POLA PERESEPAN OBAT PADA MANAJEMEN AWAL PASIEN ARTRITIS REUMATOID DI RSUD ABDOEL MOELEOK KOTA BANDAR LAMPUNG PERODE JULI 2012 – JUNI 2013

(1)

POLA PERESEPAN OBAT PADA MANAJEMEN AWAL PASIEN ARTRITIS REUMATOID DI RSUD ABDOEL MOELOEK KOTA BANDAR LAMPUNG PERIODE JULI 2012 - JUNI 2013

Oleh

MIFTAH HASANAH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG 2014


(2)

ABSTRACT

DRUG PRESCRIBING PATTERN IN THE EARLY MANAGEMENT OF RHEUMATOID ARTHRITIS PATIENT IN ABDOEL MOELOEK HOSPITAL IN

BANDAR LAMPUNG PERIOD JULY 2012 UNTIL JUNE 2013

By

Miftah Hasanah

About 20% of case that doctors face in practice room is joint diseases, include rheumatoid arthritis disease. Due to the fact that it is an autoimmune disease, rheumatoid arhtritis cannot be cured completely. The prevalence of this disease has been increased for years and become one of the top 10 disease in Lampung Province. Theraphy for this disease has moved from the “classic pyramidal” approach becoming “reverse pyramidal” approach. This study aims to know the current drug prescribing pattern and its rasionality in th early management of rheumatoid arthritis in Indonesia, especially in Bandar Lampung. This study used the descriptive analitical method

The result showed that from 68 prescribes has 119 drugs on it. Woman patient (69,1%) and patient aged 15-49 years old (high productivity age) is dominant as the based charaterized of rheumatoid arhtritis patient. Name of drug which has a large quantities is Meloxicam (45,4%), the large quantities of class of drug is NSAID (62,2%), dose of drugs in this study is appropriate with the literature, but the irrational prescribing happened like overprescribing in Meloxicam 2x15mg (2,5%) and methylprednisolon 2x16mg (6,7%) and underprescibing in paracetamol 2x250 mg (0,8%) and 3x500mg (26,9%), route of administration is 100% per oral, and the type of therapy is combination with 2 drugs (51,5%). This study showed that the use of NSAID is more dominant in combination theraphy. In early management of rheumatoid arthritis patient in this study indicates that “the classic pyramidal” approach still be used.


(3)

ABSTRAK

POLA PERESEPAN OBAT PADA MANAJEMEN AWAL PASIEN ARTRITIS REUMATOID DI RSUD ABDOEL MOELEOK KOTA BANDAR LAMPUNG

PERODE JULI 2012 – JUNI 2013

Oleh

Miftah Hasanah

Sekitar 20% dari kasus yang ditemui dokter diruang praktik merupakan penyakit sendi, artritis reumatoid merupakan salah satunya. Penyakit ini bersifat autoimun, sehingga tidak bisa disembuhkan secara total. Prevalensinya meningkat setiap tahun dan menjadi salah satu dari 10 penyakit terbesar di Provinsi Lampung. Terapi untuk penyakit ini telah mengalami perubahan, dari yang hanya mengobati gejala (metode piramida) menjadi penggunaan obat untuk memodifikasi penyakit sejak awal (metode piramida terbalik). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola peresepan obat terkini dan rasionalitasnya pada manajemen awal pasien artritis reumatoid di Indonesia, khususnya kota Bandar Lampung. Metode yang digunakan berupa metode deskriptif analitik.

Hasil penelitian didapatkan 68 lembar resep sebagai sampel penelitian dengan jumlah obat sebanyak 119 obat. Pasien wanita (69,1%) dan usia 15-49 tahun (usia sangat produktif) (55,9%) mendominasi karateristik dasar pasien RA. Obat Meloxicam (45,4%) dan golongan NSAID (62,2%) merupakan obat dan golongan yang paling banyak diresepkan. Dosis obat yang digunakan sudah sesuai dengan literatur namun terjadi irasionalitas dalam jumalh sedikit yaitu overprescribing pada obat Meloxicam 2x15mg (2,5%) dan metilprednisolon 2x16mg (6,7%) dan underprescribing pada penggunaan Paracetamol 2x250mg (0,8%) dan 3x500mg (26,9%), cara pemberian obat 100% diberikan secara oral, dan kombinasi obat paling banyak diberikan adalah kombinasi dengan 2 obat (51,5%). Didapatkan pula penggunaan NSAID yang lebih dari satu pada terapi kombinasi lainnya. Pada penelitian ini, manajemen awal pasien artritis reumatoid masih menggunakan metode piramida saja.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...xv

DAFTAR GAMBAR ... ...xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 5

1.4Kerangka Pemikiran dan Hipotesis ... 6

1.4.1 Kerangka Teori ... 6

1.4.2 Kerangka Konsep ... 8

1.4.3 Hipotesis ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Artritis Reumatoid ...9

2.1.1 Definisi Artritis Reumatoid ...9

2.1.2 Epidemiologi Artritis Reumatoid ...9

2.1.3 Etiologi Artritis Reumatoid ...12


(7)

xiii

2.1.5 Patofisiologi Artritis Reumatoid ... 13

2.1.6 Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid ... 14

2.1.7 Diagnosa Artritis Reumatoid ... 18

2.1.8 Terapi Artritis Reumatoid ... 19

2.2 Manajemen Awal Artritis Reumatoid ... 25

2.3 Peresepan Rasional dan Irrasional ... 28

III. METODE PENELITIAN ... 32

3.1 Jenis Penelitian ... 32

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

3.2.1 Tempat Penelitian ... 32

3.2.2 Waktu Penelitian ... 32

3.3 Populasi Penelitian ... 32

3.4 Sampel Penelitian ... 33

3.5 Variabel Penelitian ... 34

3.6 Definisi Operasional ... 34

3.7 Pengumpulan Data ... 35

3.8 Pengolahan dan Analisis Data ... 36

3.9 Etika Penelitian ... 36

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Hasil ... 37

4.2 Pembahasan ... 43

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 51

5.1 Simpulan ... 51


(8)

xiv DAFTAR PUSTAKA ... 53 LAMPIRAN ... 59


(9)

xvi DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori...7

2. Kerangka Konsep ...8

3. Prevalensi Global Penyakit Artritis Reumatoid (Longo, 2012) ...10

4. Patofisiologi Artritis Reumatoid (Suarjana, 2009)...14

5. Destruksi Sendi Akibat Pannus (Suarjana, 2009) ...15

6. Gambaran Sendi Metacarpopalangeal dan proksimal interfalangeal yang bengkak pada penderita artritis reumatoid (Longo, 2012) ...16

7. Manifestasi Ekstraartikular (Longo, 2012) ...18

8. Manajemen Awal Artritis Reumatoid (Singh et al., 2012) ...26


(10)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sekitar 20% dari kasus yang ditemui dokter diruang praktik merupakan penyakit sendi. Artritis Reumatoid atau Rheumatoid Arthritis (RA) merupakan salah satu penyakit sendi yang bersifat autoimun dan bagian dari reumatologi yang paling sering dijumpai, selain osteoartritis, artritis gout, osteoporosis, spondioloartropati, seronegatif, lupus eritematosus sistemik serta penyakit reumatik jaringan lunak (Nasution, 2009).

Prevalensi RA berkisar 0,5-1% dari seluruh populasi penduduk. Pada tahun 2005, sebanyak 0,6% atau sekitar 1,5 juta penduduk Amerika Serikat (AS) yang berusia ≥ 18 tahun didiagnosa RA. Penyakit ini sering dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 2- 3:1. Hal ini diduga akibat pengaturan hormonal yang berbeda antara wanita dan pria (Pradana, 2012).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Helmick CG yang dipublikasikan pada tahun 2008, ada lebih dari 21% (46,4 juta) orang di Amerika didiagnosa oleh dokter menderita artritis. Diperkirakan, RA menyerang 1,3 juta orang dewasa (Helmick et al., 2008).

Di Indonesia, belum ada data yang jelas mengenai data epidemiologi RA secara pasti. Dari hasil survey di Jawa Tengah, sekitar 0,2% penduduk yang bermukim di daerah pedesaan dan 0,3% penduduk yang bermukim didaerah perkotaan mengalami RA(Darmawan et al., 1993). Di poliklinik reumatologi


(11)

2 RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus RA merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru dan periode Januari s/d Juni 2007 sebesar 15% yaitu sebanyak 203 kasus dari kunjungan sebanyak 1.346 orang (Suarjana, 2009).

Di Lampung sendiri, sesuai dengan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, RA merupakan salah satu dari 10 penyakit terbesar sejak tahun 2011 dengan 17.671 kasus (5,24%) menempati urutan kedelapan dan naik ke urutan empat menjadi 50.671 kasus (7,85%) pada tahun berikutnya. Dan untuk kota Bandar Lampung, RA berada diurutan keempat dalam profil 10 penyakit terbesar di Bandar Lampung yang muncul sejak tahun 2009 (Dinkes, 2011). Presurvey yang di lakukan di poliklinik penyakit dalam RSUD Abdoel Meoloek pada tahun 2012 periode Januari-Desember terjadi 1.060 kasus. Menurut Asia Pasific League of Associaton Rheumatology (APLAR), RA

memberikan beban pada pasien dan beban pada perkembangan ekonomi. Penderita RA yang diterapi gejalanya saja bisa menurunkan angka harapan hidup selama 10 tahun, keterbatasan kerja penderita lebih tinggi dibanding populasi umum, dan berdasarkan penelitian dua pertiga dari penderita hanya bisa bekerja rata-rata 39 hari dalam setahun dan seperempat penderita mengalami penurunan pendapatan (Anonim, 2013)

RA merupakan penyakit yang tidak dapat sembuh (Sjamsuhidajat, 2010). WHO sudah menyatakan bahwa RA merupakah salah satu penyebab kehidupan dengan disabilitas. Keterkaitannya dengan proses imunologis, maka pasien dengan RA tidak akan sembuh tapi akan mengalami remisi atau menuju ke kematian (Symmons et al., 2006).

Obat yang digunakan dalam pengobatan RA terbagi menjadi lima kategori yaitu, NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drugs), analgesik, glukokortikoid, DMARD non biologik, dan DMARD biologik (Kumar dan Banik, 2013). Pengobatan dengan menggunakan DMARD sebagai pilihan pertama merupakan metode pengobatan piramida terbalik dimana pemberian obat golongan ini sedini mungkin dapat memberikan efek yang bermakna bila


(12)

3 diberikan sedini mungkin, terapi ini memperlambat proses penyakit. Dan terapi model piramida yang bertujuan untuk mengurangi gejala saja dan kemudian dilakukan perubahan terapi bila keadaan memburuk sudah tidak digunakan lagi (Suarjana, 2009).

Di negara berkembang penggunaan DMARD beresiko untuk terjadinya peningkatan terinfeksi TB sehingga sering terjadi keengganan dokter untuk memberikan DMARD pada awal perkembangan penyakit (Longo, 2012). Padahal, penggunaan DMARD pada terapi awal direkomendasikan oleh

American College of Rheumatology (ACR), European League Against

Rheumatoid League Against Rheumatism (EULAR), National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) dan banyak perhimpunan lainnya.

Terapi RA bisa jadi berbeda antar ahli reumatologi dan sampai sekarang, belum ada rekomendasi internasional yang jelas dan konsensual dalam terapi penyakit ini (Smolen et al, 2010). Menggunakan terapi DMARD sebagai terapi awal akan menghambat remisi penyakit selama bertahun-tahun pada 40-60% pasien (Schneider etal., 2013).

Di Indonesia, terapi awal yang digunakan pada puskesmas adalah terapi piramida dimana hanya gejala yang diobati. Hal ini sesuai dengan KMK nomor :296/MENKES/SK/III/2008, RA diberi NSAID saja yaitu asetosal, fenilbutazon, dan ibuprofen. Sehingga, peneliti melakukan penelitian di RSUD Abdoel Moeloek karena rumah sakit ini merupakan rumah sakit rujukan di provinsi Lampung.

Pemberian obat apapun dalam penyakit apapun harus memiliki pedoman terapi yang rasional, WHO mendefinisikan penggunaan obat rasional adalah pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinis, dosis individual yang sesuai, dalam periode waktu yang adekuat dan harga yang terjangkau bagi pasien dan komunitasnya (WHO, 2002)

Sehingga, pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui pola peresepan obat pada manajemen awal pasien RA mengingat penggunaan obat ini dilandasi pada pemberian terapi yang rasional dan berorientasi pada keadaan pasien.


(13)

4 1.2Rumusan Masalah

Terapi artritis reumatoid (RA) secara farmakologik melibatkan banyak obat yang digunakan. Terapi yang optimal bertujuan untuk mencegah progresifitas penyakit sehingga kerugian dan angka mortalitas yang timbulkan oleh artritis reumatoid bisa ditekan. Terapi terkini dalam manajemen awal merupakan metode terapi piramida terbalik dimana memodifikasi penyakit dengan menggunakan DMARD sejak awal sudah banyak direkomendasikan (Suarjana, 2009). Untuk mendapatkan pengobatan yang rasional maka pasien harus mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan WHO (WHO, 2002).

Berdasarkan uraian singkat tersebut didapatkan rumusan masalah berupa

“Bagaimanana pola peresepan obat terkini dalam manajemen awal terapi RA

pada pasien rawat jalan di Poliklinik Penyakit Dalam dan Poliklinik Bedah Ortopedi di RSUD Abdoel Moeloek kota Bandar Lampung Periode Juli 2012- Juni 2013?”

1.3Tujuan dan Manfaat penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum

Mengetahui pola peresepan obat dan rasionalitasnya pada manajemen awal pasien artritis reumatoid di RSUD Abdoel Moeloek Kota Bandar Lampung Periode Juli 2012 – Juni 2013. b. Tujuan Khusus


(14)

5 1) Mengetahui pola distribusi penyebaran penyakit RA

berdasarkan jenis kelamin dan usia.

2) Mengetahui nama obat yang diberikan untuk manajemen awal pasien RA.

3) Mengetahui golongan obat yang diberikan untuk manajemen awal pasien RA.

4) Mengetahui dosis obat yang digunakan ditiap golongan obat yang digunakan untuk manajemen awal pasien RA.

5) Mengetahui lama pemberian untuk masing-masing obat yang diberikan untuk manajemen awal pasien RA.

6) Mengetahui cara pemberian untuk masing-masing obat yang diberikan untuk manajemen awal pasien RA.

7) Mengetahui tipe terapi yang diberikan, terapi kombinasi atau monoterapi.

1.3.2 Manfaat Penelitian

a. Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis sebagai informasi mengenai pola pemberian obat RA dan hasilnya bisa diaplikasikan bagi kepentingan orang banyak.

b. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para klinisi sebagai bahan masukan agar pemberian obat, khususnya DMARD pada RA dapat diterapkan sehingga angka rekurensi kekambuhan berkurang.

c. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti lain sebagai pedoman untuk mengembangkan penelitian di bidang farmakologi dan farmasi khususnya mengenai RA atau penyakit reumatik lainnya.

d. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi instansi terkait sebagai bahan masukan dalam terapi RA.


(15)

6 1.4Kerangka Pemikiran dan Hipotesis

1.4.1 Kerangka Teori

Peresepan obat yang rasional memiliki kriteria yaitu indikasinya tepat sasaran, obat yang digunakan tepat sesuai dengan diagnosis, pasien yang tepat, dosis dan cara penggunaan yang tepat, informasi yang tepat, serta adanya evaluasi dan tindak lanjut dari obat-obat yang diberikan (Nastiti, 2011).

Terapi RA terdiri dari terapi farmakologik dan nonfarmakologik. Terapi farmakologik menggunakan terapi kombinasi pada RA memberikan efikasi yang lebih superior dibandingkan terapi tunggal, tanpa memperbesar toksistas. Terapi yang digunakan bisa menggunakan 2 sampai 3 golongan obat (Nasution, 2009).

Golongan obat yang digunakan dalam terapi RA adalah golongan NSAID, DMARD, glukokortikoid, obat-obat imunosupresan lain, dan agen biologik (Symmons, 2006). Dosis, cara pemberian, dan lama pemberian obat bergantung pada jenis obat yang diberikan (Suarjana, 2009).

Pada manajemen awal RA, terjadi perubahan metode dimana sebelumnya merupakan metode piramida yaitu metode yang diawali dengan pengobatan gejala sudah berganti menjadi pengobatan dengan memodifikasi penyakit sejak awal untuk menghambat perburukan penyakit yaitu dengan penggunaan DMARD baik biologik ataupun non-biologik (Suarjana, 2009). Rekomendasi penggunaan DMARD pada manajemen awal sudah banyak di publikasikan oleh banyak perhimpunan reumatologis di berbagai negara.


(16)

7 Gambar 1. Kerangka Teori : Rekomendasi American College of Rheumatology untuk Pengobatan awal RAdengan durasi penyakit < 6 bulan (Singh et al., 2012).

tanpa Aktivitas Penyakit Kriteria prognosis buruk DMARD Monoterapi Terapi kombinasi DMARD (2 atau 3)

Kriteria prognosis buruk

Monoterapi DMARD atau HCQ dan MTX

Anti TNF dengan atau tanpa MTX atau terapi kombinasi DMARD (2 atau 3 terapi)

rendah tinggi

Moderat e

dengan tanpa dengan

Manajemen Awal Rheumatoid arthritis Targ -et Akti -vitas peny -akit yang rend -ah atau remi -si


(17)

8 1.4.2 Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka konsep obat yang digunakan dalam terapi RA (Suarjana, 2009) berdasarkan dengan kriteria terapi rasional (Cahyono, 2008).

1.4.3 Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah pada manajemen awal pasien artritis reumatoid di RSUD Abdoel Moeloek Kota Bandar Lampung menggunakan obat-obat yang sesuai untuk manajemen awal dengan dosis, cara dan lama pemberian yang rasional dan menerapkan metode piramida terbalik yaitu menggunakan obat yang memodifikasi penyakit sejak awal.

Diagnosa Artritis Reumatoid

Manajemen Awal Artritis Reumatoid - NSAIDs - Glukokortikoid

- DMARDs

- Obat

immunosupresan lain

Nama obat

Dosis

Cara pemberian

Lama pemberian

Monoterapi/ Kombinasi Indikasi


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Artritis Reumatoid

2.1.1 Definisi Artritis Reumatoid

Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun sistemik (Symmons, 2006). RA merupakan salah satu kelainan multisistem yang etiologinya belum diketahui secara pasti dan dikarateristikkan dengan destruksi sinovitis (Helmick, 2008). Penyakit ini merupakan peradangan sistemik yang paling umum ditandai dengan keterlibatan sendi yang simetris (Dipiro, 2008). Penyakit RA ini merupakan kelainan autoimun yang menyebabkan inflamasi sendi yang berlangsung kronik dan mengenai lebih dari lima sendi (poliartritis) (Pradana, 2012).

2.1.2 Epidemiologi Artritis Reumatoid

Prevalensi RA relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% di seluruh dunia (Suarjana, 2009). Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan diantara berbagai grup etnik dalam suatu negara. Misalnya, masyarakat asli Ameika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara dilaporkan memiliki rasio prevalensi dari berbagai studi sebesar 7%. Prevalensi ini merupakan prevalensi tertinggi di dunia. Beda halnya, dengan studi pada populasi di Afrika dan Asia yang menunjukkan prevalensi lebih rendah


(19)

10 sekitar 0,2%-0,4% (Longo, 2012). Prevalensi RA di India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0,75% (Suarjana, 2009).

Sedangkan, di Jerman sekitar sepertiga orang menderita nyeri sendi kronik mulai dari usia 20 tahun dan juga seperduanya berusia 40 tahun. Satu dari penyebab utama nyeri yang timbul, dengan konsekuensi yang serius, merupakan RA. RA adalah penyakit inflamasi reumatik yang paling sering dengan prevalensi 0,5% sampai 0,8% pada populasi dewasa. Insidensinya meningkat seiring usia, 25 hingga 30 orang dewasa per 100.000 pria dewasa dan 50 hingga 60 per 100.000 wanita dewasa (Schneider, 2013). Studi RA di Negara Amerika Latin dan Afrika menunjukkan predominansi angka kejadian pada wanita lebih besar dari pada laki-laki, dengan rasio 6-8:1 (Longo, 2012).

Gambar 3. Prevalensi global penyakit artritis reumatoid (Longo, 2012) Di Cina, Indonesia dan Filipina prevalensinya kurang dari 0,4% baik didaerah urban ataupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi RA sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada penduduk berusai diatas 40 tahun mendapatkan prevalensi RA sebesar 0,5% didaerah kotamadya dan 0,6% didaerah kabupaten. Di poliklinik reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus baru RA


(20)

11 merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru pada tahun 2000 dan pada periode januari s/d juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus RA dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 12.346 orang (15,1%). Prevalensi RA lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima (Suarjana, 2009).

Prevalensi RA yang hanya sebesar 1 sampai 2 % diseluruh dunia, pada wanita di atas 50 tahun prevalensinya meningkat hampir 5%. Puncak kejadian RA terjadi pada usia 20-45 tahun. Berdasarkan penelitian para ahli dari universitas Alabama, AS, wanita yang memderita RA mempunyai kemungkintan 60% lebih besar untuk meninggal dibanding yang tidak menderita penyakit tersebut (Afriyanti, 2011).

Dari data presurvey di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung didapatkan bahwa penyakit RA menjadi salah satu dari 10 penyakit terbesar sejak tahun 2011. Pada presurvey ini dilakukan pengamatan data sejak tahun 2007 sampai dengan 2012. RA muncul pada tahun 2011 menempati urutan kedelapan dengan angka diagnosa sebanyak 17.671 kasus (5,24%) dan naik ke urutan keempat pada tahun 2012 dengan 50.671 kasus (7,85%) (Dinkes, 2011).

Dan dari profil kesehatan di dinas kesehatan sejak tahun 2007-2011 didapatkan penyakit RA muncul menjadi salah satu dari 10 penyakit terbesar di kota Bandar Lampung pada tahun 2009 di urutan keempat dengan presentase sebesar 5,99%, tahun 2010 menjadi urutan ketiga sebesar 7,2% dan tahun 2011 pada urutan keempat dengan presentasi sebesar 7,11% (Dinkes, 2011).

Di poliklinik penyakit dalam untuk pasien rawat jalan di RSUD Abdoel Meoloek, pada presurvey yang telah dilakukan peneliti pada tahun 2012 periode Januari-Desember terjadi 1.060 kasus.


(21)

12 2.1.3 Etiologi Artitis Reumatoid

Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan (Suarjana, 2009)

a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).

b. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental

Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi

dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat penting dalam

sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009).

c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2009).

d. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai

respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis (Suarjana, 2009).


(22)

13 e. Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo,

2012).

2.1.4 Faktor Resiko Artritis Reumatoid

Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya RA antara lain jenis kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita RA, umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok. Resiko juga mungkin terjadi akibat konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khusunya kopi decaffeinated (suarjana,

2009). Obesitas juga merupakan faktor resiko (Symmons, 2006).

2.1.5 Patofisiologi Artritis Reumatoid

RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi. Reaksi autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai terjadi dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel kemudian terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat terjadinya pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi. Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang Respon imunologi melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan. Respon ini mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik (Surjana, 2009).


(23)

14 Gambar 4. Patofisiologi artritis reumatoid (Suarjana, 2009)

Sel T dan sel B merupakan respon imunologi spesifik. Sel T merupakan bagian dari sistem immunologi spesifik selular berupa Th1, Th2, Th17, Treg, Tdth, CTL/Tc, NKT. Sitokin dan sel B merupakan respon imunologi spesifik humoral, sel B berupa IgG, IgA, IgM, IgE, IgD (Baratwidjaja, 2012).

Peran sel T pada RA diawali oleh interaksi antara reseptor sel T dengan

share epitop dari major histocompability complex class II (MHCII-SE) dan

peptida pada antigen-presenting cell (APC) pada sinovium atau sistemik.

Dan peran sel B dalam imunopatologis RA belum diketahi secara pasti (Suarjana, 2009).

2.1.6 Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid

RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling sering di tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan lutut. Sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa menebal akibat radang yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi (Syamsuhidajat, 2010).


(24)

15 Gambar 5. Destruksi sendi akibat pannus (Suarjana, 2009)

Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu (Nasution, 2011):

a. Stadium sinovitis.

Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi pada membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya simetris, meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi (Nasution, 2011). Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, termasuk sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal (Suarjana, 2009).

b. Stadium destruksi

Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan sinovial (Nasution, 2011).

c. Stadium deformitas

Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap (Nasution, 2011).


(25)

16 Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi artikular dan manifestasi ekstraartikular (Suarjana, 2009).

Manfestasi artikular RA terjadi secara simetris berupa inflamasi sendi, bursa, dan sarung tendo yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak, dan kekakuan sendi, serta hidrops ringan (Sjamsuhidajat, 2010). Tanda kardinal inflamasi berupa nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat mungkin ditemukan pada awal atau selama kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada RA kronik (Surjana, 2009). Sendi-sendi besar, seperti bahu dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis tetap, meskipun sendi-sendi ini mungkin berupa gejala asimptomatik setelah bertahun-tahun dari onset terjadinya (Longo, 2012).

Gambar 6. Sendi Metacarpopalangeal dan proksimal interfalangeal yang bengkak pada penderita artritis reumatoid (Longo, 2012).

Distribusi sendi yang terlibat dalam RA cukup bervariasi. Tidak semua sendi proporsinya sama, beberapa sendi lebih dominan untuk mengalami inflamasi, misalnya sendi sendi kecil pada tangan (Suarjana, 2009).

Manifestasi ekstraartikular jarang ditemukan pada RA (Syamsyuhidajat, 2010). Secara umum, manifestasi RA mengenai hampir seluruh bagian tubuh. Manifestasi ekstraartikular pada RA, meliputi (Longo, 2012):


(26)

17 a. Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda dan gejalanya berupa penurunan berat badan, demam >38,3oc , kelelahan (fatigue), malaise, depresi dan pada banyak kasus terjadi

kaheksia, yang secara umum merefleksi derajat inflamasi dan kadang mendahului terjadinya gelaja awal pada kerusakan sendi (Longo, 2012). b. Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level tertinggi aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak lembut, dan dekat periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa terdapat di paru-paru, pleura, pericardium, dan peritonuem. Nodul bisanya benign (jinak), dan diasosiasikan dengan infeksi, ulserasi dan

gangren (Longo, 2012).

c. Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary

sjogren’s syndrome. Sjogren’s syndrome ditandai dengan

keratoconjutivitis sicca (dry eyes) atau xerostomia (Longo, 2012).

d. Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti dengan penyakit paru interstitial (Longo, 2012).

e. Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung

yang disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, penyakti arteri koreoner atau disfungsi diastol (Longo, 2012).

f. Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan penyakit RA yang sudah kronis (Longo, 2012).

g. Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated

trombocytopenia dan keadaan dengan trias berupa neutropenia,

splenomegaly,dan nodular RA sering disebut dengan felty syndrome.


(27)

18 h. Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih besar dibanding populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell lymphoma sercara luas (Longo, 2012).

Beberapa keadaan yang diasosiakan dengan mordibitas dan mortalitas pada pasien RA adalah penyakti kardiovaskuler, osteoporosis dan hipoandrogenisme (Longo, 2012).

Gambar 7. Manifestasi ekstraartikular (Longo, 2012)

2.1.7 Diagnosa Artritis Reumatoid

Untuk menegakkan diagnosa RA ada beberapa kriteria yang digunakan, yaitu kriteria diagnosis RA menurut American College of Rheumatology

(ACR) tahun 1987 dan kriteria American College of

Rheumatology/European League Against Rheumatism (ACR/EULAR)

tahun 2010 (Pradana, 2012).

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk diagnosa RA antara lain, pemeriksaan serum untuk IgA, IgM, IgG , antibodi anti-CCP dan RF,


(28)

19 analisis cairan sinovial, foto polos sendi, MRI, dan ultrasound (Longo, 2012).

2.1.8 Terapi Artritis Reumatoid

RA harus ditangani dengan sempurna. Penderita harus diberi penjelasan bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan (Sjamsuhidajat, 2010). Terapi RA harus dimulai sedini mungkin agar menurunkan angka perburukan penyakit. Penderita harus dirujuk dalam 3 bulan sejak muncul gejala untuk mengonfirmasi diganosis dan inisiasi terapi DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) (surjana, 2009).

Terapi RA bertujuan untuk :

a. Untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien b. Mempertahakan status fungsionalnya

c. Mengurangi inflamasi

d. Mengendalikan keterlibatan sistemik e. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular f. Mengendalikan progresivitas penyakit

g. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi Terapi Farmakologik Artritis Reumatoid

Dalam jurnal “The Global Burden Of Rheumatoid Arthritis In The Year 2000”, Obat-obatan dalam terapi RA terbagi menjadi lima kelompok, yaitu

(Symmons, 2006) :

1. NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs) untuk mengurangi rasa

nyeri dan kekakuan sendi.

2. Second-line agent seperti injeksi emas (gold injection), Methotrexat dan

Sulphasalazine. Obat-obatan ini merupakan golongan DMARD.


(29)

20 dan mengurangi respon fase akut. Obat-obat ini memiliki efek samping dan harus di monitor dengan hati-hati.

3. Steroid, obat ini memiliki keuntungan untuk mengurangi gejala simptomatis dan tidak memerlukan montoring, tetapi memiliki konsekuensi jangka panjang yang serius.

4. Obat-obatan immunosupressan. Obat ini dibutuhkan dalam proporsi kecil untuk pasien dengan penyakit sistemik.

5. Agen biologik baru, obat ini digunakan untuk menghambat sitokin inflamasi. Belum ada aturan baku mengenai kelompok obat ini dalam terapi RA.

Terapi yang dikelompokan diatas merupakan terapi piramida terbalik, dimana pemberian DMARD dilakukan sedini mungkin. Hal ini didapat dari beberapa penelitian yaitu, kerusakan sendi sudah terjadi sejak awal penyakit, DMARD terbukti memberikan manfaat yang bermakna bila diberi sedini mungkin, manfaat penggunaan DMARD akan bertambah bila diberi secara kombinasi, dan DMARD baru yang sudah tersedia terbukti memberikan efek yang menguntungkan bagi pasien. Sebelumnya, terapi yang digunakan berupa terapi piramida saja dimana terapi awal yang diberikan adalah terapi untuk mengurangi gejala saat diganosis sudah mulai ditegakkan dan perubahan terapi dilakukan bila kedaaan sudah semakin memburuk (Suarjana, 2009).

DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs), pemilihan jenisnya

pada pasien harus mempertimbangkan kepatuhan, berat penyakit, pengalaman dokter, dan penyakit penyerta. DMARD yang paling sering digunakan adalah MTX (Metrothexate), hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide, infliximab dan etarnecept. (Suarjana, 2009).


(30)

21 Tabel 1. Jenis DMARD yang digunakan dalam terapi RA (Suarjana, 2009)

DMARDs Mekanisme

Kerja Dosis

Waktu Timbul Respon

Efek Samping Non biologik

(Konvensional) Hidroksiklorokuin (Plaquenil), Klorokuin fosfat

Hambat sekresi sitokin, enzim lisosomal dan fungsi makrofag

200-400 mg per oral per hari 250 mg per oral per hari

2-6 bulan Mual, sakit kepala, sakit perut, miopati, toksistas pada retina Methrotexate (MTX)* Menginhibisi dihidrofolat reduktase, menghambat kemotaksis, efek anti inflamasi melalui induksi pelepasan adeonosin.

7,5-25mg per oral, IM, SC per minggu

1-2 bulan Mual, diare, kelemahan, ulkus mulut, ruam, alopesia, gang. Fungsi hati, leukopenia, trombositopenia, pneumonitis, sepsis, peny. hati, limfoma yang berhubungan dengan EBV, nodulosis

Sulfasalazin Hambat : respon

sel B,

angiogenesis

2-3 g per oral per hari

1-3 bulan Mual, diare, sakit kepala, ulkus mulut, ruam, alopesia,

mewarnai lensa kontak,

oligospermia reversibel, gang.fungsi hati, leukopenia Azathiopriene

(Imuran)

Hambat sintesis DNA

50-150mg per oral per hari

2-3 bulan Mual, leukopenia, sepsis, limfoma Leflunomide

(Arava)

Menghambatsint esis pirimidin

100 mg per oral perh hari (3 hari) kemudian 10-20 mg per oral per hari

4-12 minggu

Mual, diare, ruam, alopesia,

teratogenik, leukopenia, trombositopenia, hepatitis. Cyclosporine Menghambat

sintesis IL-2 dan sitokin sel T lain

2,5-5 mg/kgBB per oral per hari

2-4 bulan Mual, parestesia, tremor sakit kepala, hipertofi gusi,hipertrikosis, gang.ginjal, sepsis D-Penicillamine

(Curprimine)

Hambat : fungsi sel T helper dan angiogenesis

250 -750 mg per oral per hari

3-6 bulan Mual, hilang rasa kecap,

trombositopenia reversibel Garam emas

thiomalate (Ridaura)

Hambat: makrofag, angiogenesis dan protein kinase C

25-750mg per oral per hari

6-8 minggu

Ulkus mulut, ruam, gejala vasomotor setelah injeksi,


(31)

22

trombositopenia, proteinuria, kolitis Auranofrin

(Ridaura)

Hambat : makrofag dan fungsi PMN

3 mg per oral (2x/hari) atau 6 mg per oral per hari

4-6 bulan Diare, leukopenia

BIOLOGIK Adalimumab (Humira)

Antibodi TNF (human)

40 mg SC setiap 2 minggu

Hari-4 bulan

Reaksi infus, peingkatan risiko infeksi termasuk reaktifasi TB, gangguan

demyelinisasi Anakinra (kineret) Antagonis

reseptor IL-1

100 -150mg SC per hari

3-4bulan Infeksi dan penuruan jumlah netrofil, sakit kepala, pusing, mual

Etarnercept (Enbrel)

Reseptor TNF terlarut (soluble)

25 mg SC 2x/minggu atau 50mg

SC/minggu

Hari-3 bulan

Reaksi ringan pada tempat suntikan,

kontraindikasi pada infeksi, demyelinisasi Infliximab

(Remicade)

Antibodi TNF (chimeric)

3mg/kgBB IV (infus pelan) pda minggu ke-0, 2 dan 6, kemudian setiap 8 minggu

Hari-4 bulan

Raksi infus, peningkatan risiko infeksi termasuk reaktivasi TB, gang.

Demyelinisasi Rituximab

(Rituxan, Mabthera)

Antibodi anti-sel B (CD20)

1000mg setiap 2 minggu x 2 dosis

3 bulan**

Reaksi infus, aritmia, jantung, hipertensi, infeksi, reaktivitas hepatitis B, sitopenia, reaksi hipersensitivitas Abatacept

(Orencia)

Hambat

:aktivitas sel T (costimulation blockers)

10 mg/kgBB (500, 750, atau 1000mg)

6 bulan**

Raksi infus, infeksi, reaksi hipersensitivitas, eksaserbasi COPD Belimumbab Humanized

monoclonal

antibodi

terhadap

B-lymphocyte stimulator

(BlyS)

1mg, 4mg, atau 10 mg/kgBB IV pada hari ke 0, 14, 28 hari selama 24 minggu

24 minggu* *

Uji klinis fase II

Tocilizumab (Actemra TM)

Anti-IL-6 receptor MAb

4 mg / 8mg infus setiap 4 minggu

24 minggu* *

Uji klinis fase II (option trial) Ocrelizumab Humanized

anti-CD20 antibody

10mg, 50mg, 200mg, 500mg, 1000mg infus pada hari 1 dan 15

4 minggu* *


(32)

23 *DMARD pilihan pertama* pilihan pertama pada pasienRA dan digunakan pada 60% pasien (Katzung, 2010)

**waktu terpendek untuk mengevaluasi respon terapi. Waktu ini ditetapkan oleh peneliti.

Dalam pemberian DMARD perlu dilakukan evaluasi dasar terhadap keamanannya. Rekomendasi evaluasi dasar yang direkomendasikan oleh ACR adalah pemeriksaan darah perifer lengkap, kreatini serum, dan transaminase hati (Surjana, 2009).

Dalam terapi farmakologi pasien RA, terapi kombinasi memiliki nilai yang lebih superior dibanding monoterapi. Kombinasi yang efektif dan aman digunakan berupa (Suarjana, 2009) :

1. MTX + hidroksiklorokuin,

2. MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalaxine,

Imatinib (Gleevec) Inhibitor protein tirosin kinase

400mg/hari 3 bulan**

Uji klinis fase II Denosumab Human

monoclonal

IgG2 antibody terhadap

RANKL

60mg atau 180mg SC setiap 6 bulan

6 bulan**

Uji klinis fase II

Certolizumab Pegol (CDP870)

Human anti

TNF-α antibody 1mg, 5mg atau 20mg/kgBB infus tunggal

4 minggu* *

Uji klinis fase II

Ofatumumab (Humax-CD20)

Human

monoclonal anti-CD20 IgG1 antibody

300mg, 700mg, atau 1000mg, infus pada hari 0 dan 14

24 minggu* *

Uji klinis fase II

Atacicept Recombinant fusin protein yagn meningkat dan menetralkan B lympocyte stimulator (BlyS

dan a

proliferation-including ligan

(APRIL))

70mg, 210mg, atau 630mg SC dosis tunggal atau 70 mg, 210mg, 420mg SC dosis berulang, setiap 2 minggu

3 bulan**

Uji klinis fase Ib

Golimumab Fully human protein

(antibody) yang mengikat TNF-α

50mg atau 100mg SC setiap 2 atau 4 minggu

16 minggu* *

Ujiklinis fase II (Uji klinis fase III mulau feb 2006-Juli 2012) Fontolizumab Humanised

anti-interferon gamma antibody


(33)

24 3. MTX + sulfasalazine + prednisolone,

4. MTX+ leflunomid 5. MTX+ infliximab 6. MTX+ etanercept 7. MTX+ adalimumab 8. MTX+ anakinra 9. MTX+ rituximab

10. MTX+ inhibitor TNF (lebih efektif dan lebih mahal) (Suarjana, 2009). Rekomendasi praktek klinik untuk terapi RAdengan bukti evidence paling

baik adalah penderita RA harus diterapi sedini mungkin dengan DMARD untuk mengontrol gejala dan menghambat perburukan penyakit, NSAID diberikan dengan dosis rendah dan harus diturunkan setelah DMARD mencapai respon yang baik, krotikosteroid diberikan dalam dosis rendah dan pemberian dalam waktu pendek, terapi kombinasi lebih baik dibanding dengan monoterapi (Suarjana, 2009).

NSAID yang diberikan pada RA digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan. Obat ini tidak merubah perjalanan penyakit. Penggunaan NSAID pada RA mempunyai resiko komplikasi serius yang dua kali lebih besar daripada penderita OA. Penggunaan obat ini harus dipantau dengan ketat (Suarjana, 2009).

Penggunaan glukokortikoid kurang dari 10 mg per hari cukup efektif untuk meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Pemberiannya harus diimbangi dengan pemberian kalsium dan vitamin D. Pemberian secara injeksi cukup aman bila hanya mengenai satu sendi dan RA mengakibatkan disabilitas yang bermakna (Suarjana, 2009).

Terapi non-Farmakologik Artritis Reumatoid

Terapi non-farmakologi melingkupi terapi modalitas dan terapi komplementer. Terapi modalitas berupa diet makanan (salah satunya dengan suplementasi minyak ikan cod), kompres panas dan dingin serta massase


(34)

25 untuk mengurangi rasa nyeri, olahraga dan istirahat, dan penyinaran menggunakan sinar inframerah. Terapi komplementer berupa obat-obatan herbal, accupressure, dan relaxasi progressive (Afriyanti, 2009).

Terapi bedah dilakukan pada keadaan kronis, bila ada nyeri berat dengan kerusakan sendi yang ekstensif, keterbatasan gerak yang bermakna, dan terjadi ruptur tendo. Metode bedah yang digunakan berupa sinevektomi bila destruksi sendi tidak luas, bila luas dilakukan artrodesis atu artroplasti. Pemakaian alat bantu ortopedis digunakan untuk menunjang kehidupan sehari-hari (Sjamsuhidajat, 2010).

2.2 Manajemen Awal Artritis Reumatoid

Dengan diagnosis yang awal, intervensi menggunakan DMARD pada tiga bulan pertama, kejadian remisi RA bisa diminimalisir. 25 tahun yang lalu, RA didiagnosa 2 tahun setelah onset penyakit dan pengobatannya sesuai dengan gejala klinisnya. Hasilnya adalah disabilitas, nyeri kronik, kemunduran awal, dan mortalitas pada lebih dari 20% dalam 10 tahun. Pedoman baru dalam terapi RA berupa terapi DMARD pada 3 bulan pertama, monitor aktivitas penyakit secara terus menerus, „remisi‟ sebagai tujuan terapi, manajemen oleh multidisiplin ilmu. Onset RA merupakan kasus gawat darurat juga sama halnya dengan dengan infark miokard. Prognosis jangka panjang yang optimal membutuhkan level perawatan yang bervariasi (Schneider et al., 2013).

Prinsip dasar manajemen RA adalah : dimulai sejak dini dan memiliki target. Penggunaan DMARD sejak dini secara konsisten akan menrunkan angka mortalitas sebanyak 60% (dibanding dengan yang tidak menggunakan DMARD). DMARD merupakan elemen utama dalam pengobatan RA. Obat golongan ini termasuk : classic synthetic DMARD

(cDMARD), biological DMARD, dan glukokortikoid. DMARD


(35)

26 dibanding penggunaan NSAID secara terus menerus (Schneider et al.,

2013).

Rekomendasi penggunaan DMARDs oleh American College of Rheumatology pada penyakit dengan durasi <6 bulan adalah sebagai berikut:

Gambar 8. Manajemen awal artritis reumatoid (Singh et al., 2012).

Keterangan pada gambar : *aktivitas penyakit

+pasien yang dikategorikan berdasarkan ada atau tidaknya 1 atau lebih temuan keadaan kronis

±Kombinasi terapi 2 DMARD, dengan MTX sebagai dasar, dengan pengecualian berupa (MTX+HCQ, MTX+LEF, MTX+sulfasalazine, dan sulfasalazine + HCQ), dan 3 kombinasi (MTX, HCQ+ sulfasalazine).

Dalam rekomendasi penggunaan DMARD oleh ACR pada tahun 2012 yang merupakan pembaruan tahun 2008. Indikasi untuk memulai, menambahkan, mengulang, dan mengganti DMARD atau agen biologik lainnya ialah berdasarkan target remisinya. Hal ini dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut: a. Target aktivitas penyakit rendah atau remisi mulai menggunakan


(36)

27 b. RA awal (dengan durasi kurang dari 6 bulan. Direkomendasikan penggunaan DMARD secara monoterapi baik untuk aktivitas penyakit rendah, sedang, atau tinggi dengan tidak adanya temuan prognosis yang buruk. Direkomendasikan kombinasi terapi untuk pasien dengan sedang atau aktivitas penyakit tinggi ditambah prognosis yang buruk, serta direkomendasikan menggunakan anti-TNF biologik dengan atau tanpa MTX.

c. RA menetap (durasi penyakit lebih dari 6 bulan) direkomendasikan untuk menggunakan DMARD. Apabila prognosis tidak disebutkan, maka penggunaan DMARD tetap diberikan pada semua pasien (Singh et al.,

2012)

Dan dari National Institute for Health and Clinnical Excellence mengenai

manajemen awal RA ada beberapa rekomendasi yang diberikan :

a. Pasien yang baru didiagnosa RA ditawarkan berupa kombinasi DMARD (termasuk Metrotexat dan sekurang-kurangnya satu DMARD lain ditambah dengan glukokortioid jangka pendek) sebagai pengobatan lini pertama secepat mungkin, setidaknya dalam 3 bulan onset dari gejala yang menetap.

b. Pikirkan untuk memberikan glukokortikoid jangka pendek (oral, IM atau intraartikular) agar secara cepat memperbaiki gejala pada pasien yang baru terdiagnosa RA jika mereka tidak menerima glukokortikoid sebagai bagian dari terapi kombinasi DMARD.

c. Pada pasien dengan onset RA yang baru menerima kombinasi terapi dengan DMARD mencapai hasil yang bisa dikontrol, secara hati-hati turunkan dosis secara hati-hati.

d. Paisen yang baru terdiagnosa RA yang dimana terapi kombinasi DMARD tidak sesuai, mulai dengan monoterapi DMARD.

e. Pasien dimana RA stabil, secara hati-hati turunkan dosis DMARD atau obat-obat bilogiknya.

f. Ketika mengenalkan obat baru pada pasien RA, pertimbankan untuk


(37)

28 g. Jika seseorang dengan RA yang telah menetap dan DMARD atau obat biologiknya sudah diturunkan atau dihentikan, harus dilakukan peninjauan kembali (Anonim, 2009).

2.3 Peresepan Rasional dan Irrasional

Penggunaan obat yang rasional tertuang dalam penulisan resep yang rasional. Kerasionalan penulisan resep merupakan keseuaian antara kombinasi obat-obat yang digunakan dalam terapi dipandang dari sudut terjadinya interaksi obat dari segi farmakodinamik maupun farmakokinetiknya (Harianto, 2006).

Menurut WHO tahun 1985, definisi dari penggunaan obat yang rasional ialah saat pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dengan dosis individual yang dibutuhkan, dalam periode waktu yang adekuat dan harga yang terjangkau bagi pasien dan komunitasnya (WHO, 2002).

Departement of Health dari United Kingdom memberian pedoman berupa

lima prinsip dalam memberikan obat yaitu, right medicine (obat yang benar,

sesuai dengan indikasi), right dose (dosis tepat), right route (cara pemberian

benar), right patient (pasien yang benar) dan right time (waktu pemberian

yang tepat) (Cahyono, 2008).

Menurut, Prof. Dr.dr. Iwan Darmansyah pada tahun 2010, sedikitnya ada enam faktor yang memengaruhi pola penggunaan obat atau terapi yang rasional, yaitu :

1. Pengaturan obat (regulasi, law enforcement)

2. Pendidikan (formal dan informal)

3. Pengaruh industri obat (iklan, insentif, dll) 4. Informasi (prescribing information)


(38)

29 6. Sosio-kultural (hubungan dokter pasien yang cenderung partilina, tidak

kritis, dll)

Keenam faktor ini saling terkait, sehingga tidak mudah membuat praktik terapi dan pengobatan irrasional dan rasional (Simatupang, 2012).

Gambar 9. Siklus terapi rasional (Simatupang, 2012)

Dalam, A Practice Manual Guide to Good Prescribing yang dikeluarkan

oleh WHO di Geneva. Siklus terapi rasional merupakan cara untuk mendapatkan pengobatan yang rasional, yaitu :

1. Menetapkan masalah pasien

Dalam menetapkan masalah pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lain akan mempermudah diagnosis kerja untuk ditegakkan.

2. Menetapkan tujuan terapi

Tujuan terapi merupakan dasar dari pengobatan penyakit berdasarkan diagnosis kerja.

3. Teliti kecocokan terapi-pribadi (Personal therapy)

Dilakukan dengan mempetimbangakan efektifitas, keamanan, kecocokan dan biaya. Dasar pemilihan terapi farmakologis

1. Tetapkan masalah pasien

2. Tentukan tujuan terapi

3. Teliti kecocokan

terapi-P 4. Memulai

pengobatan 5. Penjelasan

tentang obat, cara pakai, peringatan

6. Pantau (hentikan) pengobatn


(39)

30 dipertimbangakan faktor kemajuan (efficacy), keamanan (safety),

kecocokan (suitability), dan biaya (cost). Pada terapi non-farmakologis

biasanya dipikirkan menyangkut perubahan gaya hidup (life style).

4. Memulai pengobatan obat-pribadi (personal drugs)

Memulai pengobatan setelah mencocokkan kebutuhan terapi dimulai saat menuliskan resep atau „instruksi‟ kepada apoteker untuk menyediakan/menyiapkan obat yang dibutukan oleh pasien. Dalam memulai pengobatan, pasien berhak tahu mengenai obat-obatan yang diberikan kepadanya.

5. Penjelasan tentang obat, cara pakai, peringatan

Siklus ini diberikan setelah menuliskan resep obat. Kepada pasien perlu diberi pengetahuan tentang efek obat, efek samping, instruksi penggunaan, peringatan, kunjungan berikutnya, dan dokter harus memastikan pasien mengerti dengan baik penjelasan yang telah diberikan.

6. Pantau (hentikan) penggunaan obat

Penggunaan obat dihentikan bila pasien sudah dinyatakan sembuh total, pasien mengalami efek samping serius dari obat yang diberikan, dan apabila pasien belum sembuh maka siklus pengobatan rasional diulang dari awal kembali (Simatupang, 2012).

Istilah „irrational prescribing’ harus diperkenalkan kepada mahasiswa kedokteran karena kelak akan menuliskan resep obat kepada masyarakat, tapi kemudian tidak banyak yang memerhatikan masalah ini (Sadikin, 2011). Irrational prescribing yaitu dimana bila pasien tidak menerima obat atau menggunakan obat yang tidak sesuai dengan kriteria penggunaan obat rasional (Sadikin, 2011). Dan peresepan rasional tidak bisa didefiniskan tanpa metode pengukuran dan referensi standar. Di negara maju peresepan rasional dilakukan berdasarkan protokol pengobatan serta adanya daftar obat esensial, sedangkan dinegara berkembang belum ada studi mengenai dasar dari peresepan rasional (Hogerzeil, 1995).


(40)

31 Peresepan irrasional merupakan masalah global (Hogerzeil, 1995). Hal ini diperkuat dari beberapa studi yang dilakukan baik dinegara maju maupun berkembang yang menunjukkan beberapa kesalahan yang mengakibatkan terjadinya peresepan yang irrasional, antara lain (Sadikin, 2011):

a. Polifarmasi

b. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan diagnosis c. Penggunaan antibiotik yang tidak perlu

d. Dan pengobatan mandiri yang irrasional (irational selfmedication)

dengan penggunaan obat dibawah dosis seharusnya (underprescribing)

Bentuk lain dari irrational prescribing adalah extravagant prescribing, yaitu

kebiasaan meresepkan obat mahal padahal tersedia obat murah yang sama efektifnya. Selain itu, underprescribing atau penggunaan obat dibawah

dosis seharusnya. Hal ini terjadi akibat kekhawatiran dokter akan efek samping obat yang mungkin timbul (sadikin, 2011).

Dampak dari irrational prescribing ini adalah meningkatnya mordibitas dan

mortalitas yang diikuti dengan meningkatnya lama dan biaya rawat, ditambah dengan meningkatnya kejadian efek samping dan interaksi obat (sadikin, 2011)


(41)

III. METODE PENELITIAN

3.1Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan melihat penggunaan obat-obat yang digunakan dalam manajemen awal terapi artritis reumatoid atau rheumatoid arthritis (RA) secara retrospektif melalui kartu

catatan rekam medik yang berisi preskripsi obat yang ada di RSUD Abdoel Moeloek Kota Bandar Lampung.

3.2Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Abdoel Moeloek Kota Bandar Lampung.

3.2.2 Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan bulan November Tahun 2013.

3.3Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah semua resep obat dalam rekam medis pasien rawat jalan pasien baru dengan diagnosa penyakit rheumatoid arthritis di poliklinik penyakit dalam dan poliklinik bedah ortopedi RSUD Abdoel Moeloek Kota Bandar Lampung periode Juli 2012 – Juni 2013.


(42)

33 3.4Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan adalah jumlah resep dari bagian rekam medis yang memiliki diagnosa berupa RA melalui teknik convinence sampling, dimana sampel yang digunakan adalah resep obat pada pasien baru yang terdiagnosa RA dalam jangka waktu Juli 2012 – Juni 2013 yang dikumpulkan sampai jumlah sampel terpenuhi. Dan peneliti menggunakan rumus perhitungan

sampel Slovin (Slovin’s formula) dengan tingkat kepercayaan 90%.

Dari pre-survey didapatkan jumlah pasien baru dengan diagnosa artritis reumatoid periode Juli 2012- Juni 2013 didapatkan besar populasi sebanyak 215 pasien, dengan asumsi satu pasien mendapat satu lembar resep.

n= n=

n=

n=

n= 68,2 Keterangan : N = besar populasi n = besar sampel

d = tingkat kepercayaan 0,1

Jadi, pada penelitian ini dibutukan sampel sebanyak 68 lembar resep. Kriteria Inklusi :

Resep dalam rekam medis milik pasien baru yang berobat ke poliklinik penyakit dalam dan poliklinik bedah ortopedi RSUD Abdoel Moeloek dengan diagnosa RA yang masuk dari tanggal 1 Juli 2012 sampai dengan 31 Juni


(43)

34 2013 dan lembar resep yang fisiknya masih baik, terbaca, tidak robek ataupun rusak.

Kriteria Eksklusi :

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah semua resep yang rusak, robek, tidak terbaca, dan resep dalam rekam medik yang memiliki biodata dan atau nomor registrasi yang sama.

3.5Variabel Penelitian

Variabel terikat : Manajemen awal terapi artritis reumatoid.

Variabel bebas : Indikasi, nama obat, dosis, cara pemberian, lama pemberian, terapi kombinasi/monoterapi.

3.6Definisi Operasional

1. Peresepan Obat

Resep merupakan permintaan tertulis oleh dokter kepada APA (Syamsuni, 2006). Resep yang rasional diberikan sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam dosis yang tepat, periode waktu yang adekuat dan dengan biaya yang terendah (WHO, 2002).

2. Indikasi pemberian obat

Termasuk salah satu indikator dalam pedoman pemberian obat yang benar yaitu right medicine, pemberian obat yang sesuai indikasi (Cahyono, 2008).

3. Nama obat

Nama obat yang digunakan dapat terlihat dalam praescriptio/ordonatio

yang tertera dalam setiap resep (Syamsuni, 2006). 4. Dosis


(44)

35 Dosis adalah jumlah obat yang diberikan kepada pasien (Syamsuni, 2006). Dosis obat ini tergantung pada jenis obat yang diberikan karena setiap obat memiliki dosis minimum, dosis maksimal dan dosis lazimnya tersendiri. Dosis dapat dilihat dari bagian praescriptio/ordonatio resep.

5. Cara pemberian

Cara yang digunakan untuk memasukan setiap jenis obat ke dalam tubuh seorang penderita. Cara pemberian obat dapat diketahui dengan bentuk sediaan yang diberikan dalam resep pada bagian signatura.

6. Lama pemberian

Lama pemberian setiap jenis obat yang digunakan dalam pengobatan dapat diketahui dengan melihat aturan pakai yang tertera pada bagian

signatura resep. 7. Tipe terapi

Terbagi menjadi dua golongan yaitu monoterapi dan terapi kombinasi. Monoterapi merupakan penggunaan satu nama/jenis obat dalam resep dan terapi kombinasi merupakan penggunaan dua atu lebih obat dalam satu resep.

3.7Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dengan mengumpulkan resep yang diberikan pada pasien baru dengan diagnosa RA. Data kemudian dikumpulkan melalui pencatatan pada lembar kerja.

3.8Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah diperoleh kemudian dikumpulkan dan dilakukan deskripsi terhadap setiap variabel dari data tersebut. Data lalu disusun dan dikelompokan berdasarkan variabel. Hasil penelitian kemudian disajikan dan dijabarkan dalam bentuk tabel, dan kemudian dilakukan teknik analisa


(45)

36 kualitatif melakukan cara induktif yaitu penarikan kesimpulan umum berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan.

3.9Etika Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelusuran dokumen melalui data sekunder berupa rekam medik pada pasien baru yang berkunjung ke RSUD Abdoel Moeloek Kota Bandar Lampung sehingga tidak melakukan intervensi apapun pada individu. Identitas subjek penelitian pada penelitian ini dirahasiakan. Penelitian ini tidak merugikan individu yang menjadi subjek penelitian. Dan penelitian ini telah memenuhi lolos kaji etik (Ethical Clearance) dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan surat keterangan terlampir.


(46)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

a. Distribusi jenis kelamin pada pasien rawat jalan dengan diagnosa artritis reumatoid di RSUD Abdoel Moeloek periode Juli 2012 sampai dengan Juni 2013 terbanyak adalah pasien perempuan 67 pasien (69,1%) dan laki-laki 21 pasien (30,9%). Dan usia pasien terbanyak terdapat pada usia sangat produktif yaitu 15-49 tahun pada 38 orang (55,9%).

b. Obat-obat yang diberikan pada pasien RA mulai dari yang terbanyak hingga yang paling sedikit yaitu meloxicam (45,4%), paracetamol (33%), Na Diclofenac (10,9%), metilprednisolon (6,7%), asam mefenamat (2,5%), MTX (2,5%), deksametason (0,8%), etoricoxib (0,8%), dan salisilat (0,8%).

c. Golongan obat yang diberikan pada pasien RA sudah sesuai dengan golongan obat yang digunakan dalam manajemen awal yaitu NSAID (62,2%), analgesik (27,7%), glukokortikoid ( 7,6%), dan DMARDs (2,5%).

d. Dosis obat yang digunakan bervariasi pada tiap jenis obat. Namun, terjadi overprescribing dalam peresepan meloxicam yaitu 2x15mg (2,5%) dan metilprednisolon 2x16mg (6,7%) dan underprescribing

pada paracetamol 2x250mg (0,8%) dan 3x500mg (26,9%).

e. Lama pemberian obat yang diberikan pada manajemen awal bergantung pada jenis obat yaitu berkisar antara 3-7 hari untuk NSAID, 5-7 hari


(47)

52 untuk glukokortikoid, 3-5 hari untuk analgesik dan 1 bulan untuk DMARD.

f. Cara pemberian obat yang diberikan pada pasien RA yaitu 100% melalui peroral.

g. Tipe terapi yang diberikan paling banyak adalah terapi kombinasi dengan 2 obat (51,5%), terapi monoterapi (36,8%) , dan terapi kombinasi dengan 3 obat sebanyak (11,7%).

h. Terapi pada manajemen awal pasien RA pada penelitian ini masih menggunakan metode piramida , yaitu mengobati gejala saja.

5.2 Saran

a. Bagi ilmu pengetahuan dan para peneliti lain, selanjutnya diharapkan agar melakukan penelitian dengan topik serupa berupa faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pada manajemen awal RA di Lampung masih menggunakan metode piramida saja, bukan menggunakan metode piramida terbalik.

b. Bagi para klinisi, diharapkan untuk lebih memerhatikan kerasionalan dalam meresepkan obat dan mulai menggunakan metode piramida terbalik pada manajemen awal pasien RA.

c. Bagi instansi terkait diharapkan agar menerapkan kebijakan atau panduan mengenai manajemen awal artritis reumatoid

d. Bagi masyarakat, khususnya penderita RA diharapkan agar dapat meningkatkan pengetahuan tentang penyakit RA dan penyakit sendi ataupun autoimun lainnya sehingga bisa lebih proaktif dalam menerima terapi sehingga tujuan terapi RA bisa didapatkan dengan maksimal.


(48)

(49)

54 DAFTAR PUSTAKA

ACR. 2002. Guidelines For The Management of Rheumatoid Arthritis. Arthritis & Rheumatism Vol. 46, No. 2, February 2002, pp 328–346 DOI

10.1002/art.10148. Wiley-Liss, Inc.

Afriyanti, Fajriah Nur. 2009.Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Penyakit Rheumatoid Arthtritis di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Tahun 2009 (SKRIPSI). UIN. Jakarta.

Ahmed, M., Ali, Nahid., Rahman, Zia Ur., Khan, Misbahul. 2012. A Study On Prescribing Patterns In The Management of Arthtritis in the Departement of Orthopaedics. Scholar Research Libray.

Amira, Afra. 2012. Gambaran Penulisan Resep Askes di Apotek RSUP Haji Adam

Malik periode Mei 2011. USU. Medan.

Anonim, 2009. Rheumatoid Arhtritis The Management of Rheumatoid Arhtritis in Adult. NICE: London.

Anonim. 2008. Patient Information On Paracetamol. Australian Rheumatology Association (ARA). Australia.

Anonim. 2013. Kombinasi NSAIDs Dengan Parasetamol Memberikan Efek Analgetik Yang Lebih Baik. Diakses Melalui :

http://www.kalbemed.com/News/tabid/229/id/527/Kombinasi-NSAIDs-dengan-Parasetamol-Memberikan-Efek-Analgesik-yang-Lebih-Baik.aspx pada tanggal 11 Desember 2013 pukul 13:10 WIB.

Anonim. 2013. Rheumatoid Arthritis: Facts And Figures Diakses melalui :

http://www.aplar.org/Education/Documents/FINAL_EDC_Fact_Sheet.pd f pada tanggal 20 Oktober 2013 pukul 11.48 WIB.


(50)

55 Baratawidjaja, KG., Rengganis, Iris. 2012. Imunologi Dasar Edisi ke-10. FKUI.

Jakarta.

BPS. 2013. Umur Penduduk. Diakses melalui :

http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/index pada tanggal 11 Desember 2013 pukul 09:25WIB.

Cahyono, J.B.S.B. 2008. Membangun Budaya Keselamatan Pasien dalam Praktek Kedokteran. Kanisius. Jogjakarta.

Darmawan J., Muirden KD, Valkenburg HA, Wigley RD.Br J Rheumatol. 1993. The Epidemiology Of Rheumatoid Arthritis In Indonesia. Br J

Rheumatol. 1993 Jul;32(7):537-40.

Depkes. 2006. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Keputsan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Depkes. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Arhtritis Rematik.

Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan. Jakarta

Dinkes. 2010. Profil Data Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2010. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Lampung.

Dinkes. 2007. Profil Data Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2007. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Lampung.

Dinkes. 2008. Profil Data Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2008. Dinas

Kesehatan Provinsi Lampung. Lampung.

Dinkes. 2009. Profil Data Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2009. Dinas

Kesehatan Provinsi Lampung. Lampung.

Dinkes. 2011. Profil Data Kesehatan Kota Bandar Lampung tahun 2011. Dinas


(51)

56 Dinkes. 2011. Profil Data Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2011. Dinas

Kesehatan Provinsi Lampung. Lampung.

Dinkes. 2012. Profil Data Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2012. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Lampung.

Dipiro, Joseph T., Talbert, Robert L.,et al.2008. The seventh edition of the

benchmark evidence-based pharmacotherapy. McGraw-Hill Companies

Inc. USA.

Harianto., Kurnia, Ridwan., Siregar, Syafrida.2006. Hubungan Antara Kualifikasi Dokter Dengan Kerasionalan Penulisan Resep Obat Oral Kardiovaskuler Pada Pasien Dewasa di Tinjau Dari Sudut Interaksi Obat (Studi Kasus di Apotex “x” Jakarta Timur).Majalah Ilmu Kefarmasian Vol. III No.2.

Agustus 2006. Jakarta.

Helmick, et al.2008. Estimates of the prevalence of arthritis and other rheumatic conditions in the United States. Part I. Di akses melalui : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18163481 pada 29 September 2013 pukul 14:00 WIB.

Horgerzeil, Hans V.1995. Promoting Rational Prescribing : An Internal Perspective.Br J clin Pharmac. Swiss.

Meineke, Ingolf., Türck, Dietrich. 2003. Population Pharmacokinetic Analysis Of Meloxicam In Rheumatoid Arthritis Patients. Br J Clin pharmacol. 2003 January; 55(1): 32-38. United kingdom.

Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC. Jakarta.

Kemenkes. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonsesia (KMK RI) Nomor: 296/MENKES/SK/III/2008 Tentang Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.

Kumar, Pradeep., Banik, Shenhashish. 2013. Pharmacoterapy Optinons In Rheumatoid Arhtritis. Clinnical Medicine Insights: Arthritis and Muschuloskeletal Disorder 2013:6. Libertas Academica Ltd.


(52)

57 Lee, Joyce L., Hayes, Evelyn. R. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses

Keperawatan. EGC. Jakarta.

Lelo, Aznan., Hidayat, D.S., Juli, Sake. 2004. Penggunaan Anti-Inflamasi Non Steroid Yang Rasional Pada Penanggulangan Nyeri Rematik. FK USU.

Medan.

Longo, Dan L. MD., Kasper, Dennis L. MD., et al. 2012. Harrison’s Principle of

Internal Medicine ed.18 Chapter 231: Rheumatoid Arthritis. McGraw-Hill Companies, Inc. USA.

Nastiti, Fierdini Hapsari. 2011. Pola Peresepan dan Kerasionalan Penggunaan Antimikroba Pada Pasien Balita di Puskesmas Kecamatan Jatinegara

(SKRIPSI). UI. Depok.

Nasution, A.R Sumarlyono. 2009. Introduksi Reumatologi Dalam :Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, Idrus, et al. Interna Publishing. Jakarta.

Nasution, Jani. 2011. Pola Aktivitas Pasien Rheumatoid Arthritis di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan (SKRIPSI). USU. Medan.

Pountos, Ippokratis. Georgouli, Theodora. Bird, Howard. Diannoudis, Peter V. 2011. Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs : Prostaglandins, Indications, And Side Effect. International Journal of Interferon, Cytokine and Mediator Research 2011:3. Dove Press Journal.

Pradana, Septian Yudo. 2012. Sensitifitas dan Spesitifitas Kriteria ACR 1987 Dan ACR/EULAR 2010 Pada Penderita Artirits Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang (SKRIPSI). UNDIP. Semarang.

Rheumatoid Arthtritis in the year 2000. WHO.

Sadikin, Zulnida Dj. 2011. Penggunaan Obat yang Rasional. J Indon Med Assoc Volum:61 Nomor:4. Jakarta.


(53)

58 Schneider, Matthias., Krüger, Klaus. 2013 Rheumatoid Arthritis—Early Diagnosis

and Disease Management. Deutsches Ärzteblatt International. Jerman.

Simatupang, Abraham. 2012. Pedoman WHO Tentang Penulisan Resep yang Baik

sebagai Penggunaan Obat yang Rasional. FK UKI. Jakarta.

SIGN. 2011. Management of Early Rheumatoid Arhtritis A National Clinical

Guideline. SIGN (Scottish Intercollegiate Guidelines Network).

Edinburgh.

Sjamsuhidajat, R, et al. 2010. Buku Ajar ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong Edisi 3. EGC. Jakarta.

Suarjana, I Nyoman.2009. Artritis Reumatoid Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, Idrus, et al. Interna

Publishing. Jakarta.

Syamsuni, Drs.H, Apt. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi.EGC.

Jakarta.

Symmons, Deborah., Mathers, Colin., Pfleger Bruce. 2006. The Global Burden of

Rheumatoid Arthritis In The Year 2000. Diakses melalui :

www.who.int/healthinfo/statistics/bod_rheumatoidarthritis p pada 12 November 2013 Pukul 22.00 WIB.

Waranugraha BP, Yoga. Suryana, Putra. Pratomo Bogi. 2010. Hubungan Pola Penggunaan OAINS dengan Gejala Klinis Gastropati pada Pasien Reumatik. Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol. 26, No. 2, Agustus 2010.

Surabaya.

WHO. 2002. Promoting Rational Use of Medicines: Core Components. WHO.

Geneva.

Yudhowibowo, Ifar Irianto., Satoto, Hari Hendriarto., Sasongko, Himawan. 2011. Obat-Obat Anti Nyeri. Jur Anastesiologi Indonesia Vol III, No 3, Th 2011.


(1)

(2)

54 DAFTAR PUSTAKA

ACR. 2002. Guidelines For The Management of Rheumatoid Arthritis. Arthritis & Rheumatism Vol. 46, No. 2, February 2002, pp 328–346 DOI

10.1002/art.10148. Wiley-Liss, Inc.

Afriyanti, Fajriah Nur. 2009.Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Penyakit Rheumatoid Arthtritis di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Tahun 2009 (SKRIPSI). UIN. Jakarta.

Ahmed, M., Ali, Nahid., Rahman, Zia Ur., Khan, Misbahul. 2012. A Study On Prescribing Patterns In The Management of Arthtritis in the Departement of Orthopaedics. Scholar Research Libray.

Amira, Afra. 2012. Gambaran Penulisan Resep Askes di Apotek RSUP Haji Adam Malik periode Mei 2011. USU. Medan.

Anonim, 2009. Rheumatoid Arhtritis The Management of Rheumatoid Arhtritis in Adult. NICE: London.

Anonim. 2008. Patient Information On Paracetamol. Australian Rheumatology Association (ARA). Australia.

Anonim. 2013. Kombinasi NSAIDs Dengan Parasetamol Memberikan Efek Analgetik Yang Lebih Baik. Diakses Melalui :

http://www.kalbemed.com/News/tabid/229/id/527/Kombinasi-NSAIDs-dengan-Parasetamol-Memberikan-Efek-Analgesik-yang-Lebih-Baik.aspx pada tanggal 11 Desember 2013 pukul 13:10 WIB.

Anonim. 2013. Rheumatoid Arthritis: Facts And Figures Diakses melalui : http://www.aplar.org/Education/Documents/FINAL_EDC_Fact_Sheet.pd f pada tanggal 20 Oktober 2013 pukul 11.48 WIB.


(3)

55 Baratawidjaja, KG., Rengganis, Iris. 2012. Imunologi Dasar Edisi ke-10. FKUI.

Jakarta.

BPS. 2013. Umur Penduduk. Diakses melalui :

http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/index pada tanggal 11 Desember 2013 pukul 09:25WIB.

Cahyono, J.B.S.B. 2008. Membangun Budaya Keselamatan Pasien dalam Praktek Kedokteran. Kanisius. Jogjakarta.

Darmawan J., Muirden KD, Valkenburg HA, Wigley RD.Br J Rheumatol. 1993. The Epidemiology Of Rheumatoid Arthritis In Indonesia. Br J

Rheumatol. 1993 Jul;32(7):537-40.

Depkes. 2006. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Keputsan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Depkes. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Arhtritis Rematik. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan. Jakarta

Dinkes. 2010. Profil Data Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2010. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Lampung.

Dinkes. 2007. Profil Data Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2007. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Lampung.

Dinkes. 2008. Profil Data Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2008. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Lampung.

Dinkes. 2009. Profil Data Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2009. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Lampung.

Dinkes. 2011. Profil Data Kesehatan Kota Bandar Lampung tahun 2011. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Lampung.


(4)

56 Dinkes. 2011. Profil Data Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2011. Dinas

Kesehatan Provinsi Lampung. Lampung.

Dinkes. 2012. Profil Data Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2012. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Lampung.

Dipiro, Joseph T., Talbert, Robert L.,et al.2008. The seventh edition of the benchmark evidence-based pharmacotherapy. McGraw-Hill Companies Inc. USA.

Harianto., Kurnia, Ridwan., Siregar, Syafrida.2006. Hubungan Antara Kualifikasi Dokter Dengan Kerasionalan Penulisan Resep Obat Oral Kardiovaskuler Pada Pasien Dewasa di Tinjau Dari Sudut Interaksi Obat (Studi Kasus di

Apotex “x” Jakarta Timur).Majalah Ilmu Kefarmasian Vol. III No.2. Agustus 2006. Jakarta.

Helmick, et al.2008. Estimates of the prevalence of arthritis and other rheumatic conditions in the United States. Part I. Di akses melalui : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18163481 pada 29 September 2013 pukul 14:00 WIB.

Horgerzeil, Hans V.1995. Promoting Rational Prescribing : An Internal Perspective.Br J clin Pharmac. Swiss.

Meineke, Ingolf., Türck, Dietrich. 2003. Population Pharmacokinetic Analysis Of Meloxicam In Rheumatoid Arthritis Patients. Br J Clin pharmacol. 2003 January; 55(1): 32-38. United kingdom.

Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC. Jakarta.

Kemenkes. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonsesia (KMK RI) Nomor: 296/MENKES/SK/III/2008 Tentang Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.

Kumar, Pradeep., Banik, Shenhashish. 2013. Pharmacoterapy Optinons In Rheumatoid Arhtritis. Clinnical Medicine Insights: Arthritis and Muschuloskeletal Disorder 2013:6. Libertas Academica Ltd.


(5)

57 Lee, Joyce L., Hayes, Evelyn. R. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses

Keperawatan. EGC. Jakarta.

Lelo, Aznan., Hidayat, D.S., Juli, Sake. 2004. Penggunaan Anti-Inflamasi Non Steroid Yang Rasional Pada Penanggulangan Nyeri Rematik. FK USU. Medan.

Longo, Dan L. MD., Kasper, Dennis L. MD., et al. 2012. Harrison’s Principle of Internal Medicine ed.18 Chapter 231: Rheumatoid Arthritis. McGraw-Hill Companies, Inc. USA.

Nastiti, Fierdini Hapsari. 2011. Pola Peresepan dan Kerasionalan Penggunaan Antimikroba Pada Pasien Balita di Puskesmas Kecamatan Jatinegara (SKRIPSI). UI. Depok.

Nasution, A.R Sumarlyono. 2009. Introduksi Reumatologi Dalam :Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, Idrus, et al. Interna Publishing. Jakarta.

Nasution, Jani. 2011. Pola Aktivitas Pasien Rheumatoid Arthritis di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan (SKRIPSI). USU. Medan.

Pountos, Ippokratis. Georgouli, Theodora. Bird, Howard. Diannoudis, Peter V. 2011. Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs : Prostaglandins, Indications, And Side Effect. International Journal of Interferon, Cytokine and Mediator Research 2011:3. Dove Press Journal.

Pradana, Septian Yudo. 2012. Sensitifitas dan Spesitifitas Kriteria ACR 1987 Dan ACR/EULAR 2010 Pada Penderita Artirits Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang (SKRIPSI). UNDIP. Semarang.

Rheumatoid Arthtritis in the year 2000. WHO.

Sadikin, Zulnida Dj. 2011. Penggunaan Obat yang Rasional. J Indon Med Assoc Volum:61 Nomor:4. Jakarta.


(6)

58 Schneider, Matthias., Krüger, Klaus. 2013 Rheumatoid Arthritis—Early Diagnosis

and Disease Management. Deutsches Ärzteblatt International. Jerman. Simatupang, Abraham. 2012. Pedoman WHO Tentang Penulisan Resep yang Baik

sebagai Penggunaan Obat yang Rasional. FK UKI. Jakarta.

SIGN. 2011. Management of Early Rheumatoid Arhtritis A National Clinical Guideline. SIGN (Scottish Intercollegiate Guidelines Network). Edinburgh.

Sjamsuhidajat, R, et al. 2010. Buku Ajar ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong Edisi 3. EGC. Jakarta.

Suarjana, I Nyoman.2009. Artritis Reumatoid Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, Idrus, et al. Interna Publishing. Jakarta.

Syamsuni, Drs.H, Apt. 2006. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi.EGC. Jakarta.

Symmons, Deborah., Mathers, Colin., Pfleger Bruce. 2006. The Global Burden of Rheumatoid Arthritis In The Year 2000. Diakses melalui : www.who.int/healthinfo/statistics/bod_rheumatoidarthritis p pada 12 November 2013 Pukul 22.00 WIB.

Waranugraha BP, Yoga. Suryana, Putra. Pratomo Bogi. 2010. Hubungan Pola Penggunaan OAINS dengan Gejala Klinis Gastropati pada Pasien Reumatik. Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol. 26, No. 2, Agustus 2010. Surabaya.

WHO. 2002. Promoting Rational Use of Medicines: Core Components. WHO. Geneva.

Yudhowibowo, Ifar Irianto., Satoto, Hari Hendriarto., Sasongko, Himawan. 2011. Obat-Obat Anti Nyeri. Jur Anastesiologi Indonesia Vol III, No 3, Th 2011.


Dokumen yang terkait

PROFIL PERESEPAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKARAYA

10 52 19

PROFIL PERESEPAN OBAT ANTIDIABETES PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKARAYA

4 36 22

Hubungan antara nyeri Reumatoid Artritis dengan kemandirian dalam aktivitas kehidupan sehari-hari pada lansia di Posbindu Karang Mekar wilayah kerja Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan

9 65 127

KESESUAIAN PERESEPAN OBAT PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUALTERHADAP STANDAR PENGOBATAN PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL DI PUSKESMAS PANJANG BANDAR LAMPUNG PERIODE JANUARI-JUNI 2012

2 36 33

POLA PERESEPAN DAN KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN DENGAN HIPERTENSI DI RAWAT JALAN PUSKESMAS SIMPUR PERIODE JANUARI-JUNI 2013 BANDAR LAMPUNG

3 35 64

POLA PERESEPAN OBAT ANTIBIOTIK PADA PASIEN POLIGIGI RSUD KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN Pola Peresepan Obat Antibiotik Pada Pasien Poli Gigi Rsud Kajen Kabupaten P3kalongan Tahun 2013.

0 2 12

PENDAHULUAN Pola Peresepan Obat Antibiotik Pada Pasien Poli Gigi Rsud Kajen Kabupaten P3kalongan Tahun 2013.

0 3 6

POLA PERESEPAN OBAT ANTIBIOTIK PADA PASIEN POLIGIGI RSUD KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN Pola Peresepan Obat Antibiotik Pada Pasien Poli Gigi Rsud Kajen Kabupaten P3kalongan Tahun 2013.

0 3 10

Analisis pelayanan kesehatan bagi peserta ASKES di RSUD Abdoel Moeloek Bandar Lampung studi kasus pasien rawat inap

0 0 3

STUDI BIAYA PERAWATAN PASIEN RAWAT JALAN ARTRITIS REUMATOID YANG MENDAPAT TERAPI METOTREKSAT DI RSUD DR.SOETOMO SURABAYA

0 0 17