Sekarang misalkan bahwa Sistem 2 tidak mempunyai penyelesaian. Misalkan
n = = q
, ≥ 0 yang adalah himpunan konveks tertutup tidak kosong dan
½ ∉ n. Akan dibuktikan bahwa Sistem 1 mempunyai penyelesaian.
Melalui Teorema 2.50 terdapat T ∈ ℝ dan ∈ ℝ sehingga
T ½ dan T
≤ , ∀ ∈ n. Karena
0 ∈ n, ≥ T 0 = 0. Maka T
½ 0. Perhatikan pula bahwa ≥ T
= T q
= q T
= qT, ∀ ≥ 0
Karena ≥ 0 maka qT ≤ 0. Jadi ada vektor T ∈ ℝ yang merupakan penyele-
saian dari Sistem 1.
C. Teori Optimasi
Teori optimasi merupakan salah satu bidang dalam matematika terapan dan riset operasi yang dapat diaplikasikan dalam bidang sains, teknik, maneje-
men bisnis dan militer. Melalui teori optimasi ini masalah-masalah yang diha- dapi akan didefinisikan secara matematis dan diselesaikan dengan menggunakan
alat bantu matematika sehingga diperoleh penyelesaian dari masalah tersebut. Adapun bentuk umum dari masalah optimasi adalah sebagai berikut :
min B
∈ Á
2.26
dengan x adalah vektor di ℝ , B adalah fungsi objektif, Á ⊂ ℝ adalah him-
punan kendala atau daerah layak. Masalah optimasi ini juga terbagi menjadi dua bagian, yaitu masalah op-
timasi berkendala dan masalah optimasi tanpa kendala. Jika himpunan kendala Á = ℝ maka 2.26 merupakan masalah optimasi tanpa kendala dengan bentuk
umum:
ÂÃÄ ∈ℝ
Å
B 2.27
Untuk masalah optimasi berkendala memiliki bentuk umum sebagai berikut: min
∈ℝ
Å
B 2.28 ½
Z
= 0, c = 1, … ,
Æ
2.29 ½
Z
≥ 0, c =
Æ
+ 1, … , 2.30
dengan E dan I masing-masing adalah himpunan indeks dari kendala berupa per- samaan dan kendala berupa pertidaksamaan,
½
Z
, c = 1, … , ∈ ‰ ∪ Š meru- pakan fungsi kendala.
‰ = 1, … ,
Æ
dan Š =
Æ
+ 1, … , dimana
Æ
dan adalah bilangan bulat tak negatif dengan 0 ≤
Æ
≤ . Dilihat dari bentuk fungsi objektif dan fungsi kendala, masalah optimasi
ini dapat dibagi pula menjadi dua bagian. Jika fungsi objektif maupun fungsi kendala berbentuk linear maka merupakan masalah optimasi linear. Jika fungsi
objektifnya tidak linear maka merupakan masalah optimasi nonlinear. Sebuah fungsi dikatakan fungsi linear jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Fungsi yang belum diketahui dan derivatif-derivatifnya secara aljabar hanya
berderajat satu. 2.
Tidak ada hasil kali yang berkaitan dengan fungsi yang belum diketahui dan derivatif-derivatifnya atau dua atau lebih derivatif.
3. Tidak memuat fungsi transendental.
Fungsi yang tidak linear merupakan fungsi nonlinear.
Definisi 2.52
Titik
∈ ℝ dikatakan sebagai titik layak atau disebut juga penyelesaian layak jika dan hanya jika memenuhi semua kendala pada persamaan dan perti-
daksamaan 2.29-2.30. Himpunan semua titik layak dikatakan himpunan layak atau daerah layak.
Definisi 2.53 Penyelesaian optimum merupakan penyelesaian layak yang memiliki nilai ter-
kecil untuk fungsi tujuan minimum.
Definisi 2.54
Misalkan nilai optimal dari masalah optimasi dinotasikan dengan È
∗
yang meru- pakan nilai minimum dari fungsi objektif dalam daerah layak, yakni
È
∗
= min • : ½
c
= 0, c = 1, … ,
Ê
, ½
c
≥ 0, c =
Ê
+ 1, …
Masalah optimasi dikatakan tidak layak jika daerah layaknya kosong dan
È
∗
ber- nilai
+∞. Masalah optimasi dikatakan tidak terbatas ke bawah jika ada titik
layak sedemikian sehingga • → −∞ atau È
∗
bernilai
−∞.
Secara umum metode optimasi adalah metode iterasi yang bertujuan un- tuk mencari peminimum dari sebuah masalah optimasi. Metode iterasi mengacu
pada berbagai teknik yang menggunakan aproksimasi pada setiap langkahnya untuk mendapatkan penyelesaian yang lebih akurat dari masalah-masalah opti-
masi baik masalah optimasi linear maupun nonlinear. Metode ini diawali dengan memberikan nilai awal
¥
∈ ℝ . Kemudian dibangun barisan iterasi
I
mela- lui beberapa aturan iterasi sehingga ketika barisan
I
adalah berhingga maka titik akhirnya adalah penyelesaian optimum dari masalah optimasi. Jika barisan
I
adalah tak hingga maka barisan tersebut memiliki titik limit yang adalah pe- nyelesaian optimum dari masalah optimasi.
Definisi 2.55
Titik
∗
dikatakan peminimum lokal jika ada
9 0 sedemikian sehingga B
∗
≤ B untuk semua ∈ ℝ memenuhi −
∗
9. Titik
∗
dikatakan peminimum lokal tegas jika ada
9 0 sedemikian sehingga B
∗
B untuk semua ∈ ℝ dengan ≠
∗
dan −
∗
9.
Definisi 2.56
Titik
∗
dikatakan peminimum global jika
B
∗
≤ B untuk semua ∈ ℝ . Titik
∗
dikatakan peminimum global tegas jika
B
∗
B untuk semua ∈ ℝ dengan ≠
∗
.
Definisi 2.57
Misalkan B: ℝ
¼
⟶ ℝ terdiferensialkan pada ∈ ℝ . Jika terdapat vektor
¢ ∈ ℝ sehingga:
M∇B , ¢N 0 maka
¢ disebut arah turun dari fungsi B di .
Definisi 2.58
Titik
∗
∈ ℝ dikatakan titik stasioner atau kritis untuk B yang terdiferen-
sial jika ∇B
∗
= 0.
Algoritma dari metode optimasi dapat diterima apabila iterasi
I
berge- rak terus menerus ke arah peminimum lokal
∗
dan dengan cepat konvergen ke titik
∗
. Jika aturan konvergensi yang diberikan telah dipenuhi maka iterasi dapat dihentikan. Iterasi dihentikan berdasarkan kriteria penghentian berikut:
∇B
I
≤ 9 2.31
dimana 9 adalah toleransi yang ditentukan. Jika 2.31 dipenuhi maka vektor
gradien ∇B
I
cenderung menuju nol dan barisan iterasi
I
konvergen ke ti- tik stasioner.
Misalkan
I
merupakan iterasi ke- ‡, ¢
I
arah ke- ‡,
I
panjang langkah ke- ‡,
maka iterasi ke- ‡ + 1 yaitu:
I~
=
I
+
I
¢
I
2.32 Berdasarkan persamaan 2.32 dapat dilihat bahwa adanya perbedaan panjang
langkah
I
dan perbedaan arah ¢
I
membentuk metode yang berbeda. Kebanya- kan metode iterasi disebut metode turun descent methods yang berarti
B meme- nuhi setiap iterasi
B
I~
= B
I
+
I
¢
I
B
I
2.33 dimana
¢
I
adalah arah turun seperti pada Definisi 2.57.
Definisi 2.59 Misalkan
∗
∈ Á dengan Á adalah daerah layak dan ¢ ∈ ℝ .
Jika ada barisan ¢
I
‡ = 1,2, … dan 9
I
0, ‡ = 1,2, … sehingga
∗
+ 9
I
¢
I
∈ Á, ∀‡ dan ¢
I
⟶ ¢, 9
I
⟶ 0, maka arah batas ¢ disebut arah layak sekuensial dari
Á di
∗
. Himpunan semua arah layak sekuensial dari Á di
∗
ada-
lah nÌ
∗
, Á = Í¢Î
∗
+ 9
I
¢
I
∈ Á, ∀‡ ¢
I
⟶ ¢, 9
I
⟶ 0 Ï Berdasarkan definisi di atas, jika himpunan
I
=
∗
+ 9
I
¢
I
maka
I
adalah barisan titik layak yang memenuhi
1.
I
≠
∗
, ∀‡ 2.
lim
I⟶j I
=
∗
3.
I
∈ Á untuk semua ‡ yang cukup besar.
Jika ¢
I
=
I
−
∗
, maka ¢
I
=
I
−
∗ I
−
∗
⟶ ¢
yang berarti bahwa
I
=
∗
+ 9
I
¢
I
adalah barisan titik layak dengan arah layak
¢.
Definisi 2.60 Misalkan
∗
∈ Á dan ¢ ∈ ℝ . Jika
¢ ∇c
Ñ ∗
= 0, c ∈ ‰ ¢
∇c
Ñ ∗
≥ 0, c ∈ Š
∗
Maka
¢ dikatakan arah layak linear dari Á di
∗
. Himpunan semua arah layak linear dari
Á di
∗
adalah
†Ì
∗
, Á = Ò¢Ó ¢ ∇c
Ñ ∗
= 0, c ∈ ‰ ¢
∇c
Ñ ∗
≥ 0, c ∈ Š
∗
Ô
Skema dasar dari metode optimasi mengikuti algoritma berikut:
Algoritma 2.61
Langkah 0. Langkah Awal Diberikan titik awal
¥
∈ ℝ dan toleransi k 0 Langkah 1. Kriteria Penghentian Jika
∇B
I
≤ k, berhenti Langkah 2. Pencarian Arah Menurut beberapa skema iteratif, cari
¢
I
yang ada- lah arah turun.
Langkah 3. Menentukan ukuran langkah
I
sehingga nilai fungsi objektif menu- run yaitu
B
I
+
I
¢
I
B
I
Langkah 4. Pengulangan Tetapkan
I~
=
I
+
I
¢
I
, ‡ = ‡ + 1, dan ulang ke langkah 1.
Efisiensi dari metode optimasi dapat diukur dari kecepatan konvergen- sinya. Ada beberapa jenis kecepatan konvergensi, diantaranya kecepatan konver-
gensi hasil bagi Q-konvergensi dan kecepatan konvergensi akar R-konver- gensi. Misalkan barisan iterasi
I
dibangun oleh sebuah algoritma yang kon- vergen ke
∗
dalam suatu norm, yaitu:
lim
I⟶j I
−
∗
= 0 2.34
Jika ada bilangan real ≥ 1 dan konstanta positif yang adalah independen da-
ri jumlah k iterasi sehingga lim
I⟶j I~
−
∗ I
−
∗ Õ
= 2.35
maka
I
mempunyai orde- dari kecepatan Q-konvergensi. Secara khusus: 1.
Ketika = 1 dan ∈ 0,1, barisan
I
dikatakan konvergen ke Q-linear. 2.
Ketika = 1 dan = 0, atau 1 2 dan 0, barisan
I
dikatakan konvergen ke Q-superlinear.
3. Ketika
= 2, dapat dikatakan bahwa barisan
I
mempunyai kecepatan konvergensi Q-kuadratik.
Kecepatan konvergensi ini bergantung pada dan . Andaikan bahwa ada dua barisan
I
dan ′
I
dan orde-Q dan faktor-Q secara berturut-turut , dan ′, ′ . Jika ′ maka barisan dengan orde Q- lebih cepat kon-
vergen dibandingkan dengan orde Q- ′. Sebagai contoh, barisan konvergen ku-
adratik akan lebih cepat konvergen jika dibandingkan dengan barisan konvergen linear dan superlinear. Ketika
= ′ maka orde-Q dari kecepatan konvergen- sinya adalah sama, jika
′ maka barisan
I
lebih cepat konvergen daripa- da
′
I
.
Teorema 2.62 Teorema Taylor
Misalkan B: ℝ ⟶ ℝ terdiferensial secara kontinu dan bahwa ¢ ∈ ℝ , maka
B + ¢ = B + ∇B + ¢ ¢ 2.36
untuk suatu ∈ 0,1.
Bukti:
Akan dibuktikan B terdiferensial secara kontinu.
Misalkan B: ℝ ⟶ ℝ terdiferensial secara kontinu pada himpunan terbuka
‰ ⊂ ℝ , maka untuk ∈ ‰ dan ¢ ∈ ℝ turunan berarah dari B pada dengan arah
¢, didefinisikan dengan B ; ¢ = lim
¤⟶¥
B + ¦¢ − B ¦
= ∇B ¢ 2.37
Pandang untuk l norm fungsi B = .
Dari definisi persamaan 2.37 diperoleh bahwa B ; ¢ = lim
¤⟶¥
+ ¦¢
Ö
−
Ö
¦ = lim
¤⟶¥
_
Z
+ ¦×
Z
−
Z[
_
Z Z[
¦ Jika
Z
0 diperoleh
Z
+ ¦×
Z
=
Z
+ ¦×
Z
untuk semua ¦ yang cukup kecil.
Jika
Z
0, diperoleh −
Z
+ ¦×
Z
= −
Z
− ¦×
Z
= −1
Z
− ¦×
Z
=
Z
− ¦×
Z
. Jika
Z
= 0,
Z
+ ¦×
Z
= 0 + ¦×
Z
= ¦×
Z
. Selanjutnya diperoleh
B ; ¢ = lim
¤⟶¥
_
Z
+ ¦×
Z Z Ž
•
Ø¥
− _
Z Z Ž
•
Ø¥
¦
+ lim
¤⟶¥
_
Z
+ ¦×
Z Z Ž
•
Ù¥
− _
Z Z Ž
•
Ù¥
¦ + lim
¤⟶¥
_
Z
+ ¦×
Z Z Ž
•
[¥
− _
Z Z Ž
•
[¥
¦ = lim
¤⟶¥
_
Z Z Ž
•
Ø¥
+ _ ¦×
Z Z Ž
•
Ø¥
− _
Z Z Ž
•
Ø¥
¦ + lim
¤⟶¥
_
Z Z Ž
•
Ù¥
− _ ¦×
Z Z Ž
•
Ù¥
− _
Z Z Ž
•
Ù¥
¦ +
_ ¦ ×
Z Z Ž
•
[¥
¦ =
¦ _ ×
Z Z Ž
•
Ø¥
¦ +
−¦ _ ×
Z Z Ž
•
Ù¥
¦ +
¦ _ ×
Z Z Ž
•
[¥
¦ = Y ×
Z
− Y ×
Z
+
Z Ž
•
Ù¥
Y ×
Z Z Ž
•
[¥ Z Ž
•
Ø¥
Jadi turunan berarah dari fungsi B ada untuk sebarang dan ¢.
Misalkan
B terdiferensial secara kontinu pada suatu kitar dari , maka diperoleh
B B ; ¢ = ∇B ¢
Untuk membuktikan formula ini didefinisikan fungsi Ú = B + ¢ = B
dimana = + ¢. Catat bahwa
lim
¤⟶¥
B + ¦¢ − B ¦
= lim
¤⟶¥
Ú¦ − Ú0 ¦
= Ú 0 dengan menggunakan aturan rantai pada
B diperoleh Ú =
—B —
∙ —
× + —B
— ∙
— × + ⋯ +
—B —
Z
∙ —
Z
× + —B
— ∙
— ×
= Y —B
—
Z
∙ ∇
Z Z[
= Y —B
—
Z
∙ ×
Z
= ∇B ¢ = ∇B + ×
¢
Z[
Dengan menggunakan = 0, diperoleh
Ú 0 = ∇B ¢ = B B ; ¢
Dengan menggunakan Teorema Nilai Rata-rata. Misalkan diberikan sebuah fung- si yang terdiferensial secara kontinu
Ú: ℝ → ℝ dan terdapat paling sedikit satu bilangan
ª dalam
¥
, , dimana
¥
= 0 dan = 1 diperoleh Ú = Ú
¥
+ Ú ª −
¥
Ingat bahwa Ú = B + ¢.
Jika diganti dengan maka
Ú = B + ¢ 2.38 Substitusikan
= 1 ke dalam persamaan 2.38 maka diperoleh Ú1 = B + ¢
Jika diganti menjadi
¥
maka Ú
¥
= B +
¥
¢ 2.39 Substitusikan
¥
= 0 ke dalam persamaan 2.39 maka diperoleh Ú0 = B
Suatu perluasan dari hasil ini untuk fungsi multivariabel B: ℝ ⟶ ℝ bahwa un-
tuk sebuah vektor
¢ diperoleh bahwa
B + ¢ = B + ∇B + ¢ ¢
Untuk suatu ∈ 0,1. Jadi terbukti untuk B yang terdiferensial secara kontinu.
Teorema 2.63
Misalkan
∗
∈ Á merupakan peminimum lokal dari masalah 2.28-2.30. Jika
B dan ½
Z
c = 1,2, … , terdiferensial pada
∗
, maka ¢
∇B
∗
≥ 0, ∀¢ ∈ nÌ
∗
, Á 2.40
Bukti
Untuk setiap ¢ ∈ nÌ
∗
, Á, terdapat 9
I
0‡ = 1,2, … dan ¢
I
‡ = 1,2, … sehingga
∗
+ 9
I
¢
I
∈ Á dengan 9
I
⟶ 0 dan ¢
I
⟶ ¢. Karena
∗
+ 9
I
¢
I
⟶
∗
dan
∗
adalah peminimum lokal, maka menurut Teorema Taylor dan untuk ‡ cu-
kup besar diperoleh
B
∗
≤ B
∗
+ 9
I
¢
I
= B
∗
+ 9
I
¢
I
∇B
∗
+ ©9
I
0 ≤ 9
I
¢
I
∇B
∗
+ ©9
I
2.41
Karena 9
I
0 dengan ‡ = 1,2, … maka diperoleh ¢
∇B
∗
≥ 0 2.42
Karena
¢ adalah sembarang, diperoleh pertidaksamaan 2.40.
Lemma 2.64
Himpunan n = Û¢ Ü
¢ ∇B
∗
0, ¢
∇½
Z ∗
= 0, c ∈ ‰, ¢
∇½
Z ∗
≥ 0, c ∈ Š Ý 2.43
adalah kosong jika dan hanya jika ada bilangan real \
Z,
c ∈ ‰ dan bilangan real tak negatif
\
Z
0, c ∈ Š sehingga
∇B
∗
= Y \
Z
∇½
Z ∗
Z∈Þ
+ Y \
Z
∇½
Z ∗
Z∈ß
2.44
Tetapkan ¢ = − ,
∇B
∗
= ½, q =
à ∇½
∗
⋮
∇½
h ∗
â
, ã = ,
Berdasarkan informasi di atas diperoleh: ¢
∇B
∗
− ½ 0
−½ ½
Y ¢ ∇½
Z ∗
h
ä
Z[
+ Y ¢ ∇½
Z ∗
h Z[h
ä
~
≥ 0
Y ¢ ∇½
Z ∗
≥ 0
h Z[
− q
≥ 0 −q ≥ 0
q ≤ 0 Jadi, persamaan 2.43 dapat dinyatakan dengan
n = Í− ν q ≤ 0 Ï
dan persamaan 2.44 dapat dinyatakan dengan
∇B
∗
= Y ã
Z
∇½
Z ∗
Z∈Þ
+ Y ã
Z
∇½
Z ∗
Z∈ß
= Y ã
Z
∇½
Z ∗
h Z[
= Y ∇½
Z ∗
h Z[
ã
Z
½ = q
Hasil di atas menunjukkan bahwa persamaan 2.43 merupakan sistem 1 pada Lemma 2.51 Lemma Farkas’ dan 2.44 merupakan sistem 2 pada Lemma 2.51
Lemma Farkas’. Melalui Lemma 2.64 ini •
Misalkan bahwa terdapat penyelesaian untuk persamaan 2.44, akan dibuktikan bahwa persamaan 2.43 tidak mempunyai penyelesaian.
• Misalkan persamaan 2.44 tidak mempunyai penyelesaian, akan dibuktikan
bahwa persamaan 2.43 mempunyai penyelesaian. Selanjutnya untuk bukti analog dengan bukti pada Lemma 2.51.
Definisi 2.65 Pengali Lagrange merupakan barisan bilangan real
\
Z
, sehingga titik
¥
, yang meminimalkan
B dengan ½ = 0, … , ½
h
= 0 akan menjadi titik sta- sioner dari fungsi Lagrange
ℒ , ã = B − Y \
Z
½
Z h
Z[
Teorema 2.66 Teorema Karush-Kuhn-Tucker
Misalkan
∗
merupakan peminimum lokal dari masalah 2.28-2.30. Jika ken- dala memenuhi
nÌ
∗
, Á = †Ì
∗
, Á 2.45
maka terdapat pengali Lagrange
\
Z ∗
sehingga syarat-syarat berikut dipenuhi pada
∗
, ã
∗
: ∇B
∗
− _ \
Z ∗
h Z[
∇½
Z ∗
= 0
2.46
½
Z ∗
= 0, ∀ c ∈ ‰
2.47
½
Z ∗
≥ 0, ∀ c ∈ Š
2.48
\
Z ∗
≥ 0, ∀ c ∈ Š 2.49
\
Z ∗
½
∗
= 0, ∀ c ∈ Š 2.50
Bukti:
Karena
∗
adalah peminimum lokal,
∗
adalah layak dan syarat 2.47 dan 2.48 dipenuhi.
Misalkan ¢ ∈ nÌ
∗
, Á; Karena
∗
adalah peminimum lokal, berdasarkan Teorema 2.63 menyatakan bahwa
¢ ∇Bæ
∗
≥ 0. Misalkan \
Z ∗
= Í\
Z
, c ∈ ç
∗
0, c ∈ Š\Š
∗
2.51
Melalui Lemma Farkas’, didapatkan bahwa
∇B
∗
= Y \
Z ∗
∇½
Z ∗
Z∈Þ
+ Y \
Z ∗
∇½
Z ∗
Z∈ß
∗
2.52
dimana \
Z ∗
∈ ℝc ∈ ‰ dan \
Z ∗
≥ 0c ∈ Š
∗
. Tetapkan
\
Z ∗
= 0 c ∈ Š\Š
∗
, sehingga diperoleh 2.46 yaitu:
∇B
∗
= Y \
Z ∗
∇½
Z ∗
h Z[
Jelas bahwa
\
Z ∗
≥ 0, ∀ c ∈ Š.
Perhatikan bahwa: Bila
c ∈ Š
∗
, ½
Z ∗
= 0 dan \
Z ∗
≥ 0, karena itu \
Z ∗
½
Z ∗
= 0. Bila
c ∈ Š\Š
∗
, ½
Z ∗
0 tetapi \
Z ∗
= 0, karena itu diperoleh pula \
Z ∗
½
Z ∗
= 0. Dengan demikian, diperoleh
\
Z ∗
½
Z ∗
= 0, ∀ c ∈ Š.
Definisi 2.67 Titik Karush-Kuhn-Tucker adalah titik yang memenuhi syarat 2.46-2.50
Definisi 2.68
∇ ℒ
∗
, ã
∗
= ∇B
∗
−
Y
\
c ∗
c=1
∇½
c ∗
= 0
adalah titik stasioner dalam syarat Karush-Kuhn-Tucker.
Teorema 2.69
Titik Karush-Kuhn-Tucker dari pemrograman konveks adalah peminimalnya.
Bukti:
Misalkan
∗
, ã
∗
adalah sebarang titik Karush-Kuhn-Tucker dari pemrograman konveks. Diketahui fungsi Lagrange adalah sebagai berikut:
† , ã
∗
= B − Y \
Z ∗
Z∈é
½
Z
− Y \
Z ∗
Z∈ê
½
Z
2.53
adalah konveks untuk . Melalui sifat fungsi konveks dan syarat Karush-Kuhn-
Tucker untuk sebarang yang layak, maka diperoleh
† ,
ã
∗
≥ †
∗
,
ã
∗
+ −
∗
∇ †
∗
, ã
∗
= †
∗
, ã
∗
+ −
∗
= †
∗
, ã
∗
= B
∗
− Y \
Z ∗
h Z[
½
Z ∗
= B
∗
− 0 = B
∗
2.54
Perhatikan bahwa adalah titik layak dan
\
c ∗
≥ 0, c ∈ Š, jadi diperoleh \
c ∗
½
c
= 0, c ∈ ‰; \
c ∗
½
c
≥ 0, c ∈ Š Oleh karena itu diperoleh
† , ã
∗
≤ B 2.55
Dari 2.54 dan 2.55 diperoleh B ≥ B
∗
Jadi, titik Karush-Kuhn-Tucker
∗
adalah peminimal.
BAB III METODE HIMPUNAN AKTIF