Teori Kawasan

3.3.1 Teori Kawasan

Kawasan industri pertama kali dikembangkan pada tahun 1876 di Inggris yaitu Trafford Park Estates, dengan luas sekitar 500 Ha yang merupakan lokasi industri terluas sampai pada tahun 1950-an. Pada awal abad 20, lokasi industri di Amerika Serikat dikembangkan di kota Chicago yaitu antara lain Central Manufacturing District dibangun pada tahun 1902 dengan luas 105 Ha, The Clearing Industrial District yang dibangun pada tahun 1909 seluas 215 Ha, dan The Pershing Road District dibangun tahun 1910 dengan luas 40 Ha. Selanjutnya pada tahun 1960-an di Amerika Serikat telah berkembang lokasi industri yang dikenal dengan Science Park atau Technology Park yaitu lokasi industri untuk tujuan penelitian dan pengembangan. Pada tahun 1970-an, konsep Business Park dikembangkan dimana dalam suatu lokasi tertampung berbagai kegiatan seperti perkantoran dan industri yang ditunjang oleh kegiatan perdagangan dan rekreasi. Kemudian baru pada tahun 1980-an lokasi perumahan juga dimasukan dalam kawasan Business Park.

Sementara di Indonesia lokasi industri baru dikembangkan pada awal tahun 1970-an sebagai suatu usaha untuk memenuhi kegiatan penanaman modal baik dari dalam maupun dari luar negeri. Pada awalnya Pemerintah mengembangkan lokasi industri melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN).1 Pada tahun 1973 pemerintah memulai pembangunan lokasi industri yang pertama yaitu Jakarta Industrial Estate Pulo Gadung (JIEP) dan kemudian disusul oleh Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) pada tahun 1974. Lokasi industri atau disebut pula sebagai kawasan industri (KI) yang dikembangkan oleh pemerintah adalah KI Cilacap (1974), KI Medan (1975), KI Makasar (1978), KI Cirebon (1984) dan KI Lampung (1986). Selain itu pada tahun 1986, pemerintah melalui PT. Kawasan Berikat Nusantara mengembangkan kawasan

Berikat atau Bonded Zone dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor non migas.

Kawasan Berikat merupakan suatu lokasi industri khusus dimana untuk melancarkan arus barang ekspor semua kegiatan kepabean. Berdasarkan Permendagri No. 5 Tahun 1974 diatur bahwa yang dapat diberikan lahan untuk usaha lokasi industri adalah badan hukum yang seluruh modalnya berasal dari Pemerintah. untuk barang ekspor dilakukan pada lokasi tersebut dan bahan baku untuk ekspor mendapat fasilitas bebas Bea Masuk. Seiring dengan perkembangan investasi yang terus meningkat, kemudian pihak swasta baru dilibatkan dalam usaha lokasi industri melalui Keppres No. 53 tahun 1989 dimana diatur bahwa usaha lokasi industri dapat dilaksanakan oleh pihak swasta domestik maupun asing dengan atau tanpa partisipasi BUMN. Sejak pihak swasta diperbolehkan mengembangkan lokasi industri, maka pertumbuhan lokasi industri bertumbuh dengan pesat sekali. Sampai pada tahun 1994 misalnya, jumlah lokasi industri yang tercatat di Himpunan Kawasan Industri (HKI) adalah sebanyak 146 lokasi dengan total luas lahan sebesar 42.019 Ha yang sebagian besar tersebar di propinsi Jawa Barat (21.289 Ha) dan kota Jakarta (3.064 Ha).

Beberapa teknik untuk menentukan pembangunan kawasan industri dengan menggunakan teori asal ekonomi, kesan penggada yang berkaitan dengan teori input-output dan penggunaan teori lokasi (Location Theory), teori tempat pusat (Central Place Theory) dan penerapan teori kutub pertumbuhan (Growth Pole Theory). Penjelasan setiap teori dapat disebutkan sebagai berikut (Tarigan Robinson, 1998):

a) Teori Lokasi, ada tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan lokasi pembangunan iaitu (a) kos terendah (b) jangkaan pasaran dan (c) untung paling tinggi (Tarigan Robinson, 1998).

b) Teori Tempat Pusat, membentuk Pola ideal, asumsi homogen dalam bentuk lokasi, kualiti tanah dan tingkat ekonomi penduduk serta budayanya. Christaller juga menyajikan bentuk pola tempat b) Teori Tempat Pusat, membentuk Pola ideal, asumsi homogen dalam bentuk lokasi, kualiti tanah dan tingkat ekonomi penduduk serta budayanya. Christaller juga menyajikan bentuk pola tempat

c) Teori Kutub Pertumbuhan, berbeza dengan pernyataan Christaller yang berlatar ahli geografi, teori Kutub Pertumbuhan digagaskan dan dikembangkan oleh para ahli ekonomi. Teori ini melahirkan konsep ekonomi seperti konsep industri penggerak (leading industry), konsep polarisasi dan konsep memberi pengaruh (trickle atau spread effect) (Tarigan Robinson, 1998).

Akan tetapi teori lokasi yang tradisional berpendapat bahawa kluster (pengelompokan) industri muncul terutama akibat minimumkan kos pengangkutan atau kos produksi (Isard, 1956, Weber, 1909). Teori lokasi industri Weber menurut model Weber adalah bergantung kepada tiga faktor iaitu pasaran, tenaga kerja dan bahan mentah. Penjelasan berasaskan kepada mencari lokasi dengan kos pengeluaran yang paling rendah dan keuntungan yang maksimal merupakan salah satu konsep geografi.

Keterbatasan Teori Weber telah memunculkan teknik lain, yang disebut pendekatan interdependensi lokasi (locational interdependence). Perbezaan yang utama kajian ini yang disebut dengan model Direct Location Area (DLA) ialah menambah faktor kewujudan perundangan dan tanggapan penduduk dalam penentuan lokasi. Penentuan lokasi yang akan dijadikan polisi harus mampu menyesuaikan dengan keadaan lokasi yang dicadangkan untuk menghasilkan pembangunan yang berterusan. Kesesuaian ini dalam model DLA ini ditetapkan pertama faktor kewujudan perundangan yang dapat memberikan jaminan secara undang-undang kepada pihak-pihak pengguna lokasi yang telah ditentukan untuk beraktiviti secara berterusan.

Kedua, faktor tanggapan penduduk pada lokasi area yang telah ditentukan, hal ini tentu sangat mempunyai peranan dalam pelaksanaan aktiviti pada lokasi, kerana dengan mengetahui sikap penduduk pada rancangan pembangunan yang dicadangkan akan memudahkan pelaksanaan dan keberterusan aktiviti tersebut ke hadapan.

Kemajuan jaman dengan berbagai informasi yang diterima oleh pihak penduduk akan mempengaruhi sikap dan tindakan dalam menerima suatu aktiviti di daerahnya. Apakah sikap dan tindakan tersebut menguntungkan atau tidak, dapat diperoleh dari tanggapan yang diminta dari penduduk. Oleh itu kajian ini dengan disebut dalam istilah DLA menyesuaikan dengan teori lokasi Weber.

Lokasi industri secara umum mempunyai pengertian sebagai lahan atau tanah tempat pabrik dan sarananya melakukan proses produksi. Penentuan lokasi industri (pabrik) akan berkaitan dengan unit-unit lain. Menurut Budiharsono (2001) keputusan mengenai penentuan lokasi yang diambil oleh unit-unit pengambil keputusan akan menentukan struktur ruang wilayah yang terbentuk.

Ada tiga unit yang menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan penentuan lokasi industri (pabrik) yaitu: rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah. Setiap unit pengambil keputusan mempunyai kepentingan tersendiri yang bersumber dari aktivitas ekonomi yang dilakukan. Aktivitas ekonomi rumah tangga yang paling pokok adalah penjualan jasa tenaga kerja, dan konsumsi.

Sedangkan kegiatan ekonomi dari suatu perusahaan meliputi, pengumpulan input, proses produksi, dan proses pemasaran. Penentuan lokasi industri oleh pengambil keputusan merupakan suatu usaha untuk memaksimalkan keuntungan.

3.3.1.1 Pendekatan Penentuan Lokasi Industri Menurut Budiharsono (2001) pendekatan dalam penentuan lokasi

industri terbagi tiga, yaitu: pendekatan meminimumkan biaya atau biaya terkecil, pendekatan wilayah pemasaran, dan pendekatan memaksimalkan keuntungan. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan satu per satu secara rinci.

1. Pendekatan Biaya Terkecil Pendekatan biaya terkecil yang dikemukakan oleh Alfred Weber (dalam Budiharsono 2001: 23). Pendekatan ini didasarkan atas biaya transportasi terkecil. Setakat dengan pendekatan ini tiga faktor utama yang mempengaruhi lokasi industri adalah biaya transportasi, biaya tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi. Dalam hal ini Weber mengasumsikan bahwa biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak yang ditempuh dan berat barang, sehingga titik yang membuat biaya terkecil adalah bobot total pergerakan pengumpulan berbagai input dan pendistribusian hasil industri.

2. Pendekatan Wilayah Pemasaran Berbeda dengan pendekatan biaya terkecil yang hanya memperhatikan sisi input , namun kurang memperhatikan sisi output (permintaan), Losch (dalam Budiharsono 2001) melihat penetapan lokasi industri dari sisi permintaan. Dengan kata lain, pendekatan ini mempertimbangkan ukuran optimal dari pasar. Lokasi optimal adalah tempat di mana terjadi keuntungan maksimal dengan asumsi penyebaran faktor input merata, faktor penyebaran penduduk dan selera masyarakat sama, serta tidak ada ketergantungan lokasi antarperusahaan.

3. Pendekatan Keuntungan Maksimum Jika teori Weber hanya melihat sisi produksi yang memberikan ongkos terkecil dan teori Losch hanya melihat sisi permintaan dari perimaan pasar yang maksimal, maka Smith (dalam Tarigan 2005) menggabungkan dua teori tersebut. Menurut Smith kedua pandangan tersebut perlu digabung, dengan 3. Pendekatan Keuntungan Maksimum Jika teori Weber hanya melihat sisi produksi yang memberikan ongkos terkecil dan teori Losch hanya melihat sisi permintaan dari perimaan pasar yang maksimal, maka Smith (dalam Tarigan 2005) menggabungkan dua teori tersebut. Menurut Smith kedua pandangan tersebut perlu digabung, dengan

Konsep di atas sangat sesuai di gunakan untuk melihat kesesuaian antara lokasi optimum dengan daerah yang menyediakan tenaga murah untuk menentukan biaya minimal angkutan, sehingga memudahkan pengusaha untuk mengambil keputusan berkenaan dengan lokasi industrinya.

Menurut lokasi industri secara umum ada tiga macam lokasi industri yang ada, yaitu:

1. Industri yang berhaluan bahan (dalam arti bahan mentah harus diperhitungkan secara khusus), berlokasi di tempat bahan mentah, meliputi :

a. Pengolahan barang yang cepat rusak atau busuk, seperti daging, ikan, bunga dan sebagainya.

b. Pengolahan barang dalam jumlah besar atau barang bagal atau curahan (bulky goods) karena angkutan mahal, seperti kulit kina, kayu, beras, batubara, dan sebagainya. Jika dalam pembuatan industri tertentu, perbandingan kehilangan berat mencapai 90 % dalam keadaan semua faktor yang sama, pabrik itu cenderung berlokasi di tempat bahan mentah.

c. Pengolahan pelikan, kecuali aluminium yang memerlukan listrik yang banyak dan murah.

2. Industri berhaluan pasar (market oriented), berlokasi ditempat pemasaran

a. Jika dalam pembuatan industri tertentu, perbandingan kehilangan berat adalah nol persen, karena biaya angkutan untuk barang industri lebih mahal daripada untuk barang mentah, dalam keadaan semua faktor yang sama, pabrik itu cenderung berlokasi di daerah pemasaran. Misalnya : a. Jika dalam pembuatan industri tertentu, perbandingan kehilangan berat adalah nol persen, karena biaya angkutan untuk barang industri lebih mahal daripada untuk barang mentah, dalam keadaan semua faktor yang sama, pabrik itu cenderung berlokasi di daerah pemasaran. Misalnya :

b. Pembotolan minuman (limun), karena air bersih mudah didapat;

c. Barang yang memerlukan ongkos tinggi, karena besar ukurannya (peti, mebel, dan sebagainya)

d. Industri pakaian karena mode yang cepat berubah

3. Industri yang berhaluan pekerja Berlokasi ditempat tenaga kerja, ialah dalam pengerjaan barang industri yang memerlukan keahlian khusus (dalam hal ini lain umumnya tenaga buruh yang tertarik oleh industri), contoh : industri di Kudus mayoritas berhaluan tenaga kerja, seperti industri rokok, jenang, dsb (Jayadinata,1999:137).

3.3.1.2 Pertimbangan Penetapan Lokasi Industri Pertimbangan penetapan lokasi sebagai kawasan industri adalah

keadaan geografis. Dilihat dari keadaan geografisnya perkembangan kawasan dapat ditentukan dari bentuk fisik kawasan itu sendiri, penentuan lokasi, dan hal – hal yang dapat mempengaruhi fungsi, misalnya: daerah pertukaran barang dan jasa antar darat dengan laut, kedekatan dengan sumber bahan baku, ketersediaan sumber energi dan faktor infrastruktur lainnya serta kemudahan akses kepada pasar merupakan factor-faktor penting di dalam pemilihan suatu lokasi.

Walter Christaller menyatakan sejumlah asumsi yang dapat dijadikan sebagai dasar dan acuan penetapan suatu lokasi menjadi suatu kawasan industry, yaitu:

1. Adanya suatu dataran yang seragam bentuknya (homogen).

2. Tingkat penyebaran penduduk yang merata di setiap wilayah lokasi tersebut.

3. Tempat – tempat (pemukiman) yang sentral terletak di dataran untuk memberikan barang, pelayanan, dan administrasi pada daerah sekitarnya.

4. Konsumen secara mudah dapat mengunjungi tempat – tempat sentral yang terdekat yang menyediakan (barang dan jasa) tersebut.

5. Pemasok secara leluasa dapat memberikan kontribusi di dalam penyediaan bahan baku sehingga tercipta hubungan yang saling membutuhkan dengan industri yang ada pada kawasan tersebut.

Gambar berikut akan mengilustrasikan kasus penurunan muatan, dimana bobot produk akhir menjadi lebih rendah dibandingkan dengan bahan baku yang akan diproses.

Gambar 3.9 Ilustrasi kasus penurunan muatan Pada diagram 3.9 lokasi industri ditempatkan tepat di antara sumber bahan baku dan pasar. Biaya yang akan ditimbulkan akan semakin meningkat terutama pada penyampaian produk akhir kepada pasar.

Pada diagram 3.10, terlihat bahwa semakin dekatnya lokasi industry dengan sumber bahan baku, maka akan semakin menurunkan biaya transportasi. Posisi lokasi yang paling ideal jika lokasi industri bersamaan atau berada satu kawasan dengan sumber bahan baku, sehingga biaya tranportasi yang diperlukan lebih banyak kepada proses pengiriman produk akhir kepada pasar sasaran.

Melalui ketiga diagram tersebut, Weber mengisyaratkan bahwa, bobot bahan baku selalu lebih besar daripada bobot produk akhir, sehingga untuk melakukan pengriman bahan baku ke lokasi industry akan lebh besar dibandingkan pengriman produk jadi ke pasar sasaran. Jadi saran terbaik yang diberikan oleh Weber bahwa, lokasi industri yang terbaik adalah lokasi yang memiliki kedekatan dengan sumber bahan baku, sehingga akan menghemat biaya pengangkutan (transportation cost).

Tiga diagram berikut mengilustasikan pula keuntungan yang dapat diraih oleh industri jika lokasi industri berdekatan dengan pasar. Jika bobot produk lebih besar dibandingkan dengan bobot bahan baku, maka sebaliknya lokasi industri mesti lebih dekat dengan pasar.

Gambar 3.10 Keuntungan lokasi industri berdekatan dengan pasar Jadi melalui ilustrasi yang digambarkan oleh beberapa diagram diatas, maka dapat disimpulkan bahwa keputusan penentuan lokasi terbaik untuk pembangunan suatu kawasan industry bukan hanya ditentukan dari seberapa dekat antara kawasan industry dengan sumber bahan baku, ataupun dengan target pasar. Namun yang lebih penting lagi adalah factor bobot dan kapasitas dari entitas yang akan dipindahkan.

Jadi menurut teori di atas bahwa tempat tertentu yang lokasinya sentral (lokasi industri) merupakan tempat yang memungkinkan untuk berpartisipasinya manusia dalam jumlah yang maksimal, baik bagi mereka Jadi menurut teori di atas bahwa tempat tertentu yang lokasinya sentral (lokasi industri) merupakan tempat yang memungkinkan untuk berpartisipasinya manusia dalam jumlah yang maksimal, baik bagi mereka

Selanjutnya Menurut Alfred Weber, lokasi optimum untuk kawasan industry yaitu lokasi industri yang biayanya paling minimal, untuk itu dirumuskan enam prakondisi, yaitu:

a. Wilayahnya seragam secara topografis, klimatologis, dan demografis (yang terakhir ini berkaitan dengan keterampilan manusia dan tingkat pemerintahannya)

b. Sumberdaya atau bahan mentah. Jika menyangkut air dan pasir, itu ada di

mana – mana, tetapi tambang besi dan batubara, tempatnya terbatas.

c. Upah Buruh. Disamping ada upah baku, ada upah sebagai produk dari

persaingan antar penduduk.

d. Biaya transportasi yang tergantung dari bobot barang yang dipindahkan

serta jarak antara asal sumberdaya dan pabrik.

e. Adanya kompetisi antar industri

f. Manusia itu berfikir rasional (Daldjoeni,1987)

Maka dapat dismpulkan bahwa penentuan suatu lokasi industri harus mempertimbangkan beberapa faktor – faktor pendukung, seperti wilayah yang relatif seragam, dekat sumberdaya atau bahan mentah, upah buruh yang relatif murah, jalur transportasi yang lancar yang mempermudah arus perpindahan barang dan jasa, dan lain sebagainya. Oleh karena itu pendirian pabrik/ industri harus minimal memperhatikan faktor – faktor pendukungnya.

Faktor-faktor lain yang menentukan peruntukan suatu lokasi untuk pengembangan industri, antara lain adalah:

a. Faktor Endowment Faktor endowment merupakan faktor yang berkait erat dengan kemudahan pelaksanaan produksi yang terdiri dari:

 Kondisi Lahan (tanah)

Aspek penting berkait dengan kondisi lahan antara lain adalah: topografi lahan, struktur tanah, cuaca dan lingkungan disekitar lahan serta nilai ekonomis lahan.

 Tenaga Kerja dan Manajemen Ketersediaan tenaga kerja serta pegelolaannya pada dasarnya

merupakan faktor penting dan mendasar untuk berkembangnya suatu kawasan industri. Kemudahan untuk memperoleh sumber tenaga kerja baik dilihat dari segi kuantitas maupun kualitas merupakan faktor penting bagi upaya pengembangan serta keberlanjutan industri yang akan dibangun.

 Modal Modal juga menjadi faktor penting dan mendasar bagi upaya

pengembangan kawasan industri. Ketersediaan lahan yang memadai serta pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas sangat bergantung kepada ketersediaan modal yang dimiliki suatu organisasi ataupun kelompok organisasi.

b. Faktor Pasar (Market) dan Harga Pasar Pasar merupakan wadah tempat bertemunya industri yang menyediakan produk ataupun jasa dengan para pengguna yang akan membutuhkannya. Luas suatu pasar sangat bergantung kepada jumlah dan sebaran penduduk yang berada di sekitar pasar tersebut, pendapatan serta tingkat kebutuhan konsumen yang ada, serta distribusi pendapatan. Pasar dapat mempengaruhi lokasi kawasan industry melalui : ciri pasar dilihat dari tingkat persaingan yang terbentuk, biaya distribusi serta harga yang terdapat di pasar yang bersangkutan. Harga suatu produk atau komoditas sangat bergantung kepada biaya produksi serta permintaan yang ada terhadap suatu komoditas tersebut.

c. Faktor Kebijakan Pemerintah

Pada dasarnya penetapan kebijakan peruntukan suatu lokasi pada suatu wilayah sangat bergantung kepada kondisi wilayah serta tingkat kebutuhan yang ada pada eilayah tersebut. Setiap wilayah dibagi kedalam berbagai peruntukan seperti kawasan pemukiman, kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan pemerintahan dan perkantoran, kawasan pendidikan, kawasan perdagangan serta kawasan industri. Kebijakan yang ditetapkan di setiap wilayah menjadi acuan penting bagi pemanfaatan suau kawasan sesuai dengan fungsi dan kebutuhan wilayah tersebut. Kebijakan Pemerintah sebagai indikator penentuan lokasi usaha untuk aktivitas industri adalah sebagai berikut (Disperindag Provinsi Riau, 2002) adalah:

a. Kebijakana Rencana Tata Ruang Kota Rencana tata ruang kota adalah salah satu alat pengendali arah pembangunan suatu wilayah dan kebijakan tata ruang harus dijadikan landasan dalam pengaturan lahan di wilayah yang bersangkutan, sehingga kebijakan rencana tata ruang kota adalah merupakan indikator pertama di dalam penentuan lokasi sentra industri rotan.

b. Fungsi Jaringan Jalan Fungsi jalan adalah sebagai salah satu penentu jenis dan skala kegiatan apa saja yang boleh berada di kawasan tersebut. Fungsi jalan meliputi arteri, kolektor, lokal dan masing-masing fungsi mempunyai skala kegiatan yang berbeda.

c. Aksesibilitas Aksesibilitas atau kemudahan perhubungan digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kemudahan hubungan atau kemudahan pencapaian menuju suatu lokasi.

d. Kondisi Penggunaan Lahan

Kondis penggunaan lahan adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui ketersediaan lahan serta karateristik yang terdapat pada setiap lahan yang tersedia.

e. Kelengkapan Fasilitas dan Utilitas. Kelengkapan fasilitas dan utilitas adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur kesiapan suatu kawasan dalam menerima suatu kegiatan, suatu kawasan akan tidak menguntungkan apabila faktor kelengkapan fasilitas dan utilitas ini kurang memadai atau tiak tersedia sama sekali. Jadi dapat dikatakan bahwa kebutuhan fasilitas dan utilitas merupakan kebutuhan yang sangat mendasar yang mesti tersedia pada suatu lokasi.

f. Jarak dengan Pusat Kota Berbagai aktivitas kebanyakan berada pada pusat kota, sehingga daya jangkau sebuah lokasi terhadap pusat kota cukup menentukan di dalam penentuan lokasi suatu usaha aktivitas industri.

g. Image Masyarakat Beberapa lokasi memberikan penilaian yang berbeda dari setiap masyarakat. Hal ini sangat bergantung kepada sejarah serta peruntukan lokasi tersebut pada saat ini.

3.3.1.3 Pengambilan Keputusan Penetapan Lokasi Industri Pengambilan keputusan berkenaan dengan penetapan lokasi industri oleh suatu unit pengambil keputusan akan mempengaruhi efisiensi lokasi unit pengambil keputusan lainnya, sehingga konfigurasi tata ruang selalu berubah. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Budiharsono (2001) ada faktor-faktor yang menentukan pemilihan suatu lokasi untuk suatu kegiatan industri yang dikelompokkan menjadi:

 Input Lokal Input lokal adalah semua barang dan jasa yang ada pada suatu lokasi dan

sangat sukar atau tidak mungkin dipindahkan ke tempat lain. Contoh input lokal adalah: lahan, iklim, kualitas udara, kualitas air, keadaan lingkungan, pelayanan umum yang ada pada suatu lokasi, dan sebagainya. Salah satu sifat umum dari input lokal adalah ketersediaannya bergantung pada keadaan lokasi itu sendiri dan ketersediaannya tidak dipengaruhi oleh transfer input dari lokasi lain.

b) Permintaan Lokal Permintaan lokal atau output yang adalah permintaan yang tidak dapat ditransfer dari suatu lokasi. Contohnya: permintaan tenaga kerja oleh pabrik lokal, permintaan pelayanan lokal seperti masjid, bioskop, dan sebagainya.

c) Input yang Dapat Ditransfer Input yang dapat ditransfer adalah persediaan input yang dapat dikirim atau diminta dari sumber-sumber di luar suatu lokasi, yang sampai batas tertentu merupakan pencerminan biaya transportasi dari sumber-sumber input ke lokasi tersebut

d) Permintaan dari Luar Permintaan dari luar atau output yang dapat ditransfer adalah permintaan bersih yang diperoleh dari penjualan output yang dapat ditransfer ke pasar di luar lokasi, yang merupakan pencerminan dari biaya transfer atau biaya transportasi dari lokasi tersebut ke pasar-pasar.