Rekomendasi program kegiatan perencanaan lahan rawa untuk

11 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah Konsep pengembangan wilayah berbeda dengan konsep pembangunan sektoral, karena pengembangan wilayah sangat berorientasi pada isu permasalahan pokok wilayah secara terkait, sementara pembangunan sektoral sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor tertentu tanpa terlalu memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lainnya. Konsep pengembangan wilayah regional development merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya dan geografis yang sangat berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Pada dasarnya pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi dan permasalahan wilayah yang bersangkutan. Pembangunan sektoral dan regional berbeda dalam orientasi tetapi saling melengkapi, dimana revisi tata ruang tidak mungkin terwujud tanpa adanya pembangunan sektoral. Sebaliknya, pembangunan sektoral tanpa pengembangan wilayah akan berujung pada tidak optimalnya pembangunan sektor itu sendiri Riyadi 2002. Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan 2002, ditetapkan prinsip- prinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah: 1. Sebagai growth center Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh spread effect pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional. 2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan revisi tata ruang. 3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan. 4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan. Sasaran utama yang banyak dicanangkan oleh pemerintah daerah maupun pusat dalam mengembangkan wilayahnya adalah meningkatkan pertumbuhan produktivitas productivity growth, memeratakan distribusi pendapatan income distribution, memperluas kesempatan berusaha atau menekan tingkat pengangguran unemployment rate, serta menjaga pembangunan agar tetap berjalan secara berkesinambungan sustainable development Alkadri dan Djajaningrat 2002. Pembangunan sektor pertanian dan wilayah perdesaan sekarang dianggap sangat penting, karena apabila pembangunan sektor ini di wilayah tersebut menjadi tidak berhasil dikembangkan, terutama dalam jangka menengah dan jangka panjang, dapat memberi dampak negatif terhadap pembangunan nasional keseluruhannya, berupa terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antar wilayah dan antar kelompok tingkat pendapatan. Pada gilirannya keadaan ini menciptakan ketidakstabilan instabillity yang rentan terhadap setiap goncangan 12 yang menimbulkan gejolak ekonomi sosial yang dapat teriadi secara berulang ulang Anwar dan Rustiadi 1999. Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Gambut Konsep pertanian yang berkelanjutan dapat diwujudkan dengan perencanaan wilayah yang berbasiskan sumberdaya alam yang ada di suatu wilayah tertentu. Konsep perencanaan mempunyai arti penting dalam pembangunan nasional karena perencanaan merupakan suatu proses persiapan secara sistematis dari rangkaian kegiatan yang akan dilakukan dalam usaha pencapaian suatu tujuan tertentu. Perencanaan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah haruslah mencakup aspek kesejahteraan masyarakat untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai, sesuai dengan kondisi dan potensi sumberdaya yang dimiliki agar pelaksanaan pembangunan tersebut dapat berjalan lebih efektif dan efesien. Perencanaan pembangunan wilayah adalah suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori kedalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang didalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan. Pembangunan pertanian yang kokoh dan tangguh, artinya pembangunan yang dilakukan harus didukung oleh segenap komponen secara dinamis, ulet, dan mampu mengoptimalkan sumberdaya, modal, tenaga, serta teknologi sekaligus mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan pertanian harus berdasarkan asas keberlanjutan, yakni mencakup aspek ekologis, sosial dan ekonomi. Pemanfaatan hutan rawa gambut untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dan perkebunan menghadapi kendala yang cukup berat, terutama dalam mengelola dan mempertahankan produktivitas lahan. Pemanfaatan lahan yang tidak cermat dan tidak sesuai dengan karakteristiknya dapat merusak keseimbangan ekologis wilayah. Berkurang atau hilangnya kawasan hutan rawa gambut akan menurunkan kualitas lingkungan, bahkan menyebabkan banjir pada musim hujan serta kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau. Upaya pendalaman saluran untuk mengatasi banjir, dan pembuatan saluran baru untuk mempercepat pengeluaran air justru menimbulkan dampak yang lebih buruk, yaitu lahan pertanian di sekitarnya menjadi kering dan masam, tidak produktif, dan akhirnya menjadi lahan tidur, bongkor, dan mudah terbakar. Pengembangan lahan rawa untuk pertanian mempunyai kendala, baik aspek biofisik maupun sosial, ekonomi dan kelembagaan. Untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam, pengembangan pertanian lahan pasang surut dalam suatu kawasan luas, memerlukan perencanaan dan penanganan yang cermat dan hati-hati. Kekeliruan dalam membuka dan mengelola lahan ini membutuhkan biaya besar untuk merehabilitasinya dan sulit untuk memulihkan kondisi seperti semula Widjaja-Adhi et al. 1992. Budidaya padi di lahan rawa mempunyai resiko yang cukup tinggi karena pada umumnya lahan rawa bersifat masam, miskin unsur hara, dan mengandung besi Fe yang tinggi. Keracunan besi dan ketidakseimbangan kandungan unsur hara merupakan permasalahan utama. Keracunan besi menyebabkan produktivitas padi dilahan rawa relatif rendah 1-2 Tonha atau bahkan tidak menghasilkan. Kondisi ini harus dapat segera diatasi untuk mencegah adanya alih fungsikonversi 13 lahan dari lahan tanaman pangan padi ke lahan perkebunan sawit. Ada beberapa cara untuk mengatasi keracunan besi, diantaranya adalah penanaman varietas yang toleran dan pemupukan untuk meningkatkan keseimbangan unsur hara. Beberapa varietas padi rawa telah dilepas oleh Badan Litbang Pertanian diantaranya adalah Banyu Asin, Dendang, Mendawak, dan Inpara 1 sampai dengan 6. Dengan pengelolaan tanaman dan sumberdaya secara terpadu, produktivitas padi di lahan rawa dapat mencapai 4-6 THa Suprihatno et al. 2011. Lahan rawa pasang surut mempunyai peranan penting dalam mendukung peningkatan ketahanan pangan nasional serta pengembangan sistem dan usaha agribisnis, mengingat potensi arealnya luas dan teknologi pengelolaannya telah tersedia. Beberapa teknologi handal yang telah didapatkan dan diterapkan di lahan rawa, serta varietas yang adaptif telah terbukti mampu memperbaiki kualitas dan meningkatkan produktivitas lahan pasang surut Idak 1982. Keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pertanian atau agribisnis di lahan pasang surut melalui penerapan teknologi pengelolaan lahan dan komoditas yang tepat perlu didukung oleh kemampuan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana yang memadai serta kelembagaan yang efektif dan efisien. Kawasan Hidrologis Gambut Sesuai dengan PP 71 Tahun 2014, gambut merupakan mineral organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang telah terdekomposisi serta terakumulasi pada daerah rawa atau genangan air. Ekosistem gambut adalah tatanan unsur gambut yang mempunyai karakteristik yang unik dan rapuh serta merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh dalam kesatuan hidrologis gambut yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktifitasnya. Kesatuan hidrologis gambut adalah suatu ekosistem gambut yang dibatasi oleh sungai dan atau anak sungai dan atau laut. Proses pembentukan gambut bermula dari adanya genangan di daerah rawa belakang back swamp, danau dangkal atau daerah cekungan yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga genangan tersebut terpenuhi timbunan gambut Gambar 4. Gambut yang tumbuh mengisi genangan tersebut disebut sebagai gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur eutrofik karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh di atas gambut topogen dan hasil lapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk kubah gambut dome yang permukaannya cembung. Gambut yang berkembang di atas gambut topogen disebut sebagai gambut ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah kesuburannya dibanding gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral. 14 Proses tersebut memperlihatkan bahwa antara tanggul sungai, rawa belakang dan kubah gambut terjadi interaksi yang dinamis membentuk ekosistem gambut, dimana lingkungan biofisik, unsur kimia dan unsur organisme saling mempengaruhi membentuk keseimbangan. Dari aspek hidrologi, ekosistem gambut ini secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan hidrologi yang utuh. Adanya gangguan pada salah satu subsistem, misalnya perubahan penggunaan lahan pada daerah kubah, akan memberikan dampak pada subsistem lainnya, diantaranya adalah berubahnya fluktuasi debit air musiman, meningkatnya debit puncak, serta meningkatnya intensitas banjir dan kekeringan. Untuk menunjang pembangunan berkelanjutan maka pengembangan pertanian pada lahan rawa gambut memerlukan perencanaan yang cermat dan teliti, a. Pengisian daerah genangan genangan oleh vegetasi b. Pembentukan gambut topogen c. Pembentukan gambut ombrogen membentuk kubah Gambar 4. Proses Pembentukan Gambut di Daerah Genangan Agus dan Subiksa 2008 Ekosistem 15 penerapan teknologi yang sesuai, dan pengelolaan yang tepat. Konservasi dan optimalisasi pemanfaatan lahan rawa gambut sesuai dengan karakteristiknya memerlukan informasi mengenai tipe, karakteristik, dan penyebarannya. Makin terbatasnya lahan untuk mendukung ketahanan pangan dan memenuhi kebutuhan areal perkebunan dalam rangka pengembangan bioenergi mendorong pemerintah untuk memanfaatkan lahan rawa gambut. Namun, lahan rawa gambut merupakan ekosistem yang rapuh fragile, sehingga pemanfaatannya harus secara bijak a wise landuse dan didasarkan pada karakteristik lahan BBPPSL 2008. Intrusi Air Laut Gupta 1979 menyatakan bahwa salinitas dipengaruhi oleh pasang surut, curah hujan, penguapan, presipitasi dan topografi wilayah. Salinitas atau cekaman garam merupakan salah satu ancaman bagi produktifitas pertanian dunia di masa yang akan datang serta sebagai salah satu penyebab terjadinya degradasi lahan. Di berbagai negara, salinitas telah menjadi hal yang cukup diperhatikan karena efeknya bagi bidang pertanian. Masalah salinitas berhubungan erat dengan kualitas air, praktik irigasi menggunakan air yang memiliki kandungan garam cukup tinggi secara terus menerus akan menyebabkan garam terakumulasi di daerah perakaran tanaman dan mengganggu pertumbuhan tanaman. Tanah salin adalah tanah yang mengandung senyawa organik seperti Na+, Mg2+, K+, Cl+, SO42-, HC03-, dan CO32- dalam suatu larutan sehingga menurunkan produktivitas tanah. Salinitas tanah yang tinggi, akan merusak kesuburan tanah, karena akan mematikan organisme penyubur tanah seperti bakteri dan cacing tanah. Semakin dekat suatu daerah dengan pengaruh air laut, maka akan semakin tinggi kadar garam yang terkandung didalam tanahnya sehingga secara langsung akan menurunkan tingkat kesuburan tanahnya. Garam mempengaruhi pertumbuhan tanaman umumnya melalui: a keracunan yang diakibatkan penyerapan unsur penyusun garam secara berlebihan, seperti sodium, b penurunan penyerapan air, dikenal sebagai cekaman air dan c penurunan dalam penyerapan unsur-unsur penting bagi tanaman khususnya potasium. Gejala awal munculnya kerusakan tanaman oleh salinitas adalah a warna daun yang menjadi lebih gelap daripada warna normal yang hijau-kebiruan, b ukuran daun yang lebih kecil dan c batang dengan jarak tangkai daun yang lebih pendek. Jika permasalahannya menjadi lebih parah, daun akan a menjadi kuning klorosis dan b tepi daun mati mengering terkena “burning” terbakar, menjadi kecoklatan FAO 2005. Salinisasi menjadi hal yang sangat diperhatikan karena kelebihan garam dapat menghalangi pertumbuhan tanaman dengan cara menghalangi kemampuan tanaman untuk menyerap air. Salinitas dapat terjadi secara natural karena kondisi yang disebabkan oleh praktek pengolahan dan manajemen lahan pertanian salah satunya adalah praktek irigasi Materechera 2011. Pada skala bentang lahan, salinitas tanah mampu berkurang akibat pasokan air hujan maupun dari air irigasi dalam volume dan intensitas yang cukup. Salinitas di lahan sawah sangat erat hubungannya dengan pasokan air irigasi dan merupakan cara paling efektif untuk merehabilitasi tanah akibat dari pengaruh salinitas van Asten et al. 2004. Pemetaan salinitas dilakukan secara terintegrasi dengan karakteristik tanah yang bertujuan untuk memprediksi hasil panen Kitchen et al. 1999. Hasil penelitian Sudduth et al. 1995 dan Yan et al. 2007 menghasilkan kesimpulan 16 bahwa keragaman variability salinitas tanah sangat dipengaruhi oleh keragaman karakteristik tanah sehingga untuk mendelineasi distribusi salinitas memerlukan zonasi untuk mengelompokan beberapa karakter homogen lahan sehingga pengambilan titik observasi lebih representatif. Zona tersebut diberi istilah satuan pengelolaan lahan. Johnson et al. 2001 juga menemukan bahwa pemetaan lahan salin berdasarkan parameter utama EC merupakan metode paling bagus untuk penentuan titik pengambilan sampel tanah sekaligus sebagai parameter hubungan spasial pengelolaan lahan dan pengaruhnya terhadap tanah. Bahkan perbandingan metode pembuatan zonasi satuan pengelolaan lahan oleh Ferguson et al. 2003 membuktikan bahwa zonasi yang berdasarkan EC tanah adalah lebih baik bila dibandingkan zonasi yang berdasarkan tekstur tanah permukaan dan kelerengan lahan. Lahan Sulfat Masam Pengembangan lahan sulfat masam untuk lahan pertanian menghadapi banyak kendala, antara lain kemasaman tanah yang tinggi dan ketersediaan hara P yang rendah karena difiksasi oleh Al dan Fe. Rendahnya produktivitas lahan sulfat masam selain disebabkan oleh tingginya kemasaman tanah yang menyebabkan meningkatnya kelarutan unsur beracun seperti Al, Fe, dan Mn, juga karena rendahnya kejenuhan basa. Kemasaman tanah yang tinggi memicu larutnya unsur beracun dan meningkatnya kahat hara sehingga tanah menjadi tidak produktif. Lahan sulfat masam merupakan ekosistem yang potensial untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian, karena arealnya yang cukup luas sehingga mempunyai peran yang strategis dalam mendukung peningkatan produksi beras nasional. Namun lahan sulfat masam bukan hanya cocok untuk tanaman padi, tapi juga tanaman pangan lainnya dan tanaman hortikultura dan perkebunan. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pemanfaatannya harus hati-hati dan terencana agar tidak mengalami degradasi dan menimbulkan masalah lingkungan. Pemanfaatan lahan marginal, seperti lahan sulfat masam, belum diupayakan secara optimal untuk memenuhi dan mempertahankan kebutuhan pangan nasional. Tanah sulfat masam dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu 1 tanah sulfat masam potensial yang dicirinya antara lain lapisan pirit pada kedalaman 50 cm dari permukaan tanah dan 2 semua jenis tanah yang digolongkan sebagai tanah sulfat masam aktual. Adapun yang dimaksud dengan tanah sulfat masam potensial yang dicirikan oleh warna kelabu, kemasaman sedang-sampai dengan masam pH4.0. Sementara itu yang dimaksud dengan tanah sulfat masam aktual yang dicirikan dengan warna kecoklatan pada permukaan, dan sangat masam atau pH 3.5 Noor 1996. Permasalahan yang umum dijumpai pada lahan sufat masam adalah kemasaman tanah yang tinggi, ketersediaan hara P yang rendah dan fiksasi P yang tinggi oleh Al dan Fe. Kemasaman tanah yang tinggi memicu larutnya unsur beracun dan kahat hara sehingga tanah menjadi tidak produktif. Sumber kemasaman tanah sulfat masam berasal dari senyawa pirit FeS ₂ yang teroksidasi melepaskan ion- ion hidrogen dan sulfat yang diikuti oleh penurunan pH menjadi sekitar 3. Keadaan tersebut menyebabkan kelarutan Al meningkat sehingga hampir semua tanaman budidaya, termasuk padi tidak dapat tumbuh secara normal Abdurachman dan Suriadikarta 2000. 17 Evaluasi Kesesuaian Lahan Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna tanah yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, disamping dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan juga akan meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah sosial lain, bahkan dapat menghancurkan suatu kebudayaan yang sebelumnya telah berkembang Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001. Menurut Sitorus 2004 metode evaluasi lahan secara langsung untuk keperluan pertanian pada dasarnya dilakukan melalui percobaan, pengumpulan dan pengolahan data hasil tanaman atau pengukuran komponen produktifitas pertanian lainnya. Produktifitas dapat diukur melalui pengumpulan data hasil tanaman yang umum dibudidayakan atau melalui penghitungan keuntungan kegiatan usahatani pada sebidang lahan tertentu. Menurut Ritung et al. 2007 evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi danatau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini kesesuaian lahan aktual atau setelah diadakan perbaikan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO 1976 dapat dibedakan menurut tingkatannya, yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas dan Unit. Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai S=Suitable dan lahan yang tidak sesuai N=Not Suitable. Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Berdasarkan tingkat detail data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi: 1 Untuk pemetaan tingkat semi detail skala 1:25.000-1:50.000 pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai S dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai S1, cukup sesuai S2, dan sesuai marginal S3. Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai N tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. 2 Untuk pemetaan tingkat tinjau skala 1:100.000 - 1:250.000 pada tingkat kelas dibedakan atas Kelas sesuai S, sesuai bersyarat CS dan tidak sesuai N. Kelas S1 : Sangat sesuai, lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat 18 minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata. Kelas S2: Cukup sesuai, lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan input. Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Kelas S3: Sesuai marginal, lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan intervensi pemerintah atau pihak swasta. Kelas N, lahan yang tidak sesuai karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat danatau sulit diatasi. Subkelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya yang menjadi faktor pembatas terberat, misal Subkelas S3rc, sesuai marginal dengan pembatas kondisi perakaran rc = rooting condition. Unit adalah keadaan tingkatan dalam subkelas kesesuaian lahan, yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Dalam praktek evaluasi lahan, kesesuaian lahan pada kategori unit ini jarang digunakan Ritung et al. 2007. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001 isu utama dalam evaluasi lahan adalah menjawab pertanyaan yaitu lahan manakah yang terbaik untuk suatu jenis penggunaan lahan dan penggunaan lahan apa yang terbaik untuk suatu lahan tertentu. Adanya hasil evaluasi lahan dapat dijadikan dasar untuk memilih komoditas pertanian alternatif yang dikembangkan. Pelaksanaan evaluasi lahan dibedakan ke dalam tiga tingkatan, yaitu : tingkat tinjau skala 1 : 250.000 atau lebih kecil, semi detil skala 1 : 25.000 sampai 1 : 50.000, dan detil skala 10.000 sampai 25.000 atau lebih besar. Menurut Djaenuddin et al. 1994 evaluasi lahan merupakan suatu pendekatan atau cara untuk menilai potensi sumberdaya lahan. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi atau arahan penggunaan lahan yang diperlukan, dan akhirnya nilai harapan produksi yang kemungkinan akan diperoleh. salah satu pendekatan yang digunakan adalah sistem matching atau mencocokkan antara kualitas dan sifat-sifat lahan land qualitiesland characteristics dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan tumbuh komoditas pertanian yang berbasis lahan. Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Kelas kesesuaian suatu lahan dapat berbeda tergantung tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan Djaenuddin et al. 1994. Pada prinsipnya penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara mencocokkan matching data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan mencakup persyaratan tumbuhhidup komoditas pertanian yang bersangkutan, pengelolaan dan konservasi. Pada proses matching hukum minimum dipakai sebagai parameter dalam evaluasi lahan antara lain: kemiringan lereng, temperatur udara, drainase, tekstur, alkalinitas, bahaya banjirgenangan. Perencanaan penentuan wilayah pengembangan komoditas tertentu dalam proses evaluasi lahan dapat dilakukan melalui Sistem Informasi Geografi SIG. SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang 19 bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Untuk keperluan tersebut maka perlu diketahui peta-peta seperti peta lereng, peta status lahan dan peta penutupan lahan. Operasi selanjutnya adalah menumpangtindihkan overlay berbagai peta tersebut sehingga dapat diperoleh lokasi yang sesuai dengan persyaratan komoditas yang bersangkutan Barus dan Wiradisastra 2000. Konservasi Ekosistem Rawa Sumberdaya air merupakan bagian dari kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, secara lestari sebagaimana tercantum dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Konservasi sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumberdaya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai. Ketentuan tentang konservasi sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat 2 menjadi salah satu acuan dalam perencanaan tata ruang. Penentuan kubah gambut pada kesatuan hidrologis gambut diawali dengan pemahaman proses terbentuknya daerah rawa gambut yang sebagian besar terbentuk pada daerah pasang surut. Pada daerah rawa pasang surut dimungkinkan terjadinya daerah genangan rutin dan relatif stabil khususnyap ada daerah rawa belakang, sedangkan pada daerah pinggirnya seperti tanggul sungai dan limpasan akan bersifat dinamik dan senantiasa dapat asupan sedimen dari sungai. Pada daerah bagian tengah atau daerah rawa belakang gambut kemungkinan terbentuknya kubah gambut, yang pada akhirnya akan berperan sebagai daerah resapan air untuk kawasan sekitarnya. Daerah kubah yang idealnya terletak pada daerah cembungan yang dalam prakteknya relatif sulit dilihat secara langsung di lapangan, kecuali melalui kenampakan vegetasi di permukaan atau keberadaan gambut atau genangan atau pola kenampakan air pada daerah tersebut. Kenampakan genangan mengindikasikan bahwa proses pembentukan kubah masih berjalan dan daerah tersebut menunjukkan bahwa potensi gambut dengan tingkat kedalaman yang tinggi. Sebagian ciri-ciri lapangan tersebut dapat dikumpulkan melalui penggunaan citra satelit seperti pola aliran, kenampakan kelembaban, kenampakan vegetasi atau pola penggunaan lahan Barus dan Laode 2009. Keppres No. 32 tahun 1990 dan Undang-undang No. 21 tahun 1992 tentang penataan ruang kawasan bergambut menetapkan kawasan bergambut dengan ketebalan 3 m atau lebih, yang letaknya dibagian hulu sungai dan rawa, ditetapkan sebagai kawasan lindung, yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas dikawasan tersebut. Peraturan ini perlu diberlakukan lebih efektif lagi, disertai sanksi yang tegas bagi yang melanggarnya agar lahan rawa gambut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan. Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat sequester karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca diatmosfir, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3 mm gambut per Tahun Parish et al. 2007 atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO2 HaTahun Agus et all. 2011. Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 salah satu gas 20 rumah kaca terpenting. Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami penurunan permukaan subsiden apabila hutan gambut dibuka. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dan perencanaan yang matang apabila akan mengkonversi hutan gambut. Perencanaan harus mengacu pada hasil studi yang mendalam mengenai karakteristik gambut setempat dan dampaknya bila hutan gambut dikonversi. Untuk menghindari gangguan gambut di kawasan bergambut, Pemerintah sudah mempunyai regulasi bahwa pengembangan kelapa sawit tidak boleh di daerah hulu sungai, gambut yang mempunyai kedalaman 3 meter UU No. 26 2007. Khusus tentang peraturan ini, beberapa pemerintah daerah menentang karena keterbatasan ruang pembangunan atau ternyata banyak dilanggar. Saat ini Kementerian Lingkungan Hidup KLH sedang mengusulkan bahwa daerah gambut yang tidak boleh dibangun adalah daerah sekitar kubah yang disebut sebagai kubah gambut. Daerah kubah gambut ini merupakan daerah penyimpan dan pengaman lingkungan sekitarnya Barus dan Iman 2009. Kawasan Lindung Green Belt Lahan Rawa Hutan lindung merupakan suatu kawasan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu untuk dilindungi. Hutan lindung protection forest memiliki fungsi-fungsi ekologis terutama sebagai sumber air dan kesuburan tanah. Sehingga dengan demikian hutan lindung memiliki banyak manfaat bagi masyarakat disekitar hutan lindung. Hutan ditetapkan dalam Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang tentang kehutanan menyebutkan: “Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah”. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjangjalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Garis sempadan adalah garis batas luar pengaman untuk mendirikan bangunan dan atau pagar yang ditarik pada jarak tertentu sejajar dengan as jalan, tepi luar kepala jembatan, tepi sungai, tepi saluran, kaki tanggul, tepi siturawa, tepi waduk, tepi mata air, as rel kereta api, jaringan tenaga listrik, pipa gas. Sabuk hijau greenbelt adalah RTH yang memiliki tujuan utama untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling mengganggu. Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi ekosistem hutan, air dan alam sekitarnya. Fungsi atau manfaat hutan bakau dapat ditinjau dari sisi fisik, biologi, maupun ekonomi. Manfaat dan fungsi hutan mangrove secara fisik antara lain: a. Penahan abrasi pantai. b. Penahan intrusi peresapan air laut ke daratan. c. Penahan badai dan angin yang bermuatan garam. d. Menurunkan kandungan karbondioksida CO2 di udara pencemaran udara. e. Penambat bahan-bahan pencemar racun diperairan pantai. 21 3 BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Hidrologis Gambut KHG Muara Sabak Timur Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi, yang merupakan sentra padi. Kabupaten Tanjung Jabung Timur secara geografis terletak pada 0°53’ - 1°41’ LS dan 103°23’ - 104°31’ BT dengan luas 5.445 Km², seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan yaitu dari bulan April sampai dengan September 2015. Kawasan Hidrologis Gambut KHG Muara Sabak Timur, terdiri dari Kecamatan Muara Sabak Timur dan Sebahagian Kecamatan Kuala Jambi, Nipah Panjang, Rantau Rasau dan Dendang dengan Luas daratan seluas 50.166 Ha. Gambar 5. Peta Kawasan Hidrologis Gambut KHG sebagai Lokasi Penelitian Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian adalah Global Positioning System GPS, seperangkat bor tanah tangan, kertas pH, alat-alat uji laboratorium tanah serta laptop dengan menggunakan software Windows Office 2013, ArcGIS 10.1 dan software lainnya. 22 Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data penelitian, yaitu: A. Data Primer. Data primer diperoleh dengan cara pengambilan sampel tanah dan air tanah dangkal di KHG Muara Sabak Timur berdasarkan garis transek yang telah ditentukan dalam GPS. Kemudian data sampel air dan tanah tersebut dilakukan pengujian di laboratotium tanah untuk mendapatkan parameter yang dibutuhkan. Pengumpulan data dalam bentuk kuisioner dan wawancara yang mendalam kepada masyarakat petani untuk mendapatkan informasi tentang pertanian dan produksi padi di KHG. Pemilihan responden petani dilakukan secara acak namun tetap representatif sesuai dengan pengelompokan karakteristik yang ditemui di lapangan. B. Data Sekunder. Data sekunder bersumber dari peta-peta dasar KHG Muara Sabak Timur, semaksimal mungkin menggunakan data sekunder yang ada. Data ini diperoleh dari berbagai instansi yang terkait. Jenis dan sumber data penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis dan sumber data penelitian NO. JENIS DATA SKALA TAHUN BENTUK SUMBER DATA 1. Data Citra Resolusi Tinggi SPOT atau Ikonos atau Citra LandSat optional 2011 dan 2014 Softcopy LAPAN Kementan USGS.Gov 2. Peta Administrasi 1 : 50.000 2011 Softcopy Bappeda 3. Peta Lahan Baku Sawah 1 : 50.000 2012 Softcopy Kementan RI 4. Penggunaan Lahan 1 : 50.000 2011 Softcopy Bappeda 5. Peta Kelerengan 1 : 50.000 2011 Softcopy Bappeda 6. Peta Curah Hujan 1 : 50.000 2011 Softcopy Bappeda 7. Satuan Peta Tanah 1 : 25.000 1975 Softcopy Dep. ITSL IPB 8. Peta Pola Ruang 1 : 50.000 2011 Softcopy Bappeda 9. Peta Kawasan Lindung 1 : 50.000 2011 Softcopy Bappeda 10. Data luas lahan dan produksi pertanian tanaman padi 2009 - 2014 Hardcopy BPS Kabupaten Tanjab. Timur 11. Peta Land Unit 1 : 50.000 2011 Softcopy Bappeda 12. Perda RTRW Kabupaten 2011 Hardcopy Bappeda 23 Analisis Data Penelitian Metode penelitian yang dilakukan, yaitu:

A. Analisis Sebaran Indikasi intrusi air laut dan Lahan Sulfat Masam.

Penelitian dilakukan secara bertahap dari persiapan, pengumpulan data, pengolahan data sampai pembuatan laporan, seperti berikut: 1. Metode pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara membuat sistem transek line pada peta penggunaan lahan KHG Muara Sabak Timur dan di input kedalam GPS. Survei lapangan dengan tracking setiap titik sampel menggunakan GPS, mengukur pH dengan kertas pH dan mencatat data fisik tanah secara visual tekstur, warna tanah, kedalaman gambut dan keberadaan pirit. 2. Pengujian sampel air dan tanah di laboratorium dengan menggunakan DHL meter dan pH meter, untuk mendapatkan data nilai sebaran salinitas µmhoscm dan derajat tingkat keasaman tanah pH. 3. Hasil uji laboratorium terhadap sampel, data diinput ke dalam atribut peta spasial keruangan KHG Muara Sabak Timur berdasarkan titik pengamatan. 4. Untuk mendapatkan peta sebaran salinitas dan sebaran lahan sulfat masam, kemudian dilakukan interpolasi dengan teknik Inverse Distance Weighting IDW menggunakan tools software ArcGis dengan pendekatan keruangan spatial approach. IDW memiliki pengaruh bersifat lokal, berkurang terhadap jarak dan memberikan bobot yang lebih besar pada sel terdekat dibandingkan dengan sel yang lebih jauh Watson dan Philip 1985. Metode IDW umumnya dipengaruhi oleh inverse jarak yang diperoleh dari persamaan matematika. Pada metode interpolasi ini kita dapat menyesuaikan pengaruh relatif dari titik-titik sampel. Nilai pada interpolasi IDW ini menentukan pengaruh terhadap titik-titik masukan, dimana pengaruh akan lebih besar pada titik- titik yang lebih dekat sehingga menghasilkan permukaan yang lebih detil. Hasil interpolasi data sampel air dan tanah dangkal menghasilkan peta sebaran berbasis raster yang belum diklasifikasi. Menyederhanakan data raster tersebut dengan pengklasifikasian reclassify berdasarkan klasifikasi tingkat kualitas air dan derajat kemasaman pH tanah. Dari 72 sampel tanah dan 47 sampel air, interpolasi hanya dilakukan pada 65 sampel tanah dan 42 sampel air, sedangkan terhadap 7 sampel tanah dan 5 sampel air merupakan sampel uji terhadap validasi keakuratan peta sebaran salinitas dan sebaran lahan sulfat masam. 5. Sintesis dan analisa dengan mengamati pola spasial pH, DHL dan interaksinya dengan penggunaan lahan. Klasifikasi kualitas air berdasarkan nilai daya hantar listrik DHL seperti ditunjukan pada Tabel 4. 24 . 2 4 6 8 1 Kilometers Garis Transek KETERANGAN : HUTAN SEJENIS ALAM PERKEBUNAN PERMUKIMAN SAWAH SUNGAI Titik Pengamatan Tabel 4. Klasifikasi DHL Berdasarkan Kualitas Air Sumber : Suherman 2007 Tanah sulfat masam dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu 1 tanah sulfat masam potensial yang dicirinya antara lain lapisan pirit pada kedalaman 50 cm dari permukaan tanah, biasanya memiliki tekstur seluruh lapisan tanah menunjukkan halus yaitu tekstur tanah liat berdebu mempunyai kandungan liat antara 40-75 , dengan debu 25-60 , lapisan piritnya berada dalam status reduksi atau proses pemasaman belum berjalan, warna kelabu, kemasaman sedang sampai dengan masam pH4.0 dan 2 tanah sulfat masam aktual yang seluruh lapisan tanah memiliki tekstur halus, dengan kandungan fraksi liat 35-70 , dan debu 25-60 , sehingga tekstur tanah tergolong liat berdebu, lapisan piritnya telah teroksidasi atau proses pemasaman telah berlangsung, dicirikan dengan warna kecoklatan pada permukaan, dan sangat masam atau pH3.5 Noor dan Saragih 1993. Sebaran titik pengambilan sampel air permukaan dan tanah lapisan atas pada KHG Muara Sabak Timur, disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Sebaran Titik Pengambilan Sampel Kualitas Air DHL µmhoscm Tawar 1.500 Agak Payau 1,500 – 5,000 Payau 5,000 – 15,000 Asin 15,000 – 50,000 Brine 50,000 25 Survei data primer dilakukan pengambilan 72 sampel tanah kedalaman 0 – 20 cm dan 47 sampel air tanah dangkal, dengan menggunakan alat bor tanah pada kedalaman bor maksimal 100 cm.

B. Evaluasi Kesesuaian dan Ketersediaan Lahan Pertanian Padi

Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan. Inti dari evaluasi lahan adalah membandingkan karakteristik lahan aktual dengan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007. Kegiatan evaluasi lahan dan survei tanah, sangat dianjurkan dalam rangka untuk merencanakan dan mengkoordinir upaya perbaikan dan pengelolaan lahan pada masing-masing tipe penggunaan atau usahatani. Kegiatan evaluasi lahan ini memberikan informasi secara tepat dan akurat tentang apa yang sebaiknya dikerjakan, dan perbaikan apa saja yang diperlukan untuk pengelolaan lahannya. Termasuk ke dalam evaluasi tersebut adalah penelitian dan penilaian tentang tekstur tanah lapisan atas, kedalaman solum dan subsoil, struktur tanah, keadaan batu-batuan, mudahnya diolah, permeabilitas subsoil, drainase permukaan, drainase internal profil tanah, kemiringan, derajat erosi, dan bahaya erosi bila tanah diolah. Identifikasi potensi lahan pada suatu wilayah untuk komoditas pertanian tertentu, dilakukan pengkelasan areallahan dengan metode overlay tumpang tindih peta-peta dasar Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Evaluasi kesesuaian lahan berdasarkan faktor-faktor penghambatnya, berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk pertanian pangan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Kementrian Pertanian. Faktor penghambat, sesuai dengan kriteria kesesuaian lahan tersebut diatas seperti: 1. Tempertur tc, Ketersediaan Air wa, Media Perakaran rc yang diperoleh dari peta Land Unit. 2. Gambut, diperoleh dari peta Jenis tanah. 3. Retensi Hara nr, Hara Tersedia na, Toksisitas xc, Sodisitas xn dan Bahaya Sulfidik xs. 4. Bahaya banjir Genangan pada masa tanam fh. Untuk mengetahui lahan yang sesuai pengembangan komoditas pertanian tanaman padi, terlebih dahulu dilakukan pengolahan data spasial yaitu dengan cara overlay tumpang tindih beberapa peta diantaranya peta administrasi skala 1:50.000, peta Land Unit skala 1:50.000, peta jenis tanah skala 1:25.000, peta kelerengan skala 1:50.000, Peta moratorium hutan skala 1:50.000, peta curah hujan skala 1:50.000, peta sawah existing skala 1:50.000. Hasil overlay diperoleh luasan areal padi daerah rawa dengan kelas kesesuaian lahan S1, S2, S3, atau N yang berupa peta kelas kesesuaian lahan skala 1:25.000. Untuk memperoleh potensi luas areal pengembangan padi di Kabupaten Tanjung jabung timur, maka peta kelas kesesuaian lahan skala 1:25.000 di overlay dengan peta penggunaan lahan skala 1:50.000 dan peta pola ruang skala 1:25.000 untuk menghasilkan peta ketersediaan lahan komoditas padi.