CESCR adalah salah
CESCR adalah salah
telah diselaraskan atau disesuaikan
satu upaya Indonesia dimaksud dengan hidup sejahtera
dengan substansi CESCR atau secara
memberikan pengakuan lahir dan batin hanya meliputi
lebih ekstrim dilakukan langkah-
hak atas ekonomi, sosial ”hak bertempat tinggal” dan ”hak
langkah kongkrit dimana ketentuan
mendapatkan lingkungan hidup yang perUUan yang sudah tidak sesuai atau
dan budaya warga
layak dan sehat”. Dalam hemat Penulis, isinya bertentang dengan substansi
negaranya..
“hak bertempat tinggal” berkonotasi CESCR segera dinyatakan tidak berlaku
lebih luas dibanding “hak atas atau dicabut.
perumahan”, dimana seseorang dapat Jika kita menelaah substansi UUD 1945 sebagai
saja memiliki tempat tinggal meskipun peraturan tertinggi atau sumber dari segala sumber
dia tidak memiliki rumah. Sedangkan seseorang yang hukum di Indonesia, setelah mengalami empat kali
memiliki rumah secara otomatis memiliki tempat tinggal. perubahan, khususnya pada Perubahan Kedua yang
Dalam kondisi sosial masyarakat yang komunal seperti di ditetapkan pada tanggal 18 Agustus tahun 2000, terdapat
Indonesia, dapat dikatakan bahwa hampir setiap orang beberapa Pasal terkait HAM yang mengalami perubahan
memiliki tempat tinggal meskipun tidak setiap orang dan penambahan. UUD 1945 dinilai lebih rinci dalam
yang memiliki tempat tinggal memiliki rumah, sebab mengatur dan menjamin perlindungan HAM dibanding
mereka dapat tinggal bersama dengan keluarga, anak atau Pasal 28 sebelum perubahan. Tentunya hal ini patut
orang tua.
diapresiasi. Namun sudahkah ketentuan Pasal 28 yang Sedangkan hak lain sebagai wujud kehidupan dinilai lebih rinci tersebut telah selaras dengan isi CESCR sejahtera adalah hak untuk mendapatkan yang baru diratifikasi Indonesia tahun 2005, tentunya
lingkungan yang sehat. Di dalam UUD 1945, perlu ditelaah lebih lanjut.
hak untuk mendapatkan
Wacana
lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak secara mendapatkan kecukupan makanan, pakaian dan langsung memiliki makna pada hak untuk mendapatkan
perumahan”.
kecukupan makanan. Tentunya hal ini sangat berbeda Sesungguhnya Pasal 9 Ayat (1), (2), dan (3) UU HAM dengan apa yang dikehendaki dalam CESCR yang
lebih diarahkan pada pengakuan ”hak hidup” sebagai secara tegas memberikan pengakuan dan membebani
bagian dari hak sipil dan politik dan bukan pada konteks setiap negara peserta untuk menjamin hak setiap warga
pengakuan hak ekonomi sosial dan budaya. Dengan kata negaranya untuk mendapatkan kecukupan makanan.
lain, penghormatan negara terhadap hak setiap orang Dengan demikian, Indonesia sebagai negaranya
atas penghidupan yang layak yang didalamnya mencakup yang meratifikasi CESCR belum berhasil menjamin
hak atas rumah, baik UUD 1945 maupun UU HAM dalam konstitusinya hak setiap warga negara untuk
masih belum selaras dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (1) mendapatkan penghidupan yang layak yang didalamnya
CESCR. Sementara keberadaan peraturan pelaksana di meliputi hak untuk mendapatkan pakaian yang cukup,
bawahnya semakin berpotensi lahirnya ketentuan yang makanan yang cukup (termasuk air minum) dan rumah
melanggar hak atas rumah namun tidak pernah dicabut yang memadai. Konsep yang ada dalam UUD 1945
atau masih terus berlaku hingga sekarang. Pasal 28H tersebut di atas hanya mengulang ketentuan yang ada dalam Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999
2. Upaya Negara Melepaskan
yang memang lebih dulu dibuat (satu tahun sebelum
Tanggungjawab Pemenuhan Hak Atas Air
amandemen Pasal 28 dilakukan). Terkait dengan hak atas air, Undang-Undang Dasar Dalam Undang-Undang Nomo 39 Tahun 1999 tentang
1945 Pasal 33 ayat (2) menyatakan bahwa “cabang- HAM, khususnya Bagian Kesatu Hak Untuk Hidup Pasal cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
9 Ayat (1), (2), dan (3) dinyatakan bahwa: menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh (1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan
negara” yang berdasarkan pada konsepsi kedaulatan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya;
rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ”bumi, (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bahagia sejahtera, lahir dan batin
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik
untuk kemakmuran rakyat”, termasuk pula pengertian dan sehat.
kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber- Jika yang dimaksud sebagai ”hak untuk meningkatkan sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif taraf hidup” dimaknai sama dengan ”hak untuk
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan mendapatkan kehidupan yang layak” sebagaimana
kebijakan dan tindakan pengurusan, pengaturan, ketentuan Pasal 11 Ayat (1) CESCR, maka
POKJA
hak untuk meningkatkan taraf hidup ini harus diterjemahkan sebagai hak untuk mendapatkan makanan yang cukup, pakaian, dan perumahan. Namun demikian, setelah ditelusuri pada Bagian Penjelasan dari UU ini, tidak ada satupun penjelasan yang memberikan definisi lebih lanjut yang dimaksud sebagai ”hak untuk meningkatkan taraf hidup”. Dengan demikian, dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 sebagai UU HAM di Indonesia yang diharapkan menjadi peraturan pelaksana dari Pasal 28 UUD 1945 justru memberikan pengaturan yang sangat lemah atas hak setiap orang untuk mendapatkan penghidupan yang layak, atau tidak ada jaminan yang secara eksplisit
atas pengakuan terhadap
”hak untuk
Edisi III, 2010
pengelolaan, dan pengawasan untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Lebih lanjut penguasaan negara atas air sebagai bagian dari kebutuhan yang paling mendasar dan hak asasi manusia semakin dipertegas dalam Undang- Undang Dasar 1945 pasal di pasal Pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”, Pasal 28D Ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pasal 28I ayat (4) yang menyatakan bahwa ”perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Permasalahannya tidak dijelaskan secara lebih lanjut tentang apa yang dimaksud sebagai kemakmuran rakyat, sehingga dimensi inilah yang didalam prkatek sering diterjemahkan terlalu luas atau terlalu sempit oleh pembuat kebijakan, sehingga rentan menimbulkan konflik.
Hal lain yang sangat mendasar adalah masalah penyelenggaraan penyediaan kebutuhan air bagi masyarakat oleh swasta yang secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Sebagai sebuah layanan publik yang sangat mendasar penyediaan air bagi masyarakat harus menjadi tanggung jawab negara sehingga harus dikuasai oleh negara, sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. Jika penyediaan sumberdaya air diserahkan kepada swasta
(privatisasi), maka penguasaan negara terhadap air untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat akan hilang. Secara teoritis, ada banyak definisi tentang privatisasi.
Definisi privatisasi menurut Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, pasal 1 angka 12 adalah penjualan saham persero, baik sebagian mau pun seluruhnya, kepada pihak lain dalam
rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Definisi menurut peraturan perundangan ini hanya merupakan salah satu bentuk privatisasi menurut banyak ahli. Sebagai contohnya Diana Carney dan John Farrington (1998) menyatakan bahwa privatisasi bisa diartikan secara luas sebagai proses perubahan yang melibatkan sektor privat untuk ikut bertanggung jawab terhadap kegiatan yang semula dikontrol secara eksklusif oleh sektor publik. Privatisasi termasuk di dalamnya pengalihan kepemilikan aset produktif dari sektor publik ke swasta atau hanya sekedar memberikan ruang kepada sektor privat untuk ikut terlibat dalam kegiatan operasional seperti contracting out dan internal markets). Dengan definisi seperti ini memang yang dimaksud dengan privatisasi tidak semata- mata diartikan sebagai penjualan saham. Privatisasi juga mencakup model dimana kepemilikan tetap di tangan pemerintah/negara tetapi pengelolaan, pemeliharaan dan
investasi dilakukan oleh pihak swasta (dengan model (BOT, management contract, konsesi dan sebagainya).
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, penyeleng- garaan oleh swasta dapat dilakukan jika pada daerah tersebut belum ada BUMN/BUMD yang menyelenggarakan layanan pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakatnya. Dengan aturan tersebut jelas bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 membuka kesempatan bagi keterlibatan sektor swasta (privatisasi) dalam penyediaan air bagi masyarakatnya. (bersambung...)
Penulis: Direktur Pusat Studi HAM (satuHAM) Fak. Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. email: [email protected]
. . . penyediaan air bagi
masyarakat harus menjadi tanggung jawab
negara sehingga harus
dikuasai oleh negara, sesuai dengan pasal 33
UUD 1945.
Wacana
T menyatakan bahwa perlunya perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap
idak ada yang meragukan ataupun membantah bahwa air me- rupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Begitu pentingnya air bagi manusia, sehingga hak atas air merupakan hak asasi manu- sia yang fundamental. Pengakuan air sebagai hak asasi manu- sia secara tegas tertuang dalam pasal 14 he Convention on the
Elimination all of Forms Discrimination Against Women-CEDAW 1979), yang
penyediaan air sebagai hak perempuan, demikian juga dalam pasal 24 he Convention on he Right of he Child-CRC 1989 yang menyatakan bahwa dalam upaya mencegah malnutrisi dan penyebaran penyakit maka set- iap anak memiliki hak atas air minum yang bersih. Pada tahun 2002, Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB dalam komentar umum No.15 memberikan penafsiran yang lebih tegas terhadap pasal 11 dan 12 Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dimana hak atas air tidak bisa dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya. Dengan air sebagai hak asasi manusia, menjadikan penyediaan layanan air dikategorikan sebagai es- sential services. Essential services merupakan pusat dari kontrak sosial antara pemerintah dan masyarakat. Dengan kata lain jaminan terhadap hak atas air bagi masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah. Tanggung jawab pemerintah terhadap pemenuhan hak atas air secara tegas dinyatakan dalam pasal 5 UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dimana negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif. Pada sisi yang lain, seiring dengan meningkatnya konsumsi air, variasi musim, kerusakan lingkungan dan pencemaran me- nyebabkan air menjadi langka baik dari sisi jumlah maupun kualitas.
Negara
Harus Menjamin
Ketersediaan air di Indonesia mencapai 15.000 meter ku- bik per tahun per kapita. Namun ketersediaan terse-
Hak Rakyat tahun hanya 1750 m3, masih
but tidak merata di setiap pulau. Sebagai contoh pulau Jawa ketersediaan air per kapita per
Atas Air
di bawah standar kecukupan yang sebesar 2000 m3 per
kapita per tahun dan kon- disi ini diperkirakan akan semakin parah di tahun 2020 dimana keterse- diaan hanya 1200 per kapita per tahun2.
Edisi III, 2010
Kondisi ini juga semakin diper- parah dengan rusaknya daerah aliran sungai (DAS), yang dari mening kat dari tahun ke tahun. Kelangkaan air ini kemudian diperparah dengan ke- tersediaan infrastruktur air yang bu- ruk.
Selama lebih dari 30 tahun pem- bangunan infrastruktur sumberdaya air yang berfokus pada pembangunan jaringan irigasi, tidak serta merta men- jadikan kondisi jaringan irigasi lebih baik. Sampai dengan tahun 2002 ja- ringan irigasi yang sebagian besar be- rada di Jawa (48,32%) dan Sumatra (27,13%), 22,4% diantaranya menga- lami kerusakan. Dengan alokasi ang- garan yang terfokus pada pembangun- an irigasi, pada akhirnya juga mem- perkecil anggaran untuk infrastruktur air lainnya termasuk air bersih dan sanitasi. Hal tersebut bisa dilihat dari nilai total asset infrastruktur air yang sampai akhir tahun 2002 adalah sebe- sar Rp 346,49 triliun yang terdiri Rp 273,46 triliun (78,92%) untuk iriga- si, Rp 63,48 triliun (18,32%) untuk bendungan, bendung karet, dan em- bung, Rp 9,21 triliun (2,66%) untuk pengendalian banjir dan pengamanan pantai dan Rp 0,34 triliun (0,1%) un- tuk air baku.
Privatisasi sebagai solusi sampai awal dekade 90-an terus menjadi perdebatan. Model perencanaan yang sentralistik dan kepemilikan badan usaha sebagai bagian dari upaya aku- mulasi modal dan mendorong in- vestasi masih mendominasi kebijakan ekonomi di negara-negara berkem- bang. Kepercayaan terhadap inter- vensi negara dalam pembangunan ekonomi mulai menurun pada akhir 70-an akibat ekonomi negara-negara berkembang menderita akibat kejut- an-kejutan eksternal antara lain me- lonjaknya harga minyak, menurunnya harga komoditas ekspor sedangkan harga barang impor meningkat.
Dampaknya adalah krisis utang luar negeri di berbagai negara berkem- bang dan terjadinya defisit anggaran. Karena negara mendominasi aktifitas ekonomi di negara-negara berkem- bang tersebut, perhatian pun tertuju kepada kinerja dari berbagai sektor publik (khususnya badan usaha mi- lik negara) dalam rangka mengatasi kemerosotan ekonomi. Krisis juga mengakibatkan negara-negara terse- but menjadi sangat bergantung pada du- kungan keuangan dari donor dan kreditor internasional yang ke- mudian juga mening- kat pengaruhnya da- lam penyusunan kebi- jakan (Bayliss 2006). Berbagai hal tersebut kemudian
menjadi
dasar untuk memper- tanyakan
dominasi
negara dalam aktifitas
ekonomi dan juga mempertanyakan kepemilikan pemerintah.
Padahal sejumlah badan usaha, sektor publik dikelola dengan bu- ruk, beroperasi tidak efisien sehing-
ga mengakibatkan defisit anggaran (budget deicits), dimana pelayanan yang diberikan tidak handal (unreli- able) dan menyebabkan orang miskin tersisihkan (Kessler 2004). Dalam konteks inilah kemudian privatisasi dipandang sebagai jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi negara- negara berkembang. Kebijakan pri-
vatisasi yang dimulai di Inggris dan AS kemudian diterapkan di banyak negara dan didukung oleh lembaga- lembaga keuangan internasional, ter- masuk Bank Dunia melalui Structural Adjustment Program (SAP).
Upaya untuk melakukan privatisa- si juga dilakukan di sektor sumberda- ya air. Dalam konferensi air dan ling- kungan internasional yang diselengga- rakan tahun 1992 di Dublin Irlandia, melahirkan he Dublin Statement on Water and Sustainable Development (yang lebih dikenal de ngan Dublin Principles). Dublin Principles berisi
empat prinsip yang ha- rus dikedepankan dalam kebijakan dan pem ba- ngunan di sektor sum- berdaya air. Salah satu dari prinsip tersebut adalah “water has an economic value in all its competing uses and should
be recognized as an eco- nomic good”. Lahirnya the Dublin Principles, menyebabkan banyak lembaga-lembaga
internasional mereposisi kebijakan mereka di sektor sumberdaya termasuk Bank Dunia. Bahkan Bank Dunia kemudian mengambil peran sentral dalam mengembangkan dan mem- promosikan pendekatan-pendekatan baru yang konsisten dengan Dublin Principles terutama memberlakukan air sebagai barang ekonomi. Dalam prakteknya lembaga keuangan in- ternasional menempatkan reformasi sumberdaya air yang memberlakukan air sebagai barang ekonomi dalam satu paket kebijakan neo liberal yang lebih luas dan kebanyakan melalui structural adjustment program.
Selain itu agen pembangun- an bilateral (se perti DFID dan USAID) juga mendorong private sec-
water has an economic value
in all its competing uses
and should be
recognized as an economic
good
ISTIMEWA
Wacana
tor participation kepada dalam kebijakan pe- gung jawab penyediaan layanan ber-
negara-negara pe ne rima Tahun 2005 hanya 21 nyediaan air bersih ada di tangan swasta. Model Pe rancis bantuan me reka. Da-
PDAM yang berada
saat ini. Paling tidak inilah kemudian yang diusulkan oleh
dalam kondisi sehat,
lam konteks Indonesia,
ada dua alasan de ngan 68 PDAM kurang Lembaga Keuangan Internasional tekanan glo bal untuk sehat, 117 PDAM tidak pe libatan sektor swasta se perti Bank Dunia dan ADB dan melakukan
privatisasi
sehat, dan 11 PDAM
dalam penyedia an air banyak diterapkan di banyak negara
ter masuk di sektor sum- dalam kondisi kritis. bersih, pertama ada- termasuk Indonesia de ngan istilah berdaya air, semakin
lah peningkatan kua- Private Sector Participation (PSP). mendapat
legitimasi litas layanan dan yang Beberapa bentuk partisipasi sektor dengan kondisi penyediaan layanan
kedua adanya investasi swasta dalam penyediaan air bersih air di Indonesia. Dari 41% total pen-
untuk menutupi ke- dan sanitasi antara lain adalah service duduk Indonesia yang tinggal di daer-
terbatasan anggaran contract, management contract, conces-
ah perkotaan, hanya 51,7% atau 20 yang dimiliki oleh pemerintah. Di- sion dan sebagainya. % dari total populasi yang memiliki lihat dari sejarahnya pelibatan sektor akses terhadap layanan PDAM, dan swasta dalam penyediaan air minum
Kebijakan Peme rintah Dalam
hanya 8 % masyarakat yang tinggal di bisa dibedakan atas dua model yaitu Penyediaan Layanan Air Bersih daerah pedesaan memiliki akses ter- model privatisasi Inggris dan model Dengan berbagai persoalan yang di- hadap air perpipaan yang disediakan privatisasi Perancis.
hadapi dalam penyediaan layanan air, oleh Unit Pengelola Sarana (UPS).
Model Inggris merupakan model kebijakan yang diambil oleh peme- Bahkan sampai dengan tahun dimana sektor privat menguasai penuh rintah Indonesia saat ini memang 2005 hanya 21 PDAM yang bera- penyediaan air bersih dan sanitasi. Se- dia rahkan untuk melibatkan sektor
da dalam kondisi sehat, 68 PDAM dangkan model Perancis merupakan swasta ataupun mendorong masuknya kurang sehat, 117 PDAM tidak sehat, model dimana kepemilikan aset tetap sektor swasta dalam penyediaan layan- dan 11 PDAM dalam kondisi kritis.
berada pada publik sedangkan tan- an air. Beberapa kebijakan tersebut Pada tahun 1993 World Bank
menge luarkan kebijakan di sektor POKJA sumberdaya air (Water Resources Ma- nagement Policy), dan menurut World Bank kebijakan ini merefleksikan Rio Earth Summit 1992 dan Dublin Prin- ciples. Pada tahun 1998 Bank Dunia melakukan evaluasi terhadap kebi- jakan mereka di sektor sumberdaya air yang dituangkan dalam dokumen yang berjudul “Bridging Troubled Wa- ter: Assessing the World Bank’s Water Resources Strategy” yang dipulikasika tahun 2002. Sebagai respon dari lapo- ran evaluasi tersebut pada tahun 2003 Bank Dunia membuat strategi baru di sektor sumberdaya air (Water Resources Sector Strategy: Strategic Directions for World Bank Engagement).
Buruknya kualitas layanan, dan keterbatasan anggaran untuk menca- pai target MDGs menjadikan peliba- tan sektor swasta (privatisasi) sebagai
bagian yang tidak ter-
pisahkan
Edisi III, 2010
antara lain adalah private sector parti- cipation (PSP), korporatisasi PDAM, regio nalisasi PDAM. Private Sector Participation (PSP) Seperti diuraikan di atas, menjadi bagian yang tidak ter- pisahkan dalam kebijakan penyediaan air bersih saat ini. Kebijakan ini secara tegas tertuang dalam UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, PP No.16 Tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), dan Peraturan Menteri PU No.294/ PRT/M2005 tentang Badan Pendu- kung Sistem Penyediaan Air Minum. Kebijakan PSP juga tertuang dalam Urban Water Supply Policy Framework yang disusun oleh Bank Dunia be- kerjasama dengan BAPPENAS tahun 1997. Salah satu alasan yang men- dasari munculnya kebijakan PSP ini adalah kebutuhan investasi yang besar dalam upaya meningkatkan pelayan- an PDAM. Kebutuhan investasi yang besar tersebut juga tidak terlepas dari buruknya kinerja keuangan PDAM yang disinyalir akibat tarif rata-rata yang dibawah biaya produksi. Ber- dasarkan kondisi yang ada, kebutuhan atas sumber-sumber pembi- ayaan alternatif sangat diperlukan.
Beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai sumber
pembiayaan tersebut
adalah (1) Penghapusan
hutang PDAM, hutang PDAM sampai dengan tahun 2009 masih triliunan rupiah. (2) Enterprise fund, dalam konteks penyediaan air bersih, ada dua sumber pembiayaan utama yaitu dari pemerintah dan user fee. Enterprise fund merupakan dana yang berasal dari user fee. Dengan demikian dana yang berasal dari user fee harus digunakan sepenuhnya untuk ke- pentingan PDAM. Upaya lain yang perlu dilakukan adalah perbaikan tata
kelola layanan.
Upaya ini harus diawali dengan perubahan cara pandang dimana pe- nyediaan air bersih harus dipahami se- bagai bagian dari kontrak sosial antara pemerintah dengan masyarakat. Se- hingga ada kewajiban hukum peme- rintah untuk menyediakan dan me- menuhi kebutuhan air masyarakat. Hal ini penting untuk dilakukan ka- rena asumsi-asumsi yang digunakan oleh pemerintah untuk melibatkan
sektor swasta dalam penyediaan layanan air tidak semuanya benar. Bahwa sebagian besar tarif PDAM berada di bawah biaya produksi dan kenyataan bahwa
kebanyakan PDAM beroperasi dengan jum-
lah koneksi di bawah skala ekonomi.
Namun dengan kondisi tersebut bukan berarti bahwa semua PDAM beroperasi secara tidak sehat. Meski- pun sangat sedikit sekali PDAM yang beroperasi dengan sehat, akan tetapi hal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa pada dasarnya sektor publik mampu menyediakan air bagi
masyarakat. Dengan demikian yang dibutuhkan bukan hanya upaya un- tuk meningkatkan kualitas dan perlu- asan layanan dengan mengedepankan partisipasi sektor swasta, tetapi juga upaya-upaya peningkatan kualitas dan perluasan layanan yang didasar- kan atas peningkatan kemampuan dan kapasitas dari penyedia layanan itu sendiri. Dengan perubahan cara pandang tersebut diharapkan ada per- ubahan terhadap bagaimana utilitas
layanan air harus dikelola. Banyak model terhadap pengelolaan penyedia- an layanan air, salah satunya adalah memisahkan antara kepemilikan de- ngan manajemen (korporatisasi). Na- mun sekali lagi, tanpa ada perubahan cara pandang terhadap penyediaan air bersih maka korporatisasi juga tidak akan berjalan dengan baik. Korpo- ratisasi juga harus diimbangi dengan partisipasi masyarakat. Penyediaan air di Brazil merupakan salah satu con- toh dari korporatisasi yang juga diim- bangi dengan partisipasi masyarakat. (Hamong Santono)
Korporatisasi juga
harus diimbangi dengan partisipasi
masyarakat.
POKJA
Wacana
POKJA