0.80 Pengaruh Motivasi Belajar Terhadap Hasil

ambang ekstrem POT Peak over Threshold dan nilai hujan ekstrem pada bulan yang bersangkutan di Bandung ini, secara umum memiliki pola yang serupa dengan nilai ambang bawah normal dan nilai ambang atas normal curah hujan. Berdasar observasi permukaan dalam rentang Januari 1901 sampai Desember 2010, bulan Agustus merupakan bulan dengan frekuensi kejadian ekstrem hujan yang paling banyak 4 kali kejadian ekstrem hujan, sedang bulan Oktober merupakan dengan frekuensi kejadian ekstrem hujan yang paling sedikit 0 kali kejadian ekstrem hujan, sebagaimana disajikan dalam Gambar 4. Sedang berdasar observasi satelit TRMM dalam rentang Januari 1998 sampai Desember 2010, terlihat bahwa kejadian ekstrem hujan di Bandung ini hanya terjadi pada bulan-bulan Januari, Februari, April, Mei, Agustus dan September, masing-masing hanya terjadi satu kali ekstrem hujan. Pada bulan-bulan lainnya Maret, Juni, Juli, Oktober, Nopember dan Desember tidak terjadi ekstrem hujan. Faktor pasti dan utama penyebab kejadian ekstrem hujan di Bandung belum dapat diungkap secara detil dan pasti pada tahap penelitian kali ini. Faktor dugaan penyebab kejadian ekstrem hujan di Bandung adalah munculnya fenomena-fenomena global Indian Ocean Dipole Negatif, La Niña dan monsun Asia yang secara serempak ataupun berbeda fase yang relatif kecil. Mungkin pula satu fenomena global saja ataupun gabungan dua fenomena global Indian Ocean Dipole Negatif atau La Niña atau monsun Asia muncul dengan intensitas ataupun kekuatan yang besar diduga dapat pula menyebabkan terjadinya ekstrem hujan di Bandung ini. Dari Gambar 9 dan Gambar 10 secara umum dapat diungkapkan bahwa baik secara bulanan maupun secara total, curah hujan di Bandung yang diamati oleh satelit TRMM maupun dari observasi permukaan oleh BMKG memiliki keterkaitan yang erat, dengan nilai koefisien korelasi bulanan tertinggi r = 0,90 terjadi untuk Juni dan r = 0,92 untuk bulan September, dan korelasi bulanan terrendah r = - 0,14 terjadi untuk bulan Januari. Nilai koefisien korelasi bulanan rata-rata juga masih baik, yaitu pada nilai r = 0,70, sebagaimana disajikan dalam Gambar 10. Sedang nilai korelasi secara total curah hujan di Bandung, antara observasi permukaan BMKG dan satelit TRMM memiliki nilai r yang sangat baik, yaitu r = 0,97. Hal ini mengindikasikan bahwa data hujan yang teramati dari satelit TRMM ini dapat digunakan untuk mensubstitusi data hujan di daerah-daerah terpencil di Bandung dan sekitarnya yang tidak memiliki alat penakar curah hujan rain gauge. Dalam kaitannya dengan kejadian El-Ni ñ o dan La-Ni ñ a di wilayah Ni ñ o 3.4 5°LU-5°LS, 120°BB-170°BB yang dinyatakan dalam bentuk indek yang dikenal sebagai data indek oseanik Ni ñ o The Oceanic Nino Index, ONI, diperoleh gambaran bahwa berbasis pada observasi in-situ permukaan, pada saat normal tidak ada kejadian El-Niño dan La-Niña yang bersesuaian dengan perioda Desember, Januari dan Februari DJF 2003-2004, rata-rata hujan bulanan di wilayah Bandung 6,53 °LS; 107,36 °BT adalah 196,67 mm. Nilai normal DJF 2003-2004 ini lebih kecil dibandingkan saat ada kejadian La-Niña kuat pada perioda DJF 1999-2000 212,37 mm, saat ada kejadian El-Niño kuat pada perioda DJF 2009-2010 393,83 mm, maupun pada nilai rata-rata klimatologis DJF 1981-2010 231,86 mm. Sedang hasil yang berbasis observasi satelit TRMM menunjukkan bahwa, pada saat normal tidak ada kejadian El-Niño dan La-Niña yang bersesuaian dengan perioda Desember, Januari dan Februari DJF 2003-2004, rata-rata hujan bulanan di wilayah Bandung adalah sebesar 231,17 mm. Nilai normal DJF 2003-2004 ini lebih besar dibandingkan saat ada kejadian La-Niña kuat pada perioda DJF 1999-2000 107,00 mm, tetapi lebih kecil bila dibandingkan saat ada kejadian El-Niño kuat pada perioda DJF 2009-2010 461,03 mm, maupun pada nilai rata-rata “klimatologis TRMM” perioda DJF 1998-2010 246,24 mm. Hal ini mengindikasikan bahwa fenomena El-Niño dan La- Niña memberikan dampak yang berkebalikan terhadap akumulasi hujan di Bandung dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Sebagaimana diketahui, secara umum fenomena La- Niña memberikan dampak terjadinya akumulasi hujan yang lebih besar terhadap keadaan normalnya di sebagian besar wilayah Indonesia, dan sebaliknya fenomena El-Niño memberikan dampak terjadinya akumulasi hujan yang lebih kecil terhadap keadaan normalnya di sebagian besar wilayah Indonesia. KESIMPULAN Pola hujan utama di Bandung 6,53 °LS; 107,36 °BT yang berbasis observasi permukaan BMKG dalam rentang pengamatan sentential 1901-2010, maupun dalam rentang-rentang klimatologis 1901-1930, 1911-1940, 1921-1950, 1931-1960, 1941-1970, 1951-1980, 1961-1990, 1971-2000 dan 1981-2010 menunjukkan sebagai pola hujan equatorial, namun untuk rentang pengamatan yang lebih pendek 13 tahun, yaitu 1998-2010 menunjukkan adanya pola yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi pergeseran perubahan nilai akumulasi puncak hujan terutama yang terjadi pada bulan- bulan Februari, Maret, April di wilayah Bandung ini pada rentang 1998-2010. Baik dalam rentang yang lamapanjang sentential 1901-2010 yang berbasis observasi permukaan BMKG, maupun dalam rentang yang sengkatpendek 1998-2010 yang berbasis satelit TRMM, curah hujan di Bandung 6,53 °LS; 107,36 °BT secara linier menunjukkan kecenderungan naik. Baik secara bulanan maupun secara total, curah hujan di Bandung yang diamati oleh satelit TRMM maupun dari observasi permukaan oleh BMKG memiliki keterkaitan yang erat, dengan nilai koefisien korelasi bulanan tertinggi r = 0,90 terjadi untuk Juni dan r = 0,92 untuk bulan September, bahkan korelasi totalnya memiliki nilai yang sangat baik, yaitu r = 0,97. Dalam kaitannya dengan kejadian El-Ni ñ o dan ISSN :2407-2281 F 38 La-Ni ñ a di wilayah Ni ñ o 3.4 5°LU-5°LS, 120°BB- 170°BB yang dinyatakan dalam bentuk indek yang dikenal sebagai data indek oseanik Ni ñ o The Oceanic Nino Index, ONI, diperoleh gambaran bahwa fenomena El-Niño dan La-Niña memberikan dampak yang berkebalikan terhadap akumulasi hujan di Bandung dibandingkan dengan wilayah- wilayah lain di Indonesia. UCAPAN TERIMA KASIH Diucapkan terimakasih kepada Ir. Halimurrahman, M.T. Selaku Integrator I dan Dr.Didi Satiadi Selaku Integrator II atas masukan, saran dan diskusi yang konstruktif dalam penelitian ini. Terimakasih juga disampaikan kepada Dra. Juniarti Visa atas bantuan pengolahan awal data curah hujan observasi permukaan. Penelitian ini merupakan bagian dari Program Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang ada di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Tahun anggaran 2014 dengan Peneliti Utama : Drs. Arief Suryantoro, M.Si. DAFTAR PUSTAKA Aldrian, E. and R.D. Susanto 2003, Identification of Three Dominant Rainfall Regions within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature, Int. Jour. of Clim., 23, 1435-1452. BMKG 2014, Prakiraan Musim Hujan 2014 - 2015 Di Indonesia, dari http:www.bmkg.go.idBMKG_PusatInformasi_Iklim Prakiraan_IklimPrakiraan_Musim.bmkg. Akses 6 Oktober 2014. Fowler, H.J. and Kilsby, C.G., 2003, A Regional Frequency Analysis of United Kingdom Extreme Rainfall from 1961 to 2000, International Journal of Climatology, 11, 1313-1334. Jan Null, CCM 2014, El Niño and La Niña Years and Intensities Based on Oceanic Niño Index ONI, dari : http:ggweather.comensooni.htm. Akses 14 Mei 2014. Prawirowardoyo, S. 1996, Mengenal Awan dan Hidrometeor, dari Meteorologi, Penerbit ITB, Bandung, 167-179. Smith, E.A., K.S. Kuo, A.V. Mehta, and S. Yang, 2008, Variability of Indian Summer Monsoon Rainfall, dalam 3 rd International TRMM Conference, 4-8 February 2008, Las Vegas, N.V. Suryantoro, A., Halimurrahman dan T. Harjana 2008, Variasi Spasiotemporal Curah Hujan Indonesia Berbasis Observasi Satelit TRMM, Prosiding Workshop Aplikasi Sains Atmosfer, LAPAN Bandung, 175-186. TCC-JMA, 2014, Global Average Surface Temperature, dari : http:ds.data.jma.go.jptcctccproductsgwptempann_ wld.html. Akses 15 Oktober 2014 Tjasyono, B.H.K. 2004, Unsur Cuaca dann Iklim, dari : Klimatologi, Penerbit ITB, Bandung, 11-38. ISSN :2407-2281 F 39 KONTROL PID UNTUK KONTROL SUDUT SUDU TURBIN SCREW Dwi Oktavianto Wahyu Nugr oho 1 , Djoko Pur wanto 2 , Dedet Candr a Riawan 3 1,2,3 Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Email: dwi.oktavianto.wahyu.n.11mhs.ee.its.ac.id 1 , djokoee.its.ac.id 2 , dedetee.its.ac.id 3 Abstr ak Pada proses pembangkitan energi listrik, terdapat dua komponen penting yang sangat berperan dalam mengkonversi sebuah energi kinetik menjadi energi listrik, yakni turbin dan alternator. Turbin berperan mengkonversi energi kinetik air menjadi energi putar, sedangkan alternator mengkonversi energi putar yang dihasilkan oleh turbin tadi menjadi energi listrik. Pada pembangkit listrik mikrohidro, terdapat bermacam jenis turbin yang dikembangkan, salah satunya turbin jenis screw ulirArchymedes turbin. Turbin jenis ini banyak digunakan karena kemudahan dalam desain dan penempatan. Namun sama halnya dengan turbin yang lain, selama ini sudut sudu turbin ini dirancang dengan sudut yang tetap untuk asumsi tekanan aliran air yang didapatkan oleh turbin tetap. Namun pada kenyataannya pola tekanan aliran air tidaklah selalu tetap, oleh sebab itu perlu direncanakan sebuah turbin yang mempunyai sudut sudu yang tidak tetap berkisar antara 29o hingga 60o agar dapat menyesuaika n dengan perubahan tekanan yang terjadi. Proses pengadaptasian diri dilakukan dengan mencari sudut yang optimal pada saat terjadi perubahan tekanan. Tujuan dari pengadaptasian ini adalah agar turbin dapat menghasilkan daya yang optimal, menghindari turbin dari kerusakan serta mampu mengantisipasi bila turbin beralih fungsi dari sistem penghasil tenaga menjadi beban pada sistem saat tegangan yang dihasilkan oleh turbin mengalami penurunan. Kontrol PID digunakan untuk mengendalikan perubahan sudut sudu ini sa at tekanan yang mengenai turbin berubah guna mencari titik optimum dari sudut turbin tersebut. Kata kunci: Konversi Energi, Turbin Screw, Sudut Sudu Tak Tetap, Kontrol PID. 1. PENDAHULUAN Turbin schrew merupakan jenis turbin helical yang berbentuk ulir. Turbin schrew memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan jenis turbin yang lain, antara lain :

1. Tidak memerlukan sistem kontrol khusus 2. Memiliki efisiensi yang tinggi

3. Mudah diperbaiki 4. Ramah lingkungan 5. Umur turbin 25 - 40 tahun[1]. .Namun saat ini turbin screw dirancang untuk kondisi tertentu, yakni dengan sudut tertentu untuk menghasilkan nilai putaran atas tekanan tertentu yang dikenakan. Dengan demikian saat tekanan yang diterima oleh turbin melebihi toleransi, maka kecepatan putar yang dihasilkan oleh turbin lebih besar, sehingga alternator menghasilkan frekuensi dan tegangan induksi lebih tinggi dari yang diharapkan. Demikian pula sebaliknya, saat tekanan yang diterima oleh turbin lebih kecil dari yang diharapkan, maka akan menyebabkan alternator menghasilkan frekuensi dan tegangan induksi yang lebih rendah dari yang diharapkan. Oleh sebab itu diperlukan sebuah turbin yang mampu beradaptasi terhadap perubahan tekanan yang ada supaya dapat menghasilkan listrik yang relatif stabil. Salah satu caranya yakni dengan membuat sudu dari turbin schrew tersebut agar dapat berubah sudut berdasarkan tekanan yang diterimanya. 2. TINJ AUAN PUSTAKA Tata nama yang digunakan P 1 = Tekanan fluida pada titik 1 atm P 2 = Tekanan fluida pada titik 2 atm v 1 = kecepatan alirann air pada titik 1 mms v 2 = kecepatan alirann air pada titik 2 mms H 1 = tinggi aliran air pada titik 1 mm H 2 = tinggi aliran air pada titik 2 mm h = tinggi tonjolan mm ρ = massa jenis air Kgmm3 t total = tinggi total 6 putar sudu turbin mm R = jarak titik A Gambar 3.6 terhadap ¼ putar sudu mm R 1 = jari – jari pilin pipa mm α = besar sudut sudu turbin deg,. P = Tekanan yang diterima sudu atm F = Gaya dorong yang dialami sudu N. A = luas penampang yang tertumbuk mm2. W = usaha untuk mengubahan sudut sudu J r 1 = jari – jari dari pipa pilin mm S = jarak pengubahan sudut sudu mm. m air = masa air gr. v 2 = kecepatan aliran fluida awal mms v 4 = kecepatan aliran yang dibelokkan mms α = besar sudut sudu turbin degree. v 3 = kecepatan putar turbin mms ω turbin = kecepatan sudut turbin rads R 1 = jari – jari turbin mm. s = kecepatan sudut turbin rpm. N = jumlah kutub pole E = Tegangan GGL generator V f = frekuensi generator Hz fv = faktor efektif = 1,111 fw = faktor lilitan untuk generator fasa tunggal adalah 0,8 dan untuk generator fasa tiga adalah 0,96. Φ = fluks garis gaya = 108 maxwell Wl = lilitan Sebuah sistem akan memiliki energi, bila sistem tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan usaha. Dengan demikian besarnya energi tersebut akan ISSN :2407-2281 F 40 bergantung pada besarnya sistem dalam melakukan usaha. Namun saat sebuah energi terbentuk, maka energi tersebut tidak dapat dimusnahkan, tetapi energi tersebut dapat dikonversi menjadi bentuk energi yang lain. Terdapat berbagai bentuk energi yang ada di alam, yakni energi kinetik, energi potensial, energi nuklir, energi listrik, dan lain sebagainya. Pada fluida yang mengalir terdapat beberapa bentuk energi, yakni antara lain : - Energi Kinetik Energi ini terbentuk karena gerakan dari fluida, dimana besarnya energi ini dapat diukur dari massa fluida tersebut dan kecepatan dari fluida tersebut saat bergerak yang dapat dijabarkan dalam Persamaan 2.1. E k = 12 mv 2 2.1 Dimana : E k = Besarnya energi kinetik yang ditimbulkan J m = massa fluida Kg. v = kecepatan aliran fluida ms. - Energi Potensial Sebuah energi potensial terbentuk karena kedudukan dari benda, dimana dalam hal ini benda tersebut adalah fluida. Besarnya energi ini sangat bergantung pada massa fluida dan ketinggian fluida dari titik referensinya, yang dijabarkan dalam Persamaan 2.2. E p =m g h 2.2 Dimana: E p = Besarnya energi potensial yang dibentuk J m = massa fluida kg. g = percepatan gravitasi ms2 h = ketinggian posisi fluida dari referensi m. - Energi Tekanan fluida Energi tekanan ini timbul atas sejumlah volume flluida yang mengalir terhalangi oleh suatu bidang, yang terjabarkan dalam Persamaan 2.3. E P = P V 2.3 Dimana : E P = Besarnya energi tekanan yang dibentuk J P = tekanan fluida atm V = volume fluida m3. Dengan mengumpamakan sejumlah volume fluida tersebut dengan massa fluida yang terhalangi dan massa jenis fluida maka Persamaan 2.3 dapat dituliskan kembali menjadi Persamaan 2.4. E P = m Pρ 2.4 Dimana : Ep = Besarnya energi tekanan yang dibentuk J m = massa fluida Kg. P = Tekanan fluida atm ρ = massa jenis fluida Kg.m3. Ketiga jenis energi inilah yang kemudian dipakai oleh turbin untuk dikonversi menjadi energi putar untuk memutar alternator. 3. METODA Turbin screw Gambar 3.1 b yang disimulasikan dirancang dengan bentuk pipa yang dipilindiposisikan seperti ulir yang ditunjukkan dalam Gambar 3.1 a yang diletakkan di dalam pipa yang lebih besar dengan perbandingan pipa pilin dengan pipa yang lebih besar sebesar 1 : 4. Dengan di posisi lapisan luar dari pipa yang menjadi wadah pipa yang dipilin ditempatkan dua pasang magnet neodymium sebagai sumber medan induksi yang akan diubah menjadi tegangan AC. a b c Gambar 3.1 Turbin screw dengan pipa yang dipilin gambar desain tampak atas a, tampak depan b. realisasi desain sistem c. Gambar 3.2 Ilustrasi penyempitan kanal [5]. Dengan desain turbin tersebut maka diharapkan perubahan nilai tekan akibat adanya turbin tidak terlalu besar dibanding dengan desain turbin yang telah ada atau dengan kata lain head loss yang diakibatkan dengan pemasangan turbin tidak terlalu 1 Prosiding Seminar Nasional Fisika Terapan IV ISSN :2407-2281 F 41 besar. Dibuktikan dengan menggunakan persamaan bernouli untuk kondisi dalam Gambar 3.2 dan persamaan kontinuitas lebar kanal konstan sehingga didapatkan Persamaan 3.1. Dengan P 1 dan v 1 merupakan tekanan dan kecepatan aliran di titik 1, serta P 2 dan v 2 merupakan tekanan dan kecepatan aliran di titik 2. ; P = P 1 – P 2 3.1 Dengan demikian head loss dapat diminimalkan dengan memberikan diameter pipa yang dipilin dalam ukuran yang kecil. Sedang untuk pengubahan nilai sudut sudu dilakukan dengan menggeser jarak antara dua titik sudu shaft, seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 3.3 dan Gambar 3.4. Dalam Gambar 3.4 tersebut diketahui bahwa dalam satu kali putar pilin sudu, maka terdapat jarak antara awal pilin dengan satu kali putar pilinan, yang ditandai dengan titik A dan titik B. Gambar 3.3 Sistem pengubahan besar sudut sudu dengan memperpendek dan memperpanjang jarak titik A dan B. Gambar 3.4 Pengubahan sudut sudu melalui pengubahan jarak. Gambar 3.5 Ilustrasi energi kinetik dan momentum yang terjadi pada sistem turbin. Analisa momentum atau tumbukan yang terjadi digambarkan pada Gambar 3.5. Saat pipa yang dipilin kondisi awal tidak bergerak dengan kata lain pipa yang dipilin bergerak karena mendapatkan tumbukan dari aliran air yang mengalir. Analisa sumbu vertikal - ; v 2 = 0 kondisi awal diam 3.2 - - Analisa sumbu horizontal 3.3 Energi Kinetik dari aliran air yang menghantam turbin, yakni Ek 2 , kemudian dirubah menjadi energi kinetik yang dibelokkan dengan sudut sudu α Ek 4 dan menjadi energi kinetik rotasi dari turbin Ek 3 . Analisa energi kinetik berdasarkan hukum kekekalan energi tersebut dijabarkan dalam Persamaan – persamaan 3.4, 3.5 dan 3.6. - - Energi awal 3.4 - Energi akhir 3.5 - Energi awal = Energi akhir A B ISSN :2407-2281 F 42