PERAN DAN KEWAJIBAN INDONESIA TERHADAP SUBSIDI BBM

3.2. PERAN DAN KEWAJIBAN INDONESIA TERHADAP SUBSIDI BBM

Indonesia saat ini sedang melakukan konsolidasi fiskal dalam rangka mencapai fiscal sustainability dan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Akan tetapi konsolidasi fiskal ini menghadapi beban berat berupa utang publik yang cukup tinggi, subsidi yang semakin meningkat, terutama subsidi BBM dan penerimaan pajak yang kurang optimal.

Kebijakan subsidi yang dilakukan pemerintah selalu menimbulkan pro- kontra. Ada kalangan yang berpendapat bahwa subsidi itu tidak sehat sehingga berapapun besarnya, subsidi harus dihapuskan dari APBN. Sementara pihak lain berpendapat bahwa subsidi masih diperlukan untuk mengatasi masalah kegagalan pasar.

3.2.1. Peta Masalah

Jika ditilik lebih jauh akar permasalahan keuangan Indonesia, itu semua berasal dari ketimpangan belanja dan pendapatan. Sistem defisit anggaran menjadi sebuah paradigma. Pemerintah memiliki alasan mengapa masih mempertahankan sistem ini. Pemerintah berpendapat, fiskal bukanlah tujuan akhir. Fiskal adalah tool untuk mencapai tujuan pembangunan. Orientasinya adalah pertumbuhan ekonomi, perluasan lapangan kerja, dan penurunan kemiskinan.

Selain itu, pemerintah selama ini mengandalkan pinjaman LN berbasis bunga. Akibat kesalahan kebijakan di masa lalu, pemerintah pun kini harus membayar rutin utang dalam negeri (DN) setiap tahun yang ternyata dapat

mencapai tiga kali lipat utang LN. 37 Inilah sesungguhnya yang juga menjadi biang defisit anggaran Indonesia.

Dalam perspektif ekonomi Islam, sistem defisit anggaran diperbolehkan. Namun, kebijakan tersebut hanya berlaku sementara dan sebisa mungkin

37 Lihat Nota Keuangan dan Rancangan UU Republik Indonesia tentang Perubahan Atas UU Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN Tahun Anggaran 2008, RAPBN-P 2008.

dihindari. Dalam sejarah ekonomi Islam, hanya tercatat sekali saja defisit anggaran terjadi, yaitu dimasa pemerintahan Rasulullah SAW. Kebijakan tersebut diambil Rasulullah ketika jatuhnya kota Mekkah. Utang pemerintah kemudian

dibayar sebelum satu tahun, yaitu segera setelah usainya Perang Hunain. 38 Lebih jauh, kenaikan harga minyak dunia dan opsi menaikkan BBM

merupakan persoalan yang kompleks, multidimensi, dan mampu memberi efek luar biasa pada masyarakat. Hal inilah yang perlu dipahami bersama agar tidak begitu mudah menyalahkan dan menggampangkan persoalan yang tengah

dihadapi. 39 Jika kita menyimak polemik sekaligus argumen seputar kebijakan subsidi

BBM, dapat dipetakan sejumlah persoalan yang sesungguhnya menjadi pokok- pokok perdebatan.

Pertama, problem BBM sebenarnya diakibatkan oleh rusaknya sistem yang diberlakukan pemerintah, yang membuka peluang privatisasi 40 pengelolaan migas

serta memberikan kewenangan kepada perusahaan asing dan domestik untuk

38 Lihat Jusmaliani et al., Kebijakan Ekonomi dalam Islam (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005).

39 Lihat Khairunnisa Musari, Dilema Sebuah Kebijakan, Harian Seputar Indonesia (SINDO) dan Kolom Ekonomi www.news.okezone.com, 5 Mei 2008. Bagi Indonesia, kenaikan harga BBM

berpengaruh langsung pada sisi fiskal, industri nasional, inflasi yang tinggi, tergerusnya pendapatan riil rumah tangga, dan tertekannya suku bunga ke atas. Masing-masing ini memiliki dampak ikutan yang lain yang pada akhirnya berinteraksi dan menjadi lingkaran setan. Inilah efek domino bagi perekonomian Indonesia. Hal terpenting dalam memilih opsi kebijakan adalah pemerintah dapat menjamin terselamatkannya masyarakat menengah ke bawah, utamanya masyarakat miskin. Jika pemerintah tidak siap untuk itu, maka jangan memilih opsi tersebut. Bagaimana pun, pemerintahlah penanggung jawab terbesar seluruh nasib rakyat.

40 Lihat Khairunnisa Musari, Privatisasi dalam Perspektif Islam, Harian Duta Masyarakat, 11 Juni 2008. Melalui telaah ekonomi konvensional, privatisasi sebenarnya dipayungi legitimasi

sebagai metode untuk mengembangkan kinerja organisasi. Privatisasi diharapkan mampu menjadi motor pertumbuhan industri nasional dan dapat mendongkrak kontribusi pendapatan bagi negara. Melalui teori property rights, masalah insentif, hubungan principal-agent, dan kegagalan pemerintah dalam mengelola perekonomian (government failure), lahirlah teori privatisasi.

Lihat M. Ikhsan Modjo dan Khairunnisa Musari, Krakatau Steel: Antara IPO vs Stategic Sales, Investor Daily, 26 Mei 2008. Secara teoretis, privatisasi memang bisa dibenarkan. Melalui privatisasi akan terdapat perbaikan struktur insentif pada pengelola, yang diharapkan mampu meningkatkan efektifitas dan efisiensi kinerja manajemen perusahaan. Peningkatan kinerja ini pada akhirnya diharapkan berujung pada peningkatan pertumbuhan industri nasional dan dapat mendongkrak kontribusi pendapatan bagi negara.

Namun, kenyataan menunjukkan privatisasi di Indonesia kerap tidak signifikan berkontribusi terhadap peningkatan kinerja badan usaha milik negara (BUMN). Privatisasi justru tidak menuntaskan harapan untuk tercapainya peningkatan kompetensi manajemen, kemampuan mencipta, daya saing produk, optimalisasi utilitas aset negara, dan kesejahteraan masyarakat.

melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas. Bahkan dibiarkan juga untuk menetapkan harga.

Kedua, dibandingkan dengan penggunaan rata-rata dunia, tingkat penggunaan energi Indonesia perkapita masih tergolong rendah. Hanya saja, Indonesia dipandang boros energi dalam ukuran intensitas energi (jumlah konsumsi energi perkapita dibagi pendapatan nasional kotor).

Ketiga, pengelolaan minyak di Indonesia menggunakan konsep contract production sharing, dengan modal ditanggung investor. Konsep ini didasarkan pada keterbatasan dana negara untuk melakukan investasi pada sektor pertambangan minyak dalam aspek permodalan serta tanggungan risiko. Dengan konsep ini, keuangan negara cenderung aman dari risiko kegagalan penambangan. Namun, konsekuensi langsungnya adalah pemerintah hanya mendapat sebagian dari keuntungan penambangan, bukan mendapat penghasilan dari penambangan. Di samping itu, pemerintah tidak menguasai produk penambangan selama kontrak berlangsung. Dengan kata lain, negara tidak lagi memiliki produk migas.

Keempat, perdagangan minyak internasional tidak dilakukan langsung oleh produsen kepada konsumen. Perdagangan minyak internasional berlangsung melalui perantara. Dalam kenyataannya, harga pasar minyak internasional (yang sering disebut harga spot) lebih banyak ditentukan dengan mekanisme ini, bukan berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran antara produsen dan konsumen semata.

Kelima, adanya ketidakpercayaan sejumlah pihak kepada pemerintah atas alasan dibalik kenaikan harga BBM yang sesungguhnya dilatari oleh rencana liberalisasi migas Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro sejak beberapa tahun lalu, selama harga jual BBM di dalam negeri masih tetap disubsidi, “pemain asing enggan masuk.” Dengan demikian, kenaikan harga minyak, defisit anggaran, subsidi BBM yang mendistorsi pasar dan menjadi beban APBN, sebenarnya tidak lebih dari upaya sengaja pihak-pihak tertentu untuk mencari legitimasi dalam

menuntaskan pelaksanaan agenda liberalisasi sektor migas. 41

41 Lihat Khairunnisa Musari, Tendensi Liberalisasi, Harian Seputar Indonesia (SINDO) dan Kolom Ekonomi www.okezone.com, 19 Juni 2008.

3.2.2. Rekonstruksi Paradigma

Kenaikan harga BBM sesungguhnya bukanlah kebijakan spontan, responsif, ataupun insidental. Semua terencana dan terjadwal dengan rapi. Sebab, agenda nasional memanglah menempatkan liberalisasi migas sebagai sasaran utama.

Tidak bisa dimungkiri, industri migas merupakan sarana strategis untuk memenuhi kebutuhan dasar di mana rakyat berserikat di dalamnya. Pemerintah seharusnya menjadi pengelola yang baik agar seluruh warga dapat terpenuhi kebutuhannya. Pemberian subsidi sesungguhnya bukanlah suatu belas kasih (altruisme) ataupun beban bagi pemerintah. Sebab, pemberian subsidi merupakan wujud pemenuhan tanggung jawab sosial pemerintah terhadap warganya. Jika industri migas dikuasai oleh pihak asing, maka capitalism-lah yang akan berkuasa. Rakyat tidak akan pernah menjadi substansial.

Dengan demikian, patutlah kita semua berupaya keras merekonstruksi paradigma baru bagi pemerintah, termasuk juga kepada seluruh internal parlemen. Paradigma baru itu dimaksudkan untuk merekonstruksi paham liberalisasi migas yang sudah begitu inheren dalam pikiran maupun perilaku pengambil kebijakan. Ini bukan sekedar persoalan memenangkan nasionalisme, tetapi juga sosio- nasionalisme. Sudah banyak literatur ilmiah yang mengungkap bagaimana sisi buruk wajah liberalisasi, pasar-bebas, dan globalisasi. Di Indonesia, ketimpangan ini pun secara nyata terlihat. Disempowerment dan impoverishment tak terelakkan seiring meluasnya pemahaman yang keliru tentang paradigma globalisasi, liberalisasi, dan pasar-bebas sebagai simbol peradaban. Jelas, globalisasi hegemonik adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin ditolak. Namun, globalisasi bukan untuk disambut dengan euforia, melainkan dengan kewaspadaan dan ketahanan untuk menjaga kedaulatan rakyat dan negara. Terpenting lagi jika wujud yang hadir justru menimbulkan ketimpangan kesejahteraan yang semakin dalam, tidak ada keberpihakan pada rakyat kecil, tidak terjaminnya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, distribusi kekayaan yang berputar hanya pada kelompok tertentu serta menggusur orang miskin dan bukan menggusur kemiskinan.

3.2.3. Menyusun Mekanisme Berkeadilan

Tidak perlu teori ekonomi yang rumit atau model ekonometrika untuk menghubungkan realitas ketimpangan kesejahteraan dengan implikasinya pada sendi-sendi kehidupan yang lain. Meningkatnya angka kejahatan, rendahnya angka kesehatan, tingkat pendidikan dan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah, merupakan sebagian kecil dari dampak ketimpangan kesejahteraan. Bagi penganut ekonomi mainstream, berbicara tanpa data dan metode penghitungan kuantitatif sering divonis sebagai sebuah retorika belaka. Padahal, pengamatan kualitatif atau empirik sama pentingnya dengan pemahaman kuantitatif.

Terkait dengan persoalan subsidi, ketimpangan kesejahteraan jelas memberikan hukum wajib bagi pemerintah Indonesia untuk mengulurkan bantuan melalui subsidi. Pemerintah harus membuat perencanaan dan mekanisme agar masyarakat ke depan tidak bergantung dengan subsidi. Untuk itu, pemerintah harus mampu memandirikan masyarakat. Selama masih ada rakyat yang tak mampu dan membutuhkan uluran, maka pemerintah masih berkewajiban untuk menyantuninya.

Agar subsidi menjadi berkeadilan, banyak cara yang bisa dilakukan. Misalnya, melalui mekanisme harga BBM progresif. Dalam volume yang kecil, pemerintah dapat mensubsidi agar harga menjadi relatif rendah. Dalam volume yang besar, pemerintah barulah menggunakan harga progresif atau harga pasar. Hal ini mengingat, kecenderungan pemakai BBM dalam volume yang besar adalah masyarakat menengah ke atas. Sementara, masyarakat menengah ke bawah relatif hanya mampu membeli dalam volume kecil. Jika masyarakat menengah ke atas merasa berat, tentu mereka akan menghemat atau membeli BBM sesuai kebutuhan.

Jelas, tidak bisa digugat bahwa prioritas pembiayaan pada anggaran adalah menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara. Penggunaan energi merupakan kebutuhan dasar kita. Dengan demikian, negara berkewajiban untuk membantu warga negara yang tidak mampu memenuhi dengan kemampuannya sendiri.