Pandangan Hukum Tentang Waktu Tunggu Eksekusi
E. Pandangan Hukum Tentang Waktu Tunggu Eksekusi
Pidana Mati.
Berbicara mengenai waktu tunggu eksekusi pidana mati tentu tidak terlepas dari pandangan-pandangan hukum di dunia, khususnya di Indonesia dan beberapa negara Eropa, antara lain :
1. Indonesia
Problematika di Indonesia saat ini mengenai eksekusi pidana mati yang berlarut-larut sedang mendapat perhatian khusus. Hal ini terjadi karena tidak adanya aturan yang Problematika di Indonesia saat ini mengenai eksekusi pidana mati yang berlarut-larut sedang mendapat perhatian khusus. Hal ini terjadi karena tidak adanya aturan yang
Beberapa faktor atau alasan mengapa terpidana mati belum dieksekusi mati meskipun putusannya sudah berkekuatan hukum tetap, menurut Heri Aryanto, dalam artikel Apakah
Polisi Bisa Menembak Mati Orang yang Diduga PerampokTeroris 56 antara lain;
a) Bahwa dalam sistem peradilan pidana yang menjalankan putusan pengadilan adalah jaksa penuntut umum. Apabila belum ada keputusan eksekusi dari jaksa penuntut umum, dalam hal ini Kejaksaan Agung, maka eksekusi tersebut belum bisa dilaksanakan;
b) Bahwa terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap, terpidana berhak mengajukan upaya hukum grasi (pengampunan) kepada presiden berupa permohonan perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana terhadap dirinya, sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 2002 Jo UU No.5 Tahun 2010 tentang Grasi. Oleh karenanya, terhadap putusan pidana mati, pelaksanaan pidana mati tidak bisa dilaksanakan atau ditunda
56 http:www.hukumonline.comklinikdetaillt53df2c50e4980Alasan-Penundaan-
Eksekusi-Hukuman-mati diakses 9 Juni 2016 Eksekusi-Hukuman-mati diakses 9 Juni 2016
Serupa dengan penjelasan Heri Aryanto, Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko dalam artikel Penundaan Eksekusi Hukuman Mati Diduga Disengaja yang mengakui adanya kendala untuk mengeksekusi para terpidana mati tersebut. Menurut Agung, hal itu berhubungan dengan kesempatan yang diberikan terkait upaya-upaya hukum lanjutan dari para terpidana. Seorang terpidana mati yang menjelang eksekusinya tiba-tiba mengajukan PK (Peninjauan Kembali) itu mau tidak mau harus diakomodir
sehingga mengakibatkan mundurnya proses eksekusi. 57 Bagi beberapa pihak, penundaan eksekusi mati sampai waktu yang
tidak dapat ditentukan akibat tidak jelasnya dasar hukum mengenai waktu eksekusi mati justru dipandang sebagai pelanggaran HAM.
Menurut Sahetapy, Pelaksanaan pidana mati yang ditunda-tunda tanpa alasan jelas batas waktu yang tegas sesungguhnya suatu bentuk pemidanaan pula meskipun tidak dalam arti yuridis. Dalam jargon dewasa ini, hal tersebut merupakan semacam pelanggaran hak asasi manusia, yaitu
57 Ibid,.
membiarkan yang bersangkutan menderita tanpa mengetahui batas akhir waktu penderitaan. 58 Hal serupa juga dikatakan oleh
Al Araf mewakili Koalisi Hapuskan Hukuman Mati (HATI) yang mengatakan bahwa Penundaan eksekusi tersebut mengakibatkan terpidana menerima 3 (tiga) hukuman sekaligus yaitu hukuman penjara, penyiksaan psikis lantaran ketidakpastian kapan akan dieksekusi dan eksekusi mati itu sendiri dimana proses eksekusi mati ini merupakan tindakan yang jauh dari rasa keadilan dan rasa kemanusiaan. Al Araf juga mendesak agar mereka yang sudah menjalani tahanan lebih dari 5 (lima) tahun
tidak usah dieksekusi dan diubah menjadi seumur hidup. 59 Menunda adalah menghukum orang dua kali setelah divonis,
diberi harapan tetapi tetap dihukum mati, itu lebih kejam.
2. Beberapa Negara Eropa
Fenomena deret kematian (Death Row Phenomenon) telah menjadi salah satu dari isu yang mengkhawatirkan bagi badan- badan adjudikatif hak asasi manusia internasional. Dalam hal ini, European Court of Human Right telah mengambil sikap yang cepat untuk mengkritiknya. Tetapi disisi lain, UN Human Right
58 J.E.Sahetapy, Op. Cit., hal. 77
59 Pendapat direktur program imparsial Al.Araf mewakili koalisi Hapuskan
hukuman mati dalam jumpa pers bersama LBH masyarakat, YLBHI dan Elsam tgl 1752013,dilihat:http:nasional.kompas.comread2013051804405360Eksekusi.Mati.Tid ak.Berperikemanusiaan, diakses 3 Agustus 2016
Committee mengambil sikap yang berbeda. Terhadap hukuman mati sendri, Committee memegang pandangan yang sama dengan European Court bahwa hukuman mati tidak dapat disebut “kejam” dan melanggar Pasal 7 dari ICCPR, tepatnya karena itu diperbolehkan sebagai pengecualian terhadap hak untuk hidup dalam Pasal 6 ayat (1) ICCPR yang berbunyi : “Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”.
Sedangkan mengenai death row phenomenon, menurut UN Human right committee, penundaan dalam pelaksanaan hukuman mati tidak dapat dianggap sebagai hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Sebab itu lebih baik bagi terpidana hukuman mati untuk sebisa mungkin memperoleh lebih banyak waktu sebelum dieksekusi. Pendapat serupa juga dapat dilihat dari sikap special Rapporteur yang selalu ragu untuk menyatakan bahwa “death row phenomenon” bertentangan dengan norma internasional, karena ini dapat mendorong pemerintah untuk melaksanakan eksekusi
lebih cepat. 60
60 http:repository.usu.ac.idbitstream...Chapter20III-V.pdf, diakses 18 Apr 2016
Dalam kasus Pratt v. Attorney General for Jamaica, the Lordships of Privy Council yang merupakan pengadilan tertinggi bagi negara- negara Persemakmuran Inggris, menginterpretasikan section 17 (1) dari Konstitusi Jamaika. The Lordships menemukan bahwa penundaan selama 14 tahun dalam deret kematian merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Didalam keputusan tersebut, the Lordships juga menyatakan bahwa setiap kasus dimana eksekusi dilaksanakan 5 (lima) tahun setelah penjatuhan hukuman, dimungkinkan adanya dasar yang kuat (strong grounds) dan meyakinkan bahwa penundaan tersebut merupakan tindakan tidak manusiawi atau perlakuan merendahkan martabat manusia atau perlakuan lainnya (inhuman or degrading punishment or other treatment). Terlebih, dalam kasus Catholic Commission for Justice and Peace in Zimbabwe v. Attorney
mengiterpretasikan section 15 (1) dari Zimbabwe Constitution perihal penundaan yang lama (prolonged delay) selama 72 bulan dan hidup dalam kondisi buruk (harsh conditions). Oleh karena itu, Mahkamah Agung Zimbabwe menjatuhkan putusan bahwa penundaan yang lama (prolonged delay ) lebih dari 72 bulan dan hidup dalam keadaan kondisi buruk adalah tindakan tidak mengiterpretasikan section 15 (1) dari Zimbabwe Constitution perihal penundaan yang lama (prolonged delay) selama 72 bulan dan hidup dalam kondisi buruk (harsh conditions). Oleh karena itu, Mahkamah Agung Zimbabwe menjatuhkan putusan bahwa penundaan yang lama (prolonged delay ) lebih dari 72 bulan dan hidup dalam keadaan kondisi buruk adalah tindakan tidak
Hukuman mati narapidana di AS biasanya akan menghabiskan setidaknya 10 tahun menunggu eksekusi, dengan beberapa terpidana menunggu lebih dari 20 tahun. sementara itu dikatakan membuat mereka sendiri mengalami banyak penundaan yang disebabkan oleh upaya banding yang melelahkan mereka sendiri. Mahkamah Agung California menyatakan bahwa: Kekejaman hukuman mati tidak hanya terletak pada eksekusi dan
rasa sakit dari insiden tersebut, tetapi juga dalam efek manusiawi dari lamanya hukuman penjara sebelum eksekusi selama prosedur peradilan dan administrasi penting untuk proses hukum dilakukan. Penologists dan ahli medis setuju bahwa proses melaksanakan vonis kematian sering begitu merendahkan dan brutal terhadap jiwa manusia yang membentuk penyiksaan
psikologis. 62
Sebuah doktrin hukum baru yang muncul untuk orang yang menentang legitimasi model hukuman. Alih-alih serangan langsung, yang sebagian besar tidak berhasil dinegara-negara yang mempertahankan hukuman mati, tahanan menggunakan serangan argumen berdasarkan doktrin fenomena hukuman mati. Argumen dasarnya adalah bahwa eksekusi setelah penundaan
61 www
.elsam.or.iddownloads710098
Analisis_Dokumentasi _Hak
_ASASI_Manusia_ Edisi_Nov-Des_2014.pdf diakses 2 Juni 2016
62 death row phenomenon, death Row syndrome and their affect on Capital
cases in the us, http:www.internetjournalofcriminology.comHarrison_Tamony_ Death_Row_Syndrome _IJC_Nov_2010.pdf diakses 8 Juni 2016 cases in the us, http:www.internetjournalofcriminology.comHarrison_Tamony_ Death_Row_Syndrome _IJC_Nov_2010.pdf diakses 8 Juni 2016
yang begitu lama yang dipermasalahkan 63 .
Secara perlahan para tahanan meyakinkan diberbagai pengadilan bahwa hukuman mati harus dilaksanakan tanpa penderitaan yang tidak semestinya dan penundaan yang berkepanjangan. Fenomena hukuman mati telah secara eksplisit telah diakui sebagai pelanggaran manusia hak di beberapa pengadilan internasional dan domestik. Pengadilan yang menolak untuk mengadopsi doktrin, khususnya Amerika Serikat, menunjukkan fakta bahwa tahanan sendiri biasanya menjalani
penundaan dengan mengejar banding 64 .