Industri Hilir Kelapa Sawit (IHKS)

5.3.4 Industri Hilir Kelapa Sawit (IHKS)

5.3.4.1 Industri Oleokimia

Indonesia cukup jauh tertinggal dalam pengembangan industri oleochemical, padahal Indonesia adalah penghasil minyak nabati terkemuka di dunia, khususnya dalam industry CPO. Selama ini, Negara-negara pengimpor CPO Indonesia justru jauh lebih maju dalam pengembangan industry olechemical dan mereka bahkan telah berhasil mengembangkan industry oleochemical yang lebih hilir yang siap digunakan sebagai bahan baku bagi banyak industry. Selain itu, Malaysia, yang menjadi saingan berat sebagai produsen CPO, juga telah jauh meninggalkan Indonesia dalam industri oleochemical.

Bila mengacu kepada industry oleochemical yang ada saat ini, memang sulit dibantah, bahwa industri oleokimia pada umumnya mengalami permasalahan yang tidak ringan, terutama sejak krisis ekonomi berlangsung. Oleh sebab itu, contoh yang kurang menarik itu, bisa saja menjadi pelajaran berharga bagi para calon investor, tetapi perlu juga secara obyektif mengkaji lebih dalam. Feasibilitas dari pada pendirian industry oleochemical di Indonesia dilihat dari berbagai aspek.

Selama ini para produsen CPO masih terlalu berorientasi pada ekspor CPO atau hanya mengolahnya menjadi minyak goreng. Mereka masih belum berani melangkah lebih jauh untuk mendirikan industri atau bekerjasama dengan investor untuk membangun pabrik yang dianggap belum pasti. Keadaan ini terbukti dengan tidak mudahnya calon investor untuk menggandeng pemilik perkebunan atau producen CPO untuk mendirikan pabrik oleochemical.

a. Bahan Baku Bahan baku penghasilan oleokimia adalah minyak sawit dan air. Minyak sawit dapat diperoleh dari produksi CPO. Produksi CPO Provinsi Riau tahun 2009 berdasarkan data produksi TBS adalah ± 1,463,458.93 ton. Sedangkan bila dilihat produksi CPO dari jumlah kapasitas terpasang PKS sebanyak 187 dengan 20 jam kerja perhari selama 26 hari kali 12 bulan, maka produksi CPO Provinsi Riau adalah sebanyak 8,78 juta ton pertahun. Sedangkan kabupaten Indragiri Hilir dengan cakupannya sebanyak 30 PKS mampu menghasilkan 1,46 juta ton CPO pertahun. Besarnya volume produksi CPO tersebut menjadi potensi bahan baku pengembangan industry oleokimia kedepan. Sebagai contoh jika dibangun pabrik glycerine (10,10%) atau fatty acids dengan:

- kapasitas produksi pabrik 90.000 ton per tahun - Kebutuhan Bahan Baku 891.089 ton CPO/Th - Jika seluruh produksi CPO diolah menjadi Glycerine, maka dapat

memenuhi kebutuhan bahan baku 1 pabrik Glicerine dan 4 Pabrik Fatty Alkohol dengan kapasitas 300 ton/hari

Maka dari sisi ketersediaan bahan baku sangat mencukupi untuk pengembangan industri hilir kelapa sawit di daerah ini. Disamping bahan baku CPO juga diperlukan bahan penunjang berupa air. Kebutuhan bahan penunjang berupa dapat diperoleh dari air tanah, air sungai yang dioleh terlebih dahulu sehingga layak digunakan sebagai air proses, atau dapat diperoleh dari PDAM. Mengingat kondisi Kuala Enok yang berada didaerah perairan samudra maka kebutuhan air bersih sulit didapatkan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka yang pengadaan air bersih yang dilakukan oleh perusahaan yang ada di lokasi Kuala Enok dengan membuat waduk dengan memasang tanggul pada sungai Pinang Besar. Jika kawasan industry Kuala Enok akan dibangun maka perlu dilakukan pembuatan bendungan baru Maka dari sisi ketersediaan bahan baku sangat mencukupi untuk pengembangan industri hilir kelapa sawit di daerah ini. Disamping bahan baku CPO juga diperlukan bahan penunjang berupa air. Kebutuhan bahan penunjang berupa dapat diperoleh dari air tanah, air sungai yang dioleh terlebih dahulu sehingga layak digunakan sebagai air proses, atau dapat diperoleh dari PDAM. Mengingat kondisi Kuala Enok yang berada didaerah perairan samudra maka kebutuhan air bersih sulit didapatkan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka yang pengadaan air bersih yang dilakukan oleh perusahaan yang ada di lokasi Kuala Enok dengan membuat waduk dengan memasang tanggul pada sungai Pinang Besar. Jika kawasan industry Kuala Enok akan dibangun maka perlu dilakukan pembuatan bendungan baru

b. Pasar dan Pemasaran Apabila dilihat dari aspek pasar seperti diuraikan dimuka, penyerapan produk oleochemical di dalam negeri, seperti fatty acid, fatty alcohol dan glycerol, masih tergolong kecil. Justru pasar ekspor yang jumlahnya sangat besar dan inilah sebenarnya yang cukup menarik investasi dalam industri ini. Pada tahun 2008, konsumsi produk hulu eleochemical mencapai 743,728 ton, yang terdiri dari fatty acid 442,980 ton, fatty alcohol 241,500 ton dan glicerol 59,248 ton. Dari jumlah konsumsi tersebut dimana fatty acid 332,280 ton diexport dan 110,700 kegunaan domestik. Sedangkan fatty alcohol konsumsi pasar luar negeri sebanyak 152,452 ton dan domestik sebanyak 89,043. Glycerine, konsumsi pasar luar negeri sebanyak 42,680 ton dan konsumsi domestik

Tetapi volume konsumsi ini masih jauh lebih rendah dari kapasitas pabrik yang ada, apalagi bila dibanding dengan permintaan dunia, maka konsumsi lokal itu hampir tidak ada artinya. Pada tahun 2008, tingkat permintaan fatty acid di pasar Internasional diperkirakan mencapai 3.618.445 ton sementara total kapasitas industri tersebut di Indonesia hanya 442,980 ton, sehingga jika seluruh produksi di dalam negeri dijual ke pasar ekspor, pangsa pasarnya hanya sebesar 15,67 % dan terdapat peluang sebesar 3.128.145 ton yang harus diperebutkan oleh beberapa produsen dunia. Kemudian pada tahun 2012. Permintaaan fatty acid di pasar internasional diperkirakan sebesar 4,475,305.00. Sedangkan produksi Indonesia 5442,980 ton dan jika seluruh produksi di dalam negeri dijual ke pasar ekspor, pangsa pasarnya hanya sebesar 9,87% dan terdapat peluang pasar sebesar 3.910.005 ton.

Dalam pada itu permintaan Glycerol di pasar Internasional pada tahun- tahun mendatang diperkirakan juga akan terus meningkat. Pada tahun 2008 Dalam pada itu permintaan Glycerol di pasar Internasional pada tahun- tahun mendatang diperkirakan juga akan terus meningkat. Pada tahun 2008

Sedangkan permintaan fatty alcohol di pasar internasional pada tahun 2008 mencapai 2.896.441 ton, sementara kapasitas industri bahan kimia tersebut di Indonesia diperkirakan sebesar 241,500 ton per tahun, sehingga jika seluruh hasil produksi Indonesia dijual ke pasar ekspor pangsa pasar 5.08%, dan terdapat peluang pasar sebesar 2.756.441 ton. Berikut disajikan data perkembangan export import produk oleokimia Indonesia selama 5 tahun terakhir.

Tabel 5.27: Export dan Import Produk Eleokimia Indonesia, 2005-2009

Tahun

Produk

2008 2009 Export (ton)

Fatty Acids

10,592.13 18,442.41 20,889.70 Fatty Alcohols

77,761.57 87,316.50 105,338.21 134,240.38 156,422.23 Glycerin’s

47,793.43 85,839.27 49,290.88 Methyl Esters

0.04 0.20 Import (ton) Fatty Acids

560.04 490.79 Fatty Alcohols

14,136.40 10,307.04 12,829.79 Glycerin’s

3,861.05 487.43 Methyl Esters

6.71 3.09 7.69 6.41 131.97 Sumber: UN Contrade (Data Devision), 2010

Melihat perkembangan yang terjadi di pasar internasional tersebut maka dilihat dari aspek pasar, pendirian industri oleochemical di Indonesia, masih sangat memungkinkan. Hanya saja, tentunya masih banyak faktor yang perlu dikaji dan dipertimbangkan, seperti faktor teknologi dan biaya investasi, kemudian sumber bahan baku pendukung yang continue dan kepastian pasar, seperti kontrak penjualan yang sudah pasti dan sebagainya.