81
2. Tujuan Undang-Undang Yayasan
Tujuan hukum dalam suatu negara didasar- kan pada nilai -nilai filosofi tertentu yang dianut
karena dianggap baik dan dicita-citakan terwujud melalui berbagai kegiatan penyelenggaraan nega-
ra, salah satu di antaranya tercermin dalam ketentuan hukum. Nilai filosofi tersebut dikonk-
retkan melalui keseluruhan sistem hukum, tertulis dan tak tertulis. Dengan demikian, tiap
sistem hukum memiliki tujuan hukumnya sendiri yang berbeda dari sistem hukum yang lain.
Penganut aliran yuridis dogmatis atau legal positivism misalnya memosisikan nilai kepastian
hukum sebagai nilai ideal, yang hendak diwujud- kan dalam segala peraturan hukum. Hukumnya
sendiri didominasi oleh hukum per-UU-an. Yang terpenting bagi penganut aliran ini adalah adanya
jaminan kepastian hukum dalam masyarakat, tidak peduli apakah itu adil atau tidak, berman-
faat atau tidak. Bagi penganut aliran utilitarianisme
50
, lain lagi. Tujuan hukum bagi aliran ini adalah terwu-
judnya kemanfaatan dan kebahagiaan sebesar- besarnya bagi sebanyak mungkin warga masya-
rakat.
50
Achmad Ali, Op. cit, hal. 272.
82 Hal yang lain lagi, dapat dilihat pada sistem
hukum Timur, salah satunya Jepang
51
. Bagi bangsa Jepang, tujuan hukum bukanlah keadil-
an, kemanfaatan, atau kepastian, melainkan hanyalah “chian hanji” justice of the peace atau
keadilan dari perdamaian. Dengan terciptanya
perdamaian, maka dengan sendirinya keadilan terwujud.
Sistem hukum di Indonesia adalah kombinasi atau campuran dari banyak sistem mixed
system
52
. Tujuan hukumnya adalah kombinasi dari banyak nilai yang juga terdapat dalam
banyak sistem hukum. Hal ini diketahui melalui prinsip-prinsip dan asas-asas hukum di Indone-
sia yang tidak hanya berasaskan keadilan dan kepastian hukum atau kemanfaatan semata-mata
seperti pernah dianut dalam sistem hukum Barat klasik dengan teori etis, teori utilitaris, dan teori
legalistiknya
53
.
51
Achmad Ali, Ibid., hal. 214
52
Achmad Ali menggolongkan sistem hukum atas lima sistem, yaitu: 1. Civil law, yang berlaku di Benua Eropa dan negara-negara
mantan jajahannya; 2. Common Law yang berlaku di Inggris , Amerika
Serikat, dan
negara-negara berbahasa
Inggris Commowealht; 3. Costomory Law yang berlaku di beberapa
negara Afrika, Cina, dan India; 4. Muslim Law yang berlaku di negara-negara Muslim, terutama di Timur Tengah; dan 5. Mixed
System, salah satunya di Indonesia yang didalamnya berlaku sistem hukum perundang-undangan, hukum adat, dan hukum
Islam. Achmad Ali, Ibid hal. 203
53
Achmad Ali Ibid, hal. 213
83 Kombinasi tujuan hukum seperti itu sesuai
dengan ajaran Gustav Radbruch
54
, yang oleh para ahli hukum modern diakui dan diterima.
Ajaran ini dilatari oleh kekuatiran Radbruch atas ajaran hukum murni Hans Kelsen dengan
Grundnorm-nya dan rasa traumanya atas keke- jian Nazi yang memobilisasi tata hukum positif
untuk melegalkan genosida ras Yahudi
55
. Untuk mencegah berlanjutnya keadaan itu, Radbruch
menggagas kembali nilai keadilan sebagai mah- kota tata hukum. Esensi hukum menurutnya
haruslah terarah pada rechtsidee yaitu keadilan. Dengan mengikuti ajaran Aristotles, Radbruch
menggambarkan keadilan yang hendak diwujud- kan itu dengan pernyataan ‘yang sama diperlaku-
kan sama, dan yang tidak sama diperlakukan tidak sama’.
Dalam pandangan Radbruch
56
ada tiga unsur hukum yang dimaknai sebagai tujuan hukum,
yaitu keadilan, finalitas kemanfaatan, dan ke- pastian legalitas. Dikataknnya, bahwa:
54
Achmad Ali Ibid, hal 288-298
55
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta
Publishing, Yogyakarta, Cet. III., April 2010, hal. 128-129
56
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Ibid., hal. 130
84 “Aspek keadilan menunjuk kesamaan hak
di depan hukum. Aspek finalitas menunjuk pada tujuan keadilan, yaitu mamajukan
kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum. Sedangkan aspek
kepastian menunjuk pada adanya jaminan bahwa hukum yang berisi keadilan dan
norma-norma yang menunjukan kebaikan benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang
ditaati. Dapat dikatakan, dua aspek yang di- sebut pertama merupakan kerangka ideal dari
hukum. Sedangkan aspek ketiga kepastian merupakan kerangka operasional hukum
” Pada awalnya, Radbruch meyakini bahwa
ketiga unsur tersebut merupakan tujuan hukum yang dapat diwujudkan secara bersama-sama da-
lam berbagai masalah hukum. Namun, pandang- an ini dikoreksinya sendiri. Berdasarkan kenya-
taan yang sering dialami, ia sadar bahwa hal tersebut mustahil diwujudkan secara seimbang.
Dalam sistem hukum apa pun ketiga unsur nilai tersebut cenderung berbenturan. Benturan yang
muncul kerap terjadi antara keadilan dan finalitas kemanfaatan atau antara finalitas dan
legalitas. Hal ini sering tampak ketika seorang hakim memutuskan hukuman bagi seorang
terdakwa. Menurut keadilan formal yang difahami dan diyakini hakim, putusan yang diambil adalah
adil, namun putusan itu justru tidak memberi bermanfaat bagi masyarakat umum. Sebaliknya,
ketika putusan
dinilai bermanfaat
kepada
85 masyarakat, kenyataannya justru menggerogoti
keadilan bagi individu. Untuk mengatasi benturan, Radbruch mem-
berikan solusi berupa penerapan hukum dalam dua model, yaitu penerapan hukum dengan
model prioritas baku atau prioritas kasuistik. Prioritas baku, yaitu ditentukannya pilihan
prioritas manakala terjadi benturan antara keadilan dan finalitas atau kepastian dalam
mengadili masalah hukum. Dalam prioritas baku ini aspek keadilan merupakan prioritas utama,
sedangkan aspek finalitas dan legalitas merupa- kan prioritas berikutnya.
Seiring dengan makin kompleksnya perkem- bangan masyarakat, pendekatan prioritas baku
ternyata kerap tidak memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Oleh karena itu, Radbruch
menawarkan model
kedua, yaitu
Prioritas kasuistik. Penyelesaian masalah hukum dalam
model ini dilakukan dengan pendekatan kasus per kasus. Untuk kasus-kasus tertentu mungkin
aspek kemanfaatan dijadikan prioritas utama sementara aspek keadilan dan kepastian hukum
menjadi prioritas berikutnya. Untuk kasus lain mungkin lebih memerlukan aspek keadilan ke-
timbang kemanfaatan dan kepastian hukum, ma- ka prioritasnya diletakkan pada aspek keadilan
86 disusul kemanfaatan, baru kepastian, demikian
seterusnya. Jalan pikiran terakhir, nampaknya lebih dapat
diterima. Sebab dalam kenyataannya sistem hu- kum memang beragam. Hukum pun memiliki ba-
nyak bidang, dan setiap bidang memiliki tujuan masing-masing secara spesifik. Hukum pidana
dan hukum privat memiliki tujuannya masing- masing. Demikian pula hukum formal dan hu-
kum materil memiliki tujuan yang spresifik. Tampaknya spesifikasi seperti itulah yang
dimaksudkan oleh Friedman dengan istilah alokasi nilai-nilai dalam hukum. Sesuai dengan
kasus yang dihadapi perlu dialokasikan nilai apa yang tepat dan mendatangkan kebaikan bagi
masyarakat. Peter Mahmud menyebutnya “damai sejahtera”.
57
Kedamaian atau damai sejahtera itu
57
Dalam hal ini hukum ditempatkan sebagai bagian yang terintegrasi dengan kenyataan hidup bersama manusia dalam
masyarakat. Dalam keadaan nyata, manusia selalu memiliki perbedaan dalam banyak hal, tak terkecuali kebutuhan dan cita-
cita hidupnya. Perbedaan-perbedaan itu dikelola secara harmonis seperti dalam sebuah paduan suara. Dengan begitu setiap orang
dalam kehidupan bersama berkesempatan mengekspresikan diri dan memenuhi kebutuhannya secara optimal dalam suasana
harmonis dengan sesamanya. Hal-hal inilah yang diatur dan dilindungi oleh hukum, bukan untuk mewujudkan ketertiban
tetapi keadaan damai sejahtera. Sebab ketertiban bolehjadi ada penindasan, kesenjangan, dan pengekangan perbedaan pendapat,
sedangkan dalam keadaan damai sejahtera hal itu dikelola untuk mencapai kualitas kehidupan. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar
Ilmu Hukum, Kencana, Cet ke-4 Agustus 2012, hal. 128-136
87 nampaknya melebihi nilai keadilan, kemanfaatan,
atau kepastian hukum semata. Dalam damai sejahtera itu terkandung keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian hukum. Peter Mahmud menyata- kan bahwa dalam masyarakat yang damai sejah-
tera, memang terdapat kelimpahan, tetapi yang kuat tidak menindas yang lemah sehingga setiap
orang mendapatkan haknya melalui perlindungan hukum.
Berdasarkan pemahaman tersebut tampak bahwa penggunaan ajaran Radbruch dalam
mengalisis tujuan hukum di Indonesia, khusus- nya dalam penerapan UUY, dan lebih khusus lagi
tentang eksekusi ketentuan peralihan UUY ter- hadap yayasan tampaknya sesuai dengan cita-
cita hukum nasional dalam arti bahwa urutan prioritas dimaksud tidak bersifat kaku seperti
teknik atau ilmu pasti. Dengan kata lain, pene- rapan urutan prioritas yang digagas Radbruch
harus selalu ditempatkan dalam bentuk harmoni- sasi antara ketiganya. Bahwa prioritas pertama
diletakkan pada aspek keadilan tidak berarti aspek kemanfaatan dan kepastian ditinggalkan
sama sekali. Aspek kemanfaatan dan kepastian hukum
tetap harus diupayakan secara harmonis dengan keadilan guna mewujudkan keadaan damai
sejahtera sebagaimana
dikemukakan Peter
88 Mahmud. Sikap ini bertitik tolak pada pendirian
bahwa tujuan hukum pada akhirnya bukanlah pencapaian keadilan semata-mata, tetapi pengu-
payaan perwujudan kedamaian, kebahagiaan, dan kesejahteraan dalam kehidupan bersama.
Hal inilah yang menurut penulis sesuai dengan norma dasar atau norma fundamental negara
yang dicita-citakankan oleh masyarakat Indone- sia sebagaimana tercermin dalam Pancasila.
Pandangan tersebut
tampaknya sejalan
dengan gagasan Notohamidjojo
58
tentang mema- nusiakan manusia dalam penyelenggaraan nega-
ra. Menurutnya, dalam menyelenggarakan negara berdasarkan Pancasila, negara memiliki tang-
gungjawab untuk memosisikan manusia sebagai objek, subyek, dan relasi. Sebagai objek, manusia
merupakan sebuah sosok yang secara fisik dapat dilihat, dapat dicandra, dan dapat didetermina-
sikan dan diatur. Sebagai subyek, manusia itu adalah “aku” yang hidup di dunia nyata. Oleh
sebab itu ia tidak hanya ditentukan, melainkan
juga menentukan, memilih dan menentukan pilihan secara bebas karena ia bukan mesin
tetapi pribadi yang tidak dapat dideterminasikan. Menurut Notohamidjojo, keadaan tersebut be-
lum cukup. Manusia Indonesia juga merupakan
58
Tri Budiono editor, O. Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Cet. I, November 2011, hal 55-62.
89 sesuatu yang berada dalam relasi dengan kenya-
taan, yaitu berada dalam relasi dengan sesama manusia dan alam. Dengan demikian, manusia
Indonesia itu bukanlah manusia dalam kebebas- an saja, melainkan kebebasan dan keterikatan
atau kebebasan dalam tanggung jawab. Inilah alasan mengapa negara membuat hukum, UU,
mengadili pelanggaran, mengawasi ketaatan indi- vidu terhadap hukum, dan mengambil tindakan
untuk melayani kesejahteraan umum atau inisi- atif sendiri yang bebas.
Dalam kaitannya dengan UUY, tujuan hukum di atas merupakan acuan yang menjiwai penga-
turan yayasan. Materi pengaturan dan pelaksa- naannya diwarnai oleh cita hukum nasional
dengan pendekatan ajaran Radbruch. dpa yang hendak diwujudkan, merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari tujuan hukum nasional, yaitu yang mendatangkan damai sejahtera sehingga
manusia dalam yayasan merasa diri benar-benar dimanusiakan. Anggapan ini bertitik tolak dari
prinsip bahwa ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUY memenuhi paling sedikit tiga syarat
berikut: a.
Yayasan yang ada di Indonesia dipahami sebagai lembaga yang tumbuh berdasarkan
kondisi nyata masyarakat Indonesia.
90 b.
Ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUY mampu
menjawab kebutuhan
yayasan berdasarkan kondisi nyata masayrakat.
c. Bekerjanya hukum melalui UUY tidak semata-
mata didasarkan pada sifat UUY sebagai hukum positif yang harus diterapkan, tetapi
karena UUY menjamin terciptanya keadaan damai sejahtera bagi yayasan.
Apabila tiga syarat di atas terpenuhi dapat dipastikan bahwa ketaatan yayasan terahadap
UUY tidak lagi didasarkan pada rasa takut pada sanksi, melainkan didasarkan pada kesadaran
adanya nilai keadilan, kemanfaatan dan kepas- tian hukum yang mendatangkan keadaan damai
sejahtera itu dalam melaksanakan dan mengem- bangkan kegiatan yayasan. Apa dan bagaimana
keadaan yang sesungguhnya dapat dicermati melalui uraian berikut.
3. Konsistensi Tujuan Hukum Dalam UU Yayasan