20
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kota Blora
Berdasarkan etimologi, Blora berasal dari kata
lorah
, masyarakat setempat sering menyebut
Bloten
atau
Blora.
Informasi lain menyatakan, bahkan kata Blora berasal dari kata
wai
bahasa KawiJawa Kuno dan
Lorah
bahasa Jawa. Kata
wai
berarti air, sedangkan kata
lorah
berarti jurang. Dengan pengertian itu, maka nama Blora berarti tanah dataran rendah yang berair atau tanah berlumpur.
Kabupaten Blora terletak sekitar 127 km dari Kota Semarang, ibukota Propinsi Jawa Tengah. Blora terletak di wilayah paling ujung bernama
Kabupaten Rembang di sisi timur Propinsi Jawa Tengah. Kabupaten Blora meliputi: sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Kabupaten
Pati, Propinsi Jawa Tengah, sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro, Propinsi Jawa Timur. Sementara itu sebelah selatan
berbatasan dengan Kabupaten Ngawi, Propinsi Jawa Timur, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Grobogan, Propinsi Jawa Tengah. Kabupaten Blora
diapit oleh jajaran Pegunungan Kendeng Utara dan Pegunungan Kendeng Selatan. Kabupaten Blora terbagi menjadi 16 kecamatan, yaitu: Jati, Randublatung,
Kradenan, Kedungtuban, Cepu, Sambong, Jiken, Bogorejo, Jepon, Blora, Banjarejo, Tunjungan, Japah, Ngawen, Kunduran dan Todanan Sri, 2007: 33, 34,
36 dan 37.
21
Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan
karena Blora terkenal dengan hutan jatinya. Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura
tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA. Adapun Bupati pertamanya
adalah WILATIKTA. Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke
19 dan awal abad ke 20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu. Pada tahun 1882
pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah petani. Di daerah-daerah lain di Jawa, kenaikan pajak telah
menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali perlawanan
terhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh SAMIN SURASENTIKO. Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung
mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal. Beberapa indikator penyebab adanya pemberontakan
untuk menentang kolonial penjajah antara lain: Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora Perubahan pola pemakaian tanah komunal
pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan
22
protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunyai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidak adilan dan mengharapkan zaman emas
yang makmur Soedarsono, 2007: 33, 34, 36-37.
B. Demografi