Stres dan Koping Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

(1)

Stres dan Koping Narapidana Wanita di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

SKRIPSI

Oleh

Sri Agustika Marbun 111101059

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Stres dan Koping Narapidana Wanita di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

SKRIPSI

Oleh

Sri Agustika Marbun 111101059

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Judul : Stres dan Koping Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIAWanita Tanjung Gusta Medan Nama : Sri Agustika Marbun

NIM : 111101059 Tahun : 2014/2015

Jurusan : S1 Ilmu Keperawatan

Abstrak

Seseorang yang berbuat kejahatan akan menerima pembinaan di dalam lapas, dimana ia akan dibina untuk menjadi seseorang yang lebih baik lagi di masyarakat. Selama menjalani pembinaan di lapas, narapida mengalami banyak kehilangan, seperti kehilangan kebebasan, kehilangan pekerjaan, terpisah dari keluarga dan lingkungan masyarakat dan lain sebagainya. Seperti yang kita ketahui hal-hal tersebut menjadi stresor bagi narapidana yang dapat mengakibatkan narapidana mengalami stres dan dibutuhkan koping yang baik/adaptif untuk mengatasi stresor yang mereka hadapi. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti stres dan koping narapidana wanita di lapas klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan dengan menggunakan desain deskriptif. Pengambilan sampel dilakukan dengan accidental sampling dengan jumlah 78 orang. Data demografi disajikan dalam bentuk distribusi dan frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa narapidana wanita di lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan memiliki stres dalam ketegori sedang sebanyak 43 orang (55,1%) dan sebanyak 62 orang (79,5%) responden menggunakan koping yang berfokus pada emosi. Dari hasil penelitian ini diharapkan pihak lembaga pemasyarakatan lebih memperhatikan kebutuhan para narapidana dengan mengadakan penyuluhan dalam mengatasi stres dan mengadakan sesi konseling sehingga narapidana dapat mengutarakan apa yang menjadi permasalahan mereka selama berada di lembaga pemasyarakatan.

Kata kunci : stres, koping, narapidana wanita ii


(4)

(5)

Judul : Stres dan Koping Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIAWanita Tanjung Gusta Medan Nama : Sri Agustika Marbun

NIM : 111101059 Tahun : 2014/2015

Jurusan : S1 Ilmu Keperawatan

Abstrak

Seseorang yang berbuat kejahatan akan menerima pembinaan di dalam lapas, dimana ia akan dibina untuk menjadi seseorang yang lebih baik lagi di masyarakat. Selama menjalani pembinaan di lapas, narapida mengalami banyak kehilangan, seperti kehilangan kebebasan, kehilangan pekerjaan, terpisah dari keluarga dan lingkungan masyarakat dan lain sebagainya. Seperti yang kita ketahui hal-hal tersebut menjadi stresor bagi narapidana yang dapat mengakibatkan narapidana mengalami stres dan dibutuhkan koping yang baik/adaptif untuk mengatasi stresor yang mereka hadapi. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti stres dan koping narapidana wanita di lapas klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan dengan menggunakan desain deskriptif. Pengambilan sampel dilakukan dengan accidental sampling dengan jumlah 78 orang. Data demografi disajikan dalam bentuk distribusi dan frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa narapidana wanita di lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan memiliki stres dalam ketegori sedang sebanyak 43 orang (55,1%) dan sebanyak 62 orang (79,5%) responden menggunakan koping yang berfokus pada emosi. Dari hasil penelitian ini diharapkan pihak lembaga pemasyarakatan lebih memperhatikan kebutuhan para narapidana dengan mengadakan penyuluhan dalam mengatasi stres dan mengadakan sesi konseling sehingga narapidana dapat mengutarakan apa yang menjadi permasalahan mereka selama berada di lembaga pemasyarakatan.


(6)

Title of the Thesis : Stress and Coping of Female Prisoners at the Woman Penitentiary Class IIA Tanjung Gusta, Medan

Name of Student : Sri Agustika Marbun Std. ID Number : 111101059

Department : S1 (undergraduate) Nursing Academic Year : 2014-2015

ABSTRACT

A person who commits criminal act will be sent to prison in which he will be fostered to be a good man in his community. During the fostering at the Penitentiary, a prisoner undergoes a lot of loss like the loss of freedom, the loss of job, being separated from family and social relation, and so on. All these things become the stressor for a prisoner which can cause him to be stressed so that good/adaptive coping is needed to cope with it. The objective of the research was to analyze the stress and coping of female prisoners at the Woman Penitentiary Class IIA Tanjung Gusta, Medan, by using descriptive design. The samples were 78 female prisoners, taken by using accidental sampling technique. Demographic data were presented in the form of distribution and frequency. The result of the research showed that 43 respondents (55.1%) underwent stress in moderate category and 62 respondents (79.5%) used emotional coping. It is recommended that the management of the Penitentiary pay more attention to the prisoners’ needs by providing counseling so that they can express their problems during their imprisonment.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah karena berkat, penyertaan dan kasih karunia-Nya skripsi ini dapat diselesaikan dengan judul “Stres dan Koping Narapidana Wanita

di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan”. Penulis

sangat merasakan penyertaan dan pertolongan-Nya sepanjang pengerjaan skripsi ini.

Selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis juga mendapatkan banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membimbing penulis selama pengerjaan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Dekan Fakultas Keperawatan, Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes.

2. Pembantu dekan I, Ibu Erniyati, S.Kp., MNs, pembantu dekan II, Ibu Evi Karota Bukit, S.Kep., MNs, pembantu dekan III, Bapak Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp., MNs.

3. Dosen pembimbing, Ibu Mahnum Lailan Nst, S.Kep., Ns., M.Kep yang banyak memberi bimbingan dan masukan dalam penyelesaian proposal penelitian ini.

4. Dosen penguji, Ibu Wardiyah Daulay, S. Kep., Ns., M. Kep dan Ibu Sri Eka Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kep yang bersedia menjadi penguji dan memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini.


(8)

6. Keluarga tercinta, Ayahanda P. Marbun, Ibunda E. Gultom, abang dan adik-adikku (Marthin, Putra dan Ria) yang selalu memberikan semangat serta dukungan doa, daya dan dana selama proses penyusunan skripsi ini. Orangtua penulis yang terus mendukung dan mendoakan.

7. Teman-teman satu kelompok kecil penulis (Astika, Jernita, Elisabeth, Ice, Novia dan Patricya) dan adik kelompok kecil penulis (Donna dan Maria), serta teman-teman pengurus UKM KMK USU UP FKep (Ernawati, Asnita, Bertua, Yenni, Artia, Leliana, Oshinda, Ines, Risky, Jelita dan Masita) atas semangat dan dukungan doanya.

8. Teman-teman seperjuangan stambuk 2011 (terkhusus Sururi, Citra, Junjungan, Tetty dan Agnes) yang telah memberikan bantuan, dan kerja sama yang baik selama proses pengerjaan skripsi ini.

9. Teman-teman kos sehati (Novri, Mey, Yupi dan Lisbeth) buat bantuannya dan perjuangan kita bersama selama mengerjakan skripsi.

Biarlah kiranya kasih setia dan penyertaan Tuhan yang tetap memelihara kehidupan kita. Semoga skripsi ini dapat digunakan sebaik-baiknya. Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, Agustus 2015


(9)

DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN ORISINALITAS ...ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

ABSTRAK ...iv

KATA PENGANTAR ...vi

DAFTAR ISI ...viii

Daftar tabel ...xi

DAFTAR SKEMA ...xii

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar belakang ...1

B. Perumusan masalah ...6

C. Pertanyaan penelitian ...6

D. Tujuan penelitian ...6

E. Manfaat penelitian ...6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...8

A. Konsep stres ...8

1. Pengertian stres ...8

2. Sumber stresor ...8

3. Penyebab stres ...8

4. Tanda & gejala stres ...9

5. Tahapan stres ...10

6. Tingkatan stres ...14

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres ...14

B. Dampak stres pada narapidana wanita ...15

C. Konsep koping ...18

1. Pengertian koping...18

2. Sumber-sumber koping ...18

3. Strategi koping ...18

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping ...20

5. Penggolongan mekanisme koping ...21


(10)

A. Kerangka penelitian ...24

B. Definisi operasional ...25

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ...27

A. Desain penelitian ...27

B. Populasi dan sampel ...27

1. Populasi penelitian ...27

2. Sampel penelitian ...27

2.1.Teknik sampel ...27

2.2.Jumlah sampel ...28

C. Lokasi dan waktu penelitian...29

D. Pertimbangan etik...29

E. Instrumen penelitian ...30

F. Uji validitas dan reliabilitas ...32

G. Pengumpulan data ...33

H. Analisa data ...34

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ...35

A. Hasil penelitian ...35

1. Karakteristik demografi responden ...35

2. Stres narapidana wanita klas IIA Tanjung Gusta Medan ...37

3. Koping narapidana wanita klas IIA Tanjung Gusta Medan ...37

B. Pembahasan ...38

1. Stres narapidana wanita klas IIA Tanjung Gusta Medan ...38

2. Koping narapidana wanita klas IIA Tanjung Gusta Medan ...42

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...48

A. Kesimpulan ...48

B. Saran ...48

DAFTAR PUSTAKA ...50

LAMPIRAN ...54

Lampiran 1. Inform consent ...55

Lampiran 2. Instrumen penelitian ...56

Lampiran 3. Jadwal tentatif ...58

Lampiran 4. Taksasi dana ...59

Lampiran 5. Lembar konsul ...60

Lampiran 6. Hasil uji validitas ...63


(11)

Lampiran 8. Master tabel ...72

Lampiran 9. Hasil pengolahan data ...82

Lampiran 10. Lembar persetujuan validitas ...107

Lampiran 11. Surat etik penelitian ...108

Lampiran 12. Surat izin survey awal...109

Lampiran 13. Surat izin reliabilitas dan penelitian ...111

Lampiran 14. Surat selesai penelitian ...112

Lampiran 15. Surat terjemahan kuesioner ...116

Lampiran 16. Surat terjemahan abstrak ...117


(12)

DAFTAR TABEL

halaman Tabel 3.2: Definisi operasional stres dan koping narapidana wanita di

lapas klas II.A Tanjung Gusta Medan ...25 Tabel 5.1: Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden

narapidana wanita klas IIA Tanjung Gusta Medan ...36 Tabel 5.2: Distribusi frekuensi dan persentase stres narapidana wanita

klas IIA Tanjung Gusta Medan ...37 Tabel 5.3: Distribusi frekuensi dan persentase koping narapidana wanita


(13)

DAFTAR SKEMA

halaman Skema 3.1: Kerangka konseptual stres dan koping narapidana wanita di


(14)

Judul : Stres dan Koping Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIAWanita Tanjung Gusta Medan Nama : Sri Agustika Marbun

NIM : 111101059 Tahun : 2014/2015

Jurusan : S1 Ilmu Keperawatan

Abstrak

Seseorang yang berbuat kejahatan akan menerima pembinaan di dalam lapas, dimana ia akan dibina untuk menjadi seseorang yang lebih baik lagi di masyarakat. Selama menjalani pembinaan di lapas, narapida mengalami banyak kehilangan, seperti kehilangan kebebasan, kehilangan pekerjaan, terpisah dari keluarga dan lingkungan masyarakat dan lain sebagainya. Seperti yang kita ketahui hal-hal tersebut menjadi stresor bagi narapidana yang dapat mengakibatkan narapidana mengalami stres dan dibutuhkan koping yang baik/adaptif untuk mengatasi stresor yang mereka hadapi. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti stres dan koping narapidana wanita di lapas klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan dengan menggunakan desain deskriptif. Pengambilan sampel dilakukan dengan accidental sampling dengan jumlah 78 orang. Data demografi disajikan dalam bentuk distribusi dan frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa narapidana wanita di lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan memiliki stres dalam ketegori sedang sebanyak 43 orang (55,1%) dan sebanyak 62 orang (79,5%) responden menggunakan koping yang berfokus pada emosi. Dari hasil penelitian ini diharapkan pihak lembaga pemasyarakatan lebih memperhatikan kebutuhan para narapidana dengan mengadakan penyuluhan dalam mengatasi stres dan mengadakan sesi konseling sehingga narapidana dapat mengutarakan apa yang menjadi permasalahan mereka selama berada di lembaga pemasyarakatan.


(15)

Title of the Thesis : Stress and Coping of Female Prisoners at the Woman Penitentiary Class IIA Tanjung Gusta, Medan

Name of Student : Sri Agustika Marbun Std. ID Number : 111101059

Department : S1 (undergraduate) Nursing Academic Year : 2014-2015

ABSTRACT

A person who commits criminal act will be sent to prison in which he will be fostered to be a good man in his community. During the fostering at the Penitentiary, a prisoner undergoes a lot of loss like the loss of freedom, the loss of job, being separated from family and social relation, and so on. All these things become the stressor for a prisoner which can cause him to be stressed so that good/adaptive coping is needed to cope with it. The objective of the research was to analyze the stress and coping of female prisoners at the Woman Penitentiary Class IIA Tanjung Gusta, Medan, by using descriptive design. The samples were 78 female prisoners, taken by using accidental sampling technique. Demographic data were presented in the form of distribution and frequency. The result of the research showed that 43 respondents (55.1%) underwent stress in moderate category and 62 respondents (79.5%) used emotional coping. It is recommended that the management of the Penitentiary pay more attention to the prisoners’ needs by providing counseling so that they can express their problems during their imprisonment.


(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Masyarakat terdiri dari beraneka ragam individu dalam alam merdeka yang penuh dengan perjuangan hidup. Manusia dalam usahanya untuk memperoleh sesuap nasi dan melindungi kehidupan keluarganya serta mempertahankannya dari bahaya ataupun bencana baik yang datangnya dari alam maupun dari manusia itu sendiri yang ada disekelilingnya mau tidak mau harus terikat pada lingkungannya. Kita menerima dengan sadar bahwa manusia mempunyai cara masing-masing, umpamanya saja dalam memenuhi kebutuhan akan makan, jelas seribu satu macam cara akan dilaksanakan oleh setiap orang, bahkan tidak jarang kita melihat dalam memenuhi kebutuhannya tersebut manusia itu menjadi penjahat dalam bentuk seperti mencuri, merampok, membunuh, menipu dan sebagainya. Tindakan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang tanpa memandang jenis kelaminnya, akan membawa sesorang masuk ke dalam penjara dan mengakibatkan dirinya menjadi seorang narapidana (Hamdan, 2005).

Narapidana wanita kebanyakan memiliki latar belakang yang traumatis pada proses kehidupannya. Peristiwa traumatis ini berupa pengalaman menjadi korban dari kekerasan fisik dan seksual, ketergantungan narkoba serta kondisi kesehatan yang kurang terawat. Di Negara-negara miskin, wanita dimanfaatkan oleh pengedar narkoba sebagai penyeludup dengan bayaran kecil, wanita tersebut hanya merupakan korban yang terpaksa harus melakukan tindak kriminal tertentu dengan alasan tertentu pula (Jones, 2008).


(17)

Pada tahun 2005, diseluruh dunia pernah terjadi bahwa lebih dari setengah juta perempuan dan anak putri ditahan di lapas, baik untuk menunggu proses pengadilan atau menjalani hukuman. Tiga kali jumlah ini, atau sekitar 1,5 juta orang akan di penjarakan sepanjang tahun (Walmsley, 2011). Hal tersebut mengindikasikan bahwa jumlah narapidana wanita semakin bertambah dari tahun ketahun. Peningkatan jumlah narapidana wanita menurut Briefings (2013) pada kenyataannya jauh lebih tinggi daripada peningkatan jumlah narapidana pria. Pada pertengahan tahun 1995 populasi wanita yang di penjara di Inggris adalah 1.979 dan pada tahun 2010 jumlahnya menjadi 4.267, meningkat 115% dalam 15 tahun.

Meningkatnya tindak kriminalitas dan penegakan hukum berdampak pada banyak penghuni lapas. Namun, hingga saat ini kapasitas lapas belum sebanding dengan jumlah penghuninya. Sudah menjadi fakta publik, kerusuhan demi kerusuhan yang terjadi di dalam Lapas beberapa tahun terakhir ini memiliki karakter sebab yang sama, yakni tidak seimbangnya antara kapasitas bangunan dan jumlah penghuni penjara. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2014) saat ini ada 160.231 narapidana dan tahanan diseluruh Indonesia, sedangkan normalnya lapas di Indonesia dapat menampung 109.695 narapidana dan tahanan.

Hukuman yang diterima narapidana wanita serta berbagai hal lainnya seperti rasa bersalah, hilangnya kebebasan, perasaan malu, sangsi ekonomi dan sosial serta kehidupan dalam penjara yang penuh dengan tekanan psikologis


(18)

dapat memperburuk dan mengintensifkan stresor sebelumnya menyebabkan perasaan sedih pada wanita (Dianita, 2013). Analisis yang dilakukan oleh Office for National Statistic (ONS) dalam memenuhi kebutuhan kesehatan mental wanita di penjara didapati bahwa narapidana wanita mengalami masalah tidur, mimpi buruk, depresi, gangguan konsentrasi, menjadi pelupa, mengalami kecemasan (panik dan fobia), berbicara sendiri, serta menarik diri/anti-sosial sebagai akibat dari stres yang mereka alami (O’Brien et al., 2001 dalam Rickford, 2003).

Wanita di penjara memiliki beban yang lebih tinggi terkena gangguan kesehatan kronis, gangguan kejiwaan, daripada pria (Bingswanger dkk, 2010). Institute Psychiatry dalam penelelitiannya tentang wanita dalam penjara (Women in Prison) menemukan bahwa 56% narapidana wanita didiagnosa menderita penyakit mental, 50% tahanan wanita mengalami gangguan kepribadian (Singleton et al., 1998 dalam HM Inspectorate of Prisons, 2005). Hasil penelitian dari Social Exclusion Unit (2002) yang juga membahas tentang wanita dalam penjara (Women in Prison) diperoleh bahwa 15% tahanan dirawat di rumah sakit jiwa, 37% sebelumnya telah mencoba melakukan bunuh diri, dan dari hasil wawancara yang dilakukan 1 dari 3 orang narapidana wanita telah mencoba bunuh diri dan 11% narapidana telah merugikan dirinya sendiri (HM Inspertorate of Prisons, 2005).

Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 20 November 2014 di Lapas klas II.A wanita Tanjung Gusta Medan, didapati bahwa lapas klas II.A wanita Tanjung Gusta sudah mengalami


(19)

kelebihan kapasitas dari yang normalnya menampung 150 orang narapidana wanita tetapi pada tahun 2014 ini sudah ada 365 narapidana wanita yang ada di lapas klas II.A. Kasus yang paling banyak terjadi dari napi wanita adalah 80% narkotika disusul dengan pembunuhan, perampokan, pencurian biasa, pencurian menyebabkan kematian, trafiking, pemalsuan uang, dan penipuan. Dari kondisi yang dilihat banyak hal yang menjadi sumber stres bagi narapidana wanita di sana, seperti hilangnya kebebasan, tidak bisa bertemu dengan keluarga, anak dan suami serta kurangnya kunjungan dari keluarga.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan 3 orang narapidana, didapati bahwa mereka mengalami stres selama berada di lapas. Dampak dari stres yang mereka alami adalah selera makan yang berkurang, merasa bosan/suntuk, menarik diri dari lingkungan, sering menangis tanpa sebab dan khawatir akan kehidupan mereka selanjutnya setelah keluar dari lapas. Bahkan 2 dari 3 narapidana yang diwawancarai, sempat memiliki pemikiran untuk melakukan percobaan bunuh diri untuk mengakhiri masalahnya. Cara yang sering mereka lakukan dalam menghadapi stres yang mereka alami adalah dengan membawa masalahnya tidur. Dan dari hasil wawancara kepada petugas lapas, didapati bahwa lapas wanita ini memiliki 2 orang perawat dan 1 orang psikolog yang hadir setiap harinya tetapi para narapidana tidak pernah datang mengunjungi psikolog yang ada di lapas untuk menceritakan kondisi mereka. Data yang di peroleh dari psikolog lapas ada 2 orang yang melakukan percobaan bunuh diri dalam 1 tahun terakhir ini.


(20)

Ketika berada di lembaga pemasyarakatan, dalam menghadapi ataupun meresponi stresor yang ada di lingkungan penjara banyak narapidana yang melukai diri sendiri, bahkan bunuh diri, tapi sebelumnya tidak terlihat gejala-gejala bahwa mereka sedang mengalami depresi. Perbuatan yang sering dilakukan dalam melukai diri sendiri adalah memotong urat nadi, overdosis obat, meloncat dari atap dan lain-lain. Tindakan percobaan bunuh diri/bunuh diri dilakukan oleh narapidana karena mereka merasa sangat tertekan, hingga merasa lebih baik mati saja. Ada cara yang dilakukan narapidana untuk memanipulasi keadaan, sehingga ia dapat mengubah keadaan yang ia rasakan karena merasa sangat putus asa, yaitu dengan cara mengajak petugas berbicara tentang masalah pribadinya. Ada juga bentuk lain dari menyakiti diri sendiri, tetapi tidak membahayakan nyawa seperti menggaruk kulit sampai mengelupas, atau menelan sesuatu. Perilaku menggaruk kulit ini pada umumnya terjadi pada pelanggar muda dan narapidana wanita (Cooke dkk, 2008).

Berdasarkan uraian di atas, ditemukan bahwa banyak hal di dalam penjara yang menjadi stresor bagi narapidana wanita yang menyebabkan mereka stres dan berdampak kepada gangguan kesehatan fisik maupun mental, serta cara (koping) yang mereka lakukan juga beraneka ragam dari perilaku yang menarik diri dari lingkungan, murung, melakukan tindakan kekerasan bahkan percobaan bunuh diri, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran stres dan koping narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan klas IIA Tanjung Gusta Medan.


(21)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, Maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, “Bagaimana Stres yang dialami

oleh narapidana wanita dan bagaimana koping narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tanjung Gusta Medan?”

C. Pertanyaan penelitian

1. Bagaimana stres narapidana di lembaga pemasyarakatan wanita Tanjung Gusta Medan?

2. Bagaimana koping narapidana di lembaga pemasyarakatan wanita Tanjung Gusta Medan?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi stres dan koping narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan wanita Tanjung Gusta Medan E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi hal-hal berikut ini:

1. Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendidik calon-calon perawat kedepannya sehingga bisa membantu orang-orang yang sedang berhadapan dengan sumber-sumber stres dalam hidupnya.

2. Pelayanan Keperawatan


(22)

yang sedang mengalami stres, dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan tentang cara-cara yang adaptif untuk mengatasi stres yang sedang dihadapi.

3. Penelitian Keperawatan

Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi atau sumber data dalam melaksanakan penelitian lanjutan, sehingga dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan dari penelitian ini.

4. Lembaga Pemasyarakatan

Diharapkan lembaga pemasyarakatan wanita lebih memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan psikologis narapidana, dan membantu mereka dalam menghadapi masalah-masalah yang mereka hadapi selama menjalani masa tahan, sehingga mereka memiliki psikologis yang sejahtera selama dan setelah keluar dari penjara.


(23)

BAB II Tinjauan Pustaka A. Konsep Stres

1. Pengertian Stres

Stres adalah segala situasi dimana tuntutan non-spesifik mengharuskan seorang individu untuk berespon atau melakukan tindakan (Selye, 1976). Respon atau tindakan ini termasuk respon fisiologis dan psikologis. Stres dapat menyebabkan perasaan negatif atau yang berlawanan dengan apa yang diinginkan atau mengancam kesejahteraan emosional. Stres dapat mengganggu cara seseorang dalam mencerap realitas, menyelesaikan masalah, berpikir secara umum, hubungan seseorang dan rasa memiliki (Potter & Perry, 2005).

2. Sumber stresor

Sumber stresor menurut Hidayat (2008) merupakan asal dari penyebab suatu stres yang dapat mempengaruhi sifat dari stresor seperti lingkungan, baik secara fisik, psikososial maupun spiritual. Sumber stresor lingkungan fisik dapat berupa fasilitas-fasilitas seperti air minum, makan, atau tempat-tempat umum sedangkan lingkungan psikososial dapat berupa suara atau sikap kesehatan atau orang yang ada disekitarnya, sedangkan lingkungan spiritual dapat berupa tempat pelayanan keagamaan seperti fasilitas ibadah atau lainnya.

3. Penyebab stres


(24)

kehilangan atau kekurangan air, oksigen, makanan, cacat, nyeri, dll. 2) Faktor psikologis: kehilangan orang yang dicintai, perpisahan. 3) Faktor sosial: perubahan tempat tingal, masalah ekonomi, dikucilkan. 4) Faktor mikrobiologi: kuman penyakit.

4. Tanda & gejala stres

Gejala-gejala ini bisa menjadi tanda-tanda awal dari bakal timbulnya masalah kesehatan, atau bahkan dari kondisi yang memerlukan perhatian medis. Gejala-gejala stres menurut Hardjana (1994) dibagi dalam a) Gejala Fisikal: sakit kepala, pusing, pening, tidur tidak teratur: insomnia (susah tidur), tidur terlantur, bangun terlalu awal, sakit punggung, terutama di bagian bawah, mencret-mencret dan radang usus besar, sulit buang air besar, sembelit, gatal-gatal pada kulit, urat tegang-tegang terutama pada leher dan bahu, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, keringat berlebih, selera makan berubah, lelah atau kehilangan daya energi. b) Gejala emosional: gelisah atau cemas, sedih, depresi, mudah menangis, mood/suasana hati berubah-ubah cepat, mudah panas/ emosi dan marah, gugup, rasa harga diri menurun atau merasa tidak aman, terlalu peka dan mudah tersingung, marah-marah, gampang menyerang orang dan bermusuhan, emosi mengering atau kehabisan sumber daya mental (burn out). c) Gejala intelektual: susah berkonsentrasi atau memusatkan pikiran, sulit membuat keputusan, mudah terlupa, pikiran kacau, daya ingat menurun, melamun secara berlebihan, pikiran dipenuhi oleh satu pikiran saja, kehilangan rasa humor yang sehat, produktivitas atau prestasi kerja menurun, mutu kerja rendah, dalam kerja


(25)

bertambah jumlah kekeliruan yang dibuat. d) Gejala interpersonal: kehilangan kepercayaan kepada orang lain, mudah menyalahkan orang lain, mudah membatalkan janji atau tidak memenuhinya, suka mencari-cari kesalahan orang lain atau menyerang orang dengan kata-kata, mengambil sikap terlalu membentengi dan mempertahankan diri, mendiamkan orang lain.

5. Tahapan stres

Gejala-gejala stres pada diri seseorang sering sekali tidak disadari karena perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat. Dan, baru dirasakan bilamana tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di tempat kerja ataupun pergaulan lingkungan sosialnya. Amberg (1979 dalam Hawari, 2001) dalam penelitiannya membagi tahapan-tahapan stres sebagai berikut:

5.1. Stres tahap I

Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan, dan biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut, yaitu: Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting), penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya, merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya; namun tanpa disadari cadangan energi habis (all out) disertai rasa gugup yang berlebihan pula, merasa senang dengan pekerjaannya itu dan semakin bertambah semangat, namun tanpa disadari cadangan energi semakin menipis.


(26)

5.2. Stres tahapan II

Dalam tahapan ini dampak stres yang semula “menyenangkan”

sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari karena tidak cukup waktu untuk istirahat. Istirahat antara lain dengan tidur yang cukup bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan energi yang mengalami defisit. Analog dengan hal ini adalah misalnya handphone (HP) yang sudah lemah harus kembali diisi ulang (dicharge) agar dapat digunakan lagi dengan baik. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang yang berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut, yaitu: Merasa letih sewaktu bangun pagi, yang seharusnya merasa segar, merasa mudah lelah sesudah makan siang, lekas merasa capai menjelang sore hari, sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman (bowel discomfort), detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar), otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang, tidak bisa santai

5.3. Stres tahapan III

Bila seseorang itu tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa menghiraukan keluhan-keluhan sebagaimana diuraikan pada stres tahap II tersebut di atas, maka yang bersangkutan akan menunjukkan keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu yaitu: Gangguan lambung

dan usus semakin nyata; misalnya keluhan “maag” (gastritis), buang air besar tidak teratur (diare), ketegangan otot-otot semakin terasa, perasaan


(27)

ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat, gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar kembali tidur (middle insomnia), atau bangun terlalu pagi/ dini hari dan tidak dapat kembali tidur (late insomnia), koordinasi tubuh terganggu (badan terasa oyong dan serasa mau pingsan).

Pada tahap ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter untuk memperoleh terapi, atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh memperoleh kesempatan untuk beristirahat guna menambah suplai energi yang mengalami defisit.

5.4. Stres tahapan IV

Tidak jarang seseorang pada waktu memeriksakan diri ke dokter sehubungan dengan keluhan-keluhan stres tahap III di atas, oleh dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ tubuhnya. Bila hal ini terjadi dan yang bersangkutan terus memaksakan diri untuk bekerja tanpa mengenal istirahat, maka gejala stres tahap IV akan muncul sebagai berikut: untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit, aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit, yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespons secara memadai (adequate), ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari, gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan, seringkali menolak ajakan (negativism) karena tiada semangat dan kegairahan, daya konsentrasi dan daya ingat menurun, timbul


(28)

perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya.

5.5. Tahap V

Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahap V yang ditandai dengan hal-hal berikut, yaitu: Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam (physical and psychological exhaustion), ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana, gangguan sistem pencernaan semakin berat ( gastro-intestinal disorder), timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik.

5.6. Stres tahap VI

Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang mengalami stres tahap VI ini berulang-kali dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ke ICU, meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stres tahap VI ini adalah sebagai berikut, yaitu: Debaran jantung teramat keras, susah bernafas (sesak dan megap-megap), sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran, ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan, pingsan atau kolaps (collapse)

Bila dikaji maka keluhan atau gejala-gejala sebagaimana digambarkan diatas lebih didominasi oleh keluhan-keluhan fisik yang


(29)

disebabkan oleh gangguan faal (fungsional) organ tubuh sebagai akibat stresor psikososial yang melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasinya.

6. Tingkatan stres

Tingkatan stres menurut Acdiat (2000), stres dapat dibedakan yaitu: 6.1. Stres ringan

Dalam tingkatan yang masih ringan belum berpengaruh kepada fisik dan mental hanya saja sudah mulai agak sedikit tegang dan was-was. 6.2. Stres sedang (medium)

Pada tingkat medium ini individu mulai kesulitan tidur, sering menyendiri dan tegang.

6.3. Stres berat (kronis)

Pada keadaan stres berat ini individu sudah mulai ada gangguan fisik dan mental. Dan yang paling berat akan terjadi stroke dan memerlukan bantuan penanganan dokter saraf

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres

Rasmun (2004) menyatakan setiap individu akan mendapat efek stres yang beda-beda. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, yaitu:

7.1. Kemampuan individu mempersepsikan stresor

Jika stresor dipersepsikan mengancam akan berakibat buruk bagi individu tersebut, maka tingkat stres yang dirasakan kan semakin berat. Sebaliknya, jika stresor dipersepsikan tidak mengancam dan individu


(30)

tersebut mampu mengatasinya, maka tingkat stres yang dirasakan akan lebih ringan.

7.2. Intensitas terhadap stimulus

Jika intensitas serangan stres terhadap individu tinggi, maka kemungkinan kekuatan fisik dan mental individu tersebut mungkin tidak akan mampu mengadaptasikannya.

7.3. Jumlah stresor yang harus dihadapi dalam waktu yang sama

Jika pada waktu yang bersamaan bertumpuk sejumlah stresor yang harus dihadapi, stresor yang kecil dapat menjadi pemicu yang mengakibatkan reaksi yang berlebihan.

7.4. Lamanya pemaparan stresor

Memanjangnya lama pemaparan stresor dapat menyebabkan menurunnya kemampuan individu dalam mengatasi stres.

7.5. Pengalaman masa lalu

Pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi stresor yang sama.

7.6. Tingkat perkembangan

Pada tingkat perkembangan tertentu terdapat jumlah dan intensitas stresor yang berbeda sehingga resiko terjadinya stres pada tingkat perkembangan akan berbeda.

B. Dampak Stres Pada Narapidana Wanita

Lembaga pemasyarakatan secara alami adalah tempat yang stressfull atau menekan. Terminology stres mengacu pada keadaan internal (individu)


(31)

yang disebabkan karena adanya sesuatu yang secara fisik berpengaruh pada tubuh (penyakit, perubahan temperatur, dan sebagainya) atau oleh lingkungan dan situasi sosial yang dinilai mengancam atau membahayakan. Stresor tertentu mengakibatkan keadaan stres yang mengarahkan pada munculnya respon-respon tertentu baik berupa respon fisik pada tubuh (sakit perut, pusing, jantung berdebar dan sebagainya), atau respon psikologis seperti kecemasan dan depresi (Clifford dkk, 1986).

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh Rias Tanti (2007) kepada 345 responden dalam penelitiannya Stres pada Penghuni Lapas, diketahui bahwa respon atau reaksi individu terhadap peristiwa yang menekan (stres) dapat berupa berbagai aspek atau level, meliputi aspek fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku.

Gangguan sakit (fisik) dapat ditandai oleh adanya masalah fisik yang sesungguhnya, tetapi dapat pula disebabkan dan diperparah oleh adanya faktor-faktor emosional termasuk di dalamnya stres. Seringkali gangguan psikologis akan menyebabkan dan diikuti oleh keluhan-keluhan, secara fisik juga akan makin parah jika disertai oleh adanya gangguan psikologis. Pada level fisiologis, keluhan yang paling menonjol dialami responden adalah keluhan badan pegal-pegal, sakit kepala, dan fatique atau rasa lelah yang amat sangat. Untuk emosi negatif yang prevalensi kejadiannya cukup sering dialami oleh responden yang tertinggi adalah perasaan khawatir, perasaan sedih, perasaan takut tanpa alasan jelas dan mudah marah.


(32)

Gangguan psikologis juga berdampak pada perubahan cara berpikir atau aspek kognitif individu. Depresi dapat diakibatkan oleh keadaan tak berdaya, tetapi dapat pula mengakibatkan seseorang menjadi tak berdaya, kehilangan kepercayaan diri dan putus asa. Pada level kognitif, gejala yang paling menonjol yang dialami oleh responden adalah perasaan bersalah yang berlebihan dan bahkan menyatakan selalu dihantui perasaan bersalah, kemudian perasaan tidak berharga dan dengan persentase terendah adalah perasaan putus asa.

Gangguan psikologis pada level fisik, emosi dan kognitif akan dapat terlihat pada level individu. Pada level perilaku, gangguan psikologis dapat termanivestasi dalam bentuk perilaku sulit tidur atau bahkan tidur berlebihan, tidak bersemangat, keinginan untuk menyendiri, bahakan keinginan untuk melukai sampai keinginan untuk mengakhiri hidup yang dapat mengarahkan seseorang pada tindakan perilaku sulit tidur. Pada aspek ini, perilaku sulit tidur atau terjaga dari tidur di malam hari memiliki persentase tertinggi, kemudian perilaku berikutnya adalah ingin melukai diri sendiri dan 5,5% responden menyatakan sering dan selalu ingin mengakhiri hidupnya (Tanti, 2007).

Gejala stres yang sering dialami oleh narapidana wanita berdasarkan analisis Office for National Statistic dalam memenuhi kebutuhan kesehatan mental wanita di penjara adalah masalah tidur, mimpi buruk, gangguan konsentrasi dan pelupa, sakit kepala, pusing, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, gangguan penglihatan, jantung berdebar-debar, gelisah, kecemasan (panik & fobia), bicara sendiri, menarik diri/anti-sosial, lesu,


(33)

kebingungan, kemarahan yang tidak rasional, depresi dan ketergantungan

alkohol (O’Brien et al., 2001 dalam Rickford, 2003)

C. Konsep Koping 1. Pengertian koping

Koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi stresfull. Koping tersebut adalah merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik. Koping yang efektif menghasilkan adaptasi yang menetap yang merupakan kebiasaan baru dan perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan koping yang tidak efektif berakhir dengan maladaptif yaitu perilaku yang menyimpang dari keinginan normatif dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain atau lingkungan. Setiap individu dalam melakukan koping tidak sendiri dan tidak hanya menggunakan satu strategi tetapi dapat melakukannya bervariasi, hal ini tergantung dari kemampuan dan kondisi individu (Rasmun, 2004).

2. Sumber-sumber koping

Sumber-sumber koping meliputi status sosioekonomik, keluarga, jaringan interpersonal, dan organisasi sekunder yang dinaungi oleh lingkungan sosial yang lebih luas. Kurangnya sumber personal tersebut menambah stres bagi individu (Stuart. G. W. & Sandra, J.S., 1998).

3. Strategi koping

Strategi koping yang bisa digunakan menurut Lazarus dan Folkman (1984) yaitu:


(34)

3.1.Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping)

Problem focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. Problem focused coping ditujukan dengan mengurangi demands dari situasi yang penuh dengan stres atau memperluas sumber untuk mengatasinya. Strategi yang dipakai dalam problem focused coping antara lain sebagai berikut: a) Confrontative coping: usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan risiko, b) Seeking social support: usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain, c) Planful problem solving: usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analistis.

3.2. Emotion Focused Coping

Emotion focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respons emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Strategi yang digunakan dalam emotion focused coping antara lain sebagai berikut: a) Self-control: usaha mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan, b) Distancing: usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggap masalah sebagai lelucon, c) Positive reappraisal: usaha


(35)

mencari makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius, d) Accepting responsbility: usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik, e) Escape/avoidance: usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok atau menggunakan obat-obatan.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi strategi koping menurut Lazarus dan Folkman (1984), yaitu:

4.1. Kesehatan fisik

Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.

4.2. Keyakinan atau pandangan positif

Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi koping: problem-solving focused coping 4.3. Keterampilan memecahkan masalah

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk


(36)

menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat. 4.4. Keterampilan sosial

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.

4.5. Dukungan sosial

Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya. 5. Penggolongan Mekanisme Koping

Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua (Stuart dan Sundeen, 1995) yaitu:

5.1. Mekanisme koping adaptif

Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar, dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif. 5.2. Mekanisme koping maladaptif

Mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan


(37)

otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan/tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar.

D. Koping Narapidana Wanita

Menjalani masa hukuman di lapas menurut Cooke dkk (2008) sering kali merusak bagi napi. Kadang-kadang gangguan psikologis terjadi sedemikian rupa, sehingga menyebabkan penderitaan bagi napi. Ini mungkin tidak langsung terlihat karena penderitaan tidak muncul sebagai gangguan psikiatris, tetapi meletus dalam bentuk kemarahan, kekerasan, mencederai diri sendiri, atau menarik diri.

Perbuatan yang sering dilakukan napi dalam melukai diri sendiri adalah memotong urat nadi, overdosis obat, meloncat dari atap dan lain-lain. Tindakan percobaan bunuh diri/bunuh diri dilakukan oleh napi karena mereka merasa sangat tertekan, hingga merasa lebih baik mati saja. Ada cara yang dilakukan napi untuk memanipulasi keadaan, sehingga ia dapat mengubah keadaan yang ia rasakan karena merasa sangat putus asa, yaitu dengan cara mengajak petugas berbicara tentang masalah pribadinya. Ada juga bentuk lain dari menyakiti diri sendiri, tetapi tidak membahayakan nyawa seperti menggaruk kulit sampai mengelupas, atau menelan sesuatu. Ini bisa terjadi sebagai jawaban terhadap masalah yang dihadapi. Kadang-kadang napi mencederai dirinya dan tidak memikirkan apa yang terjadi sesudahnya. Kadang-kadang juga aksi menggaruk kulit sampai mengelupas itu memberikan perasaan lega bagi si napi. Mereka mungkin mengalami kekhawatiran dan tekanan yang meningkat, yang ternyata mereka rasakan berkurang berkurang ketika kulit mereka terluka dan terlihat


(38)

darah mengucur. Perilaku menggaruk kulit ini pada umumnya terjadi pada pelanggar muda dan napi wanita.


(39)

BAB III Kerangka Penelitian 1. Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian dalam penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan stres dan koping yang ditunjukkan narapidana wanita di lapas klas II.A Tanjung Gusta Medan. Adapun skema kerangka penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Skema 3.1 Kerangka konseptual stres dan koping narapidana wanita di lapas klas II.A Tanjung Gusta Medan adalah:

Ringan

Sedang

Berat

berfokus pada masalah

berfokus pada emosi Stres narapidana wanita

- Gejala fisikal - Gejala emosional - Gejala intelektual - Gejala interpersonal

Koping narapidana

wanita


(40)

2. Definisi operasional

Tabel 3.2 Definisi operasional stres dan koping narapidana wanita di lapas klas II.A Tanjung Gusta Medan

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala 1. Stres

narapidana wanita

Respon subjektif yang ditunjukkan oleh narapidana wanita secara fisikal,

emosional, intelektual maupun interpersonal terhadap tekanan-tekanan maupun perubahan yang dialaminya selama di dalam penjara Kuesioner sebanyak 28 pertanyaan. Pilihan jawaban: 3= selalu 2= sering 1= jarang 0= tidak pernah

Ringan: 0-27 Sedang: 28-55 Berat: 56-84 ordinal

2. Koping narapidana wanita

Usaha atau cara yang dilakukan oleh narapidana wanita dalam menghadapi setiap tekanan-tekanan maupun perubahan lingkungan yang dialaminya selama di dalam penjara Kuesioner sebanyak 20 pernyataan. 10 pernyataan koping berfokus pada masalah 10 pernyataan koping berfokus pada emosi Pilihan jawaban: Pernyataan positif 3= selalu Koping berfokus pada masalah Koping berfokus pada emosi Nominal


(41)

2= sering 1= jarang 0= tidak pernah Pernyataan negatif 0= selalu

1= sering 2= jarang 3= tidak pernah


(42)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif untuk menggambarkan stres dan koping pada narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan klas II.A wanita Tanjung Gusta Medan.

B. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2010). Populasi penelitian ini adalah narapidana wanita yang ada di lapas klas II.A Tanjung Gusta Medan. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan pada tanggal 20 November 2014 ada 365 orang narapidana wanita dewasa yang sedang menjalani masa hukumannya di lapas klas II.A wanita Tanjung Gusta Medan

2. Sampel penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya (Sastroasmoro dan Ismael, 2011)

2.1.Teknik sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental/insidental sampling, yang merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai


(43)

sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2010).

2.2.Jumlah sampel

Besar sampel yang diambil dihitung menggunakan rumus Slovin: n = N

N(e)²+1 n = 365

365(0.01) ²+1 n = 365

3,65+1 n = 365 4,65 n = 78,49 n = 78 orang Keterangan:

N : jumlah populasi n : jumlah sampel

e : tingkat kesalahan(1%, 5%, 10%)

Dengan tingkat kesalahan yang dipilih adalah e=10% (Noor J, 2011). Populasi narapidana wanita yang ada di Lembaga Pemasyarakatan klas II.A Tanjung Gusta Medan adalah 365 orang sehingga dengan menggunakan rumus tersebut jumlah sampel penelitian adalah 78 orang.


(44)

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lapas wanita klas II.A Tanjung Gusta Medan. Adapun alasan pemilihan lokasi tersebut karena subjek penelitian adalah narapidana wanita dan lokasi penelitian merupakan tempat penampungan atau penahanan napi wanita, sehingga akan memudahkan peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret-April 2015.

D. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah proposal penelitian diterima dan disetujui oleh Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara serta telah lulus uji etik oleh komisi etik penelitian kesehatan Fakultas Keperawatan USU. Dalam melakukan penelitian ini, ada beberapa pertimbangan etik yang harus diperhatikan, yaitu saat melakukan penelitian, peneliti menghargai hak kebebasan setiap orang. Artinya tetap memberikan kebebasan kepada responden dalam menentukan dirinya apakah bersedia untuk menjadi responden penelitian.

Lembar persetujuan diberikan kepada responden sebagai subjek penelitian. Peneliti memberi penjelasan secara jujur kepada calon responden penelitian (informed consent) tentang tujuan penelitian dan prosedur pelaksanaan penelitian (veracity), bila calon responden bersedia, maka responden dipersilahkan untuk menandatangani lembar persetujuan tersebut.


(45)

Tetapi bila calon responden tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati keputusan responden (autonomy).

Penelitian ini tidak beresiko bagi individu yang menjadi responden, baik resiko fisik maupun psikologis (Non-maleficence). Kerahasiaan catatan mengenai data responden dijaga dengan cara tidak menuliskan nama responden pada lembar pengumpulan data, hanya dengan menuliskan kode (anonimity). Kerahasiaan informasi responden terjamin oleh peneliti, hanya data tertentu saja yang dilaporkan sebagai hasil penelitian (confidentiality). Selama proses pengumpulan data peneliti akan tetap menghargai dan menghormati responden, tidak bersikap kasar terhadap responden (respect), tidak membeda-bedakan responden dan memberikan perlakuan yang sama bagi semua responden (justice). Peneliti akan tetap mendampingi selama responden mengisi lembar kuesioner (fidelity) dan memberikan penjelasan jika ada hal yang kurang dimengerti oleh responden (beneficence). Setelah data dikumpulkan, semua data-data akan dimusnahkan untuk menjaga kerahasiaan informasi dari responden.

E. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan alat pengumpul data berupa kuesioner. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga bagian yaitu, bagian pertama instrumen penelitian mengenai data demografi narapidana wanita yang ada di Lapas Tanjung Gusta meliputi usia, agama, suku, status pernikahan, lamanya masa tahanan yang sudah dijalani, penyakit yang diderita dan vonis hukuman yang diterima.


(46)

Bagian kedua instrumen yang berkaitan dengan stres dan yang tarakhir koping narapidana.

Kuesioner stres dalam penelitian ini diambil dari Hardjana (1994), dan dimodifikasi dan tidak menggunakan seluruh pernyataan dikarenakan bahasanya yang rancu dan jumlah pernyataan yang terlalu banyak. jumlah pernyataan yang diambil sebanyak 28 pertanyaan, dengan menggunakan skala likert. Komponen dari kuesioner ini berisi pernyataan mengenai gejala fisikal, gejala emosional, gejala intelektual dan gejala interpersonal, masing-masing 7 pernyataan dengan pilihan jawaban: selalu= 3, sering= 2, jarang= 1, tidak pernah= 0. Untuk penilaian stres responden, dalam penelitian ini akan dikategorikan sebagai stres ringan, sedang dan berat. Menurut Sudjana (2005) untuk menentukan kategori stres digunakan rumus statistik yaitu:

Rentang kelas Berdasarkan rumus statistik P =

Banyak kelas

Dimana P merupakan panjang kelas dengan rentang nilai tertinggi dikurangi rentang nilai terendah. Sehingga diperoleh rentang nilai tertinggi adalah 84 dan terendah adalah 0 dengan banyak kelas tiga kategori yaitu stres berat, stres sedang, dan stres ringan, dengan P adalah 28. Semakin tinggi skor yang diperoleh, semakin berat tingkat stresnya.

Maka dapat dikategorikan tingkat stres sebagai berikut: Stres tingkat ringan --- 0-27

Stres tingkat sedang --- 28-55 Stres tingkat berat --- 56-84


(47)

Kuesioner koping dalam penelitian ini menggunakan Ways of Coping Questionnaire (Folkman & Lazarus, 1988) yang dimodifikasi dan tidak mengambil keseluruhan item karena jumlahnya terlalu banyak. Pernyataan yang diambil sebanyak 20 pernyataan, dan untuk kuesioner ini peneliti menggunakan skala likert. Komponen dari kuesioner ini meliputi 10 pernyataan koping berfokus pada masalah, 10 pernyataan koping berfokus pada emosi. Pengkategorian koping narapidana wanita dihitung dengan cara menghitung skor dari pernyataan koping yang berfokus pada masalah dan koping yang berfokus pada emosi. Setelah itu skor ke dua koping tersebut dibandingkan, koping mana yang jumlah skornya paling tinggi berarti responden tersebut lebih dominan menggunakan koping tersebut.

F. Uji Validitas & Reliabilitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2010). Sebuah instrumen dikatakan valid apabila instrumen itu mampu mengukur sesuatu yang seharusnya diukur menurut situasi dan kondisi tertentu. Prinsip validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keandalan instrumen dalam mengumpulkan data. Ada 2 hal penting yang harus dipenuhi dalam menentukan validitas pengukuran yaitu instrumen harus (1) relevan isi instrumen yaitu isi instrumen harus disesuaikan dengan tujuan penelitian agar dapat mengukur apa yang seharusnya diukur dan (2) relevan sasaran subjek dan cara pengukuran yaitu instrumen yang disusun dapat memberikan gambaran terhadap perbedaan subjek penelitian (Nursalam, 2009). Instrumen


(48)

penelitian ini di uji validitas oleh dosen yang ahli dalam bidang ini, yaitu oleh ahli spesialis keperawatan jiwa Walter, S. Kep., Ns., M. Kep., Sp. KepJ. Hasil validasi instrumen penelitian ini, baik kuesioner stres dan kuesioner kopingnya memiliki CVI (Content Validity Index) 1.

Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta atau kenyataan diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu berlainan. Uji reliabilitas ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar derajat atau kemampuan alat ukur untuk mengukur secara konsistensi sasaran yang akan diukur. Alat ukur yang baik adalah alat ukur yang memberikan hasil yang sama bila digunakan beberapa kali pada kelompok sampel.

Uji realibilitas dilakukan pada 20 orang narapidana wanita dewasa yang ada di Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wanita Tanjung Gusta di luar sampel dalam penelitian ini. Uji reliabilitas ini dilakukan dengan menggunakan Cronbach Alfa untuk pernyataan stres dan koping narapidana wanita. Hasil realibilitas dari kuesioner stres bernilai 0,859 dan kuesioner koping bernilai 0,841. Kuisioner ini dikatakan reliabel bila hasil reliabilitasnya bernilai > 0.70 (Hidayat, 2007).

G. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri dan prosedur pengumpulan data dilakukan dengan meminta permohonan izin penelitian dari institusi pendidikan, dan mengirimkan surat permohonan izin meneliti di kantor wilayah Medan. Peneliti memperkenalkan diri kepada petugas lapas sebelum memulai penelitian, setelah itu memberikan penjelasan kepada calon


(49)

responden tentang tujuan, manfaat dan prosedur pengumpulan data dari penelitian ini. Lalu responden diminta untuk menandatangani surat persetujuan menjadi responden dan mengisi lembar kuisioner dari penelitian ini. Selama proses pengisian kuesioner, ada beberapa responden yang kesulitan menulis dan membaca sehingga meminta bantuan peneliti, jadi peneliti membacakan setiap pernyataan dari kuesioner dan mengisi sesuai jawaban responden. Setelah seluruh responden mengisi kuisioner, maka peneliti mengumpulkan semua kuisioner dan mengolah data.

H. Analisa Data

Setelah data terkumpul, maka dilakukan analisa data melalui beberapa tahap. Pertama adalah editing, mengecek kelengkapan identitas dan data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai dengan petunjuk yang diberikan, koding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuisioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa. Kemudian memasukkan data ke komputer (data entry), dan analisa data dilakukan melalui pengolahan data secara komputerisasi. Setelah itu semua kuesioner dimusnahkan untuk menjaga kerahasiaan dari responden.

Untuk mengetahui tingkat stres narapidana wanita dibagi menjadi tiga yaitu tingkat stres ringan, sedang dan berat. Untuk mengetahui koping narapidana wanita dibagi menjadi dua yaitu koping adaptif dan koping maladaptif. Data demografi dan hasil kuisioner akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekwensi dan persentase.


(50)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian dan pembahasan mengenai gambaran stres dan koping narapidana wanita di klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan yang dilakukan pada bulan Maret-April 2015. Penyajian data meliputi karakteristik responden, gambaran stres dan koping responden yang akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase. A. Hasil Penelitian

1. Karakteristik responden

Data demografi responden meliputi usia, agama, suku, status pernikahan, lama masa tahanan yang telah dijalani, penyakit yang diderita dan vonis yang diterima. Hasil penelitian dari 78 responden menunjukkan bahwa karakteristik usia yang terbanyak adalah dewasa awal (19-40) sebanyak 58 orang (74,4%), agama responden yang terbanyak adalah beragama Islam yaitu 71 orang (91%), suku responden terbanyak adalah suku jawa yaitu 35 orang (44,9%), status pernikahan responden yang terbanyak adalah menikah 35 orang (44,9%) dan janda 35 orang (44,9%), lama masa tahanan yang telah dijalani oleh responden yang terbanyak adalah di bawah 12 bulan yaitu 50 orang (64,1%), kondisi kesehatan responden yang terbanyak adalah tidak memiliki penyakit yang diderita yaitu 60 orang (76,9%), dan vonis yang diterima oleh responden yang terbanyak adalah di atas 3 tahun yaitu 42 orang (53,8%). Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden narapidana wanita klas IIA Tanjung Gusta Medan diuraikan pada tabel 5.1.


(51)

Tabel 5.1: Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan (n= 78)

Karakteristik Frekuensi (f)

Persentase (%)

Kategori stres Kategori koping

Ringan Sedang Berat Fokus

masalah

Fokus emosi 1. Usia (Erikson)

a. Dewasa awal (19-40 thn)

58 74,4 24 34 0 13 45

b. Dewasa menengah

(41-60 thn)

20 25,6 10 9 1 3 17

1. Agama

a. Islam 71 91 31 40 0 16 55

b. Kristen 7 9 3 3 1 0 7

2. Suku

a. Batak 26 33,3 12 13 1 6 20

b. Jawa 35 44,9 15 20 0 8 27

c. Padang 5 6,4 3 2 0 2 3

d. Melayu 3 3,8 1 2 0 0 3

e. Lain-lain 9 11,5 3 6 0 0 9

3. Status pernikahan

a. Menikah 35 44,9 12 22 1 10 25

b. Tidak menikah

8 10,3 3 5 0 3 5

c. Janda 35 44,9 19 16 0 3 35

4. Lama masa tahanan yang telah dijalani

a. <12 bulan 50 64,1 24 25 1 8 42

b. >12 bulan 28 35,9 10 18 0 8 20

5. Penyakit yang diderita

a. ada 18 23,1 6 12 0 3 15

b. Tidak ada 60 76,9 28 31 1 13 47

6. Vonis yang diterima

a. <36 bulan 36 46,2 19 16 1 7 29


(52)

2. Stres narapidana wanita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kategori tingkat stres pada narapidana wanita di klas IIA wanita Tanjung Gusta Medan berdasarkan hasil skor kuesioner yang diberikan pada responden terbanyak adalah stres sedang yaitu 43 orang (55,1%), stres ringan 34 orang (43,6%) dan yang mengalami stres berat berjumlah 1 orang (1,3%).

Tabel 5.2: Distribusi frekuensi dan persentase Stres Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

Kategori Frekuensi (f) Persentase (%)

Ringan 34 43,6

Sedang 43 55,1

Berat 1 1,3

Total 78 100

3. Koping narapidana wanita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa koping narapidana wanita di klas IIA wanita Tanjung Gusta Medan berdasarkan hasil skor kuesioner yang diberikan pada responden yang terbanyak adalah menggunakan koping yang berfokus pada emosi, yaitu 62 responden (79,5%) sedangkan yang menggunakan koping yang berfokus pada masalah sebanyak 16 orang (20,5%). Tabel 5.3: Distribusi frekuensi dan persentase Koping Narapidana Wanita di

Lembaga Pemasyarakatan klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

Kategori Frekuensi (f) Persentase (%)

Koping berfokus pada maslah

16 20,5

Koping berfokus pada emosi

62 759,5


(53)

B. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi stres dan koping narapidana wanita klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, pembahasan dilakukan untuk menjawab pertanyaan peneliti tentang stres dan koping narapidana wanita klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan.

1. Stres narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa gambaran stres responden terbanyak berada pada kategori sedang, yaitu 43 orang (55,1%) dinilai dari tanda dan gejala stres sedangkan responden yang mengalami stres kategori ringan sebanyak 34 orang (43,6%) dan kategori berat sebanyak 1 orang (1,3%). Hal ini dsebabkan banyaknya kegiatan di lapas yang dapat diikuti oleh setiap narapidana, seperti adanya salon, praktik pembuatan kerajinan tangan, adanya usaha laundry, berkebun, membuat usaha sendiri dengan berjualan makanan dan kegiatan olah raga. Kegiatan-kegiatan inilah yang dimanfaatkan oleh narapidana untuk mengisi hari-hari mereka selama di lapas, dan kegiatan-kegiatan ini di jadikan oleh narapidana sebagai pengalihan untuk melupakan stresor mereka sejenak tentang hukuman yang dijalani selama di lapas. Penelitian yang dilakukan Lina (2012) tentang proses pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kerobokan Bali, juga mengatakan dengan adanya pembinaan yang diberikan


(54)

mampu mengubah watak serta mental bagi warga binaan pemasyarakatan sehingga kedepannya mereka lebih dapat terbuka akan segala perubahan kearah yang lebih baik dan memberikan bekal bakat dan ketrampilan bagi narapidana. Sutarjo (2007) juga mengatakan sumber daya eksternal dan dukungan sosial merupakan hal yang penting. Kekuatan-kekuatan/sumber daya yang berasal dari lingkungan seringkali dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap lebih ringannya situasi stres.

Lapas klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan juga mengadakan pembinaan keagamaan bagi narapidana di lapas tersebut. Ditandai dengan adanya kegiatan keagamaan setiap harinya di lapas, yang diikuti oleh sebagian besar narapidana. Narapidana yang menjadi responden dalam penelitian ini juga mengatakan bahwa mereka menjadi lebih tenang dalam menghadapi kehidupan di lapas dengan adanya kegiatan keagamaan ini dan belajar untuk menerima kenyataan tentang keberadaan mereka, belajar untuk bersyukur dan mau menjalani kehidupan lebih baik lagi. Silawaty dan Mochamad (2007) dalam penelitiannya tentang peran agama terhadap penyesuaian diri narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan Tangerang, juga mengatakan bahwa peran agama membantu narapidana dalam penerimaan dirinya berada di lapas, membantu narapidana melihat kehidupan di lapas secara positif, memberikan kekuatan untuk menjalani hari-hari di lapas, narapidana dapat mengekspresikan perasaannya, kecemasan, stres dan depresinya melalui doa, dan juga membantu narapidana dalam mengontrol emosi mereka. Muwarni (2009) juga mengatakan dengan memberikan terapi


(55)

melalui pendekatan agama dalam mengatasi permasalahan psikologis juga dapat membantu seseorang dalam mengatasi stres yang dihadapinya.

Ditinjau dari karakteristik responden, seluruh responden dalam penelitian ini merupakan wanita, di mana ketika wanita sedang mengalami masalah wanita lebih cenderung ingin bercerita dengan orang lain (Musbikin, 2005). Hal ini dilihat dari para narapidana yang ada di lapas klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan yang sering berkumpul dan bercerita bersama, saling menguatkan satu sama lain dan berdasarkan usia, 58 orang (74,4%) responden dalam penelitian ini berada pada tahap dewasa awal. Dimana masa dewasa awal ini dianggap sebagai masa penyesuaian diri terhadap kehidupan dan sosial baru, menyesuaikan diri sesuai harapan sosial, berarti mengembangkan sikap baru, keinginan baru dan nilai-nilai baru sesuai tugas perkembangannya (Zan Pieter & Lumongga, 2011). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Tanti (2007) tentang stres dan kehidupan penghuni lembaga pemasyarakatan di Tangerang yang mengatakan tingkat stres yang tertinggi dialami oleh responden pada rentang usia 20-31 tahun atau dapat dikatakan usia yang berada dalam tahap dewasa awal. Menurut Muwarni (2009) tingkat perkembangan individu juga dapat mempengaruhi respon tubuh. Semakin matang dalam perkembangannya, maka semakin baik pula kemampuannya untuk mengatasi stresor dalam hidupnya.

Berdasarkan status pernikahan responden yang mengalami stres sedang dan berat paling banyak adalah yang berstatus menikah. Hal ini kemungkinan desebabkan karena responden memikirkan kondisi


(56)

anak-anaknya yang ditinggal, bagaimana perkembangan anak-anak-anaknya selama ditinggal oleh ibunya, siapa yang akan mengurus mereka, memperhatikan mereka dan memberikan kasih sayang, juga khawatir akan suami yang harus memiliki peran ganda dalam mencari nafkah dan merawat anak. Juga disebabkan adanya perubahan peran yang harus dialami oleh seorang ibu yang masuk ke lapas, dimana dia yang seharusnya merawat, mendidik, membesarkan anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tetapi harus meninggalkan itu semua karena terperangkap di dalam lapas. Hasriati (2003) mengatakan akibar dari pemenjaraan atau seseorang menjadi narapidana akan berdampak pada perubahan peran tersebut antara lain adalah: mengingkari kemampuan menjalankan peran, kurang tanggung jawab, ketidakpuasan peran, kegagalan menjalankan peran baru, apatis/bosan/jenuh/putus asa.

Hal ini juga sejalan dengan yang diungkap Gunakarya (1988), bahwa ada berapa perubahan peran yang dialami narapidana di Lembaga Pemasyarakatan sebagai anggota sosial maupun sebagai anggota keluarga, antara lain seorang narapidana merasakan menemukan peran baru selama di Lembaga Pemasyarakatan dan tidak terlalu memikirkan atau mengkhawatirkan perannya sebagai anggota keluarga. Ada juga narapidana yang justru mengekspresikan perannya sebagai anggota keluarga dengan perasaan malu, stres dan penyebab beban mental yang paling berat.

Berdasarkan masa tahanan yang telah dijalani, responden yang paling banyak mengalami stres sedang dan berat adalah responden yang menjalani masa tahanan di bawah 12 bulan, bisa jadi hal ini disebabkan karena mereka


(57)

masih membutuhkan adaptasi atau penyesuaian dengan lingkungan baru di lapas, juga dikarenakan mereka yang memikirkan bagaimana masa depan mereka nantinya setelah keluar dari lapas, buruknya stigma masyarakat dan memikirkan bagaimana mereka harus menghabiskan hari-hari mereka selama di lapas. Menurut Hafida (2004) stres yang ditandai dengan kecemasan berat dialami terutama oleh narapidana yakni tentang bagaimana masa depan narapidana setelah menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan . Paparan Hafida selanjutnya mengenai kecemasan menghadapi masa depan yang dialami oleh narapidana disebabkan oleh kondisi masa datang yang belum jelas dan belum teramalkan, sehingga bagaimanapun tetap menimbulkan kekhawatiran dan kegelisahan apakah masa sulit tersebut akan terlewati dengan aman atau merupakan ancaman seperti yang dikhawatirkan.

Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa narapidana wanita di lapas klas IIA memiliki tingkat stres terbanyak dalam kategori sedang, namun ada 1 responden yang memiliki tingkat stres dalam kategori berat. Hal ini bisa disebabkan oleh karena responden tersebut belum bisa menerima kenyataan bahwa ia berada di lapas, tidak mampu mengatasi stresor yang ia terima selama di lapas. Sebagaimana seperti yang di jelaskan oleh Looker dan Olga (2005) yang mendeinisikan stres sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika ada sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya. Mungkin saja responden yang mengalami stres berat ini masih memikirkan tindak kejahatan yang telah diperbuatnya dan merasa bersalah atas perbuatannya. Nasir dan Abdul (2011)


(58)

juga mengatakan bahwa situasi psikologis merupakan hal-hal yang mempengaruhi konsep berpikir (kognitif) dan penilaian terhadap situasi-situasi yang memperngaruhinya. Situasi tersebut berupa konflik, frustasi, serta situasi atau kondisi tertentu yang dapat mempengaruhi penilaian yang memberikan ancaman bagi individu, misalnya tingkat kejahatan yang semakin meningkat akan memberikan rasa kecemasan (stres).

Berdasarkan tanda dan gejala stres dalam kuesioner yang diberikan kepada responden, diperoleh bahwa dari gejala fisikal banyak responden yang jarang mengalami sakit kepala 31 orang (39,7%) dan selera makan yang bertambah 26 orang (33,3%). Berdasarkan gejala emosional, 54 orang (69,2%) menjawab tidak pernah malu bertemu dengan orang yang dikenal, 64 orang (82,1%) menjawab tidak pernah menyerang orang dan bermusuhan. Berdasarkan gejala intelektual 65 orang (83,3%) menjawab tidak pernah melakukan kesalahan saat mengikuti kegiatan di lapas, dan dari gejala interpersonal 69 orang (88,5 %) menjawab tidak pernah mencari-cari kesalahan orang lain dan 63 orang (80,8%) menjawab tidak pernah membatalkan janji. Sebagaimana kita ketahui seseorang yang mengalami stres itu akan mengalami perubahan secara fisikal, emosional, intelektual dan personal, tetapi dari hasil kuesioner perubahan-perubahan ini tidak terlalu dialami oleh para responden. Hal ini jugalah yang mendukung hasil penelitian ini tentang tingkat stres narapidana di lapas klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan.


(59)

2. Koping narapidana wanita di lembaga pemasyarakatan klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

Berdasarkan hasil penelitian tentang koping narapidana wanita yang ditentukan dengan kuesioner diperoleh bahwa 62 orang (79,5%) menggunakan koping yang berfokus pada emosi, dan 16 orang (20,5%) menggunakan koping berfokus pada masalah. Berdasarkan pernyataan dari kuesioner diperoleh koping yang paling sering digunakan dari koping yang berfokus pada emosi adalah berdoa 69 orang (85,9%), tidak menyangkal akan keberadaannya d lapas 63 orang (80,8%), meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan 62 orang (79,5%), tidak menyalahkan orang lain atas kondisi saat ini 61 orang (78,2%), berusaha supaya masalah yang dihadapi tidak mengganggu pikiran 59 orang (75,6%), dan berusaha melihat sisi baik dari setiap hal 56 orang (71,8%). Koping yang paling sering digunakan berdasarkan pernyataan dari koping yang berfokus pada masalah adalah belajar dari pengalaman masa lalu 51 orang (65,4%), berusaha dan berjuang untuk sesuatu yang diinginkan 49 orang (62,8%), mencari saran atau nasehat kepada keluarga 46 orang (59%), mencari saran dan nasehat kepada teman yang saya hormati 44 orang (56,4%), mencari pertolongan pada orang yang lebih tau 43 orang (55,1%).

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Partyka (2001) yang berjudul Stress and Coping Styles of Female Prison Inmates di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa koping yang paling banyak dilakukan oleh narapida adalah spiritualitas, termasuk menghadiri ibadah, membaca Kitab


(60)

Suci, berdoa, meditasi dan intropeksi diri, yang selanjutnya mereka mendapatkan dan mencari dukungan baik dari kelompok khusus, keluarga maupun rekan yang ada di dalam maupun di luar lapas.

Secara keseluruhan, responden memiliki koping yang adaptif dalam menghadapi stresor yang mereka alami selama berada di lapas. Berdasarkan jawaban yang paling banyak, responden mengatakan berdoa merupakan salah satu cara yang mereka gunakan dalam menghadapi stresor yang mereka hadapi selama di lapas, dimana dengan berdoa mereka semakin diteguhkan dalam menjalani kehidupan di lapas dan mampu menerima kondisinya saat ini. Berdoa merupakan bentuk mendekatkan diri kepada Tuhan karena hal itu dianggap sebagai sumber kekuatan agar mampu menerima keadaan yang dihadapi (Fitriyani & Nursani, 2002). Menurut Musbikin (2005) ketika harapan muncul, maka tingkat stres pun akan menurun. Jadi, berdoa dan mendekatkan diri pada Tuhan merupakan strategi koping yang efektif dilakukan narapidana wanita untuk mengatasi stres.

Tidak menyangkal keberadaannya di lapas, berusaha supaya masalah tersebut tidak mengganggu pikiran dan berusaha melihat sisi baik dari setiap hal merupakan koping yang juga sering digunakan oleh responden. Menurut Muhtadin (2002) menerima kenyataan dan berfikir positif dapat menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting untuk membentuk koping yang adaptif dalam mengatasi stres. Responden juga mendapatkan dukungan yang baik dari keluarga dan teman-temannya, sehingga mereka mampu menerima keadaannya saat ini. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ardila dan


(61)

Herdiana (2013) tentang penerimaan diri pada narapidana wanita di Surabaya yang mengatakan bahwa narapidana yang mampu mengubah pengalaman negatif menjadi pengalaman positif dalam hidupnya karena memiliki pemahaman diri yang baik. Penerimaan diri pada narapidana ini dipengaruhi oleh adanya dukungan keluarga secara konsisten dan adanya sikap yang menyenangkan dari lingkungan lapas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan strategi koping adalah kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial. Berdasarkan status kesehatan 60 orang (76,9%) responden dalam penilitian ini mengatakan tidak memiliki penyakit yang diderita. Hal inilah yang mempengaruhi strategi koping yang digunakan oleh responden, karena kesehatan merupakan hal yang penting, selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar. Sebagian besar responden diperkirakan memiliki keyakinan atau pandangan yang positif terhadap keberadaan dirinya sendiri, mereka memiliki keyakinan bahwa kondisi mereka saat ini merupakan suatu pelajaran hidup yang mereka terima untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Responden juga diperkirakan memiliki ketrampilan memecahkan masalah yang baik, ketrampilan sosial yang baik dan memiliki dukungan sosial yang baik, baik itu dari keluarga maupun dari teman mereka. Hal ini dilihat dari tindakan mereka yang mencari saran atau nasehat dari keluarga maupun teman, untuk menceritakan


(62)

apa permasalahan yang mereka hadapi dan solusi yang bisa mereka lakukan dalam menghadapi stresor selama di lapas.

Keseluruhan responden dalam penelitian ini adalah wanita. Sperti yang kita ketahui biasanya wanita memberikan respon yang lebih kuat dan lebih emosional terhadap masalah yang dihadapinya. Sifat wanita lebih emosional dibandingkan dengan pria. Emosi wanita yang kuat mengakibatkan wanita lebih cepat mereaksi dengan hati penuh ketegangan, lebih cepat kecil hati, bingung, takut dan cemas (Kartono, 1992). Emosi, rasio, dan suasana hati yang berhubungan dengan hakekatnya sebagai wanita. Logika berfikirnya wanita dikuasai oleh kesatuan tersebut, didasari oleh aspek emosi, perasaan dan suasana hatinya. Pikiran, perasaan dan kemampuan yang terpadu pada wanita sering kali menggambarkan tindakannya yang sering dilandasi emosi. Seperti, cepat mengambil keputusan, melakukan tindakan, memberi kesan impulsive, belum didahului pemikiran dan pertimbangan yang matang (Gunarsa & Gunarsa, 2004). Wanita menilai bahwa setiap keputusan yang diambil bukanlah bergantung pada orang lain, tetapi karena berdasarkan hati dan hati nurani yang mantap yang berpijak pada kebenaran, dengan dasar keyakinan yang benar. Seorang wanita mengambil keputusan sebagai langkah konkret guna mewujudkan kebenaran itu sendiri (Dariyo, 2003). Hal inilah yang mendasari mengapa koping yang digunakan oleh narapidana wanita di lapas Tanjung Gusta Medan Klas IIA lebih banyak menggunakan koping yang berfokus pada emosi.


(63)

Berdasarkan asumsi peneliti, narapidana di lapas klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan memiliki stres sedang dikarenakan mereka mempunyai penerimaan diri yang baik, juga memiliki keyakinan atau pandangan yang positif terhadap keadaan dirinya, sehingga perubahan-perubahan yang mereka alami selama di lapas mampu mereka atasi. Hal ini juga dikarenakan mereka mendapatkan dukungan yang baik, selain dukungan keagamaan mereka juga mendapatkan dukungan dari keluarga maupun teman dari luar dan dalam lapas. Hal inilah yang memampukan mereka untuk dapat menerima keadaannya saat ini dan mengubah pandangan mereka terhadap diri mereka sendiri. Juga karena banyak kegiatan yang diadakan di lapas, dimana mereka bisa mengembangkan kemampuan mereka dengan hal-hal baru maupun hal yang berguna bagi mereka, sehingga mereka tidak terlarut dalam meratapi kondisi mereka yang sedang berada dalam lembaga pemasyarakatan. Mereka juga secara umum memiliki koping yang adaptif yang lebih banyak menggunakan koping yang berfokus pada emosi, hal ini disebabkan oleh sifatnya wanita yang pada dasarnya membawa setiap hal dalam kehidupannya tergantung pada emosi, rasio dan suasana hati.


(64)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

Kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa stres yang dialami oleh narapidana wanita di lapas klas IIA Tanjung Gusta Medan dalam kategori sedang dan koping yang paling banyak digunakan oleh responden adalah koping yang berfokus pada emosi. Koping yang paling sering digunakan oleh responden adalah berdoa, tidak menyangkal keberadaan dirinya, meminta maaf atas kesalahan yang diperbuat, tidak menyalahkan orang lain atas kondisinya, berupaya supaya masalah tersebut tidak mengganggu pikirannya, berusaha melihat sisi baik dari setiap hal, belajar dari pengalaman masa lalu, berusaha dan berjuang untuk sesuatu yang diinginkan, mencari saran atau nasehat dari keluarga, teman dan orang yang lebih tau.

2. Saran

2.1. Bagi pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan dan masukan bagi pendidikan keperawatan, serta dapat mendidik calon-calon perawat kedepannya sehingga lebih memahami kebutuhan psikologis manusia dan mampu membantu orang-orang sekitarnya yang sedang berhadapan dengan sumber-sumber stres dalam hidupnya.


(65)

2.2. Bagi pelayanan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapakan dapat meningkatkan pelayanan keperawatan jiwa, khususnya pelayanan kesehatan jiwa bagi masyarakat yang sedang mengalami tekanan-tekanan dalam hidupnya, dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan tentang cara-cara adaptif untuk mengatasi stres yang dihadapi, terkhusus bagi narapidana yang sangat membutuhkan dukungan.

2.3. Bagi penelitian keperawatan

Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan lebih mengembangkan penelitian ini dengan melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi stres dan pemilihan koping mereka.

2.4. Bagi Lembaga Pemasyarakatan

Diharapkan bagi lembaga pemasyarakatan wanita mengadakan penyuluhan-penyuluhan cara mengatasi stres bagi narapidana dan mengadakan sesi konseling secara rutin bagi narapidana sehingga narapidana dapat mengutarakan apa yang mereka hadapi selama berada di lapas dan pihak lapas dapat mengetahuinya dan mampu mencari solusi bagi permasalahan yang mereka hadapi.


(66)

Daftar Pustaka

Ardila & Herdiana. (2013). Penerimaan Diri pada Narapidana Wanita. Diunduh pada tanggal 26 Juni 2015, dari http://journal.unair.ac.id

Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Bingswanger dkk. (2010). Gender Differences in Chronic Medical, Psychiatric, and Substance-Dependence Disorders Among Jail Inmates. Diunduh pada tanggal 19 Desember 2014, dari http://scholar.google.com

Briefings, Bromley. (2013). Prison: the facts. Diunduh pada tanggal 22 Desember 2014, dari http://www.prisonreformtrust.org.uk

Cooke dkk. (2008). Menyingkap Dunia Gelap Penjara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Dariyo, A. (2003). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Gresindo Dirjen Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. (2014). Data

Terakhir Jumlah Penghuni Perkanwil. Diunduh tanggal 14 Oktober 2014, dari http://smslap.ditjenpas.go.id

Gunakarya, W. (1988). Sejarah dan Konsep Pemasyarakatan. Bandung: Amrico Gunarsa & Gunarsa. (2004). Psikologi untuk Muda-Mudi. Jakarta: Gunung Mulia Hamdan, M. (2005). Tindak Pidana Suap & Money Politics. Medan: Pustaka

Bangsa Press

Hardjana, A. M. (1994). Stres tanpa Distres: Seni Mengolah Stres. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Hasriati. (2003). Majalah Keperawatan Noursing Journal of Padjajaran University, Volume 5 no. IX. Bandung: PSIK UNPAD Bandung

Hawari, Dadang. (2001). Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Hidayat, A. A. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika

Hidayat, A. A. (2008). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

HM Inspectorate of Prisons. (2005). Women in Prison. Diunduh pada tanggal 27 Januari 2015, dari http://www.justice.gov.uk


(1)

113


(2)

(3)

115


(4)

(5)

117


(6)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Sri Agustika Marbun

NIM : 111101059

Tempat, Tanggal Lahir : Dumai, 29 Agustus 1993 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Gg. Sehati No. 8, Padang Bulan Medan Riwayat Pendidikan :

Tahun 1998-1999 TK ESTOMIHI Dumai Tahun 1999-2005 SD Santo Filius Dei Dumai Tahun 2005-2008 SMPN 2 Dumai

Tahun 2008-2011 SMA Santo Tarcisius Dumai Tahun 2011- sekarang Fakultas Keperawatan USU