Yayasan Menurut Ahli Hukum

29

A. Konsep Yayasan

Istilah yayasan dan kegiatannya sudah lama dikenal dan dilaksanakan di berbagai tempat, terma- suk di Indonesia. Umumnya dipahami bahwa yaya- san adalah sebuah lembaga atau organisasi yang didirikan untuk melaksanakan misi sosial, keagama- an, dan kemanusiaan. Kendati demikian, bagaimana ketiga misi itu dipahami dan dipraktekkan, cende- rung beragam sesuai dengan penafsiran masing- masing penyelenggara yayasan. Hal ini terjadi kare- na sebelum adanya UUY, ketentuan tentang kebera- daan yayasan belum diatur dalam ketentuan khu- sus. Untuk mendapat gambaran tentang apa dan bagaimana yayasan dipahami, berikut ini akan dike- mukakan konsep yayasan sebagaimana diajarkan oleh ahli hukum, pandangan masyarakat secara umum, dan konsep yang dianut oleh UUY.

1. Yayasan Menurut Ahli Hukum

Tidak dapat dipungkiri bahwa para ahli hukum umumnya memahami yayasan sebagai salah satu bentuk badan hukum rechtspersoon di samping badan hukum lain yang diakui dalam pergaulan hukum. Ia digolongan sebagai badan hukum karena secara konseptual dan empirik ada unsur-unsur yang dimiliki badan hukum yang juga terdapat pada yayasan. Untuk mema- 30 hami hal tersebut, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat mengenai badan hukum. L.J. Van Apeldoorn 2 , merumuskan badan hukum purusa hukum dalam dua pengertian, yaitu: 1. Tiap-tiap persekutuan manusia, yang ber- tindak dalam pergaulan hukum seolah-olah ia suatu “purusa” yang tunggal; 2. Tiap-tiap harta dengan tujuan yang tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya, dalam pergaul- an hukum diperlakukan seolah-olah ia suatu purusa yayasan. ” Dari batasan di atas tampak bahwa badan hukum bukanlah manusia dalam arti individu atau perseorangan. Badan hukum dapat berupa persekutuan atau perkumpulan atau organisasi manusia, dan dapat pula berupa harta yang terpisah dari harta siapa pun, sehingga disebut tidak ada yang mempunyainya, namun memiliki tujuan tertentu. Pandangan ini agakya sama dengan pandangan J.J. Dormeier dalam Chidir Ali 3 , yang menyatakan bahwa: “Istilah badan hukum dapat diartikan dua, yaitu: a. Persekutuan orang-orang yang di dalam pergaulan hukum bertindak selaku 2 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. ke-32, tahun 2008, hal 193-194 3 Chidir Ali, Badan Hukum, Penerbit Alumni Bandung, Cet. ke-4 2001,hal. 21 31 seorang saja; b. Yayasan, yaitu suatu harta atau kekayaan, yang dipergunakan untuk su- atu maksud yang tertentu dan diperlakukan sebagai oknum. ” Chidir Ali 4 sendiri, berpendapat bahwa titik tolak dalam menentukan badan hukum adalah jawaban atas pertanyaan apa itu subyek hukum. Dalam hal ini, adalah manusia dan segala sesu- atu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan ma- syarakat dan oleh hukum diakui sebagai pendu- kung hak dan kewajiban. Menurutnya, hal ter- akhir itulah yang disebut badan hukum. Selan- jutnya, jawaban atas pertanyaan siapa badan hukum itu, maka titik tolaknya adalah siapa subyek hukum menurut hukum pisitip, yaitu manusia dan badan hukum. Jadi, siapa badan hukum itu, akan sangat tergantung pada hukum positip setiap negara. Untuk memerjelas pengertian pokok itu Chidir 5 , mengutip pandangan ahli lain seperti Meijers yang menyatakan, badan hukum meliputi sesuatu yang menjadi pendukung hak dan kewajiban; Logeman 6 , yang menyatakan, badan hukum suatu personifikasi personificatie, yaitu sesuatu perwujudan bestendingheid atau penjel- 4 Chidir Ali, Ibid, hal. 18 dan 21 5 Chidir Ali, Ibid, hal. 18 6 Chidir Ali, Ibid, hal. 18 32 maan hak-kewajiban. Hukum organisasi, tegas Logemann, menentukan struktur intern dari per- sonifikasi tersebut; atau E. Utrecht 7 yang me- nyatakan: “badan hukum rechtspersoon yaitu badan yang menurut hukum berkuasa berwenang menjadi pendukung hak. Selanjutnya dijelas- kan bahwa badan hukum ialah setiap pendu- kung hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia. ” Selain pandangan di atas, masih ada pan- dangan lain tentang pengertian badan hukum, namun karena varian dari pandangan di atas, maka tidak disebutkan di sini. Kesimpulan Chidir Ali, bahwa badan hukum merupakan gejala kemasyarakatan, gejala nyata, benar-benar ada dalam pergaulan hukum, sekalipun tidak berwu- jud manusia atau berbentuk benda nyata lainnya seperti besi atau kayu bisa diterima. Yang paling penting dalam pergaulan hukum, simpul Chidir Ali, ialah bahwa badan hukum itu memunyai kekayaan vermogen yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu apabila badan hukum itu berbentuk korporasi. Dari pengertian di atas tampak bahwa badan hukum dapat memiliki banyak bentuk. Ia dapat merupakan persekutuan individu yang menyatu- 7 Chidir Ali, Ibid, hal 18 33 kan diri dalam satu persekutuan, dapat berben- tuk organisasi seolah-olah satu individu atau persoon person, tetapi bukan atau tidak sama dengan manusia. Hal ini dapat dilihat pada badan hukum seperti perseroan terbatas yakni badan hukum yang memiliki anggota dan memi- liki hak-kewajiban sendiri yang terpisah dari hak- kewajiban masing-masing anggota. Oleh karena itu, ia merupakan personifikasi atau perwujudan dari hak dan kewajiban, yang memiliki kewe- nangan hukum untuk melakukan hubungan- hubungan hukum. Badan hukum juga dapat berupa harta yang memiliki tujuan tertentu tetapi tanpa ada seorang pun individu yang memilikinya tetapi diperlaku- kan seolah-olah ia suatu purusa seperti halnya manusia. Bentuk yang terakhir ini mirip dengan pendapat R. Ali Rido 8 yang menyatakan bahwa : “Sering terjadi dalam suatu organisasi yang bersifat hukum publik sebagai negara atau bahwa seorang manusia memisahkan suatu harta kekayaan tertentu untuk memperjuang- kan suatu tujuan tertentu. Dalam hal ini yang pertama dinamakan Lembaga Umum instelling dan yang kedua adalah yayasan. Dengan demikian, kita menemukan keok- numan rechtspersoonlijkheid tidak hanya 8 R. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Pen. Alumni Bandung, Cet. ke-3, 2012, hal. 3 34 pada suatu korporasi, tetapi juga pada ins- telling dan pada yayasan.” Dalam pergaulan hukum, status atau kedu- dukan hukum atau kewenangan hukum badan hukum itu, entah berupa persekutuan manusia maupun harta kekayaan yang dipisahkan, tidak timbul dengan sendirinya, melainkan karena diberikan oleh hukum. Hal ini, sejalan dengan pendapat Van Apedoorn 9 , bahwa kewenangan hukum persoonlijkheid ialah kecakapan untuk menjadi pendukung subyek hukum. Kewenang- an ini merupakan suatu sifat yang diberikan oleh hukum obyektif dan hanya boleh dimiliki oleh mereka yang diberikan oleh hukum. Pandangan Apeldoorn itu memberi petunjuk bahwa tidak setiap persekutuan atau harta yang dipisahkan untuk tujuan tertentu dapat disebut badan hukum. Ia dapat disebut badan hukum apabila diakui oleh hukum, dan agar diakui oleh hukum, sudah barang tentu ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh persekutuan manusia tersebut atau harta kekayaan yang dipisahkan itu sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan hukum positip. Pertanyaan yang muncul ialah mengapa manusia perlu mengadakan persekutuan? Atas 9 L.J. Van Apeldoorn, Op.cit, hal. 191 35 pertanyaan ini, R. Ali Rido 10 berpendapat bahwa “manusia mempunyai kepentingan perseorangan individueel, sehingga untuk melindunginya perlu hak. Di samping itu, dalam kenyataannya manu- sia mempunyai kepentingan bersama. Kepenting- an bersama atau suatu tujuan tertentu diperju- angkan bersama dengan cara mereka berkumpul dan menyatukan diri, lalu membentuk organisasi serta memilih pengurus yang mewakili mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mengum- pulkan harta kekayaan, menetapkan peraturan- peraturan bertingkah laku bagi mereka dalam hubungan satu dengan lainnya. Hal ini dilakukan karena dalam setiap hal mustahil mereka laku- kan secara bersama-sama. Pendapat Ali Rido itu disetujui Chidir Ali 11 dengan menyatakan: “Hukum memberikan kemungkinan bahwa suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang, yang merupakan pembawa hak, suatu subyek hukum dan karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang biasa, dan begitu pula dapat dipertangung- gugatkan. Sudah barang tentu badan hukum ini bertindaknya harus dengan perantaraan orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya sendiri me- 10 R. Ali Rido, Op.cit, hal. 2 11 Chidir Ali, Op.cit. hal. 20 36 lainkan untuk dan atas pertanggung-gugat badan hukum.” Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, da- pat dikatakan bahwa badan hukum memiliki ciri- ciri: ia merupakan perkumpulan orang atau or- ganisasi, memiliki harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya atau harta kekayaan yang dipisahkan itu sendiri, memiliki tujuan tertentu, dapat melakukan perbuatan- perbuatan hukum dalam hubungan-hubungan hukum, memiliki pengurus, memunyai hak dan kewajiban, dapat digugat dan menggugat di de- pan pengadilan, dan merupakan gejala nyata da- lam pergaulan hukum. Sekalipun badan hukum berupa persekutuan dan harta yayasan terkesan sama, namun di antara dua golongan badan hukum itu terdapat perbedaan. Menurut Rido Ali: “Pada yayasan dan Lembaga Umum ins- telling dipisahkan suatu kekayaan tertentu, diadakan suatu organisasi dengan tujuan tertentu yang memunyai kekayaan tersendiri yang terpisah, yaitu harta yang diberi tujuan yang dipisahkan oleh seorang manusia dalam hal yayasan dan oleh negara dalam hal Lem- baga Umum. Agar organisasi itu dapat men- capai tujuannya, diadakan untuk itu suatu pengurus...” Dikaitkan dengan teori-teori yang mencari dasar hukum dari badan hukum, tampak bahwa 37 para ahli tidak memiliki kesepakatan pandangan terhadap perwujudan berbagai bentuk badan hukum. Chidir Ali 12 menggolongkan teori-teori yang ada dalam dua golongan besar, yaitu golongan yang meniadakan persoalan badan hukum, dan lainnya adalah golongan yang memertahankan persoalan badan hukum. Yang termasuk golongan pertama antara lain adalah teori organ yang dipelopori oleh Otto Von Gierke dan teori kekayaan bersama oleh Rudolf Von Jhering, sedangkan teori lainnya antara lain teori fiksi oleh Friedrich Carl Von Savigny, teori kekayaan bertujuan oleh A. Brinz, dan teori kenyataan yuridis oleh E.M. Meijers dan dianut oleh Paul Scholten. Penganut teori fiksi 13 misalnya menyatakan bahwa hanyalah manusia yang memunyai kehendak, sedangkan badan hukum tidak. Lagi pula badan hukum itu hanyalah suatu abstraksi, fiksi, hanya merupakan buatan pemerintah atau negara, bukan sesuatu yang konret. Oleh karena itu, badan hukum tidak mungkin menjadi subyek dari hubungan hukum. 12 Chidir Ali, Ibid. hal. 30 13 Chidir Ali, Ibid., hal. 31-32; R. Ali Rido, Op.cit, hal. 7-8. 38 Yang searah dengan itu adalah teori kekaya- an bertujuan. 14 oleh A. Brinz. Menurut teori ini yang dapat menjadi subyek hukum hanya manusia. Badan hukum bukan subyek hukum. Hak-hak yang diberikan kepada suatu badan hukum pada hakekatnya adalah hak-hak yang tidak memiliki subyek hukum. Kekayaan badan hukum menurut teori ini bukanlah hak-hak sebagaimana lazimnya, yaitu adanya manusia sebagai pendukung hak, melainkan kekayaan tersebut telepas dari manusia pemegangnya dan diurus untuk tujuan tertentu. Pandangan yang sebaliknya mengakui badan hukum sebagai subyek hukum. Prinsip pandang- an ini ialah bahwa manusia bukanlah satu- satunya subyek hukum, pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Selain manusia, ada sub- yek hukum lain, yang juga merupakan pendu- kung hak-hak dan kewajiban-kewajiban, yaitu apa yang disebut badan hukum. Gierke misalnya menjelaskan, badan hukum itu bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi sebu- ah realita yang memiliki sifat yang sama dengan alam manusia dalam pergaulan hukum. Melalui alat-alat atau organnya seperti pengurus atau anggotanya, badan hukum memiliki kehendak 14 . R. Ali Ridho, Ibid., hal. 8. 39 atau kemauan yang dibentuk oleh dan melalui alat-alat atau organ tersebut. Badan hukum menurut teori ini bukanlah suatu kekayaan atau hak yang tidak bersubyek, tetapi nyata ada. Lagi pula, persoalan badan hukum bukanlah soal nyata tidak nyata seperti manusia dalam kualitasnya sebagai subyek hukum. Kualitas subyek hukum pada manusia dan badan hukum sama-sama tidak dapat ditangkap dengan panca indera, dan bertindak- nya bukan pula dalam kesatuan wujud orang atau badan hukum, tetapi melalui organ dari orang atau badan hukum tersebut. Mirip dengan teori organ, teori kekayaan bersama yang menyatakan bahwa badan hukum adalah kumpulan manusia. Kepetingan badan hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya. Badan hukum menurut teori ini, bukanlah abstraksi dan bukan organisme. Hak dan kewa- jiban badan hukum menurut teori ini adalah hak dan kewajiban anggotanya bersama-sama, tang- gung jawab bersama. Mereka berhimpun dalam satu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang disebut badan hukum. Jadi, badan hukum dipandang sebagai konstruksi yuridis. Selain teori-teori di atas, masih banyak teori lain seperti teori Leer Van Het Ambtelijk Vermogen Teori tentang harta kekayaan yang dimiliki 40 Seseorang dalam Jabatan, teori Leon Duguit, dan tentu masih banyak yang lain. Teori-teori tersebut tampaknya tak perlu dibahas, sebab selain merupakan varian dari teori yang sudah dikemukakan, tidak seluruhnya cocok diterapkan pada badan hukum, termasuk yayasan. Contoh- nya adalah teori kekayaan bersama. Bila dicer- mati, tampak bahwa teori tersebut hanya cocok untuk badan hukum yang memunyai anggota, tetapi tidak cocok bagi yayasan. Teori yang cocok bagi yayasan adalah teori kekayaan bertujuan karena tidak memunyai anggota dan teori harta kekayaan seseorang dalam jabatan Leer van het ambtelijk vermogen. 15 Pertanyaannya ialah apa yang dimaksud dengan yayasan dan mengapa ia disebut badan hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dikemukakan pandangan beberapa ahli hukum. Para sarjana hukum Belanda 16 misalnya berpen- dapat, bahwa: 15 Menurut teori ini, harta kekayaan yang dimiliki seseorang dalam jabatannya adalah suatu hak yang melekat pada suatu kualitas. Bagi teori ini, tidak mungkin memunyai hak jika tidak dapat melakukan hal itu. Tanpa daya kehendak wilsvermogen tidak ada kedudukan sebagai subyek hukum. Ini konsekuensi luas dari teori yang menitik beratkan pada daya kehendak. Untuk badan hukum yang berkehendak adalah pengurus. Dalam kualitas sebagai pengurus mereka adalah berhak, maka dari itu disebut ambtelijk vermogen. Chidir Ali, Op.cit., hal. 33. 16 Chidir Ali, Ibid. hal 86 41 Stichting yayasan adalah suatu badan hukum yang berbeda dengan badan hukum perkumpulan atau perseroan terbatas, tidak memunyai anggota atau persero, oleh karena apa yang Stichting dianggap badan hukum adalah sejumlah kekayaan berupa uang dan lain-lain benda kekayaan. Dari pandangan di atas diketahui bahwa yang disebut yayasan adalah harta kekayaan, baik berupa uang maupun bentuk lain. Ia mirip dengan perkumpulan, tetapi tidak sama dengan perkumpulan atau perseroan sebagaimana diatur dalam hukum positip, karena harta kekayaan tersebut tidak memunyai anggota. Memerjelas pandangan di atas, perlu ditinjau pandangan Paul Scholten 17 yang menyatakan: Yayasan adalah suatu badan hukum yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak. Pernyataan tersebut harus berisikan pemi- sahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan tertentu, dengan menunjukkan cara kekaya- an itu diurus dan digunakan. Dengan rumusan itu, tampak bahwa keka- yaan yang disebut badan itu lahir dari pernya- taan sepihak. Tentu saja pernyataan dimaksud adalah tertulis dan istilah pihak menunjuk pada pendiri. Isi pernyataan, tidak lain adalah pernya- taan tentang pemisahan kekayaan dari kekayaan 17 Chidir Ali, Ibid, hal. 86. 42 pendiri. Secara tegas pula disebutkan pemisahan kekayaan tersebut dan pengurusannya adalah semata-mata untuk mencapai tujuannya. N.H. Bregstein 18 menambahkan bahwa: Yayasan adalah suatu badan hukum yang didirikan dengan suatu perbuatan hukum, yang tidak bertujuan untuk membagikan kekayaan danatau penghasilan kepada pen- diri atau pengurusnya di dalam yayasan itu atau kepada orang-orang lain, kecuali untuk tujuan idiil. Pandangan Bregstein rupanya memerjelas tujuan kekayaan yang dipisahkan tersebut beser- ta penghasilan yang diperoleh darinya bukanlah untuk kepentingan pendiri. Oleh sebab itu tidak patut dibagikan kepada pendiri, pengurus, atau siapa pun jika bukan bertujuan idiil. W.L.G Lemaire 19 kemudian menambahkan: Yayasan diciptakan dengan suatu perbu- atan hukum, yakni pemisahan suatu harta kekayaan untuk tujuan yang tidak diharap- kan keuntungan altrustische doel serta penyusunan suatu organisasi berikut peng- urus, dengan mana sungguh-sungguh dapat terwujud tujuannya dengan alat-alat itu. Dari Lemaire diketahui pemisahan kekayaan tersebut bukan bertujuan mencari keuntungan. 18 Chidir Ali, Ibid, hal. 86. 19 Chidir Ali, Ibid, hal. 86. 43 Oleh karena itu diperlukan suatu organisasi dan pengurus sebagai alat organisasi, alat yayasan, untuk mencapai tujuannya. Lebih lanjut Meijers 20 menyatakan bahwa pada yayasan pokoknya terdapat : Penetapan tujuan dan organisasi oleh para pendirinya; tidak ada organisasi anggotanya; tidak ada hak bagi pengurusnya untuk meng- adakan perubahan yang berakibat jauh da- lam tujuan dan organisasi; perwujudan dari suatu tujuan, terutama dengan modal yang diperuntukkan untuk itu. Pendapat Meijers ini menekankan pentingnya tujuan yayasan di mana pengurus hanya boleh bertindak untuk mengupayakan pencapaian tujuan itu. Pengurus tidak boleh melakukan perubahan yang sifatnya mengubah atau menga- kibatkan perubahan pada tujuan yayasan, teru- tama mengenai modal atau kekayaan yang diper- untukkan untuk tujuan tersebut. Menegaskan apa yang dikemukakan Mijers di atas, A. Pitlo 21 memberi uraian sebagai berikut: Sebagaimana hanya untuk tiap-tiap perbuat- an hukum, maka untuk pendirian yayasan harus ada sebagai dasar suatu kemauan yang sah. Pertama-tama harus ada maksud untuk mendirikan suatu yayasan, selanjut- 20 Chidir Ali, Ibid, hal. 86 21 Chidir Ali, Ibid, hal. 87 44 nya perbuatan hukum itu harus memenuhi tiga syarat materiil, yakni adanya pemisahan kekayaan, tujuan, dan organisasi, dan satu syarat formal, yakni surat. Yayasan adalah suatu badan hukum tanpa diperlukan campur tangan penguasa pemerintah. Dari uraian itu, tampak bahwa aspek yang ditekankan A. Pitlo adalah kemauan yang sah. Kemauan sah ini tampaknya menunjuk pada suatu keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupan masyarakat. Hal ini harus sesuai dengan nilai-nilai yang diterima masyarakat dan dan diakui oleh hukum positip. Jika itu terpenuhi, maka syarat materil dan formal perlu dipenuhi guna memenuhi prosedur hukum. Dengan terpenuhinya semua aspek itu maka pemerintah tidak perlu turut campur dalam kelembagaan dan kegiatan yayasan. Secara lebih lengkap, Van Apeldoorn menje- laskan demikian: Yayasan stichting adalah harta yang memu- nyai tujuan yang tertenyu, tetapi dengan tia- da yang empunya. Juga suatu kenyataan, bahwa dalam pergaulan hukum ia diperla- kukan seolah-olah suatu purusa. Contohnya, orang menghibahkan, menjual, mewariskan barang-barang pada suatu rumah yatim piatu, rumah sakit, gereja. Konstruksi yuridis dari peristiwa itu adalah harta dengan tujuan tertentu, tetapi tidak dapat ditunjuk suatu subyek, sehingga dalam pergaulan hukum 45 diperlakukan seolah-olah ia adalah subyek hukum. Berdaarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yayasan memiliki beberapa unsur, yaitu: a. Terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri; b. Memiliki tujuan tertentu yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat dan sah secara hukum; c. Tidak mencari keuntungan; d. Memiliki organisasi; e. Kegiatan yang dilakukan melulu untuk mewu- judkan tujuan yayasan; f. Memiliki alat perlengkapan organisasi, yaitu pengurus; g. Didirikan secara sepihak tanpa ada campur tangan penguasa atau pemerintah; h. Didirikan dengan memenuhi syarat materiil dan syarat formal, surat pernyataan; i. Kedudukannya dalam hukum dipersamakan dengan manusia sebagai subyek hukum. Berdasarkan jalan pikiran di atas, dapat disimpulakan bahwa konsep yayasan memiliki kesamaan dengan konsep badan hukum yang lain tetapi dengan bentuk, tujuan, dan cara peng- organisasiannya berbeda. Utamanya mengenai tujuan pendirian, kedudukan kekayaan, dan ke- dudukan pendirinya. Bagi yayasan, aspek tujuan 46 adalah yang pokok. Aspek inilah yang menjadi faktor pengikat dan pemilik hak atas kekayaan badan hukum, sementara pendiri dan pengurus hanyalah alat organsiasi yang bertindak untuk dan atas nama yayasan guna mewujudkan tujuan yayasan. Dari uraian itu pula diketahui bahwa yayasan dalam pandangan para ahli hukum sudah merupakan badan hukum. Status ini melekat pada diri yayasan atau harta yang dipisahkan itu untuk mencapai tujuan peruntukannya. Dengan kata lain, status badan hukum yayasan diperoleh tidak didasarkan pada prosedur khusus, tetapi pada terpenuhinya unsur kekayaan yang dipi- sahkan untuk tujuan tertentu yang secara organisastoris diurus oleh pengurus untuk mencapai tujuan tertentu tersebut.

2. Yayasan Menurut Pemahaman Masyarakat.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Normativitas Hukum Internasional dalam Praktik Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI T2 322014017 BAB II

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggelapan Pajak oleh Notaris/PPAT Ditinjau dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi T2 322013035 BAB II

0 1 41

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mahkamah Konstitusi sebagai Policy Maker Menggantikan Pembentuk Undang-Undang T2 2013014 BAB III

0 1 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mahkamah Konstitusi sebagai Policy Maker Menggantikan Pembentuk Undang-Undang T2 322013014 BAB I

0 1 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mahkamah Konstitusi sebagai Policy Maker Menggantikan Pembentuk Undang-Undang T2 322013014 BAB II

22 114 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mahkamah Konstitusi sebagai Policy Maker Menggantikan Pembentuk Undang-Undang T2 322013014 BAB IV

0 1 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksekutabilitas Ketentuan Peralihan Undang-Undang Yayasan

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksekutabilitas Ketentuan Peralihan Undang-Undang Yayasan T2 322011001 BAB I

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksekutabilitas Ketentuan Peralihan Undang-Undang Yayasan T2 322011001 BAB IV

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Negara Hukum Pancasila (Analisis terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pra dan Pasca Amandemen) T2 322010004 BAB II

0 6 99