kebeneranya kemudian dihubungkan dengan dengan teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.
G.Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis.Dan untuk memudahkan penulisan dan Pembahasan skripsi ini maka
diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab perbab yang saling berkaitan satu sama yang lain.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :
BAB I : PENDAHULUAN, yang didalamnya terurai Mengenai Latar Belakang
Penulisan Skripsi. Perumusan Masalah , Tujuan Penulisan, Manfaat
penulisan, Metode penulisan,dan diakhiri dengan Sistematika Penulisan
BAB II : PERATURAN –PERATURAN YANG TERKAIT USAHA PENYEDIA
JASA PEKERJA , yang terdiri dari pembahasan mengenai Pengertian Usaha
Penyedia Jasa Pekerja menurut UU No.13 tahun 2003,Tujuan diadakanya Outsourcing, No. Permenakertrans 19 tahun 2012 tentang syarat-syarat
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain,Peraturan Presiden .
BAB III : PEMBERIAN IZIN DAN PENGAWASAN PELAKSANAAN IZIN
OLEH PEMERINTAH DI BIDANG OUTSOURCING ,Pengertian Hukum
Perizinan,Tujuan Hukum Perizinan,Pengertian Pengawasan Pelaksanaan izin oleh pemerintah,Tujuan Pengawasan pelaksanaan izin Oleh pemerintah.
BAB IV: PENGAWASAN PEMERINTAH TERHADAP PEMBERIAN IZIN
PENYEDIA JASA TENAGA KERJA BERDASARKAN PERMENAKERTRANS NO.19 TAHUN 2012 TENTANG SYARAT-
SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN KEPADA PERUSAHAAN LAIN
, Prosedur pelaksanaan pengawasan terhadap pemberian izin usaha penyedia jasa tenaga kerja ,Kendala hukum yang
dihadapi dalam pengawasan pemberian izin dalam usaha penyedia jasa tenaga kerja,Sanksi hukum terhadap perusahaan Penyedia Jasa Pekerja yang
melanggar Peraturan tentang izin dan syarat sebagaimana ditentukan dalam permenakertrans No.19 tahun 2012
BAB V PENUTUP,
yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Universitas Sumatera Utara
BAB II PELAKSANAAN IZIN PENYEDIA JASA TENAGA KERJA MENURUT
PERATURAN KETENAGAKERJAAN
A. Perjanjian Penyedia Jasa PekerjaBuruh menurut Undang –undang No.13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan
Aturan hukum dalam peraturan perundang-undangan harus dirumuskan secara tepat, sesuai dengan teori hukum dan filsafat hukum. Rumusan hukum tentang Perjanjian penyedia
jasa pekerja buruh diatur dalam Pasal 64-66 UU No.13 tahun 2003 merupakan rumusan yang mengandung vague norm, karena menimbulkan interpretasi yang lebih dari satu. Ketentuan
Pasal 64 UU No.13 tahun 2003 adalah “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerjaburuh yang dibuat secara tertulis.” Terhadap ketentuan ini tidak ada
penjelasan resmi yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dalam penjelasan Pasal demi Pasal. Rumusan itu apabila dicermati mengandung ketidakjelasan maksud. Pasal 64 UU
132003 tahun 2003 mengatur tentang bentuk outsourcing, yaitu pemborongan pekerjaan merupakan outsourcing pekerjaan dan penyediaan jasa pekerjaburuh outsourcing pekerja.
Terhadap pemborongan pekerjaan diatur lebih lanjut dalam Pasal 65, syaratnya
12
1. dibuat dalam perjanjian kerja tertulis berbentuk PKWTT atau PKWT; :
2. pekerjaan yang dialihkan adalah bukan pekerjaan pokok; 3. berbadan hukum;
4. memberikan perlindungan hukum kepada pekerjanya 5. Bentuknya PKWTT atau PKWT berdasar Pasal 59.
Kriteria bukan pekerjaan pokok ditafsirkan secara otentik dalam Pasal 65 ayat 2 yaitu dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; berdasarkan perintah langsung atau tidak
langsung dari pemberi pekerjaan; merupakan kegiatan penunjang yang tidak menghambat proses produksi secara langsung. Interpretasi otentik ini masih menimbulkan ketidak pastian
hukum. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk Undang-Undang hanya meletakkan pemikiran yang pragmatis, hanya berdasar kehendak politik yang lebih mengarah pada
kepentingan pengusaha. Seharusnya interpretasi “perintah” harus melandaskan pada teori hukum yaitu meletakkan dasar teori hukum tentang perintah yaitu hakekat
12
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban. Bukan pertimbangan pragmatis yang menunjuk pada bentuk perintah dilakukan. Siapaun yang memberikan perintah maka dialah yang harus bertanggung jawab.
Majikan bertanggung jawab atas pekerjaan yang diperintahkan kepada pekerjanya. Pemberi perintah adalah yang menikmati hasil dari pekerjaan. Dari sudut filosofinya adalah adil
apabila pekerja mendapatkan hak berupa upah apabila ia sudah mengerjakan pekerjaan dengan benar. Sebaliknya akan adil pula apabila majikan harus melaksanakan kewajibannya
dengan membayar upah apabila pekerjaan yang merupakan kehendakya sudah dilaksanakan oleh pekerja. Jadi makna dari perintah adalah tanggung jawab bukan cara dilakukannya
perintah. Apabila makna perintah sudah sesuai dengan konsep teori hukum, maka akibatnya
dengan serta merta perlindungan syarat kerja menjadi kewajiban dari yang memberikan perintah yaitu pemberi pekerjaan. Dirumuskannya Pasal 65 ayat 4 UU 132003
menunjukkan kesalahan perumusan ayat sebelumnya yaitu Pasal 65 ayat 2 huruf b. Terhadap rumusan otentik pemberi kerja sudah dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 4 UU No.13
tahun 2003 yaitu orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lain yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Sayangnya rumusan ini tidak menjadi landasan dalam merumuskan konsep hubungan kerja. Hubungan kerja dirumuskan dalam Pasal 1 angka 14 UU 132003 yaitu hubungan
antara pengusaha dengan pekerjaburuh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Terdapat kesalahan perumusan yang disengaja dalam Pasal 1
angka 14 UU No.13 tahun 2003, Seharusnya kata “pengusaha” diganti dengan “pemberi kerja”.
Kesalahan interpretasi otentik ini mengakibatkan konflik sosial. Terjadi perbedaan pendapat di masyarakat berkaitan dengan siapakah pekerja yang dilindungi oleh UU No.13
tahun 2003
13
Apakah semua orang yang bekerja pada pemberi kerja ataukah hanya pekerja yang bekerja pada pengusaha. Lebih adil menggunakan istilah majikan daripada istilah pengusaha.
Pengusaha adalah bagian dari majikan. Pengusaha adalah orang yang menjalankan usaha. Sementara di masyarakat lebih banyak orang yang memberi pekerjaan yang bukan
.
13
Asri Wijayanti, Makalah, Makalah, Analisis Kedudukan Legisprudensi sebagai upaya perlindungan Pekerja outsorcing, disampaikan dalam Konfrensi Negara Hukum, Jakarta, 9-10
Oktober 2012, hal.5.
Universitas Sumatera Utara
pengusaha. Rumusan Pasal1 angka 14 mengakibatkan pekerja yang tidak bekerja pada pengusaha dapat diinterpretasikan tidak dilindungi oleh UU 132003.
Terdapat perbedaan rumusan otentik tentang subyek hukum dalam hubungan kerja pemberi kerja atau pengusaha. Pekerja yang tidak bekerja pada pengusaha secara yuridis,
tidak dianggap telah melakukan hubungan kerja, sehingga tidak dilindungi oleh UU No.13 Tahun 2003 Asri Wijayanti: 2011, 115.
Ketentuan Pasal 66 UU 132003 merupakan pasal penjelas dari Pasal 64, yang mengatur tentang outsourcing pekerja dirumuskan sebagai berikut :
“Pekerjaburuh dari perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan
langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi” Syarat perusahaan penyedia jasaburuh
perusahaan outsourcing adalah: ada hubungan kerja antara pekerjaburuh dengan perusahaan penyedia jasaburuh; memenuhi syarat PKWT berdasarkan Pasal 59; memberi
perlindungan, ada perjanjian tertulis antara perusahaan pengguna dan perusahaan penyedia jasaburuh; berbadan hukum. Rumusan Pasal 66 UU 132003 merupakan rumusan yang
kabur, tidak menimbulkan kepastian hukum. Kata-kata “jasa pekerja” dapat diinterpretasikan sebagai pekerja karena jasa dari
pekerja melekat pada tubuh pekerja itu. Berbeda dengan pekerjaan, yang baru melekat pada diri pekerja apabila telah dilaksanakan. Jasa pekerja tidak sama dengan jasa. Seharusnya
bukan jasa pekerja tetapi pekerjaan yang menghasilkan jasa. Hubungan kerja adalah suatu hubungan hukum antara pemberi kerja dengan pekerja mengenai dilaksanakannya suatu
pekerjaan dengan pemberian imbalan berupa upah. Pekerjaan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu pekerjaan yang menghasilkan barang dan pekerjaan yang menghasilkan jasa.
Kesalahan pemikiran pada pembuat Undang-Undang mengakibatkan pekerja sebagi obyek dari hubungan kerja.
Pekerja adalah orang, di dalam teori dan filsafat hukum, selamanya orang tidak dapat menjadi obyek dari suatu hubungan hukum. Penempatan orang sebagai obyek hukum adalah
sebagai perbudakan modern modern slavery. Syarat badan hukum bagi perusahaan pemborngan pekerjaan dan perusahaan penyedia jasaburuh berdasarkan, ketentuan Pasal 65
Universitas Sumatera Utara
ayat 3 UU 132003 jo Pasal 66 ayat 3 jo Pasal 3 ayat 2 Kepmenaker 2202004, yaitu perusahaan penerima pekerjaan harus berbadan hukum,kecuali
14
a. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang pengadaan barang; :
b. perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang jasa pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultansi yang dalam melaksanakan pekerjaan tersebut
mempekerjakan pekerjaburuh kurang dari 10 sepuluh orang. Tujuan disyaratkan badan hukum adalah tidak relevan, mengingat setiap pelaku usaha tetap dapat dimintai
pertanggungjawaban apabila melakukan suatu pelanggaran, tidak menunggu pelaku usaha berbentuk badan hukum.
Melakukan pemborongan pekerjaan bukanlah monopoli suatu perusahaan yang sudah berbadan hukum, tetapi menjadi hak setiap pelaku usaha. Batasan ini akan mengakibatkan
pelaku usaha khususnya usaha kecil dan menengah kehilangan haknya disamping juga dapat mematikan program kemitraan atau community social development program suatu
perusahaan dengan lingkungan sosial disekitarnya yang sudah berjalan. MochSyamsudin: 2007, 174
15
B. Peraturan-peraturan pelaksana terkait Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja Buruh