0.66 Pengaruh Motivasi Belajar Terhadap Hasil

ambang ekstrem POT Peak over Threshold dan nilai hujan ekstrem pada bulan yang bersangkutan di Bandung ini, secara umum memiliki pola yang serupa dengan nilai ambang bawah normal dan nilai ambang atas normal curah hujan. Berdasar observasi permukaan dalam rentang Januari 1901 sampai Desember 2010, bulan Agustus merupakan bulan dengan frekuensi kejadian ekstrem hujan yang paling banyak 4 kali kejadian ekstrem hujan, sedang bulan Oktober merupakan dengan frekuensi kejadian ekstrem hujan yang paling sedikit 0 kali kejadian ekstrem hujan, sebagaimana disajikan dalam Gambar 4. Sedang berdasar observasi satelit TRMM dalam rentang Januari 1998 sampai Desember 2010, terlihat bahwa kejadian ekstrem hujan di Bandung ini hanya terjadi pada bulan-bulan Januari, Februari, April, Mei, Agustus dan September, masing-masing hanya terjadi satu kali ekstrem hujan. Pada bulan-bulan lainnya Maret, Juni, Juli, Oktober, Nopember dan Desember tidak terjadi ekstrem hujan. Faktor pasti dan utama penyebab kejadian ekstrem hujan di Bandung belum dapat diungkap secara detil dan pasti pada tahap penelitian kali ini. Faktor dugaan penyebab kejadian ekstrem hujan di Bandung adalah munculnya fenomena-fenomena global Indian Ocean Dipole Negatif, La Niña dan monsun Asia yang secara serempak ataupun berbeda fase yang relatif kecil. Mungkin pula satu fenomena global saja ataupun gabungan dua fenomena global Indian Ocean Dipole Negatif atau La Niña atau monsun Asia muncul dengan intensitas ataupun kekuatan yang besar diduga dapat pula menyebabkan terjadinya ekstrem hujan di Bandung ini. Dari Gambar 9 dan Gambar 10 secara umum dapat diungkapkan bahwa baik secara bulanan maupun secara total, curah hujan di Bandung yang diamati oleh satelit TRMM maupun dari observasi permukaan oleh BMKG memiliki keterkaitan yang erat, dengan nilai koefisien korelasi bulanan tertinggi r = 0,90 terjadi untuk Juni dan r = 0,92 untuk bulan September, dan korelasi bulanan terrendah r = - 0,14 terjadi untuk bulan Januari. Nilai koefisien korelasi bulanan rata-rata juga masih baik, yaitu pada nilai r = 0,70, sebagaimana disajikan dalam Gambar 10. Sedang nilai korelasi secara total curah hujan di Bandung, antara observasi permukaan BMKG dan satelit TRMM memiliki nilai r yang sangat baik, yaitu r = 0,97. Hal ini mengindikasikan bahwa data hujan yang teramati dari satelit TRMM ini dapat digunakan untuk mensubstitusi data hujan di daerah-daerah terpencil di Bandung dan sekitarnya yang tidak memiliki alat penakar curah hujan rain gauge. Dalam kaitannya dengan kejadian El-Ni ñ o dan La-Ni ñ a di wilayah Ni ñ o 3.4 5°LU-5°LS, 120°BB-170°BB yang dinyatakan dalam bentuk indek yang dikenal sebagai data indek oseanik Ni ñ o The Oceanic Nino Index, ONI, diperoleh gambaran bahwa berbasis pada observasi in-situ permukaan, pada saat normal tidak ada kejadian El-Niño dan La-Niña yang bersesuaian dengan perioda Desember, Januari dan Februari DJF 2003-2004, rata-rata hujan bulanan di wilayah Bandung 6,53 °LS; 107,36 °BT adalah 196,67 mm. Nilai normal DJF 2003-2004 ini lebih kecil dibandingkan saat ada kejadian La-Niña kuat pada perioda DJF 1999-2000 212,37 mm, saat ada kejadian El-Niño kuat pada perioda DJF 2009-2010 393,83 mm, maupun pada nilai rata-rata klimatologis DJF 1981-2010 231,86 mm. Sedang hasil yang berbasis observasi satelit TRMM menunjukkan bahwa, pada saat normal tidak ada kejadian El-Niño dan La-Niña yang bersesuaian dengan perioda Desember, Januari dan Februari DJF 2003-2004, rata-rata hujan bulanan di wilayah Bandung adalah sebesar 231,17 mm. Nilai normal DJF 2003-2004 ini lebih besar dibandingkan saat ada kejadian La-Niña kuat pada perioda DJF 1999-2000 107,00 mm, tetapi lebih kecil bila dibandingkan saat ada kejadian El-Niño kuat pada perioda DJF 2009-2010 461,03 mm, maupun pada nilai rata-rata “klimatologis TRMM” perioda DJF 1998-2010 246,24 mm. Hal ini mengindikasikan bahwa fenomena El-Niño dan La- Niña memberikan dampak yang berkebalikan terhadap akumulasi hujan di Bandung dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Sebagaimana diketahui, secara umum fenomena La- Niña memberikan dampak terjadinya akumulasi hujan yang lebih besar terhadap keadaan normalnya di sebagian besar wilayah Indonesia, dan sebaliknya fenomena El-Niño memberikan dampak terjadinya akumulasi hujan yang lebih kecil terhadap keadaan normalnya di sebagian besar wilayah Indonesia. KESIMPULAN Pola hujan utama di Bandung 6,53 °LS; 107,36 °BT yang berbasis observasi permukaan BMKG dalam rentang pengamatan sentential 1901-2010, maupun dalam rentang-rentang klimatologis 1901-1930, 1911-1940, 1921-1950, 1931-1960, 1941-1970, 1951-1980, 1961-1990, 1971-2000 dan 1981-2010 menunjukkan sebagai pola hujan equatorial, namun untuk rentang pengamatan yang lebih pendek 13 tahun, yaitu 1998-2010 menunjukkan adanya pola yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi pergeseran perubahan nilai akumulasi puncak hujan terutama yang terjadi pada bulan- bulan Februari, Maret, April di wilayah Bandung ini pada rentang 1998-2010. Baik dalam rentang yang lamapanjang sentential 1901-2010 yang berbasis observasi permukaan BMKG, maupun dalam rentang yang sengkatpendek 1998-2010 yang berbasis satelit TRMM, curah hujan di Bandung 6,53 °LS; 107,36 °BT secara linier menunjukkan kecenderungan naik. Baik secara bulanan maupun secara total, curah hujan di Bandung yang diamati oleh satelit TRMM maupun dari observasi permukaan oleh BMKG memiliki keterkaitan yang erat, dengan nilai koefisien korelasi bulanan tertinggi r = 0,90 terjadi untuk Juni dan r = 0,92 untuk bulan September, bahkan korelasi totalnya memiliki nilai yang sangat baik, yaitu r = 0,97. Dalam kaitannya dengan kejadian El-Ni ñ o dan ISSN :2407-2281 F 38