2.10 Analisis Terhadap Hukum Otopsi
Pada bagian ini akan dilakukan pembahasan tentang status hukum bedah mayat dalam perspektif Hukum Islam.
Beberapa hal pokok hukum agama Islam tentang mayat : a. Islam menyuruh menghormati mayat. Sesuai dengan firman Allah dalam surat
Al-Isra’ ayat 70 b. Agama Islam melarang merusak tubuh mayat dan melanggar kehormatanya
1. Hukum Pembedahan Menurut Pandangan Ulama
Menurut Imam Ahmad bin Hambal
Seseorang yang sedang hamil dan kemudian ia meninggal dunia, maka perutnya tidak perlu dibedah, kecuali sudah diyakini benar, bahwa janin yang
ada didalamnya masih hidup.
Menurut Imam Syafi’i Jika seorang hamil, kemudia dia meninggal dunia dan ternyata
janinnya masih hidup, maka perutnya boleh dibedah untuk mengeluarkan janinnya. Begitu juga hukumnya kalau dalam perut si mayat itu ada barang
berharga.
Menurut Imam Malik
Seorang yang meninggal dunia dan didalam perutnya ada barang berharga, maka mayat itu harus dibedah, baik barang itu milik sendiri maupun
milik orang lain. Tetapi tidak perlu tidak boleh dibedah, kalau hanya untuk mengeluarkan janinnya yang diperkirakan masih hidup.
Menurut Imam Hanafi
Seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya wajib dibedah untuk mengeluarkan janin itu.
2. Otopsi Bagi Kepentingan penegak Hukum
Otopsi untuk pemeriksaan mayat demi kepentingan pengadilan dengan maksud untuk mengetahui sebab-sebab kematianya di sebut juga obductie. Di
Indonesia masalah bedah mayat atau otopsi diatur dalam pasal 134 UU No 8 Tahun 1981 tentang hukum Acara pidana yang berbunyi sebagai berikut :
Dalam hal sangat dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindarkan, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada
keluarga korban. Dalam hal keluarga keberatan penyidik wajib menerangkan dengan jelasnya
tentang maksud dan tujuan perlu dilakukanya pembedahan tersebut. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau
pihak yang perlu diberitahu tidak ketemukan penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat 3 UU ini.
Pasal 133 dari UU tersebut berbunyi sebagai berikut : Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
dan atau ahli lainya.
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka
atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat yang dilakukan dengan diberi
cap jabatan yang diletakan pada ibu jari kaki atau bagian lain pada mayat.
Berpijak dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa otopsi atau bedah mayat adalah suatu pembedahan atau pemeriksaan pada mayat yang dilakukan
oleh para tim dokter ahli dengan dilandasi oleh maksud atau kepentingan tertentu untuk mengetahui sebab-sebab kematian mayat.
Untuk mengetahui status hukum terhadap tindakan otopsi mayat yang digunakan sebagai pembuktian hukum di pengadilan dengan menggunakan teori
Qawa’id al-Fiqhiyah dapat diterapkan kaidah-kaidah berikut ;
a.Kaidah Pertama
ماعلا ررضلا لجل ررضلا لمحتي “kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang
bersifat umum”
Berdasarkan kaidah di atas, kemadharatan yang bersifat khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemadharatan yang bersifat umum. Sebuah tindakan
pembunuhan misalnya, adalah tergolong tindak pidana yang mengancam kepentingan publik atau mendatangkan mudaharat ‘am. Untuk menyelamatkan masyarakat dari
rangkaian tindak pembunuhan maka terhadap pelakunya harus diadili dan dihukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Bukti-bukti atas tindakan pembunuhan yang
dilakukanya harus diperkuat agar ia dapat dihukum dan jangan sampai bebas dalam proses pengadilan, sungguhpun untuk pembuktian itu harus dengan melakukan otopsi
atau membedah mayat korban.
Didalam hukum Islam. Suatu tindakan yang dilandasi oleh alasan untuk menjamin keamanan dan keselamatan diri orang yang hidup harus lebih diutamakan
daripada orang yang sudah mati. b. Kaidah Kedua
تاروظحملا حيبت تارورضلا “Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”
Dari kaidah kedua dapat dipahami bahwa persolanan darurat itu membolehkan sesuatu yang semula diharamkan.
Berangkat dari fenomena di atas, maka otopsi forensik sangat penting kedudukanya sebagai metode bantu pengungkapan kematian yang diduga karena
tindak pidana. Dengan melaksanakan otopsi forensik maka dapat dipecahkan misteri kematian yang berupa sebab kematian, cara kematian, dan saat kematian korban.
c. Kaidah Ketiga
ةجاحلا عم ةهاركلو تارورضلا عم مارحل
“Tiada keharamna dalam kondisi darurat, dan tidak ada makruh dalam kondisi hajat”
Kaidah ketiga ini menyatakan bahwa tiadanya keharaman dalam kondisi darurat, seperti halnya tidak adanya kemakaruhan dalam kondisi hajat. Maka jika
otopsi di atas dipahami sebagai hal yang bersifat darurat, artinya satu-satunya cara membuktikan, maka otopsi itu sudah menempati level darurat, dan karena itu status
hukumnya dibolehkan.
d. Kaidah Ke empat
ةرورضلا ةلزنم لزنت ةجاحلا “Kperluan dapat menduduki posisi keadaan darurat”
Kaidah keempat di atas dapat memperkuat argumentasi kaidah sebelumnya. Maka kaidah ini adalah hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat umum
maupun hajat yang bersifat perorangan.
3. Otopsi untuk Menyelamtkan Janin dalam Rahim