Perkembangan Proyeksi Jangka Menengah Hingga Penetapan Pagu Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2016

4.2. Perkembangan Proyeksi Jangka Menengah Hingga Penetapan Pagu Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2016

Penganggaran jangka menengah (Medium Term Expenditure Framework/MTEF) merupakan salah satu dari tiga prinsip dasar penganggaran yang dilaksanakan di Indonesia, di samping penganggaran terpadu ( uniied budgeting) dan penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting ). Implementasi MTEF tersebut juga tereleksikan dalam postur APBN yang disusun tidak hanya untuk tahun yang direncanakan, namun juga menyusun indikasi/ prakiraan untuk tiga tahun setelahnya. Dengan demikian, indikasi kebutuhan anggaran untuk tahun 2016 sudah disusun sejak tahun 2012, saat penyusunan APBN tahun 2013. Namun demikian, besaran tersebut diperbarui/direvisi setiap tahun sesuai dengan perkembangan yang terjadi, baik perubahan indikator ekonomi makro, perubahan kebijakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, maupun realisasi pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya.

Proses penyusunan proyeksi RAPBN tahun 2016, baik yang dihitung saat penyusunan APBN tahun 2015 (bagian dari KPJM 2016-2018) maupun saat penyusunan RAPBN tahun 2016, harus memperhitungkan perkembangan dan prospek kinerja perekonomian global dan nasional, khususnya terkait dengan berbagai indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai asumsi dasar ekonomi makro. Hal ini diperlukan agar alokasi-alokasi belanja pemerintah pusat, terutama yang dipengaruhi oleh besaran asumsi dasar ekonomi makro, dapat selalu dijaga tingkat akurasinya. Misalnya perubahan nilai tukar rupiah akan mempengaruhi besaran belanja antara lain pembayaran bunga utang khususnya bunga atas utang luar negeri. Perbandingan asumsi dasar ekonomi makro yang berpengaruh terhadap besaran belanja pemerintah pusat, antara proyeksi jangka menengah tahun 2016 saat penyusunan APBN tahun 2015 dengan RAPBN tahun 2016 disajikan dalam Tabel II.4.12.

T ABEL II.4.12

PERBANDINGAN BEBERAPA ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO, 2016

No

Indikator Ekonom i

Proy eksi Jangka

Menengah

RAPBN

1 Pertumbuhan ekonomi (%, y oy )

5,5 2 Inflasi (%, y oy )

5,9-6,5

4,7 3 Tingkat Bunga SPN 3 bulan (%)

3,0-5,0

5,5 4 Nilai Tukar (Rp/US$)

5,0-7 ,0

1 3.400 5 Harga Minyak Mentah Indonesia (US$/barel)

Nota Keuangan dan RAPBN 2016 II.4-49

Bagian II RAPBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah Periode 2017-2019

Terlihat bahwa beberapa asumsi dasar yang digunakan pada saat penyusunan proyeksi jangka menengah 2016, dalam perkembangannya menuju RAPBN tahun 2016, telah mengalami perubahan yang cukup signiikan. Perkembangan perekonomian global dan juga domestik mendorong Pemerintah untuk menyesuaikan target pertumbuhan ekonomi. Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga diperkirakan akan turut melemah. Selain itu, harga minyak mentah Indonesia di pasar Internasional (Indonesian Crude Price/ICP) juga disesuaikan dengan perkembangan terkini.

Mempertimbangkan kondisi-kondisi di atas, perubahan besaran asumsi dasar ekonomi makro tersebut tentunya mempengaruhi besaran belanja pemerintah pusat, antara lain sebagai berikut. Pertama, melemahnya nilai tukar menyebabkan kebutuhan untuk pembayaran bunga utang (utamanya dengan denominasi US$) dan juga cicilan pokok utang luar negeri akan semakin

meningkat, meskipun di sisi lain pinjaman proyek meningkat. Kedua, lebih rendahnya asumsi ICP yang digunakan sebagai salah satu parameter dalam perhitungan subsidi energi akan menyebabkan berkurangnya besaran subsidi tersebut. Ketiga , penetapan tingkat inlasi dalam RAPBN tahun 2016 antara lain akan memengaruhi kebutuhan belanja operasional K/L.

Dari sisi perkembangan kebijakan, indikasi untuk kebutuhan belanja pemerintah pusat atau KPJM tahun 2016 yang tercantum dalam Nota Keuangan dan APBN tahun 2015 yang disusun pada masa pemerintahan periode tahun 2009-2014 (bulan Agustus tahun 2014). Indikasi kebutuhan tersebut tentunya masih berpedoman kepada platform presiden terdahulu yang dijabarkan melalui RPJMN tahun 2009-2014. Dengan adanya pemerintahan baru, maka alokasi belanja pemerintah pusat tersebut juga harus disesuaikan dengan platform presiden terpilih yang diterjemahkan ke dalam Trisakti dan Nawa Cita (visi dan misi presiden) dan selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang RPJMN tahun 2015-2019. Terdapat beberapa langkah kebijakan Pemerintah yang mempengaruhi besaran alokasi dalam RAPBN tahun 2016 maupun distribusi dari belanja pemerintah pusat dalam RAPBN tahun 2016 tersebut.

Pertama, kebijakan pemerintah di bidang subsidi energi yang dimulai pada triwulan IV tahun 2014 dengan merealokasi belanja subsidi energi kepada belanja-belanja yang lebih produktif (mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif), disempurnakan pada awal tahun 2015 dengan implementasi skema subsidi tetap ( ixed subsidy) untuk BBM jenis minyak solar dan jenis premium tidak lagi disubsidi sehingga diharapkan mendorong perekonomian nasional untuk tumbuh. Kebijakan ini akan menurunkan beban alokasi subsidi untuk dapat direalokasikan kepada program dan kegiatan yang lebih produktif.

Kedua, komitmen Pemerintah untuk melanjutkan prioritas pembangunan, meliputi pemenuhan kebutuhan dasar (pendidikan, kesehatan, dan perumahan), pembangunan sektor pendorong pertumbuhan ekonomi (antara lain kedaulatan pangan, kedaulatan energi, kawasan industri baru, dan pariwisata), serta pengurangan kesenjangan antarwilayah dan antarkelompok pendapatan (melalui a.l. pembangunan infrastruktur konektivitas). Hal ini tentunya akan berdampak kepada alokasi anggaran untuk bidang-bidang tersebut.

Ketiga, kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan peran pemerintah daerah sebagai bagian penting dari pembangunan nasional sesuai dengan konsep pembagian kewenangan antara

II.4-50 Nota Keuangan dan RAPBN 2016

RAPBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah Periode 2017-2019 Bagian II

pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang ditindaklanjuti dengan pengaturan kembali komposisi belanja K/L dan transfer ke daerah, antara lain dalam bentuk pengalihan anggaran yang akan berdampak pada alokasi belanja pemerintah pusat.

Perbandingan alokasi belanja pemerintah pusat antara proyeksi jangka menengah tahun 2016 dengan RAPBN tahun 2016 sebagaimana Tabel II.4.13.

T ABEL II.4.13 REKONSILIASI BELANJA PEMERINT AH PUSAT , 2016

(miliar Rupiah)

Selisih No

T A 2016

Uraian

Asum si Kebijakan 1 Belanja K/L

Proy eksi Jangka

Menengah

RAPBN

Nom inal

2 Belanja Non-K/L

1.339.084,4 (87 .828,1) (27 .405,8) (60.422,3) Su m ber : Kem en t er ia n Keu a n g a n

JUMLAH

Secara umum, alokasi anggaran belanja pemerintah pusat pada RAPBN tahun 2016 lebih rendah sebesar Rp87.828,1 miliar dibandingkan dengan proyeksi jangka menengah tahun 2016. Di satu sisi, belanja K/L pada RAPBN tahun 2016 lebih tinggi sebesar Rp143.106,6 miliar, namun di sisi lain, belanja non-K/L lebih rendah sebesar Rp230.934,7 miliar. Perbedaan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat pada RAPBN tahun 2016 dengan proyeksi jangka menengahnya dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pada belanja K/L, perbedaan besaran alokasi pada RAPBN tahun 2016 dengan KPJM tahun 2016 utamanya disebabkan oleh kebijakan belanja K/L pada KPJM tahun 2016 bersifat baseline budget, dimana alokasi belum menampung kebijakan-kebijakan Pemerintah sebagaimana konsep Trisakti dan Nawa Cita dan RPJMN 2016-2019. Dengan demikian, belanja K/L dihitung dengan basis APBNP tahun 2015, yang telah meningkat signiikan dari APBN tahun 2015, untuk menampung program presiden periode 2014-2019, serta disesuaikan dengan rencana kerja tahun 2015. Perhitungan belanja K/L juga telah memerhitungkan pengalihan anggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan ke dana alokasi khusus (DAK), dan perubahan sumber dana pagu penggunaan PHLN, PNBP, dan BLU.

Sementara itu, perbedaan besaran belanja non K/L pada RAPBN tahun 2016 dengan proyeksi jangka menengah tahun 2016 utamanya disebabkan oleh perbedaan alokasi pada program pengelolaan subsidi, sebagai dampak langsung pelemahan asumsi nilai tukar rupiah yang cukup signiikan dan penurunan asumsi harga minyak mentah dunia. Pada program pengelolaan subsidi juga dipengaruhi antara lain: (1) penerapan kebijakan subsidi BBM, yaitu pemberian subsidi tetap untuk BBM jenis minyak solar dan untuk BBM jenis premium tidak lagi disubsidi; (2) kebijakan terkait subsidi listrik. Di samping program pengelolaan subsidi, perbedaan besaran belanja non K/L juga dipengaruhi oleh perbedaan besaran pada program-program lainnya, yang diakibatkan antara lain oleh pengalokasian beberapa cadangan yang bersifat mendesak dan merupakan kewajiban pemerintah dalam RAPBN tahun 2016.

Nota Keuangan dan RAPBN 2016 II.4-51

Bagian II RAPBN Tahun 2016 dan Proyeksi Jangka Menengah Periode 2017-2019