POLA PERESEPAN DAN KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN DENGAN HIPERTENSI DI RAWAT JALAN PUSKESMAS SIMPUR PERIODE JANUARI-JUNI 2013 BANDAR LAMPUNG

(1)

POLA PERESEPAN DAN KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN DENGAN HIPERTENSI DI RAWAT

JALAN PUESKESMAS SIMPUR PERIODE JANUARI-JUNI 2013 BANDAR LAMPUNG

Oleh

NOVITA SARI TARIGAN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

ABSTRAK

POLA PERESEPAN DAN KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN DENGAN HIPERTENSI DI RAWAT

JALAN PUSKESMAS SIMPUR PERIODE JANUARI-JUNI 2013 BANDAR LAMPUNG

Oleh

NOVITA SARI TARIGAN

Hipertensi merupakan salah satu penyakit utama di dunia. Hipertensi masih menjadi masalah karena prevalensi yang semakin meningkat, masih banyaknya pasien hipertensi yang belum mendapat pengobatan, dan pengobatan yang tidak adekuat. Hal ini menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi semakin meningkat. Salah satu cara mengatasi hipertensi yaitu dengan terapi farmakologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola peresepan dan kerasionalan penggunaan obat antihipertensi, mengingat penggunaannya cenderung meningkat di masa mendatang.

Penelitian ini mengambil data retrospektif dari resep pasien rawat jalan di Puskesmas Simpur Bandar Lampung selama periode Januari-Juni 2013. Kasus hipertensi selama periode penelitian sebanyak 1319. Jumlah sampel sebanyak 96 resep yang diambil secara acak proporsi.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini: pasien hipertensi sebanyak 67,7% perempuan dan laki-laki sebanyak 32,3%; sebanyak 2,1% usia 26-35 tahun, 17,7% usia 36-45 tahun, 39,6% usia 46-55 tahun, 40,6% usia 56-65 tahun; terapi tunggal sebanyak 88,5% dan lebih banyak dibandingkan terapi kombinasi 11,5%; obat antihipertensi paling banyak digunakan adalah captopril 60,1%; resep antihipertensi sesuai berdasarkan dosis sebanyak 97,92%; resep antihipertensi sesuai berdasarkan frekuensi sebanyak 81,25%; resep antihipertensi dilihat kerasionalannya berdasarkan dosis dan frekuensi pemberian sebanyak 81,25%. Kata kunci : Antihipertensi, kerasionalan, pola penggunaan


(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian... 4

1.3.1. Tujuan Umum ... 4

1.3.2. Tujuan Khusus ... 4

1.4. Manfaat Penelitian... 5

1.5. Kerangka Teori... 6

1.6. Kerangka Konsep ... 8

1.7. Hipotesis ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1. Hipertensi ... 9

2.1.1. Pengertian Hipertensi ... 9

2.1.2. Etiologi Hipertensi ... 10

2.1.3. Klasifikasi Hipertensi ... 11

2.1.4. Patofisiologi Hipertensi ... 12

2.1.5. Tanda dan Gejala Hipertensi ... 14

2.1.6. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi... 15

2.1.7. Komplikasi Hipertensi ... 23

2.1.8. Penatalaksanaan Hipertensi ... 25


(6)

2.3. Pola Peresepan ... 39

III. METODE PENELITIAN... 44

3.1. Desain Penelitian ... 44

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 44

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 45

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 45

3.5. Identifikasi Variabel ... 46

3.6. Definisi Operasional... 47

3.7. Alur Penelitian... 48

3.8. Pengolahan dan Analisis Data ... 48

3.9. Aspek Etik Penelitian ... 49

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 50

4.1. Hasil Penelitian... 50

4.2. Pembahasan ... 53

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 61

5.1. Simpulan... 61

5.1.1. Simpulan Khusus... 61

5.1.2. Simpulan Umum ... 61

5.2. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63


(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. PenatalaksanaanHipertensi ... 6

2. KerangkaKonsep ... 8

3. AlurPenelitian ... 48


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC-VII 2003 ... 11 2. Obat-Obat Antihipertensi Utama ... 37 3. Obat-Obat Antihipertensi Alternatif ... 38 4. Karakteristik Dasar Pasien Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin dan

Usia ... 50 5. Distribusi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Penderita

Hipertensi ... 51 6. Distribusi Jenis Terapi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien

Penderita Hipertensi ... 51 7. Kesesuaian Peresepan Obat Antihipertensi Pada Pasien Penderita

Hipertensi Berdasarkan Dosis Sesuai Standar Depkes 2006a ... 52 8. Kesesuaian Peresepan Obat Antihipertensi Pada Pasien Penderita

Hipertensi Berdasarkan Frekuensi Pemberian Sesuai Standar Depkes

2006a... 52 9. Kerasionalan Peresepan Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi

Berdasarkan Dosis dan Frekuensi Pemberian ... 53 10.Daftar Persediaan Obat Antihipertensi Puksesmas Simpur Periode


(9)

I.PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hipertensi dikenal secara umum sebagai penyakit kardiovaskular. Penyakit ini diperkirakan menyebabkan 4,5% dari beban penyakit secara global dan prevalensinya hampir sama besar di negara berkembang maupun di negara maju (WHO, 2003). Penyakit ini merupakan salah satu faktor risiko utama gangguan jantung. Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat mengakibatkan terjadinya gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular (Depkes, 2006a).

Hipertensi merupakan faktor risiko primer penyakit jantung dan stroke. Pada saat ini hipertensi adalah faktor risiko ketiga terbesar yang menyebabkan kematian dini. Hipertensi menyebabkan 62% penyakit kardiovaskular dan 49% penyakit jantung. Penyakit ini telah membunuh 9,4 juta warga dunia setiap tahunnya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah hipertensi akan terus meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang membesar. Pada 2025 mendatang, diproyeksikan sekitar 29% atau sekitar 1,6 miliar orang di seluruh dunia mengalami hipertensi (Tedjasukmana, 2012).

Presentase penderita hipertensi saat ini paling banyak terdapat di negara berkembang. Data Global Status Report Noncommunicable Disease 2010 dari


(10)

WHO menyebutkan, 40% negara ekonomi berkembang memiliki penderita hipertensi, sedangkan negara maju hanya 35 %. Kawasan Afrika memegang posisi puncak penderita hipertensi sebanyak 46%. Sementara kawasan Amerika sebanyak 35%, 36% terjadi pada orang dewasa menderita hipertensi (Candra, 2013).

Untuk kawasan Asia, penyakit ini telah membunuh 1,5 juta orang setiap tahunnya. Hal ini menandakan satu dari tiga orang menderita tekanan darah tinggi. Menurut Khancit, pada 2011 WHO mencatat ada satu miliar orang terkena hipertensi. Di Indonesia, angka penderita hipertensi mencapai 32% pada 2008 dengan kisaran usia diatas 25 tahun. Jumlah penderita pria mencapai 42,7% , sedangkan 39,2% adalah wanita (Candra, 2013).

Di Indonesia angka kejadian hipertensi berkisar 6-15% dimana masih banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan terutama daerah pedesaan. Sementara itu, berdasarkan data NHANES (National Health and Nutrition Examination Survey) memperlihatkan bahwa risiko hipertensi meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Data NHANES 2005-2008 memperlihatkan kurang lebih 76,4 juta orang berusia ≥20 tahun adalah penderita hipertensi, berarti 1 dari 3 orang dewasa menderita hipertensi (Candra, 2013).

Menurut Data Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, hipertensi termasuk dalam 5 besar penyakit terbanyak. Pada tahun 2011, penderita hipertensi sebanyak 6755 orang dan mengalami peningkatan pada tahun 2012 dengan jumlah penderita sebanyak 20.116 orang (Dinkes, 2011, 2012).


(11)

Oleh karena peningkatan angka kesakitan hipertensi yang tinggi, tindakan penanggulangan hipertensi sudah banyak dilakukan dan tersedia banyak obat untuk mengatasi hipertensi tetapi tata laksana hipertensi masih jauh dari berhasil. Data NHANES 2005-2008 di Amerika Serikat menunjukkan dari semua penderita hipertensi, hanya 76,9% yang ada telah menderita hipertensi; namun hanya 47,8% yang berusaha mencari terapi. Sebanyak 70,9% pasien yang menjalani terapi, 52,2% tidak mencapai kontrol tekanan darah target. Salah satu tindakan penanggulangan hipertensi adalah penggunaan antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah dan mencegah terjadinya komplikasi (Tedjakusuma, 2012).

Pemilihan antihipertensi ditentukan oleh keadaan klinis pasien, derajat hipertensi dan sifat obat antihipertensi tersebut. Faktor yang perlu diperhatikan pada pemberian obat antihipertensi dari segi klinis pasien adalah kegawatan atau bukan kegawatan, usia pasien, derajat hipertensi, insufisiensi ginjal, gangguan fungsi hati dan penyakit penyerta (Depkes, 2006a).

Terdapat beberapa kriteria untuk dapat dikatakan suatu pemberian obat sudah rasional atau tidak. Prinsip dari pemberian obat yang rasional adalah terpenuhinya enam tepat, yaitu tepat pasien, indikasi, dosis, waktu pemberian, dan tepat informasi. Secara singkat pemakaian atau peresepan suatu obat dikatakan tidak rasional apabila kemungkinan untuk memberikan manfaat kecil atau tidak ada sama sekali atau kemungkinan manfaatnya tidak sebanding dengan kemungkinan efek samping atau biayanya (Hapsari, 2011).


(12)

1.2. Rumusan Masalah

Bedasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

“Bagaimana pola peresepan dan kerasionalan obat antihipertensi berdasarkan ketepatan dosis dan frekuensi pemberian obat pada pasien rawat jalan dengan hipertensi di Puskesmas Simpur periode Januari-Juni 2013 Bandar Lampung?”.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pola peresepan dan kerasionalan obat antihipertensi pada pasien rawat jalan dengan hipertensi di Puskesmas Simpur periode Januari-Juni 2013 Bandar Lampung.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui kesesuaian obat antihipertensi pada pasien rawat jalan dengan hipertensi di Puskesmas Simpur periode Januari-Juni 2013 Bandar Lampung berdasarkan ketepatan dosis sesuai standar Depkes 2006a.

2. Untuk mengetahui kesesuaian obat antihipertensi pada pasien rawat jalan dengan hipertensi di Puskesmas Simpur periode Januari-Juni 2013 Bandar Lampung berdasarkan frekuensi penggunaan sesuai standar Depkes 2006a.


(13)

3. Untuk mengetahui kerasionalan obat antihipertensi pada pasien rawat jalan dengan hipertensi di Puskesmas Simpur periode Januari-Juni 2013 Bandar Lampung berdasarkan ketepatan dosis dan frekuensi penggunaan sesuai standar Depkes 2006a.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti, menambah ilmu pengetahuan tentang metode penelitian di bidang farmakologi serta menerapkan ilmu yang didapat.

2. Bagi masyarakat dan instansi terkait, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pada dokter mengenai rasionalisasi penggunaan antihipertensi pada pasien hipertensi rawat jalan di Puskesmas Simpur periode Januari-Juni 2013 Bandar Lampung berdasarkan ketepatan dosis dan frekuensi penggunaan obat sehingga diperoleh pengobatan yang efektif dan aman.


(14)

1.5. Kerangka Teori

Gambar 1. Penatalaksanaan Hipertensi (Sumber dari Pedoman Tata Laksana Kardiovaskuler PERKI).

Hipertensi

Modifikasi Gaya

Kurangi berat badan Aktifitas fisik teratur Hindari minuman beralkohol

Mengurangi asupan garam Berhenti merokok

Tekanan darah normal tidak tercapai <140/90 mmHg, <130/80 pada penyakit diabetes mielitus dan gagal ginjal

Hipertensi tanpa indikasi khusus

Hipertensi dengan indikasi khusus

Hipertensi derajat 1 Umumnya diberikan

gol.tiazid, bisa dipertimbangkan

pemberian beta-bloker, antagonis kalsium, ACE atau

kombinasi.

Hipertensi derajat 2 Terapi Kombinasi.

Obat-Obat Indikasi Khusus.


(15)

Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi farmakologis dan nonfarmakologis, terapi nonfarmakologis harus dilakukan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor risiko serta penyakit penyerta lainnya, misalnya dengan melakukan perubahan gaya hidup dan menghindari faktor-faktor risiko (Nafrialdi, 2009).

Terapi farmakologis dilakukan dengan pemberian obat antihipertensi. Obat antihipertensi yang dianjurkan JNC VII antara lain diuretik terutama tiazid atau antagonis aldosteron, BB (Beta-blocker), CCB (Calcium Canal Blocker), ACEI (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor) dan ARB (Angiotensin Reseptor Blocker). Hipertensi ringan sering diobati dengan obat tunggal, sedangkan hipertensi berat memerlukan beberapa obat untuk meningkatkan efektivitas obat. Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah diuretik dan ACEI atau ARB, CCB dan BB, CCB dan ACEI atau ARB, CCB dan diuretik, AB dan BB (Mycek et al, 2001).


(16)

1.6. Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep.

1.7.Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah peresepan obat pada pasien hipertensi yang menggunakan obat antihipertensi sesuai atas dasar peresepan dan kerasionalan berdasarkan ketepatan dosis dan frekuensi pemberian dengan standar depkes tahun 2006 di Puskesmas Simpur periode Januari-Juni 2013 Bandar Lampung.

Hipertensi Pengobatan Hipertensi (Antihipertensi)

Dosis

Frekuensi


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi

2.1.1. Pengertian Hipertensi

Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi. Batas tekanan darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal atau tidaknya tekanan darah adalah tekanan sistolik dan diastolik. Bedasarkan JNC (Joint National Comitee) VII, seorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih (Chobaniam, 2003).

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps, 2005).


(18)

2.1.2. Etiologi Hipertensi

1. Hipertensi essensial

Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar patologis yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi essensial. Penyebab hipertensi meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas dan lain-lain (Nafrialdi, 2009).

Pada sebagian besar pasien, kenaikan berat badan yang berlebihan dan gaya hidup tampaknya memiliki peran yang utama dalam menyebabkan hipertensi. Kebanyakan pasien hipertensi memiliki berat badan yang berlebih dan penelitian pada berbagai populasi menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang berlebih (obesitas) memberikan risiko 65-70 % untuk terkena hipertensi primer (Guyton, 2008).

2. Hipertensi sekunder

Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan


(19)

hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah (Oparil, 2003).

Hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan dengan beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes dan kelainan sistem saraf pusat (Sunardi, 2000).

2.1.3. Klasifikasi Tekanan Darah

Klasifikasi tekanan darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis (Tabel 1). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal tekanan darah sistolik (TDS) <120 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) <80 mmHg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasikan pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi, dan semua pasien pada kategori ini harus diterapi obat (JNC VII, 2003).

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC-VII 2003

Kategori Tekanan Darah Tekanan Sistolik (mmHg)

Tekanan Diastolik (mmHg)

Normal ≤120 ≤ 80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi stadium 1 140-159 90-99


(20)

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120 mmHg, dikategorikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi (American Diabetes Association, 2003). Pada hipertensi emergensi, tekanan darah meningkat ekstrim disertai dengan kerusakan organ target akut yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera (dalam hitungan menit-jam) untuk mencegah kerusakan organ lebih lanjut. Contoh gangguan organ target akut antara lain, encephalopathy, pendarahan intrakranial, gagal ventrikel kiri akut disertai edema paru, dissecting aortic aneurysm, angina pectoris tidak stabil dan eklampsia atau hipertensi berat selama kehamilan (Depkes 2006a,).

2.1.4. Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang akan merangsang serabut saraf pascaganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norpinefrin mengakibatkan kontriksi pembuluh darah (Brunner, 2002).


(21)

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norpinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Corwin, 2005).

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresikan kortisol dan steroid lainnya yang dapat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal dapat menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukkan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal sehingga menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Brunner, 2002).

Perubahaan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahaan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahaan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang menyebabkan penurunan distensi dan daya regang pembuluh darah. Akibat hal tersebut, aorta dan arteri besar mengalami penurunan kemampuan dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh


(22)

jantung (volume sekuncup) sehingga mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Corwin, 2005).

2.1.5. Tanda dan Gejala Hipertensi

Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat, penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat dapat ditemukan edema pupil (edema pada diskus optikus).

Menurut Price, gejala hipertensi antara lain sakit kepala bagian belakang, kaku kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing, dada berdebar-debar, lemas, sesak nafas, berkeringat dan pusing (Price, 2005).

Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita hipertensi maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal hipertensi yaitu sakit kepala, gelisah, jantung berdebar, perdarahan hidung, sulit tidur, sesak nafas, cepat marah, telinga berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi gangguan penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak) yang mengakibatkan kejang dan pendarahan pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan kesadaran hingga koma (Cahyono, 2008).

Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun adalah nyeri kepala saat terjaga,


(23)

kadang kadang disertai mual dan muntah yang disebabkan peningkatan tekanan darah intrakranial (Corwin, 2005).

2.1.6. Faktor- Faktor Risiko

1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah

Faktor risiko yang tidak dapat dirubah yang antara lain usia, jenis kelamin dan genetik.

a. Usia

Usia mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas usia 65 tahun (Depkes, 2006b).

Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan sistolik. Sedangkan menurut WHO memakai tekanan diastolik sebagai bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya hipertensi. Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur yang disebabkan oleh perubahaan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah sistolik. Penelitian yang dilakukan di 6 kota besar seperti Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar dan Makassar terhadap usia lanjut (55-85 tahun), didapatkan prevalensi hipertensi terbesar 52,5 % (Depkes, 2006b).


(24)

Dalam penelitian Anggraini (2009) diketahui tidak terdapat hubungan bermakna antara usia dengan penderita hipertensi (Anggraini, 2009). Namun penelitian Aisyiyah (2009) diketahui bahwa adanya hubungan nyata positif antara usia dan hipertensi. Dalam penelitian Irza (2009) menyatakan bahwa risiko hipertensi 17 kali lebih tinggi pada subyek > 40 tahun dibandingkan dengan yang berusia ≤ 40 tahun (Irza, 2009).

b. Jenis kelamin

Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih banyak yang menderita hipertensi dibandingkan wanita, dengan rasio sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita (Depkes, 2006b).

Namun, setelah memasuki manopause, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat. Setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih meningkat dibandingkan dengan pria yang diakibatkan faktor hormonal. Penelitian di Indonesia prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita (Depkes, 2006b).

Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) menyebutkan bahwa prevalensi penderita hipertensi di Indonesia lebih besar pada perempuan (8,6%) dibandingkan laki-laki (5,8%). Sedangkan menurut Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (2006), sampai umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding perempuan. Dari umur 55


(25)

sampai 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang menderita hipertensi (Depkes, 2008a).

c. Keturunan (genetik)

Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer (essensial). Tentunya faktor genetik ini juga dipenggaruhi faktor-faktor lingkungan, yang kemudian menyebabkan seorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel. Menurut Davidson bila kedua orang tuanya menderita hipertensi, maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya (Depkes, 2006b).

2. Faktor risiko yang dapat diubah

Faktor risiko penyakit jantung koroner yang diakibatkan perilaku tidak sehat dari penderita hipertensi antara lain merokok, diet rendah serat, kurang aktifitas gerak, berat badan berlebihan/kegemukan, komsumsi alkohol, hiperlipidemia atau hiperkolestrolemia, stress dan komsumsi garam berlebih sangat berhubungan erat dengan hipertensi (Depkes, 2006b).

a. Kegemukan (obesitas)

Kegemukan (obesitas) adalah presentase abnormalitas lemak yang dinyatakan dalam Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan kuadrat dalam meter. Kaitan erat antara


(26)

kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh beberapa studi. Berat badan dan IMT berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight) (Depkes, 2006b). IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa (Zufry, 2010). Menurut Supariasa, penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun (Supriasa, 2001).

Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight) (Depkes, 2006b).

Hipertensi pada seseorang yang kurus atau normal dapat juga disebabkan oleh sistem simpatis dan sistem renin angiotensin (Suhardjono, 2006). Aktivitas dari saraf simpatis adalah mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan retensi air dan garam (Syaifudin, 2006).

b. Psikososial dan stress

Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk mempersepsikan adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya


(27)

(biologis, psikologis dan sosial) yang ada pada diri seseorang (Depkes, 2006b).

Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa takut dan rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahaan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag. Diperkirakan, prevalensi atau kejadian hipertensi pada orang kulit hitam di Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan stress atau rasa tidak puas orang kulit hitam pada nasib mereka (Depkes, 2006b).

c. Merokok

Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses artereosklerosis dan tekanan darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya artereosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri (Depkes, 2006b).


(28)

Menurut Depkes RI Pusat Promkes (2008), telah dibuktikan dalam penelitian bahwa dalam satu batang rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya termasuk 43 senyawa. Bahan utama rokok terdiri dari 3 zat, yaitu 1) Nikotin, merupakan salah satu jenis obat perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah dengan adanya penyempitan pembuluh darah, peningkatan denyut jantung, pengerasan pembuluh darah dan penggumpalan darah. 2) Tar, dapat mengakibatkan kerusakan sel paru-paru dan menyebabkan kanker. 3) Karbon Monoksida (CO) merupakan gas beracun yang dapat menghasilkan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen (Depkes, 2008b).

d. Olahraga

Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa, 2001).

Olahraga dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner melalui mekanisme penurunan denyut jantung, tekanan darah, penurunan tonus simpatis, meningkatkan diameter arteri koroner, sistem kolateralisasi pembuluh darah, meningkatkan HDL (High Density Lipoprotein) dan menurunkan LDL (Low Density Lipoprotein) darah. Melalui kegiatan olahraga, jantung dapat bekerja secara lebih efisien. Frekuensi denyut nadi


(29)

berkurang, namun kekuatan jantung semakin kuat, penurunan kebutuhan oksigen jantung pada intensitas tertentu, penurunan lemak badan dan berat badan serta menurunkan tekanan darah (Cahyono, 2008).

Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Pada orang tertentu dengan melakukan olahraga aerobik yang teratur dapat menurunkan tekanan darah tanpa perlu sampai berat badan turun (Depkes, 2006b).

e. Konsumsi alkohol berlebih

Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan. Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikkan tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol dilaporkan menimbulkan efek terhadap tekanan darah baru terlihat apabila mengkomsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya (Depkes, 2006b).

Di negara barat seperti Amerika, komsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh baya. Akibatnya, kebiasaan meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di usia ini (Depkes, 2006b).


(30)

Komsumsi alkohol seharusnya kurang dari dua kali per hari pada laki-laki untuk pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan dan orang yang memiliki berat badan berlebih, direkomendasikan tidak lebih satu kali minum per hari (Krummel, 2004).

f. Komsumsi garam berlebihan

Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer (essensial) terjadi respon penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam 3 gram atau kurang, ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan rata-rata lebih tinggi (Depkes, 2006b).

Almatsier (2001) dan (2006), natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler. Pengaturan keseimbangan natrium dalam darah diatur oleh ginjal. Sumber utama natrium adalah garam dapur atau NaCl, selain itu garam lainnya bisa dalam bentuk soda kue (NaHCO3), baking powder, natrium benzoate dan vetsin (monosodium glutamate). Kelebihan natrium akan menyebabkan keracunan yang dalam keadaan akut menyebabkan edema dan hipertensi. WHO menganjurkan bahwa komsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih 6 gram/hari setara 110 mmol natrium (Almatsier, 2001, 2006).


(31)

g. Hiperlipidemia/Hiperkolestrolemia

Kelainan metabolisme lipid (lemak) yang ditandai dengan peningkatan kadar kolestrol total, trigliserida, kolestrol LDL atau penurunan kadar kolestrol HDL dalam darah. Kolestrol merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan peninggian tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat.

Penelitian Zakiyah (2006) didapatkan hubungan antara kadar kolestrol darah dengan tekanan darah sistolik dan diastolik (Zakiyah, 2006). Penelitian Sugihartono (2007) diketahui sering mengkomsumsi lemak jenuh mempunyai risiko untuk terserang hipertensi sebesar 7,72 kali dibandingkan orang yang tidak mengkomsumsi lemak jenuh (Sugihartono, 2007).

2.1.7. Komplikasi Hipertensi

Menurut Elisabeth J Corwin komplikasi hipertensi terdiri dari stroke, infark miokard, gagal ginjal, ensefalopati (kerusakan otak) dan pregnancy- included hypertension (PIH) (Corwin, 2005).

1. Stroke

Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam yang berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah.

Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi


(32)

fokal pembuluh darah yang menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi (Hacke, 2003).

Stroke dapat timbul akibat pendarahan tekanan tinggi di otak atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahi berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya anurisma (Corwin, 2005).

2. Infark miokardium

Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerotik tidak dapat mensuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menyumbat aliran darah melalui pembuluh tersebut. Akibat hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga, hipertrofi dapat menimbulkan perubahaan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi distritmia, hipoksia jantung dan peningkatan risiko pembentukan bekuan (Corwin, 2005).

3. Gagal ginjal

Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible dari berbagai penyebab, salah satunya pada bagian


(33)

yang menuju ke kardiovaskular. Mekanisme terjadinya hipertensi pada gagal ginjal kronik oleh karena penimbunan garam dan air atau sistem renin angiotensin aldosteron (RAA) (Chung, 1995).

Menurut Arief mansjoer (2001) hipertensi berisiko 4 kali lebih besar terhadap kejadian gagal ginjal bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami hipertensi (Mansjoer, 2001).

4. Ensefalopati (kerusakan otak)

Ensefalopati (Kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong ke dalam ruang intersitium diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron disekitarnya kolaps yang dapat menyebabkan ketulian, kebutaan dan tak jarang juga koma serta kematian mendadak. Keterikatan antara kerusakan otak dengan hipertensi, bahwa hipertensi berisiko 4 kali terhadap kerusakan otak dibandingkan dengan orang yang tidak menderita hipertensi (Corwin, 2005).

2.1.8. Penatalaksanaan Hipertensi

1. Pengendalian faktor risiko

Pengendalian faktor risiko penyakit jantung koroner yang dapat saling berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi, hanya terbatas pada faktor risiko yang dapat diubah, dengan usaha-usaha sebagai berikut :


(34)

a. Mengatasi obesitas/ menurunkan kelebihan berat badan

Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan sesorang yang badannya normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight). Dengan demikian, obesitas harus dikendalikan dengan menurunkan berat badan (Depkes, 2006b). Beberapa studi menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai kelebihan berat badan lebih dari 20% dan hiperkolestrol mempunyai risiko yang lebih besar terkena hipertensi (Rahajeng, 2009).

b. Mengurangi asupan garam didalam tubuh

Nasehat pengurangan garam harus memperhatikan kebiasaan makan penderita. Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit dirasakan. Batasi sampai dengan kurang dari 5 gram (1 sendok teh) per hari pada saat memasak (Depkes, 2006b).

c. Ciptakan keadaan rileks

Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat mengontrol sistem saraf yang akan menurunkan tekanan darah (Depkes, 2006b).


(35)

d. Melakukan olahraga teratur

Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit sebanyak 3-4 kali dalam seminggu, diharapkan dapat menambah kebugaran dan memperbaiki metabolisme tubuh yang akhirnya mengontrol tekanan darah (Depkes, 2006b).

e. Berhenti merokok

Merokok dapat menambah kekakuan pembuluh darah sehingga dapat memperburuk hipertensi. Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak jaringan endotel pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses arterosklerosis dan peningkatan tekanan darah. Merokok juga dapat meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri. Tidak ada cara yang benar-benar efektif untuk memberhentikan kebiasaan merokok. Beberapa metode yang secara umum dicoba adalah sebagai berikut :

1. Insiatif sendiri

Banyak perokok menghentikan kebiasaannya atas inisiatif sendiri, tidak memakai pertolongan pihak luar, inisiatif sendiri banyak menarik para perokok karena hal-hal berikut :


(36)

Program diselesaikan dengan tingkat dan jadwal sesuai kemauan

Tidak perlu menghadiri rapat-rapat penyuluhan

Tidak memakai ongkos

2. Menggunakan permen yang mengandung nikotin

Kecanduan nikotin membuat perokok sulit meninggalkan merokok. Permen nikotin mengandung nikotin untuk mengurangi penggunaan rokok. Di negara-negara tertentu permen ini diperoleh dengan resep dokter. Ada jangka waktu tertentu untuk menggunakan permen ini. Selama menggunakan permen ini penderita dilarang merokok. Dengan demikian, diharapkan perokok sudah berhenti merokok secara total sesuai jangka waktu yang ditentukan (Depkes, 2006b).

3. Kelompok program

Beberapa orang mendapatkan manfaat dari dukungan kelompok untuk dapat berhenti merokok. Para anggota kelompok dapat saling memberi nasihat dan dukungan. Program yang demikian banyak yang berhasil, tetapi biaya dan waktu yang diperlukan untuk menghadiri rapat-rapat seringkali membuat enggan bergabung (Depkes, 2006b).

f. Mengurangi komsumsi alkohol

Hindari komsumsi alkohol berlebihan

Laki-laki : Tidak lebih dari 2 gelas per hari


(37)

2.2. Terapi Farmakologis

Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara seminimal mungkin menurunkan gangguan terhadap kualitas hidup penderita. Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal, masa kerja yang panjang sekali sehari dan dosis dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat ditambahkan selama beberapa bulan perjalanan terapi. Pemilihan obat atau kombinasi yang cocok bergantung pada keparahan penyakit dan respon penderita terhadap obat antihipertensi. Beberapa prinsip pemberian obat antihipertensi sebagai berikut :

1. Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab hipertensi.

2. Pengobatan hipertensi essensial ditunjukkan untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurang timbulnya komplikasi.

3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat antihipertensi.

4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan pengobatan seumur hidup.

Dikenal 5 kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim digunakan untuk pengobatan awal hipertensi, yaitu diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (β-blocker), penghambat angiotensin-converting enzyme (


(38)

ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin Receptor Blocker, ARB) dan antagonis kalsium.

Pada JNC VII, penyekat reseptor alfa adrenergik (α-blocker) tidak dimasukkan dalam kelompok obat lini pertama. Sedangkan pada JNC sebelumnya termasuk lini pertama.

Selain itu dikenal juga tiga kelompok obat yang dianggap lini kedua yaitu: penghambat saraf adrenergik, agonis α-2 sentral dan vasodilator (Nafrialdi, 2009).

1. Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium. Hal ini terlihat jelas pada diuretik tertentu seperti golongan tiazid yang menunjukkan efek hipotensif pada dosis kecil sebelum timbulnya diuresis yang nyata. Pada pemberian kronik curah jantung akan kembali normal, namun efek hipotensif masih tetap ada. Efek ini diduga akibat penurunan resistensi perifer (Nafrialdi, 2009).

Penelitian-penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi kardiovaskular diuretik belum terkalahkan oleh obat lain sehingga diuretik


(39)

dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan dan sedang. Bahkan bila menggunakan kombinasi dua atau lebih antihipertensi, maka salah satunya dianjurkan diuretik (Nafrialdi, 2009).

a. Golongan Tiazid

Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain yang memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat golongan ini bekerja dengan menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat (Nafrialdi, 2009).

Tiazid seringkali dikombinasikan dengan antihipertensi lain karena: 1) dapat meningkatkan efektivitas antihipertensi lain dengan mekanisme kerja yang berbeda sehingga dosisnya dapat dikurangi, 2) tiazid mencegah resistensi cairan oleh antihipertensi lain sehingga efek obat-obat tersebut dapat bertahan (Nafrialdi, 2009).

b. Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)

Diuretik kuat bekerja di ansa Henle asenden bagian epitel tebal dengan cara menghambat kotransport Na+, K+, Cl-, menghambat resorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid. Oleh karena itu diuretik ini jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal jantung (Nafrialdi, 2009).


(40)

c. Diuretik Hemat Kalium

Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah hipokalemia (Nafrialdi, 2009).

2. Penghambat Adrenergik

a. Penghambat Adrenoreseptor Beta (β-Bloker)

Beta bloker memblok beta-adrenoreseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta-1 dan beta-2. Reseptor beta-1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta-2 banyak ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer dan otot lurik. Reseptor beta-2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta-1 dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak (Nafrialdi, 2009).

Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang akan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta-1 pada nodus sino-atrial dan miocardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan penglepasan renin dan meningkatkan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantai aldosteron dan retensi air (Nafrialdi, 2009).


(41)

b. Penghambat Adrenoresptor Alfa (α-Bloker)

Hanya alfa-bloker yang selektif menghambat reseptor alfa-1 (α 1) yang digunakan sebagai antihipertensi. Alfa-bloker non selektif kurang efektif sebagai antihipertensi karena hambatan reseptor alfa-2 (α 2) di ujung saraf adrenergik akan meningkatkan penglepasan norefineprin dan meningkatkan aktivitas simpatis (Nafrialdi, 2009).

Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan venula sehingga menurunkan resistensi perifer. Di samping itu, venodilatasi menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya menurunkan curah jantung. Venodilatasi ini dapat menyebabkan hipotensi ortostatik terutama pada pemberian dosis awal (fenomena dosis pertama) yang menyebabkan refleks takikardia dan peningkatan aktivitas renin plasma. Pada pemakaian jangka penjang refleks kompensasi ini akan hilang, sedangkan efek antihipertensinya akan bertahan (Nafrialdi, 2009).

3. Vasodilator

Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot pembuluh darah) yang menurunkan resistensi dan karena itu mengurangi tekanan darah. Obat-obat ini menyebabkan stimulasi refleks jantung, menyebabkan gejala berpacu dari kontraksi miokard yang meningkat, nadi dan komsumsi oksigen. Efek tersebut dapat menimbulkan angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung pada orang-orang yang mempunyai predisposisi. Vasodilator juga meningkatkan renin plasma, menyebabkan resistensi natrium dan air. Efek samping yang tidak


(42)

diharapkan ini dapat dihambat oleh penggunaan bersama diuretika dan penyekat-β (Mycek et al, 2001).

Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan vasodilator antara lain hidralazin, minoksidil, diakzoksid dan natrium nitroprusid. Efek samping yang sering terjadi pada pemberian obat ini adalah pusing dan sakit kepala (Depkes, 2006b).

4. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)

Angiotensin converting enzym inhibitor(ACE-Inhibitor) menghambat secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekusor angitensin I yang inaktif, yang terdapat pada pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium (Nafrialdi, 2009).

Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan ACE- Inhibitor antara lain benazepril, captopril, enalapril, fosinopril, lisinoril, moexipril, penindropil, quinapril, ramipril, trandolapril dan tanapres (Benowitz, 2002).

Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACE- Inhibitor. Captopril cepat diabsorbsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian ACE- Inhibitor. Dosis pertama


(43)

ACE-Inhibitor harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi, efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah (Depkes, 2006b).

5. Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Receptor Blocker, ARB)

Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu AT1 (Angiotensin I) dan AT2 (Angiotensin II). Reseptor AT1 terdapat terutama di otot polos pembuluh darah dan otot jantung. Selain itu terdapat juga di ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1 memperantarai semua efek fisiologis ATII terutama yang berperan dalam homeostatis kardiovaskular. Reseptor AT2 terdapat di medula adrenal dan mungkin juga di SSP, hingga saat ini fungsinya belum jelas (Nafrialdi, 2009).

ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah. Pada pasien hipovolemia, dosis ARB perlu diturunkan (Nafrialdi, 2009).

Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan hipertensi rebound. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa darah (Nafrialdi, 2009).


(44)

Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan antagonis reseptor ATII antara lain kandersartan, eprosartan, irbesartan, losartan, olmesartan, telmisartan dan valsartan (Depkes, 2006a).

6. Antagonis Kalsium (Calcium Channel Blocker (CCB)

Antagonis kalsium bekerja dengan menghambat influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung dan sel-sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan kontriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada ion kalsium (Nafrialdi, 2009).

Terdapat tiga kelas CCB : dihdropiridin (nifedipin, amlodipin, veramil dan benzotiazipin (diltiazem)). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan digunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina (Gormer, 2008).

7. Penghambat Simpatis

Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktifitas saraf simpatis (saraf yang bekerja saat kita beraktivitas). Contoh obat yang termasuk dalam golongan penghambat simpatetik adalah metildopa, klonidin dan reserpin. Efek samping yang dijumpai adalah anemia hemolitik (kekurangan sel darah merah karena pecahnya sel darah merah), gangguan fungsi hati dan


(45)

terkadang menyebabkan penyakit hati kronis. Obat ini jarang digunakan (Depkes, 2006b).

Tatalaksana hipertensi dengan obat antihipertensi yang dianjurkan : Tabel 2. Obat-Obat Antihipertensi Utama (Depkes, 2006a).

Kelas Nama Obat Dosis Lazim

(mg/hari)

Frekuensi Pemberian Diuretik

Tiazid Klortalidon 6,25–25 1

Hidroklorotiazid 12,5–50 1

Indapamide 1,25-2,5 1

Metolazone 0,5 1

Loop

Bumetanide 0,5–4 2

Furosemide 20- 80 2

Torsemide 5 1

Penahan kalium

Triamteren 50-100 1

Triamteren 37,5–75 2

HCT 25-50 1

Antagonis aldosteron

Eplerenone 50-100 1-2

Spironolakton 25-50 1

Spironolakton/HCT 25-50/25-50

ACE-Inhibitor

Benazepril 10-40 1-2

Captopril 12,5-150 2-3

Enalapril 5-40 1-2

Fosinopril 10-40 1

Lisinoril 10-40 1

Moexipril 7,5-30 1-2

Perindopril 4-16 1

Quinapril 10-80 1-2

Ramipril 2,5-10 1-2

Trandolapril 1-4

Tanapres Penyekat reseptor

angiotensin

Kandesartan 8-32 1-2

Eprosartan 600-800 1-2

Irbesartan 150-300 1

Losartan 50-100 1-2

Olmesartan 20-40 1

Telmisartan 20-80 1

Valsartan 80-320 1

Penyekat beta (β Bloker) Kardioselaktif


(46)

Betaxolol 5-20 1

Bisoprolol 2,5-10 1

Metoprolol 50-200 1

Non-selektif

Nadolol 40-120 1

Propanolol 160-480 2

Propanolol LA 80-320 1

Timolol Sotalol Aktifitas simpatomimetik

Acebutolol 200-800 2

Carteolol 2,5-10 1

Pentobutolol 10-40 1

Pindolol 10-60 2

Campuran penyekat

α dan β

Karvedilol 12,5-50 2

Labetolol 200-800 2

Antagonis kalsium Dihidropiridin

Amlodipin 2,5-10 1

Felodipin 5-20 1

Isradipin 5-10 2

Isradipin SR 5-20 1

Lekamidipin 60-120 2

Nicardipin SR 30-90 1

Nicardipin LA 10-40 1

Nisoldipin

Non-dihidropiridin

Diltiazem SR 180-360 1

Verapamil SR 1

Tabel 3. Obat-Obat Antihipertensi Alternatif (Depkes, 2006a).

Kelas Nama Obat Dosis Lazim

(mg/hari)

Frekuensi Pemberian

Penyekat α-1 Doxazosin 1-8 1

Prazosin 2-20 2-3

Terazosin 1-20 1-2

Agonis sentral α-2 Klonidin 0,1-0,8 2

Metildopa 250-1000 2

Antagonis Adrenergik Perifer

Reserpin 0,05-0,2,5

Minoxidil 10-40 1-2


(47)

Terapi kombinasi antara lain :

1. Penghambat ACE dengan diuretik

2. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretik 3. Diuretik dan agen penahan kalium

4. Penghambat ACE dengan penghambat kalsium 5. Penghambat reseptor beta dengan diuretik 6. Agonis reseptor α-2 dengan diuretik 7. Penyekat α-1 dengan diuretik

2.3. Pola Peresepan

Resep adalah suatu permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi dan dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk sediaan tertentu dan menyerahkannya kepada pasien. Prinsip dari peresepan rasional adalah adanya elemen-elemen yang essensial untuk penggunaan obat yang efektif, aman dan ekonomis (Joenes, 2001). Pada konferensi para ahli pada penggunaan obat rasional yang diselenggarakan oleh World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa penggunaan obat yang rasional terjadi ketika pasien mendapatkan obat dan dosis yang sesuai dengan kebutuhan klinik pasien dalam periode waktu yang cukup dan dengan harga yang terjangkau untuk pasien dan komunitasnya (Joenes, 2001).


(48)

1. Peresepan Rasional

a. Indikasi yang tepat

Keputusan untuk memberikan resep secara keseluruhan didasarkan oleh alasan medis dan farmakoterapi sebagai alternatif pengobatan yang terbaik. Keputusan ini tidak boleh dipengaruhi oleh alasan nonmedis seperti permintaan pasien, menolong rekan kerja atau menciptakan kredibilitas (Santoso, 1996).

b. Obat yang tepat

Penentuan kesesuaian obat yang diresepkan dengan diagnosa yang ditegakkan sangat ditentukan oleh kemampuan dan pengalaman dokter menaati prinsip-prinsip ilmiah peresepan. Penyeleksian obat secara objektif dapat dibuat berdasarkan efikasi, keamanan, kesesuaian dan biaya. Obat yang dipilih adalah obat dengan profil risikobenefit yang paling baik. Obat yang terseleksi harus dengan mudah tersedia, praktis dibawa, mudah disimpan dan tidak menyusahkan pasien. Pertimbangan biaya obat tidak boleh mengurangi pertimbangan efikasi dan toleransi (Santoso, 1996).

c. Pasien yang tepat

Ketika mengevaluasi kondisi pasien sebelum memulai terapi obat, hal yang penting untuk dipertimbangkan adalah adanya reaksi samping pada pasien meliputi kemungkinan terjadinya efek samping, gangguan fungsi hati atau ginjal dan adanya obat lain yang dapat berinteraksi dengan obat yang diresepkan (Santoso, 1996).


(49)

d. Dosis dan cara penggunaan yang tepat

Pemberian obat secara oral (bentuk sediaan cair, tablet dan puyer) paling dianjurkan untuk anak. Pemberian ini perlu mempertimbangkan kondisi pasien, tingkat penerimaan dan faktor-faktor lain yang akan mempengaruhi masuknya obat secara lengkap ke dalam tubuh.

Dosis yang digunakan hendaknya dimulai dengan dosis efektif minimal yang direkomendasikan. Ada beberapa keadaan yang memungkinkan modifikasi dosis yang dibutuhkan, seperti pada pasien gangguan hati, ginjal dan respon klinis individu pasien berdasarkan respon terapetik dan efek samping. Frekuensi adminstrasi obat bergantung pada berapa lama efek akan bertahan dan riwayat perjalanan penyakit (Santoso, 1996).

e. Informasi yang tepat

Pemberian informasi yang tepat pada pasien merupakan bagian integral dari pola peresepan. Informasi yang disampaikan mencakup cara minum obat, kemungkinan terjadinya efek samping dan penanggulanganya. Informasi hendaknya sederhana, jelas dan mudah dipahami sehingga keberhasilan terapi dapat dicapai (Santoso, 1996).

f. Evaluasi dan tindak lanjut yang tepat

Setiap intervensi pengobatan harus dievaluasi secara tepat. Hal ini membutuhkan perencanaan sejak awal pemberian resep obat. Hal-hal penting yang dijelaskan pada pasien adalah simtomatis primer perbaikan dan waktu


(50)

akan tercapainya serta aksi yang dibutuhkan jika respon terapetik tidak tercapai atau jika efek samping yang tidak diharapkan terjadi (Santoso, 1996).

2. Peresepan Obat Yang Tidak Rasional

Pola peresepan yang menyimpang memiliki andil besar pada pengobatan tidak rasional. Peresepan yang tidak rasional dapat juga dikelompokkan dalam lima bentuk:

a. Peresepan boros (extravagant prescribing)

Peresepan dengan obat-obat yang lebih mahal, padahal ada alternatif obat yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama. Termasuk disini adalah peresepan yang terlalu berorientasi ke pengobatan simptomatik hingga mengurangi alokasi obat yang lebih vital contoh pemakaian obat antidiare yang berlebihan dapat menurunkan alokasi untuk oralit yang notabene lebih vital untuk menurunkan mortalitas (Sastramihardja, 2006).

b. Peresepan berlebihan (over prescribing)

Peresepan yang jumlah, dosis dan lama pemberian obat melebihi ketentuan - serta peresepan obat-obat yang secara medik tidak atau kurang diperlukan (Sastramihardja, 2006).

c. Peresepan yang salah (incorrect prescribing)

Pemakaian obat untuk indikasi yang salah, obat yang tidak tepat, cara pemakaian salah, mengkombinasi dua atau lebih macam obat yang tak bisa dicampurkan secara farmasetik dan terapetik serta pemakaian obat tanpa


(51)

memperhitungkan kondisi penderita secara menyeluruh (Sastramihardja, 2006).

d. Peresepan majemuk (multiple prescribing)

Pemberian dua atau lebih kombinasi obat yang sebenarnya cukup hanya diberikan obat tunggal saja. Termasuk disini adalah pengobatan terhadap semua gejala yang muncul tanpa mengarah ke penyakit utamanya (Sastramihardja, 2006).

e. Peresepan kurang (under prescribing)

Terjadi kalau obat yang diperlukan tidak diresepkan, dosis obat tidak cukup dan lama pemberian obat terlalu pendek waktunya (Sastramihardja, 2006).


(52)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif retrospektif non analitik yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif dengan melihat ke belakang (Notoatmodjo, 2005).

Sumber data penelitian menggunakan data sekunder dengan melihat variabel-variabel penelitian yang tercatat pada rekam medik rawat jalan pasien hipertensi di Puskesmas Simpur Bandar Lampung periode Januari-Juni 2013. Data akan dikelola dengan menggunakan lembar kerja penelitian.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2013 di Puskesmas Simpur Bandar Lampung.


(53)

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian adalah seluruh data resep pasien rawat jalan yang didiagnosa menderita hipertensi di Puskesmas Simpur Bandar Lampung periode Januari-Juni 2013 sebanyak 1319 orang (Dinkes, 2013).

n = Za2PQ P: 0,5 ; Za: 1,96 ; d:0,1

d2

n = (1,96)2 x 0,5 x (1-0,5) = 96 resep (0,1)2

Besar sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan dengan metode proportion random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak, yang dimana diasumsikan populasi yang diambil homogen, jadi setiap anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010).

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria Inklusi

a. Pasien yang didiagnosa menderita hipertensi tanpa penyakit penyerta dan mendapatkan pengobatan antihipertensi serta tercatat pada rekam medik rawat jalan di Puskesmas Simpur Bandar Lampung periode Januari-Juni 2013.


(54)

c. Resep utuh/tidak sobek, masih bisa terbaca.

d. Resep yang ditulis oleh dokter.

2. Kriteria Eksklusi

a. Resep yang hilang.

c. Resep yang sedang digunakan oleh pasien.

c. Resep dengan pasien usia lansia.

d. Resep dengan pasien berulang.

3.5. Identifikasi Varibel

Pada penelitian ini, yang menjadi variabel penelitian adalah antihipertensi, dosis pemberian obat dan frekuensi pemberian obat.


(55)

3.6. Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara

Ukur

Hasil Ukur Skala Hipertensi Hipertensi : Tekanan sistol

≥140 mmHg, tekanan diastol ≥90 mmHg. Data yang tertera di Rekam Medik Puskesmas Simpur selama periode januari-juni 2013 Bandar Lampung.

Rekam Medik Diagnosa Hipertensi Nominal Peresepan obat

Peresepan obat adalah

penulisan resep obat

antihipertensi oleh dokter dengan diagnosa hipertensi tanpa penyakit penyerta di Puskesmas Simpur Kota periode januari-juni 2013 Bandar Lampung.

Resep Jenis Obat Nominal

Dosis Dosis adalah takaran yang diberikan pada pasien yang mendapat terapi, tercantum pada resep yang ditulis oleh

dokter di Puskesmas

Simpur Januari-Juni 2013 Bandar Lampung.

Resep Sesuai (S) : bila dosis penggunaan obat

antihipertensi

sesuai dengan

pedoman yang

diacu.

Tidak Sesuai (TS)

: bila dosis

penggunaan obat antihipertensi

tidak sesuai

dengan pedoman yang diacu.

Ordinal

Frekuensi Penggunaan

Jangka waktu pemberian obat antihipertensi, tercantum pada resep yang ditulis oleh dokter di Puskesmas Simpur Januari-Juni 2013 Bandar

Lampung.

Resep Sesuai (S) : bila frekuensi

penggunaan obat antihipertensi

sesuai dengan

pedoman yang

diacu.

Tidak Sesuai (TS) : bila frekuensi penggunaan obat antihipertensi

tidak sesuai

dengan pedoman yang diacu.


(56)

Standar Peresepan obat yang digunakan adalah standar Depkes RI tahun 2006

Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensiyang dikeluarkan oleh Direktorat

Bina Farmasi Komunitas dan Klinik (Departemen Kesehatan).

3.7. AlurPenelitian

Gambar 3. Alur Penelitian

3.8. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah diperoleh kemudian dikumpulkan dan dilakukan deskripsi terhadap setiap variabel dari data tersebut. Data lalu disusun dan dikelompokkan berdasarkan variabel. Hasil penelitian kemudian disajikan dan dijabarkan dalam bentuk tabel, dan kemudian dilakukan teknik analisa

Periizinan Pengambilan Data

Pengambilan Data

Pengolahan Data Hasil Penelitian

Penulisan Hasil Penelitian Etik Penelitian


(57)

kualitatif melakukan cara induktif yaitu penarikan kesimpulan umum berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan.

3.9. Aspek Etik Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Simpur dengan periode penelitian Oktober-November 2013. Pada penelitian ini menggunakan data sekunder berupa resep. Resep didapatkan dari bagian pengelola obat Puskesmas Simpur melalui izin untuk melakukan penelitian yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung melalui nomor surat 440.1289.09.2013. Data yang berasal dari resep akan dikelola dengan menggunakan lembar kerja penelitian. Penelitian ini telah mendapat Keterangan Lolos Kaji Etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui surat nomor 171/UN26/8/DT/2013.


(58)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Dari Penelitian di bagian rawat jalan Puskesmas Simpur periode Januari-Juni 2013 terhadap 96 data peresepan pasien hipertensi yang mendapat pengobatan antihipertensi, dapat disimpulkan bahwa :

5.1.1. Simpulan Khusus

1. Pola Persesepan di Puskesmas Simpur sudah sesuai sebanyak 97,92 % berdasarkan ketepatan dosis dan frekuensi pemberian sebanyak 81,25%. 2. Bahwa pemberian obat antihipertensi di Puskesmas Simpur ini sudah

rasional sebanyak 81,25% dengan ketentuan yang ada berdasarkan : a. Ketepatan dosis obat antihipertensi di Puskesmas Simpur dan sesuai dengan standar depkes 2006a.

b. Frekuensi pemberian obat antihipertensi di Puskesmas Simpur dan sesuai dengan standar depkes 2006a.

5.1.2. Simpulan Umum

1. Distribusi jenis kelamin pada pasien rawat jalan dengan diagnosa hipertensi pada periode Januari-Juni 2013 terbanyak adalah perempuan 65 pasien (67,7%) dan laki-laki 31 pasien (32,3%).

2. Distribusi usia terbanyak terdapat pada usia 56-65 tahun pada 39 pasien (40,6%).


(59)

3. Distribusi penggunaan obat antihipertensi terbanyak adalah captopril sebanyak 65 resep (60,1%).

4. Distribusi jenis terapi terbanyak adalah terapi tunggal sebanyak 84 resep (88,5%).

5.2. Saran

Saran yang dapat penulis berikan setelah dilakukannya penelitian ini adalah : 1. Bagi peneliti, agar dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman

yang telah didapat dari penelitian ini di masa yang akan datang.

2. Bagi penulis resep, agar lebih memperhatikan penulisan resep yang sesuai panduan dan menerapkan peresepan antihipertensi yang baik dan benar, antara lain meresepkan obat antihipertensi dengan dosis dan frekuensi yang sesuai dengan standar.

3. Bagi peniliti lain, agar dapat mengembangkan penelitian lain yang berhubungan dengan faktor-faktor yang berkaitan dengan ketidakrasionalan peresepan obat dengan lebih memperhatikan atau menggali data, baik data ataupun informasi mengenai pasien yang melakukan kunjungan, supaya hasil penelitian yang didapat lebih akurat. 4. Bagi Dinas Kesehatan Kota, agar dapat meningkatkan kegiatan

pengawasan maupun evaluasi setiap penggunaan obat di Puskesmas secara berkesinambungan.


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Aisyiyah, F.N. 2009. Faktor Risiko Hipertensi pada Empat Kabupaten/Kota dengan Prevalensi Hipertensi Tertinggi di Jawa dan Sumatera. IPB. Bogor.

Almatsier, S. 2006. Penuntun Diet Edisi Baru. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

American Diabetes Association. 2003. Treatment of Hypertension in Adults with Diabetes. Diabetes care 2003.

Anggraini, D.A., Annes, W. Eduward, S., Hendra, A., Sylvia, S.S. 2009. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada pasien yang berobat di poliklinik dewasa puskesamas bangkinang periode januari sampai juni 2008. FK UNRI. Riau.

Ayu, H. 2008. Tinjauan Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Rawat Jalan di Poloklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Selama Tahun 2008. (SKRIPSI). FK UNILA. Lampung.

Benowitz, NL. 2002. Obat-obat Antihipertensi Prof. Dr. H.Azwar Agoes DSFK (ed). Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. EGC. Jakarta.

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta.

Candra, A. 2013. Penderita Hipertensi Terus Meningkat. Dilihat 26 Oktober 2013.http://m.kompasiana.com/health/read/2013/04/05/1404008/Penderita.Hip ertensi.Terus.Meningkat.


(61)

Chung, E.K. 1995. Penuntun Praktis Penyakit cardiovaskular Edisi 3. EGC. Jakarta.

Chobanian, A.V., George, L.B., Hendry, R.B., William, C.C., Lee, A.G., Daniel, W.J., et al. 2003. “Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure”. JAMA.

Corwin, E. 2005. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.

Cushman, W.C., Ford, C.E., Cutler, J.A., Margolis, K.L., Davis, B.R.,Grimm, R.H., et al. 2002. Success and predictors of blood pressure control in diverse North American settings: the antihypertensive and lipid lowering treatment to prevent heart attack trial (ALLHAT).www. ncbi.nlm.gov/pubmed/12461301

Depkes RI. 2006a. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Departemen Kesehatan. Jakarta.

Depkes RI. 2006b. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta.

Depkes RI. 2008a. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia Tahun 2007. Depkes RI. Jakarta.

Depkes RI. 2008b. Panduan Promosi Perilaku Tidak Merokok. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Depkes RI. Jakarta.

De. Vries.T.P.G.M., R.H. Henning, H.V., Hogerzeil, D.A.Fresle. 1994. Reprinted 2000. Guide to Good Prescribing: A Pratical Manual. WHO. Geneva.

Dinkes Kota Bandar Lampung.2011. Data Laporan Tahunan Angka Kesakitan ICDX-2011. Bandar Lampung.

Dinkes Kota Bandar Lampung.2012. Data Laporan Tahunan Angka Kesakitan ICDX-2012. Bandar Lampung.

Dinkes Kota Bandar Lampung.2013. Data Laporan Bulanan Angka Kesakitan ICDX-2013. Bandar Lampung.


(62)

Guyton, A.C., John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC. Jakarta.

Gormer, Beth. 2008. Farmakologi Hipertensi. Diana Lyrawati (terj). http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/11/hypertensionhosppharm.pdf.

Hacke ,W., Kaste, M., Bogousslavky, J. Brainin, M., Gurrging, M., Chamorro, A., et al. 2003. Ischemic Stroke Prophylaxy and Treatment. European Stroke Intiative Recommendations. EISU.

Hapsari, F. 2011. Pola Peresepan dan Kerasionalan Penggunaan Antimikroba pada Pasien Balita di Puskesmas Kecamatan Jatinegara (SKRIPSI). FKUI. Jakarta.

Irza, S. 2009. Analisis Faktor-Faktor Risiko Hipertensi pada Masyarakat Nagari Bungo Tanjung Sumatera Barat. (SKRIPSI). Fakultas Farmasi USU.

Joenes, N.Z. 2001. Prescribendi Resep yang Rasional Edisi 2. Airlangga University Press. Surabaya.

Kuswardhani, T. 2006. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lanjut Usia. FK UNSRI.

Krummel, DA. 2004. Food Nutrition and Diet Theraphy. Medical Nutrition Theraphy in Hypertension. Saunders. USA.

Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. FK UI Media Aesculapius. Jakarta.

Mycek, M.J., Richard, A.H., Pamela, C.C. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Widya Medika. Jakarta.

Nafrialdi. 2009. Antihipertensi. Sulistia Gan Gunawan (ed). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Neal, B., Macmahon,S., Chapman, N. 2000. Effects of ACE inhibitors, calcium antagonists, and other blood-pressure-lowering drugs: result of prospectively designed overviews of randomised trials. Blood Pressure Lowering Treatment Trialists.www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11130523.


(63)

Nierenberg DW, Melmon K. 2000. Introduction to clinical pharmacology In : Carruthers SE, Hoffman BB, Melman KL, Nierenberg DW (eds). Melmon and Morelli’s Clinical Pharmacology. New York : McGraw-Hill Medical.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Widya Medika. Jakarta.

Oparil, S., Zaman, MA., Calhoun, DA. 2003.Pathogenesis of Hypertension, Ann Intern Med 2003.

PERKI. 2003. Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskuler Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia.

Price, S.A., Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit Edisi 6. EGC. Jakarta.

Rahajeng, E., Sulistyowati, T. 2009, Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di Indonesia. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Departemen Kesehatan 2006. Jakarta.

Santoso, B. 1996. Principles of Rational Prescribing. Medical Progress. 23(10); 6-9.

Sastramihardja, H.S. 2006. Buku Pedoman Kuliah Farmakologi Klinik. Jilid 1. Edisi 2. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Bandung.

Sheps, S. 2005. Mayo Clinic, Mengatasi Tekanan Darah Tinggi. Intisari. Jakarta.

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia; dari Sel ke Sistem. Edisi 2. EGC. Jakarta.

Sugihartono, Aris. 2007. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Grade II pada Masyarakat. (TESIS). UNDIP. Semarang.

Suhardjono. 2006. Hipertensi pada Usia Lanjut dalam Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III edisi IV. FK UI. Depok.

Sunardi, Tuti. 2000. Hidangan Sehat untuk Penderita Hipertensi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.


(64)

Supariasa. 2001. Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta.

Susanto. 2010. Cekal (Cegah dan Tangkal) Penyakit Modren. CV. Andi. Yogyakarta.

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. EGC. Jakarta.

Tedjakusuma, P. 2012. Tata Laksana Hipertensi. Departemen Kardiologi, RS Premier Jatinegara dan RS Grha Kedoya. Jakarta.

World Health Organization (WHO)/International Society of Hypertension Statement on Management of Hypertension J Hypertension. 2003. 21: 1983-1992.

WHO. 2010. Medicines: Rational Use of Medicines. http://www.who.int/en/.

WHO-SEARO. 2007. Technical Publication Series. The role of education in the rational use of medicine. New Delhi.

Zakiyah, Dinie.2006. Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan hipertensi dan hiperlipidemia sebagai faktor risiko PJK pekerja di Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta Timur Tahun 2006. (SKRIPSI).FK UI. Jakarta


(1)

3. Distribusi penggunaan obat antihipertensi terbanyak adalah captopril sebanyak 65 resep (60,1%).

4. Distribusi jenis terapi terbanyak adalah terapi tunggal sebanyak 84 resep (88,5%).

5.2. Saran

Saran yang dapat penulis berikan setelah dilakukannya penelitian ini adalah : 1. Bagi peneliti, agar dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman

yang telah didapat dari penelitian ini di masa yang akan datang.

2. Bagi penulis resep, agar lebih memperhatikan penulisan resep yang sesuai panduan dan menerapkan peresepan antihipertensi yang baik dan benar, antara lain meresepkan obat antihipertensi dengan dosis dan frekuensi yang sesuai dengan standar.

3. Bagi peniliti lain, agar dapat mengembangkan penelitian lain yang berhubungan dengan faktor-faktor yang berkaitan dengan ketidakrasionalan peresepan obat dengan lebih memperhatikan atau menggali data, baik data ataupun informasi mengenai pasien yang melakukan kunjungan, supaya hasil penelitian yang didapat lebih akurat. 4. Bagi Dinas Kesehatan Kota, agar dapat meningkatkan kegiatan

pengawasan maupun evaluasi setiap penggunaan obat di Puskesmas secara berkesinambungan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Aisyiyah, F.N. 2009. Faktor Risiko Hipertensi pada Empat Kabupaten/Kota dengan Prevalensi Hipertensi Tertinggi di Jawa dan Sumatera. IPB. Bogor.

Almatsier, S. 2006. Penuntun Diet Edisi Baru. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

American Diabetes Association. 2003. Treatment of Hypertension in Adults with Diabetes. Diabetes care 2003.

Anggraini, D.A., Annes, W. Eduward, S., Hendra, A., Sylvia, S.S. 2009. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada pasien yang berobat di poliklinik dewasa puskesamas bangkinang periode januari sampai juni 2008. FK UNRI. Riau.

Ayu, H. 2008. Tinjauan Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Rawat Jalan di Poloklinik Penyakit Dalam RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Selama Tahun 2008. (SKRIPSI). FK UNILA. Lampung.

Benowitz, NL. 2002. Obat-obat Antihipertensi Prof. Dr. H.Azwar Agoes DSFK (ed). Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. EGC. Jakarta.

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta.

Candra, A. 2013. Penderita Hipertensi Terus Meningkat. Dilihat 26 Oktober 2013.http://m.kompasiana.com/health/read/2013/04/05/1404008/Penderita.Hip ertensi.Terus.Meningkat.


(3)

Chung, E.K. 1995. Penuntun Praktis Penyakit cardiovaskular Edisi 3. EGC. Jakarta.

Chobanian, A.V., George, L.B., Hendry, R.B., William, C.C., Lee, A.G., Daniel, W.J., et al. 2003. “Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure”. JAMA.

Corwin, E. 2005. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.

Cushman, W.C., Ford, C.E., Cutler, J.A., Margolis, K.L., Davis, B.R.,Grimm, R.H., et al. 2002. Success and predictors of blood pressure control in diverse North American settings: the antihypertensive and lipid lowering treatment to prevent heart attack trial (ALLHAT).www. ncbi.nlm.gov/pubmed/12461301

Depkes RI. 2006a. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Departemen Kesehatan. Jakarta.

Depkes RI. 2006b. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta.

Depkes RI. 2008a. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia Tahun 2007. Depkes RI. Jakarta.

Depkes RI. 2008b. Panduan Promosi Perilaku Tidak Merokok. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Depkes RI. Jakarta.

De. Vries.T.P.G.M., R.H. Henning, H.V., Hogerzeil, D.A.Fresle. 1994. Reprinted 2000. Guide to Good Prescribing: A Pratical Manual. WHO. Geneva.

Dinkes Kota Bandar Lampung.2011. Data Laporan Tahunan Angka Kesakitan ICDX-2011. Bandar Lampung.

Dinkes Kota Bandar Lampung.2012. Data Laporan Tahunan Angka Kesakitan ICDX-2012. Bandar Lampung.

Dinkes Kota Bandar Lampung.2013. Data Laporan Bulanan Angka Kesakitan ICDX-2013. Bandar Lampung.


(4)

Guyton, A.C., John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. EGC. Jakarta.

Gormer, Beth. 2008. Farmakologi Hipertensi. Diana Lyrawati (terj). http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/11/hypertensionhosppharm.pdf.

Hacke ,W., Kaste, M., Bogousslavky, J. Brainin, M., Gurrging, M., Chamorro, A., et al. 2003. Ischemic Stroke Prophylaxy and Treatment. European Stroke Intiative Recommendations. EISU.

Hapsari, F. 2011. Pola Peresepan dan Kerasionalan Penggunaan Antimikroba pada Pasien Balita di Puskesmas Kecamatan Jatinegara (SKRIPSI). FKUI. Jakarta.

Irza, S. 2009. Analisis Faktor-Faktor Risiko Hipertensi pada Masyarakat Nagari Bungo Tanjung Sumatera Barat. (SKRIPSI). Fakultas Farmasi USU.

Joenes, N.Z. 2001. Prescribendi Resep yang Rasional Edisi 2. Airlangga University Press. Surabaya.

Kuswardhani, T. 2006. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lanjut Usia. FK UNSRI.

Krummel, DA. 2004. Food Nutrition and Diet Theraphy. Medical Nutrition Theraphy in Hypertension. Saunders. USA.

Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. FK UI Media Aesculapius. Jakarta.

Mycek, M.J., Richard, A.H., Pamela, C.C. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Widya Medika. Jakarta.

Nafrialdi. 2009. Antihipertensi. Sulistia Gan Gunawan (ed). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Neal, B., Macmahon,S., Chapman, N. 2000. Effects of ACE inhibitors, calcium antagonists, and other blood-pressure-lowering drugs: result of prospectively designed overviews of randomised trials. Blood Pressure Lowering Treatment Trialists.www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11130523.


(5)

Nierenberg DW, Melmon K. 2000. Introduction to clinical pharmacology In : Carruthers SE, Hoffman BB, Melman KL, Nierenberg DW (eds). Melmon and

Morelli’s Clinical Pharmacology. New York : McGraw-Hill Medical.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Widya Medika. Jakarta.

Oparil, S., Zaman, MA., Calhoun, DA. 2003. Pathogenesis of Hypertension, Ann Intern Med 2003.

PERKI. 2003. Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskuler Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia.

Price, S.A., Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit Edisi 6. EGC. Jakarta.

Rahajeng, E., Sulistyowati, T. 2009, Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di Indonesia. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Departemen Kesehatan 2006. Jakarta.

Santoso, B. 1996. Principles of Rational Prescribing. Medical Progress. 23(10); 6-9.

Sastramihardja, H.S. 2006. Buku Pedoman Kuliah Farmakologi Klinik. Jilid 1. Edisi 2. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Bandung.

Sheps, S. 2005. Mayo Clinic, Mengatasi Tekanan Darah Tinggi. Intisari. Jakarta.

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia; dari Sel ke Sistem. Edisi 2. EGC. Jakarta.

Sugihartono, Aris. 2007. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Grade II pada Masyarakat. (TESIS). UNDIP. Semarang.

Suhardjono. 2006. Hipertensi pada Usia Lanjut dalam Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III edisi IV. FK UI. Depok.

Sunardi, Tuti. 2000. Hidangan Sehat untuk Penderita Hipertensi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.


(6)

Supariasa. 2001. Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta.

Susanto. 2010. Cekal (Cegah dan Tangkal) Penyakit Modren. CV. Andi. Yogyakarta.

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. EGC. Jakarta.

Tedjakusuma, P. 2012. Tata Laksana Hipertensi. Departemen Kardiologi, RS Premier Jatinegara dan RS Grha Kedoya. Jakarta.

World Health Organization (WHO)/International Society of Hypertension Statement on Management of Hypertension J Hypertension. 2003. 21: 1983-1992.

WHO. 2010. Medicines: Rational Use of Medicines. http://www.who.int/en/.

WHO-SEARO. 2007. Technical Publication Series. The role of education in the rational use of medicine. New Delhi.

Zakiyah, Dinie.2006. Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan hipertensi dan hiperlipidemia sebagai faktor risiko PJK pekerja di Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta Timur Tahun 2006. (SKRIPSI).FK UI. Jakarta


Dokumen yang terkait

Profil Peresepan Obat Pada Pasien Rawat Jalan Jamkesmas Dari Poli Kardiovaskular Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Periode Januari–Maret 2011

3 101 74

KESESUAIAN PERESEPAN PENYAKIT FARINGITIS AKUT TERHADAP STANDAR PENGOBATAN PENYAKIT FARINGITIS AKUT DI PUSKESMAS RAWAT INAP SIMPUR BANDAR LAMPUNG PERIODE JANUARI ̶ DESEMBER 2013

15 72 60

TINGKAT KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT JALAN Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Di Instalasi Rawat Jalan Rsud Dr. Moewardi Pada Tahun 2014.

0 6 12

TINGKAT KEPATUHAN PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT JALAN Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Di Instalasi Rawat Jalan Rsud Dr. Moewardi Pada Tahun 2014.

3 9 11

EVALUASI KEPATUHAN PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT JALAN DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA.

0 2 16

Kajian interaksi obat pada peresepan pasien rawat jalan diabetes melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta periode Januari-Juni 2016.

0 1 41

Kajian interaksi obat pada peresepan pasien Hipertensi Geriatri di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta Periode Januari-Juni 2016.

0 12 56

Evaluasi DTPs penggunaan antihipertensi pada pasien hipertensi dengan diabetes melitus di instalasi rawat inap RSUD Tugurejo Semarang periode Januari 2015-Agustus 2016.

0 0 54

Kajian interaksi obat pada peresepan pasien Hipertensi Geriatri di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta Periode Januari Juni 2016

0 0 54

Pola Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Hipertensi Rawat Inap di RSUD Kotabaru Se Bulan Januari 2005 Sampai dengan Agustus 2006 - Ubaya Repository

0 0 1