yang mengatakan bahwa: (1) penguasaan oleh negara dilakukan karena cabang-cabang produksi tersebut menguasai hajat hidup orang banyak; dan (2) penguasaan bumi, air dan kekayaan alam tersebut adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, penguasaan oleh negara terhadap cabang-cabang produksi dan kekayaan alam itu dipandang dapat menjamin perlindungan kepentingan orang banyak dan demi kemakmuran rakyat secara maksimal. Mubyarto, Op.Cit., hal. 51- 52.

yang kelak akan menggantikan mereka. 172 Pada kesempatan lain Bung Hatta menegaskan kembali pengertian usaha

bersama atas asas kekeluargaan seperti dimaksud dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut 173 :

“ Usaha bersama atas asas kekeluargaan ialah koperasi, seperti yang dipahamkan dalam sosialisme Indonesia. Pasal 33 UUD membagi pekerjaan membangun ekonomi masyarakat antara koperasi dan negara. Koperasi membangun dari bawah, mengajak orang banyak bekerja sama untuk menyusun dasar-dasar kemakmuran rakyat. Usaha yang besar-besar diselenggarakan oleh negara. Dikuasai oleh negara tidak berarti, bahwa pemerintah sendiri menjadi pengusaha dengan segala birokrasi yang ada padanya. Pemerintah menetapkan politik perekonomian, berdasarkan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

172 Mohammad Hatta, (2), Op.Cit., hal. 18.

Mohammad Hatta, (3) “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia”, dalam Sri-Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (ed), Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan, (Jakarta: 1992), hal. 150. Menurut Wilopo istilah “usaha bersama” dalam rumusan Pasal 33 UUD1945 tersebut menunjukkan perbedaan dari usaha swasta, sedangkan istilah “asas kekeluargaan” menyatakan ide tanggung jawab bersama untuk menjamin kemajuan bagi semua orang. Tujuan memajukan usaha bersama bukanlah untuk keuntungan pribadi melainkan kemajuan bagi seluruh masyarakat. Kesadaran tanggung jawab masyarakat menjamin bahwa keadilan akan dapat dilaksanakan. Diantara unsur-unsur khas hubungan kekeluargaan itu terdapat unsur hidup bersama, unsur usaha bersama para anggota demi kebaikan bersama bagi seluruh keluarga, dan pembagian hasil usaha bersama di antara para anggota sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Lihat Sri-Edi Swasono (ed), Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi , (Jakarta: 1987), hal. 26-27 dan 36. Bandingkan dengan Thoby Mutis yang mengemukakan bahwa dalam konsep manajemen modern ‘kodeterminasi’, pengelolaan sektor ekonomi dilakukan secara bersama-sama antara manajemen dengan pekerja sebagai perwujudan asas kebersamaan. Budaya ini merupakan unsur penting dalam penetapan suatu budaya perusahaan (corporate culture) yang akan menjadi faktor penentu keberhasilan suatu usaha. Pada manajemen kodeterminasi terdapat prinsip pain sharing, process sharing dan profit sharing dalam pengelolaan suatu sektor ekonomi. Manajemen kodeterminasi berpijak kepada premis bahwa semua pihak menjadi sentral di dalam badan usaha. Dengan demikian tidak ada absolutisme atau mutlak-mutlakan dalam menentukan kebenaran dan kebaikan, melainkan ditentukan secara bersama-sama dalam kematangan sebagai sentra. Kodeterminasi mengandung tatanan emancipatory dan participatory dalam lingkup timbal balik dan tidak ada pihak yang mengalami proses marginalisasi. Thoby Mutis, Pendekatan Ekonomi Pengetahuan dalam Manajemen Kodeterminasi: Jurus Jitu Memenangkan Persaingan , (Jakarta: MM USAKTI & Gramedia Widiasarana Indonesia, 1995), hal. 65.

173

Pekerjaan dapat diserahkan kepada badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab kepada pemerintah, yang kerjanya dikontrol oleh negara”.

Berdasarkan pendapat Bung Hatta tersebut di atas diketahui bahwa sistem ekonomi nasional dikembangkan oleh tiga pelaku ekonomi utama yaitu koperasi, swasta dan negara. Namun dalam hal ini negara sebagai pelaku ekonomi tidak mutlak harus menjalankan sendiri kegiatan usahanya karena dapat saja dikelola oleh pihak lain yang profesional. Sedangkan bagaimana tata cara pelaksanaan sistem ekonomi nasional semuanya akan ditentukan berdasarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kedaulatan rakyat tertinggi.

Pada tanggal 12 April 1947 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan pengangkatan Panitia Seminar Siasat Ekonomi (Brains Trust) yang melibatkan Bung Hatta sebagai salah seorang pendiri negara Indonesia. Dalam seminar tersebut dilakukan penafsiran terhadap maksud dan tujuan Pasal 33 UUD 1945 dalam konteks pengembangan usaha-usaha dan perumusan pedoman pelaksanaan sistem ekonomi. Di antara keputusan yang dihasilkan oleh seminar siasat ekonomi tersebut adalah tentang Politik Perekonomian Pemerintah berdasarkan Pasal

33 UUD 1945, dengan menyesuaikan tindakan kepada keadaan praktik 174 : “

I. Macam tindakan ekonomi:

1. Perusahaan pemerintah dan monopoli, terutama:

a. Pembangun dan pembagian listrik dan gas dan air;

b. Kereta api dan tram;

c. Pos, kawat dan telepon;

d. Bank sirkulasi;

e. Tambang (berangsur-angsur)

2. Perusahaan campuran (pemerintah dan partikulir)

174 Marwah M. Diah, Op.Cit, hal. 83-84.

3. Kooperasi campuran,disertai oleh:

a. Kapital asing;

b. Buruh Indonesia

c. Pemerintah

4. Perusahaan partikulir diawasi oleh negara

5. Koperasi diawasi oleh negara

6. Perusahaan kecil partikulir, tidak diawasi oleh negara

II. Pengawasan Pemerintah lainnya atas tindakan ekonomi:

1. Peraturan tentang perusahaan

2. Koordinasi

3. Pembatasan produksi

III. Peraturan Harga. Tanah partikulir dihapuskan.”

Panitia Pemikir Siasat Ekonomi tersebut berhasil merumuskan bahwa sektor usaha yang dapat diberikan monopoli kepada pemerintah terutama pada 5 (lima) sektor yaitu listrik; kereta api dan tram; pos; kawat dan telepon; bank sirkulasi; dan tambang. Hal ini berarti bahwa secara implisit kepada pemerintah dapat juga diberikan monopoli pada sektor usaha lainnya jika dianggap perlu demi kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak. Dengan memperhatikan keputusan yang diambil oleh Panitia Pemikir Siasat Ekonomi tersebut, maka dapat ditafsirkan bahwa politik hukum ekonomi Indonesia yang dilandasi oleh Pasal 33 UUD 1945 seakan-akan memberikan landasan monopoli kepada perusahaan yang dimiliki pemerintah, seperti keberadaan BUMN misalnya, sehingga keputusan seminar tersebut pada akhirnya menimbulkan pro dan kontra, terutama pada penafsiran bahwa monopoli dapat diberikan kepada negara (BUMN). Dalam hal ini, Edi Swasono berpendapat bahwa “ Monopoli oleh Pemerintahan secara definisi diperbolehkan karena Pemerintah Panitia Pemikir Siasat Ekonomi tersebut berhasil merumuskan bahwa sektor usaha yang dapat diberikan monopoli kepada pemerintah terutama pada 5 (lima) sektor yaitu listrik; kereta api dan tram; pos; kawat dan telepon; bank sirkulasi; dan tambang. Hal ini berarti bahwa secara implisit kepada pemerintah dapat juga diberikan monopoli pada sektor usaha lainnya jika dianggap perlu demi kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak. Dengan memperhatikan keputusan yang diambil oleh Panitia Pemikir Siasat Ekonomi tersebut, maka dapat ditafsirkan bahwa politik hukum ekonomi Indonesia yang dilandasi oleh Pasal 33 UUD 1945 seakan-akan memberikan landasan monopoli kepada perusahaan yang dimiliki pemerintah, seperti keberadaan BUMN misalnya, sehingga keputusan seminar tersebut pada akhirnya menimbulkan pro dan kontra, terutama pada penafsiran bahwa monopoli dapat diberikan kepada negara (BUMN). Dalam hal ini, Edi Swasono berpendapat bahwa “ Monopoli oleh Pemerintahan secara definisi diperbolehkan karena Pemerintah

persaingan secara sehat yang tidak mematikan pelaku ekonomi yang lemah. 175 Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya tanggal 6 dan 7 Oktober 1977 dilaksanakan

pula seminar penjabaran Pasal 33 UUD 1945 yang diikuti oleh para ahli. Dalam seminar ini, Ruslan Abdulgani menyampaikan pemikirannya tentang pengelolaan sektor perekonomian negara, bahwa: “harus ada keseimbangan antara idealisme dan realisme dalam arti bahwa idealnya sektor koperasi diutamakan karena merupakan soko guru ekonomi, tapi secara realistis tidak semua aktivitas ekonomi dapat dan harus dikoperasikan”. Sedangkan Mashuri, yang pada waktu itu sebagai Wakil Ketua DPR/MPR RI, menyatakan pendapatnya tentang pengelolaan sistim perekonomian nasional yang

175 Keputusan panitia Seminar Siasat Ekonomi tersebut boleh dikatakan tidak sejalan dengan pengertian “dikuasai oleh negara” yang dimaksudkan oleh Bung Hatta. Bung Hatta dalam konsepsinya

tidak pernah menyatakan dikuasai negara berarti pemberian monopoli kepada negara. Karena pada dasarnya praktik monopoli, baik yang diberikan kepada negara maupun kepada swasta, pada keduanya memiliki sisi negatif yang sama yakni berdampak merugikan konsumen dan masyarakat luas. Sesungguhnya bukan menjadi jaminan jika pengelolaan suatu sektor produksi berdasarkan pemberian monopoli oleh negara, hal itu akan terhindar dari praktik-praktik yang merugikan konsumen. Apalagi kalau kontrol dari lembaga pemerintahan lainnya dan masyarakat tidak berfungsi, baik karena sistemnya yang lemah maupun karena sumber daya manusianya yang tidak memiliki kemampuan. Ibid , hal. 84-85.

harus mengembangkan sistem ekonomi yang bersifat koperatif kerakyatan. Adapun keputusan yang dihasilkan dalam seminar ini antara lain sebagai berikut 176 :

I. 1. Bahwa Pasal 33 UUD 1945 adalah politik ekonomi untuk mewujudkan sistem Ekonomi Sosialisme Pancasila.

2. Untuk mewujudkan itu perlu adanya Ekonomi Berencana.

II. Bahwa dalam sistem ekonomi Pancasila ada 3 sektor dengan 3 pelaku:

1. Sektor koperasi sebagai wadah perekonomian rakyat yang harus ditingkatkan terus-menerus peranan dan kedudukannya dalam sektor ekonomi kita;

2. Sektor Usaha Negara untuk mengelola ayat 2 dan 3 Pasal 33 UUD 1945;

3. Sektor Usaha Swasta sebagai pelaku ketiga di samping kedua sektor tersebut di atas.

III. Koperasi: Dalam usaha menjadikan koperasi sebagai wadah ekonomi yang utama untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat maka;

1. Kepada koperasi diberi ruang gerak yang seluas-luasnya, baik dalam bidang produksi, distribusi maupun jasa, untuk usaha besar, menengah maupun kecil, diberikan proteksi dan bimbingan, sehingga Ekonomi Sektor Negara dan Koperasi mempunyai peranan yang menentukan dalam kehidupan ekonomi Indonesia.

2. Pembinaan koperasi oleh Pemerintah dilakukan secara integral sehingga tidak ada kebijaksanaan dan peraturan yang saling bertentangan yang menghambat pertumbuhan koperasi.

3. Menciptakan iklim yang favourable bagi kehidupan, pertumbuhan Koperasi dan dilindungi dari persaingan yang tidak seimbang dari sektor-sektor swasta dan asing.

4. Organisasi koperasi sendiri harus meningkatkan diri melalui:

a. Peningkatan managerial dan technical skill,

b. Peningkatan kewiraswastaan,

c. Peningkatan fungsi DEKOPIN (Dewan Koperasi Indonesia) sebagai

Badan yang memperjuangkan/membela segala

kepentingan koperasi.

5. Pendidikan koperasi di sekolah-sekolah/Perguruan Tinggi dapat segera direalisir.

6. Sebagai wadah ekonomi yang berfungsi sebagai alat pendemokrasian Ekonomi Nasional, maka setiap pembentukan Koperasi harus benar- benar mendasarkan pada kepentingan anggota.

7. Kebijaksanaan perkreditan, supaya menunjang kebutuhan Koperasi, tanpa mendasarkan motif keuntungan saja.

176 Ibid, hal. 85-88.

IV. Sektor Negara Kekayaan bumi, air, dan udara dan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan demikian pula cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai secara mutlak oleh Negara. Untuk merealisir hal-hal tersebutdi atas perlu secepatnya ditetapkan suatu undang-undang yang menetapkan sektor-sektor produksi yang diusahakan oleh Perusahaan Negara. Pedoman Pembiayaan:

1. Perusahaan Negara dibiayai oleh Pemerintah.

2. Apabila Pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai maka dapat diadakan pinjaman-pinjaman dalam dan luar negeri yang tidak mengikat.

3. Apabila dengan 1 dan 2 belum mencukupi maka bisa diselenggarakan bersama-sama dengan modal asing atas dasar production sharing.

Pinjaman dan kerja sama dengan luar negeri harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

V. Usaha-usaha swasta:

1. Bidang-bidang usaha yang belum ditangani oleh Negara dan Koperasi dapat dikelola oleh pihak swasta.

2. Strategi pembangunan Ekonomi yang menuntut partisipasi usaha swasta dan unsur asing memerlukan sistim pengawasan dan pembatasan untuk mencegah/menghindarkan adanya dominasi. Di samping itu berkewajiban melaksanakan dengan sungguh-sungguh transfer of technology dan tidak mengadakan diskriminasi terhadap tenaga kerja Indonesia termasuk tenaga ahli Indonesia.”

Dalam seminar yang diselenggarakan oleh peserta kursus Regular Angkatan ke-XX Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) dari tanggal 23 sampai dengan 27 Nopember 1987 dibahas beberapa masalah pokok yang cukup penting mengenai penafsiran atas Pasal 33 UUD 1945. Adapun tema sentralnya adalah nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang harus menjiwai sistem ekonomi Indonesia. Menyangkut keberadaan BUMN dikemukakan, bahwa hak monopoli dan oligopoli yang dimiliki oleh BUMN hendaknya digunakan untuk meningkatkan kemakmuran ekonomi rakyat yang sebesar-besarnya dan bukan justru merugikan rakyat banyak. Sedangkan untuk menghindarkan pengaruh birokrasi yang berlebihan dan untuk

merangsang timbulnya persaingan yang sehat, mungkin diperlukan pendirian beberapa BUMN yang bergerak dalam satu cabang usaha tertentu. Keputusan penting yang dihasilkan dari pelaksanaan seminar tersebut khususnya tentang kebijakan Sistem Politik yaitu: (a) melanjutkan upaya penumbuh-suburan demokrasi Pancasila dalam seluruh aspek kehidupan nasional di bidang ekonomi; (b) memantapkan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila khususnya yang berkaitan dengan ekonomi nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; dan (c) memantapkan pengamalan kehidupan Pancasila khususnya di bidang kehidupan ekonomi. Seminar ini juga telah menghasilkan Naskah yang berjudul “Ekonomi Pancasila Untuk Mendukung Tinggal Landas dan Pembangunan Jangka Panjang Tahap II”. Hal-hal yang berkenaan dengan penafsiran atas Pasal 33 UUD 1945 dalam Naskah tersebut antara lain dikemukakan, bahwa “Mengenai pelaku ekonomi terdiri dari tiga sektor yaitu negara, koperasi dan sektor swasta yang diharapkan dapat bekerja sama dalam menjalankan proses ekonomi secara kekeluargaan. Mengenai pengertian “dikuasai” oleh negara mempunyai pengertian sebagai: (1) pemilik, (2) pengatur, (3) perencana, (4) pelaksana; (5) pengawas. Rumusan kelima pengertian itu dengan bobot yang berlainan dapat menempatkan negara dalam kedudukannya untuk menguasai (1) dengan memiliki sumber daya alam, dan (2) tanpa memiliki sumber daya alam, namun perwujudan hak menguasai itu melalui jalur pengaturan, perencanaan dan pengawasan. Dengan pola itu, terciptalah suasana yang mencerminkan suatu usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan sesuai dengan jiwa dan semangat kooperatif antara pelaku-pelaku ekonomi swasta, koperasi dan BUMN dengan negara/

pemerintah sebagai kepala keluarga besar negara. Sedangkan pengertian cabang- cabang produksi yang penting bagi negara mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Demikian pula dengan pengertian cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Barangkali, cabang-cabang produksi yang akan tetap bersifat strategis sepanjang masa adalah jalan raya, kereta api, listrik, pelabuhan, telekomunikasi dan jaringan irigasi. Sistem ekonomi Pancasila sangat berbeda dengan sistem ekonomi Liberal maupun sistem ekonomi komunis. Adanya perbedaan tersebut adalah karena adanya perbedaan landasan ideologi, jiwa kepribadian serta kebudayaan yang melandasi sistim-sistim tersebut. Sistem ekonomi Pancasila adalah merupakan sistem ekonomi yang menyeimbangkan, menyelaraskan serta menyerasikan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum untuk mewujudkan kepribadian yang merata dan berkeadilan sosial, berdasarkan asas

kekeluargaan dan kegotong-royongan”. 177 Kumpulan tulisan yang berjudul “Ekonomi Pancasila” merupakan hasil

seminar yang dilaksanakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada pada tanggal 19 September 1980. Konsepsi sistem “Ekonomi Pancasila” ini kemudian disempurnakan melalui “seminar lanjutan” yang diadakan oleh Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (FE UGM). Seminar ini menghasilkan pemikiran beberapa pakar diantaranya Boediono yang memberikan ciri khas perekonomian Pancasila, yaitu: (1) peranan dominan dari koperasi, bersama dengan perusahaan-perusahaan swasta. Kuncinya adalah bahwa “semua bentuk badan usaha

177 Ibid.

didasarkan pada asas kekeluargaan dan prinsip harmoni, dan bukan pada asas kepentingan pribadi dan prinsip konflik kepentingan; (2) memandang manusia secara utuh karena “manusia bukan melulu ‘economic man’ tetapi juga ‘social and religious man’ dan sifat manusia yang kedua ini bisa dikembangkan setaraf dengan sifat yang pertama sebagai motor penggerak kegiatan duniawi (ekonomi)”; (3) adanya “ kehendak sosial yang kuat ke arah egalitarianisme atau kemerataan sosial”; (4) “diberikannya prioritas utama pada terciptanya suatu perekonomian nasional yang tangguh”. Konsep “perekonomian nasional di sini ditafsirkan sebagai pemupukan ketahanan nasional, dan memberi prioritas utama pada kepentingan nasional untuk mencapai suatu perekonomian yang mandiri, tangguh dan terhormat di arena internasional, dan yang didasarkan atas solidaritas dan harmoni di dalam negeri”; dan (5) mengandalkan sistem desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan ekonomi, yang diimbangi dengan perencanaan yang kuat sebagai pemberi arah bagi perkembangan ekonomi sebagaimana tercermin dalam cita-cita koperasi”. Sedangkan Bambang Riyanto berpendapat bahwa peranan perusahaan negara (BUMN) dalam sistem ekonomi Pancasila harus dapat digunakan sebagai alat pemerintah yang efektif untuk menunjang keberhasilan kebijaksanaan dalam bidang ekonomi. Dengan kata lain setiap perusahaan negara harus dikelola secara efisien dan efektif dengan

mengacu kepada prinsip-prinsip ekonomi perusahaan yang sehat. 178 Yayasan Wangsa Manggala mengadakan seminar pada tanggal 1 Oktober

1988 dengan tema “Pengkajian Ulang Pasal 33 UUD 1945”. Dalam seminar tersebut,

178 Ibid, hal. 88-91.

ada beberapa ahli yang menafsirkan Pasal 33 UUD 1945, dan rangkuman hasil seminar sebagai berikut 179 :

I. Pasal 33 UUD 1945 merupakan penggarisan Politik Ekonomi jangka panjang yang memerintahkan pengaturan perekonomian bangsa:

1. Dalam bentuk usaha bersama yang didasarkan atas kekeluargaan.

2. Penguasaan oleh negara atas: (a) cabang produksi yang penting; (b) cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak; (c) sumber daya alam Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat. Pasal ini meletakkan garis-garis politik ekonomi Indonesia tidak ada lagi keraguan dan perbedaan pendapat. Garis-garis besar politik ekonomi politik ini adalah: (1) negara memegang kekuasaan besar dalam perekonomian melalui

penguasaan cabang-cabang produksi tertentu; (2) bahwa koperasi sebagai penjelmaan hidup berekonomi berdasar kerjasama antar orang/manusia (ekonomi kekeluargaan) menjadi sukoguru perekonomian nasional.

II. Kebutuhan akan mekanisme hukum dan perundang-undangan membawa orang pada pemikiran kebutuhan akan Undang-Undang Pokok Perekonomian Nasional yang oleh berbagai kalangan dianggap sudah mendesak.”

Semasa pemerintahan Soeharto ini pernah dikeluarkan peraturan perundang- undangan yang tidak sejalan dengan jiwa serta semangat Pasal 33 UUD 1945, yaitu

Ibid, 92-93. Dalam hubungan ini, Sri-Edi Swasono berpendapat bahwa sistem ekonomi Pancasila berdasarkan “Pasal 33 UUD 1945 mempunyai kedudukan sentral sebagai dasar penjabaran ekonomi Pancasila. Ayat (1) Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dipisahkan pengaruhnya terhadap ayat (2) dan ayat (3). Ayat (1) pasal ini tetap melandasi dan memberi warna pada bangun-bangun perusahaan lain yang ada. Dengan kata lain, bangun perusahaan non-koperasi (perusahaan negara atau perusahaan swasta, apakah ini berbentuk BUMN, PT, CV, Firma, asing, domestik), harus hidup di dalam semangat usaha bersama dan berasaskan kekeluargaan. Perkataan “disusun” di dalam konteks “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan” mengisyaratkan bahwa perekonomian secara keseluruhan harus secara sadar diatur, tidak dibiarkan tumbuh tersusun sendiri. Di sinilah peraturan perundangan, perizinan harus berperan secara aktif untuk menyusun perekonomian nasional, menetapkan dan membentuk sistem dan orde ekonomi yang kita kehendaki itu”. Sri-Edi Swasono (ed), Sistim Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi , Op.Cit., hal. 125. Sementara itu dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 disebutkan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan bangun perusahaan yang sesuai dengan dengan itu adalah koperasi. Menurut Mubyarto, di Indonesia “koperasi adalah suko guru perekonomian dan merupakan bentuk yang paling kongkrit dari usaha bersama”. Lihat Mubyarto, Op.Cit. hal. 53.

179

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Peraturan Pemerintah (PP) ini dikeluarkan sehubungan dengan keterlibatan Indonesia dalam organisasi ekonomi internasional World Trade Organization (WTO) yang mengusung semangat liberalisasi ekonomi dalam era globalisasi. Tujuan utama dari penetapan PP ini adalah untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Penanaman Modal Asing (PMA) untuk mengelola bidang-bidang usaha yang sebelumnya tertutup bagi modal asing sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Di samping tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945, PP No. 20/1994 tersebut juga bertentangan dengan asas hukum sebagaimana ketentuan hierarki tata tertib urutan peraturan perundang-undangan berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang antara lain mengatur bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum dan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan menurut UUD 1945 secara hierarki: UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan sebagainya.

Dalam konteks globalisasi hukum dan ekonomi, Paulus Effendie Lotulung berpendapat bahwa harmonisasi (penyesuaian) hukum tidak harus mengubah hierarki tata tertib perundang-undangan nasional, atau dengan kata lain, harmonisasi hukum tidak berarti bahwa konvensi-konvensi internasional menjadi sesuatu yang bersifat supra nasional dalam tata tertib peraturan perundang-undangan karena yang Dalam konteks globalisasi hukum dan ekonomi, Paulus Effendie Lotulung berpendapat bahwa harmonisasi (penyesuaian) hukum tidak harus mengubah hierarki tata tertib perundang-undangan nasional, atau dengan kata lain, harmonisasi hukum tidak berarti bahwa konvensi-konvensi internasional menjadi sesuatu yang bersifat supra nasional dalam tata tertib peraturan perundang-undangan karena yang

global. 180 Pengambilan keputusan berdasarkan asas musyawarah untuk mufakat

di bidang sosial dan ekonomi pernah dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI ketika melakukan amandemen keempat terhadap Pasal 33 UUD 1945 pada bulan Agustus 2002. Dalam proses amandemen ini muncul debat ideologis antara neo-liberalisme dan sosialisme Indonesia (versi Muhammad Hatta), sehingga sempat terjadi penghapusan peran negara yang digantikan dengan maksimalisasi peran pasar bebas. Pertarungan debat ideologis tersebut tidak sampai memenangkan agenda neo-liberalisme secara keseluruhan karena adanya akomodasi terhadap konsep pasar bebas, yaitu penambahan “demokrasi ekonomi” yang berfungsi sebagai

pembatasan terhadap praktik neo-liberalisme seperti privatisasi dan yang lainnya. 181

180 Marwah M. Diah, Op.Cit., hal. 98.

A. Effendy Choirie, Op.Cit., hal. 18.

Berdasarkan ideologi hukum Indonesia, jelas bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan negara yang berdasarkan kekuasaan (machsstaat), melainkan berdasarkan atas hukum (rechsstaat). Pandangan ini berarti bahwa segala bentuk penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus didasari oleh norma-norma hukum yang disepakati bersama sebagai suatu sistem

hukum nasional. 182 Secara hirarki, Pancasila sebagai falsafah bangsa dan negara Indonesia adalah norma dasar tertinggi dan merupakan sumber dari segala sumber

hukum yang berlaku di seluruh wilayah kedaulatan NKRI. Di dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 secara eksplisit dinyatakan bahwa:

“ Sumber dari tertib hukum sesuatu negara atau yang biasa dinyatakan sebagai “sumber dari segala sumber hukum” adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan, watak dari rakyat negara yang bersangkutan. ... Pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita luhur

yang meliputi suasana serta watak dari bangsa Indonesia itu pada tanggal 18 Agustus 1945 telah dimurnikan dan dipadatkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan atas nama rakyat Indonesia, menjadi dasar negara Republik Indonesia, yakni Pancasila ... .”

Dengan demikian jelas bahwa Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi norma dasar tertinggi (grundnorm) yang mengikat sistem konstitusi dan kenegaraan kita Indonesia. Dalam pada itu, Pancasila juga merupakan

Dalam hal ini dibedakan pengertian antara “pembentukan hukum” dan “aturan hukum”. Kata “hukum” lebih menunjuk kepada pengertian “sistem”. Sistem hukum berarti keterkaitan antar kaidah hukum yang ada di dalam aturan-aturan hukum, sedangkan aturan hukum adalah aturan-aturan tertulis yang ditata secara berjenjang dan memiliki keterkaitan erat antara aturan yang satu dengan aturan yang lainnya, yang sangat tergantung pada wilayah tempat di mana aturan itu dipraktikkan. Adanya konsep wilayah dalam aturan hukum menunjukkan bahwa dalam proses pembuatan dan penerapan aturan hukum sangat dipengaruhi oleh konstelasi ekonomi dan politik. Perbedaan antara sistem hukum dan aturan hukum ini semakin jelas ketika pendekatan politik hukum digunakan untuk menangani suatu perkara. Lihat Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Suatu Sistem Hukum Nasional , (Bandung: Alumni, 1991), hal. 61-64.

regulatif, Pancasila mempunyai fungsi menguji apakah suatu hukum positif 183 tertentu di Indonesia bersifat adil atau tidak. Sedangkan sebagai landasan konstitutif,

Pancasila menentukan bahwa tanpa cita hukum (rechtsidee) maka hukum itu sendiri akan kehilangan maknanya sebagai hukum. 184

Pancasila sebagai asas hukum berfungsi sebagai pemberi jiwa dan semangat yang menjadi latar belakang dari semua peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh Indonesia. Dalam hal ini, asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, malainkan pokok-pokok pikiran mendasar yang bersifat umum atau merupakan latar belakang dari suatu peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terwujud dalam bentuk peraturan perundang- undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif, yang dapat ditemukan dengan mengidentifikasi sifat-sifat umum yang ada dalam peraturan konkrit tersebut. Asas hukum terbagi dua: (i) asas hukum umum, yaitu asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum, seperti asas restitutio in integrum, lex posteriori derogat legi priori , yang berprinsip bahwa apa yang lahirnya tampak benar untuk

Pengertian hukum positif adalah “tatanan hukum dari hukum dasar sampai dengan peraturan-peraturan yang konkrit dan individual yang merupakan suatu sistem”. Lihat Marwah M. Diah, Op.Cit, hal. 36.

Lihat Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, (Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1996), hal. 17.

BW. 186 Adapun ciri-ciri utama dari asas hukum sebagai berikut :

1. fundamen dari sistem hukum, oleh karena itu asas hukum merupakan pikiran-pikiran dasar dari sistem hukum.

2. bersifat lebih umum daripada ketentuan undang-undang dan keputusan-keputusan hukum karena merupakan penjabaran dari asas- asas hukum.

3. beberapa asas hukum berada sebagai dasar dari sistem hukum, dan beberapa asas hukum berada di belakangnya, jadi di luar sistem hukum itu sendiri.

Dengan demikian asas hukum dapat dirumuskan sebagai pikiran-pikiran dasar yang merupakan aturan yang bersifat umum yang menjadi fundamen dari suatu sistem hukum, walaupun tidak seluruhnya masuk ke dalamnya. Asas hukum tidak terlepaskan dari peraturan hukum karena untuk dapat memahami suatu peraturan dengan baik maka dibutuhkan pemahaman yang baik pula atas asas-asas hukum.

185 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1991), hal. 33-35. 186 Roeslan Saleh, Op.Cit., hal. 19-20.

Asas-asas hukum sangat penting dalam setiap aturan hukum karena asas-asas hukum akan memberikan makna dan karakter pada aturan hukum. 187

Meskipun Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) banyak memiliki “ celah hukum” dan karena itu perlu disempurnakan, namun asas kekeluargaan yang mengandung jiwa harmonisasi dan sinergi dengan Pasal 33 UUD 1945 sudah terkandung dalam butir (d) konsideran UUPT. Hal itu berarti bahwa UUPT dan peraturan pelaksanaannya menganut asas kekeluargaan. Dalam rangka implementasi asas kekeluargaan, tampak bahwa campur tangan negara makin luas sampai di segenap aturan bidang kehidupan dan hampir di semua lembaga negara, karena negara berkehendak menciptakan Verwaltungswirschaft, suatu cita-cita untuk menjadikan welfare state, suatu negara kesejahteraan; suatu keadaan yang tidak ada

jurang perbedaan yang mencolok antara si kaya dan si miskin. 188 Masih berlangsungnya krisis ekonomi yang berkepanjangan mengindikasikan

adanya kesalahan paradigma dalam penetapan kebijakan ekonomi. Kesalahan tersebut dapat digunakan sebagai pelajaran berharga untuk mengkaji ulang dalam menetapkan alternatif paradigma penetapan dan penerapan kebijakan ekonomi. Salah satu

Ibid. Bandingkan dengan Satjipto Rahardjo yang mengemukakan bahwa asas hukum adalah: (i) merupakan jantungnya peraturan hukum; (ii) landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum; dan (iii) alasan bagi lahirnya peraturan hukum (ratio logis dari peraturan hukum). Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 50.

Rudhi Prasetya, “Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Saham dan Mekanisme Prakteknya”, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 1995), hal. 48.

Pada dasarnya, sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berasaskan kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada rakyat yang lemah. Pemihakan kepada rakyat ini seharusnya diwujudkan pemerintah melalui berbagai kebijakan dan regulasi yang dikeluarkannya. Sistem ekonomi kerakyatan sesungguhnya tidak menafikan begitu saja adanya mekanisme pasar. Namun berbeda dengan mekanisme pasar yang dianut sistem ekonomi neoliberal, sistem ekonomi kerakyatan lebih mengedepankan perlindungan dan pemihakan bagi pelaku ekonomi lemah yang belum mampu untuk bersaing secara bebas di pasar dengan pemberdayaan ekonomi

rakyat. 190 Kalau pelaku ekonomi rakyat yang lemah tersebut dibiarkan bersaing dengan

pelaku ekonomi kuat tanpa pemihakan, tak ayal lagi pelaku ekonomi rakyat tersebut akan bergelimpangan di pasar. Bak petinju kelas bulu bertarung melawan petinju kelas berat. Barangkali, petinju kelas berat cukup hanya mengayunkan beberapa kali pukulan, petinju kelas bulu itu langsung terkapar di kanvas tanpa bisa bangun lagi. Kewajiban utama pemerintah dalam sistem ekonomi kerakyatan adalah melatih,

Fahmy Radhi, Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat, (Jakarta: Penerbit Republika, 2008), hal. 187. 190 Ibid, hal. 188.

Hal lain perlu juga mendapat perhatian tentang ciri utama sistem ekonomi kerakyatan adalah kebersamaan dalam menjalankan proses produksi untuk menghasilkan produk dan jasa yang dikerjakan oleh sebagian besar rakyat, dipimpin oleh perwakilan rakyat dan dimiliki oleh seluruh rakyat secara merata. Adanya asas kebersamaan ini dapat meminimkan kesenjangan di antara anggota masyarakat melalui pemerataan distribusi pendapatan. Dengan penerapan sistem ekonomi kerakyatan, gap antara si-kaya-dan-si-miskin tidak akan ditoleransi lagi, karena setiap kebijakan pembangunan harus memihak dan memberikan manfaat sebesar-besarnya

bagi rakyat yang paling miskin dan kurang sejahtera. 192 Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 sebelum diamandemen, semestinya sistem

ekonomi kerakyatan ini harus menjadi landasan dalam setiap perumusan strategi pembangunan dan penetapan kebijakan ekonomi di Indonesia. Penerapan sistem tersebut harus memberikan prioritas untuk memberdayakan ekonomi rakyat yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Dalam menyusun strategi pembangunan ekonomi berasas ekonomi kerakyatan diperlukan adanya sasaran fundamental yang akan dicapai dalam setiap tahapan pembanguan

ekonomi. 193

191 Ibid. 192 Ibid, hal. 189. 193 Ibid.

Beberapa sasaran fundamental pembangunan ekonomi tersebut, diantaranya: (1) pengurangan angka kemiskinan, jumlah pengangguran, dan ketimpangan, (2) peningkatan kesejahteraan rakyat, dan (3) penstabilan laju pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Dengan demikian, penetapan sasaran fundamental pembanguan ekonomi pada hakekatnya merupakan penetapan indikator yang mencerminkan kondisi riil kesejahteraan rakyat. Bukan semata-mata indikator ekonomi makro saja, seperti GNP, pertumbuhan ekonomi, tingkat suku bunga dan tingkat inflasi. Indikator pembangunan ekonomi tersebut paling tidak harus meliputi: indikator penurunan angka kemiskinan dan jumlah pengangguran, penurunan kesenjangan, Indeks Gini,

Indeks Pembangunan Manusia (HDI), dan Indeks Kesejahteraan Rakyat. 194 Indikator lainnya dalam sistem ekonomi kerakyatan yang dirumuskan sesuai

dengan Pasal 33 UUD 1945 adalah seberapa besar eksploitasi sumber daya alam (SDA) akan memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Dalam penetapan indikator pemanfaatan SDA perlu dipertanyakan apakah pemanfaatan SDA memberikan dampak dalam penciptaan lapangan pekerjaan? Berapa banyak pekerjaan baru yang dapat diciptakan? Apakah pekerjaan baru tersebut akan meningkatkan penghasilan rakyat? Berapa banyak pekerjaan baru tersebut akan mendorong partisipasi rakyat setempat? Apakah pemanfaatan SDA dapat menaikkan

taraf hidup, kesejahteraan dan martabat rakyat setempat? 195

194 Ibid. 195 Ibid, hal. 190.

Dalam pemilihan strategi pembangunan ekonomi harus dapat pula mempertemukan antara berbagai tujuan yang akan dicapai sesuai visi dan misi yang ditetapkan dalam sistem ekonomi kerakyatan. Untuk itu, penetapan strategi tersebut harus sejalan dengan berbagai strategi yang mendukung pembangunan ekonomi kerakyatan, di antaranya: strategi penanggulangan kemiskinan, strategi pengembangan UMKM, strategi pengembangan sektor unggulan, dan strategi

pengembangan kawasan. 196 Sebagaimana diutarakan sebelumnya bahwa dalam sistem ekonomi yang

berdasarkan pada Demokrasi Ekonomi terdapat tiga bentuk usaha sebagai pelaku ekonomi utama yaitu usaha negara, koperasi dan usaha swasta, di mana ketiganya saling berintegrasi dalam proses produksi dan distribusi barang dan jasa. Interaksi yang terjadi antar ketiga pelaku ekonomi tersebut pada dasarnya bertumpu pada mekanisme pasar yang terkendali. Dalam hal ini, mekanisme pasar dapat menjamin tercapainya efisiensi penggunaan sumber daya masyarakat serta mendorong dilakukannya investasi di bidang- bidang usaha di mana Indonesia memiliki keunggulan komparatif sehingga produk Indonesia dapat bersaing dengan hasil produksi negara lain. Melalui proses persaingan yang sehat, mekanisme pasar juga pada gilirannya mendorong industri untuk menerapkan dan mengembangkan teknologi yang tepat untuk melaksanakan usahanya. Dalam hubungan ini, penjabaran Demokrasi Ekonomi sebagai landasan sistem ekonomi Indonesia mencakup enam bidang utama yaitu: (1) kelembagaan ekonomi; (2) perangkat

196 Ibid.

kebijaksanaan; (3) pola pemanfaatan sumber daya; (4) distribusi pendapatan; (5) proses pengambilan keputusan; dan (6) sistem insentif. 197

Realitas menunjukkan bahwa mekanisme pasar tidak selamanya dapat berjalan dengan sempurna, baik karena pelaku ekonomi tidak seimbang kekuatannya, maupun karena para pelaku ekonomi melakukan persaingan dengan cara yang tidak sehat. Untuk itu perlu dicegah agar kebebasan permintaan dan penawaran tidak bertentangan dengan asas kebersamaan dan kekeluargaan sejalan dengan prinsip- prinsip perekonomian yang demokratis. Dengan kata lain, kebebasan dalam hal permintaan dan penawaran itu tidak boleh pula bertentangan dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih tinggi, seperti nilai-nilai kesusilaan dan kepentingan pertahanan keamanan serta ketertiban umum masyarakat. Oleh sebab itu, di dalam sistem perekonomian yang berdasarkan Demokrasi Ekonomi, di samping menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan cabang- cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga apabila diperlukan, maka pemerintah wajib melakukan campur tangan di dalam mekanisme

pasar. 198 Dalam sistem perekonomian berdasarkan Demokrasi Ekonomi ini, baik usaha

negara, koperasi dan usaha swasta dapat bergerak di dalam semua bidang usaha sesuai dengan peranan dan hakekatnya masing-masing. Usaha negara berperan

Hadi Soesastro, et.al., (ed), Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, Deregulasi dan Liberalisasi Ekonomi , Bagian 4 (1982-1997), (Yogyakarta: Kerjasama Penerbit ISEI Jakarta dan Kanisius, Cetakan Pertama, 2005), hal. 33-34.

197

198 Ibid.

sebagai: (1) perintis di dalam penyediaan barang dan jasa di bidang-bidang produksi yang belum cukup atau kurang merangsang prakarsa dan minat pengusaha swasta; (2) pengelola dan pengusaha di bidang-bidang produksi yang penting bagi negara; (3) pengelola dan pengusaha di bidang-bidang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak; (4) penyeimbang bagi kekuatan pasar pengusaha swasta; (5) pelengkap penyediaan barang dan jasa yang belum cukup disediakan oleh swasta dan koperasi; dan (6) penunjang pelaksanaan kebijaksanaan negara. Sementara koperasi sebagai salah satu bentuk badan usaha sesuai dengan ketentuan UUD 1945, diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan sesuai dengan hakekatnya sebagai kesatuan ekonomi yang berwatak sosial. Sedangkan usaha swasta memegang peranan yang penting sebagai wahana partisipasi masyarakat di dalam pembangunan perekonomian nasional. Ketiga pelaku ekonomi tersebut memiliki fungsi dan peranan masing-masing dan ikut menentukan jalannya perekonomian, serta dapat tumbuh dan

berkembang bersama-sama pula. 199 Dalam perekonomian Indonesia yang pada dasarnya merupakan ekonomi

pasar terkendali, di mana perangkat kebijaksanaan ekonomi terutama mempunyai fungsi untuk mempengaruhi permintaan dan penawaran secara tidak langsung guna mengarahkan dan mengendalikan proses pembangunan agar pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dapat tercapai dengan stabilitas ekonomi yang mantap serta terlaksananya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Dalam rangka mengamankan pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah menerapkan

199 Ibid, hal. 35.

kebijaksanaan fiskal, moneter dan neraca pembayaran yang tepat untuk mencapai dan mempertahankan kestabilan harga, mengamankan neraca pembayaran luar negeri, menciptakan iklim usaha yang merangsang penanaman modal, produksi dan penciptaan lapangan kerja. Oleh sebab itulah anggaran negara sangat menentukan dan digunakan pemerintah untuk: (1) redistribusi sumber daya dalam rangka pemerataan; (2) pembangunan prasarana dasar yang vital bagi pembangunan; (3) kebijaksanaan pengendalian makro untuk menjaga stabilitas ekonomi; dan (4) penyediaan pelayanan dasar pemerintahan bagi masyarakat. Adapun inti dari proses pemerataan melalui anggaran negara adalah adanya sistem perpajakan yang adil, dan kebijaksanaan dan mekanisme alokasi anggaran yang efisien dan yang sekaligus diarahkan pada

pemerataan. 200 Dalam sistem Demokrasi Ekonomi, sumber daya manusia dimanfaatkan

sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya manusia pada prinsipnya dilakukan oleh masyarakat sendiri untuk kesejahteraan bersama. Untuk itu, pemerintah berperan dalam memberi pengarahan dan penciptaan iklim yang dapat menggairahkan agar pemanfaatan sumber daya masyarakat dilaksanakan seefisien mungkin dan menunjang tercapainya tujuan peningkatan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat. Dalam rangka melaksanakan amanat UUD 1945 agar bumi dan air serta segala kekayaan yang ada di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, pemerintah mengatur pemanfaatan sumber daya alam, sehingga pelestariannya terjamin dan lingkungan

200 Ibid, hal. 37 200 Ibid, hal. 37

Namun demikian disadari bahwa tingkat pendapatan yang sama untuk semua orang tidak akan tercapai. Perbedaan dalam tingkat pendapatan mencerminkan perbedaan dalam tingkat prestasi, dan hingga batas-batas tertentu dalam perbedaan pengalaman, senioritas serta pemilikan harta kekayaan, namun diupayakan agar perbedaan pendapatan itu masih berada dalam batas-batas kewajaran. Dalam hal ini, yang diutamakan adalah kemakmuran masyarakat dan untuk semua orang, bukan kemakmuran orang seorang (individu). Kebijaksanaan pemerataan pendapatan mengutamakan peningkatan pendapatan diupayakan berbanding lurus dengan peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan yang produktif, dan dengan redistribusi pendapatan berupa transfer pendapatan dari golongan berpendapatan tinggi kepada golongan berpendapatan rendah (subsidi silang) melalui perpajakan dan

anggaran negara. 202 Dalam sistem Demokrasi Ekonomi, pemerintah pusat dan daerah mempunyai

peranan yang saling mengisi baik di dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan. Desentralisasi perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek akan efektif jika disertai dengan otonomi yang luas dan nyata dalam menggali sumber pendapatan daerah, yang diberikan kepada daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan daerah-daerah yang memiliki sumber pendapatan yang terbatas. Untuk

201 Ibid, hal. 38-39. 202 Ibid, hal. 40.

itu, proses pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka (transparan). Forum- forum untuk diskusi, penyampaian pendapat dan komunikasi secara bebas dan bertanggung jawab mengenai berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa ini dikembangkan dan dijamin keberadaannya, sehingga hal ini pada gilirannya akan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dan menjadikan dukungan masyarakat

terhadap setiap langkah kebijakan pemerintah menjadi lebih kongkrit. 203 Terakhir, untuk dapat merangsang anggota masyarakat berprestasi digunakan

sistem insentif melalui berbagai macam perangkat seperti kebijaksanaan fiskal, moneter, neraca pembayaran, perkreditan, tarif, pemberian penghargaan, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan lainnya, atau dengan kata lain, dalam Demokrasi Ekonomi tidak menggunakan sistem komando atau paksaan seperti dalam sistem

ekonomi yang berlandaskan etatisme. 204 Dengan demikian Demokrasi Ekonomi yang dianut Indonesia itu harus

dijabarkan dalam bentuk program-program pelaksanaan yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan dengan unsur-unsurnya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, yang saling kait-mengkait dan perlu dikembangkan secara selaras, terpadu dan saling memperkuat guna kemakmuran dan kesejahterakan semua rakyat Indonesia.

203 Ibid, hal. 40-41. 204 Ibid.