T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Waktu Tunggu Eksekusi Pidana Mati dalam Perspektif Hak Asasi Manusia T2 BAB II

BAB II LANDASAN TEORETIK

A. Pengertian Umum

1. Pidana Mati

  Pidana mati atau hukuman mati menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan pencabutan

  nyawa terhadap terpidana 1 . Kemudian dalam Wikipedia Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa hukuman mati adalah

  suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang

  dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya 2 . Hukuman

  atau pidana mati adalah penjatuhan pidana dengan mencabut hak hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang yang diancam dengan hukuman mati. Hukuman mati berarti telah menghilangkan

  nyawa seseorang. 3

  1 kbbi.web.id diakses 24 Juni 2016 2 https:id.wikipedia.orgwikiHukuman_mati, diakses 24 Juni 2016 3 Sejarah, Pengertian, Dasar Dan Tujuan Pidana Mati Di Indonesia,

  http:www.wawasanpendidikan.com201601sejarah-pengertian-dasar-dan-tujuan-pidana- mati-di-indonesia.html, diakses 19 Juli 2016

  Amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28A dengan tegas menyebutkan bahwa : “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Lebih lanjut mengenai hak asasi manusia, diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menyatakan :

  Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

  Mengacu pada kedua ayat tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa pandangan tentang hak-hak individu yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui apa yang dikenal oleh para filsuf dengan “Hukum Kodrat”, sebagaimana dijelaskan di atas, yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurangi (non-derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum, agama atau

  dalam situasi darurat. 4

  4 https:makaarim.wordpress.com20071022beberapa-pandangan-tentang

  hukuman-mati-death-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-indonesia, diakses 3 Agustus 2016

  Dalam bukunya Sahetapy yang berjudul Ancaman Pidana Mati dalam pembunuhan berencana, masih banyak peraturan perundang-undangan yang masih mencantumkan

  pidana mati dalam hukum positif Indonesia 5 antara lain:

  1) Kejahatan terhadap keamanan negara (Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 ayat (3), Pasal 140 ayat (3) KUHP;

  2) Pembunuhan Berencana (Pasal 340) KUHP;

  3) Pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati (Pasal 365 ayat (4))

  4) Pembajakan dilaut, dipantai, dipesisir atau disungai dengan kekerasan (Pasal 444 ) KUHP;

  5) Kejahatan penerbangan dan Kejahatan terhadap saranaprasarana penerbangan (Pasal 479k ayat (2) dan Pasal 479o ayat (2) KUHP)

  Sedangkan diluar Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati antara lain tercantum pada :

  5 J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, cet.ketiga, Setara Press Malang, Malang, 2009

  1) Pasal 1 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1951 tentang senjata api, munisi atau sesuatu bahan peledak

  2) Undang-undang Nomor 11 PNPS Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, namun dalam perkembangannya Undang-undang ini telah dicabut dengan dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU No.11PNPSTahun 1963.

  3) Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

  4) Pasal 36, Pasal 37 dan Pasal 41, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

  5) UU No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme

  6) Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

  7) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

  8) Pasal 89 ayat (1), UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

  Hingga saat ini tercatat 133 negara telah menghapus hukuman mati dalam sistem hukum pidana masing-masing. Tetapi masih ada negara lainnya termasuk Indonesia yang masih mempertahankan hukuman mati. Penghapusan hukuman mati sendiri sejak tahun 1985 trennya kian

  menguat. 6 Secara formal keberadaan hukuman mati telah dilarang oleh instrumen hukum internasional, misalnya,

  Second Optional Protocol to the ICCPR, aiming at The Abolition of the The Death Penalty tahun 1990 dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa : “setiap negara pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menghapus

  hukuman mati dalam yurisdiksinya”. 7

  Lebih lanjut dalam Pasal 6 ayat (1) Internasional Covenant on Civil and Politic Rights ICCPR) menyebutkan ( bahwa; “Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”. Bagi negara-negara yang belum menghapus hukuman mati, Pasal 6 ayat (2) masih memperbolehkan diberlakukannya hukuman mati, namun

  6 Hendarman Supandji., “ Eksistensi pidana mati dalam proses penegakan hukum di Indonesia”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. IV , No.2 , 2008, hal 2 .

  7 Lihat ; Second Optional Protocol to the ICCPR, aiming at The Abolition of the The Death Penalty tahun 1990 7 Lihat ; Second Optional Protocol to the ICCPR, aiming at The Abolition of the The Death Penalty tahun 1990

  Secara

  faktual,

  keberadaan hukuman mati

  bertentangan dengan hak hidup. Keberadaannya tidak dengan sendirinya membuat efek jera bagi pelaku kejahatan dan belum tentu menurunkan tingkat kejahatan. Uni Eropa (EU) merupakan pihak yang paling gencar melakukan kampanye penghapusan hukuman mati bahkan EU mewajibkan anggotanya untuk menghapuskan hukuman mati. Sementara Indonesia, penghapusan hukuman mati masih menjadi wacana karena masih tingginya kejahatan berat, seperti terorisme,

  korupsi dan narkoba. 9

  Perdebatan mengenai pidana mati tidak pernah surut. Dalam membahas mengenai eksistensi pidana mati terdapat dua arus pemikiran utama yaitu kelompok yang menginginkan penghapusan pidana mati secara keseluruhan dan kelompok yang ingin tetap mempertahankan keberadaan pidana mati berdasarkan ketentuan hukum positif yang

  8 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati, kompas, Jakarta, 2009, hal 47

  9 Hendarman Supandji, Loc.cit 9 Hendarman Supandji, Loc.cit

  a) Hans von Hentig (Jerman), berpendapat bahwa sebenarnya pengaruh pidana mati sangat jelek, karena tidak hanya berpengaruh terhadap keadaan fisik atas orang yang terpidana tetapi fisik pada pikiran berjuta-juta orang dengan perantaraan media massa dan seharusnya negara wajib mempertahankan nyawa orang dalam keadaan yang

  bagaimanapun. 10

  b) Roeslan Saleh, berpendapat bahwa dengan tindakan pidana mati itu, negara hanya memperlihatkan ketidakmampuannya, kelemahannya untuk memberantas kejahatan, jika negara masih dapat mencapai tujuannya dengan melaksanakan penerapan pidana yang lain, maka negara berkewajiban menghapuskan pidana mati. Alasan lain yang harus diperhatikan adalah jika vonis hakim, dan pidana mati itu telah dilaksanakan, maka kekeliruan itu

  tidak dapat diperbaiki lagi. 11

  10 Ibid .Op. Cit, hal 6. 11 Ibid, hal 6 10 Ibid .Op. Cit, hal 6. 11 Ibid, hal 6

  penyusulan pula terhadapnya. 12 Sedangkan pendapat beberapa tokoh yang mendukung

  pidana mati, ialah:

  a) Lambroso dan Gorofalo, berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat

  diperbaiki lagi. 13

  b) Oemar Seno Adjie, berpendapat bahwa selama negara kita masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh bahaya, selama tata tertib masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasir

  12 Ibid., 13 Ibid, hal 7 12 Ibid., 13 Ibid, hal 7

  c) Bambang Poernomo, berpendapat bahwa untuk mengontrol kejahatan masih diperlukan ancaman keras seperti halnya dengan hukuman mati, terutama terhadap

  kejahatan yang bengis. 15

  J.E Sahetapy juga dianggap sebagai penentang pidana mati, walaupun terbatas hanya mengenai pembunuhan berencana. Dalam disertasinya yang berjudul Suatu Studi Khusus mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, beliau memberikan hipotesa bahwa:

  a) Ancaman pidana mati dalam Pasal 340 KUHP pada dewasa ini dalam praktik merupakan suatu ketentuan abolisi de facto;

  b) Ancaman pidana mati dalam Pasal 340 KUHP tidak akan mengenai sasarannya selama ada beberapa faktor seperti lembaga banding, lembaga kasasi, lembaga grasi, kebebasan hakim, dan “shame culture”;

  14 Ibid, hal 8 15 Ibid.

  c) Dari segi kriminologi sangat diragukan manfaat pidana mati. 16

  Saat ini Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2015 masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan. Dalam RUU KUHP, hukuman mati masih termasuk pidana pokok namun bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Hukuman mati dalam RUU KUHP diatur dalam Pasal 66 ayat (1), menyatakan bahwa “Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif ”. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 66 RUU KUHP menyatakan bahwa : Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk

  menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus. Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh karena itu, harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (tahun).

  RUU KUHP menempatkan hukuman pokok dalam rumusan sebagai pidana yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif. Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-

  16 J.E. . Sahetapy, Op. cit. hal. 18 16 J.E. . Sahetapy, Op. cit. hal. 18

2. Eksekusi Pidana Mati

  Eksekusi pada dasarnya merupakan salah satu kewenangan jaksa yang diatur undang-undang untuk melaksanakan putusan hakim. Putusan hakim yang dapat dilakukan eksekusi hanyalah putusan hakim yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Eksekusi adalah pelaksanaan terhadap putusan pengadilan

  yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 18 Menurut teoretik dan praktik, suatu putusan pengadilan telah

  17 http:reformasikuhp.orgdatawp-contentuploads201511Monograf-icjr-fgd-

  29-Oktober-2015.pdf, diakses 25 Agustus 2016

  18 RONI EFENDI, Kedudukan Masa Tunggu Eksekusi Bagi Terpidana Mati

  Dalam Sistem Pemidanaan, http:scholar.unand.ac.id10727pdf, diakses 18 Agustus 2016 Dalam Sistem Pemidanaan, http:scholar.unand.ac.id10727pdf, diakses 18 Agustus 2016

  yang diajukan disertai permohonan penangguhan eksekusi. 19

  Lebih lanjut dalam Pasal 270 KUHAP juga menyatakan bahwa: “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan putusan kepadanya”. Sehingga eksekusi putusan pengadilan baru dapat dilakukan oleh jaksa setelah jaksa menerima salinan surat putusan panitera. Mengenai "dalam jangka waktu beberapa lama" Panitera harus sudah mengirimkan salinan surat putusan itu kepada Jaksa, hal itu tidak diatur dalam KUHAP. Akan tetapi Mahkamah Agung menganggap wajar

  19 Lilik Mulyadi, Hukum Acara PidanaNormatif, Teoretis, Praktik dan

  Permasalahannya, cet.ke-1, edisi Pertama, PT Alumni, Bandung, 2007, hal. 287 Permasalahannya, cet.ke-1, edisi Pertama, PT Alumni, Bandung, 2007, hal. 287

  Dikaji dari perspektif sejarahnya, hukuman mati telah dikenal pada zaman Romawi yaitu dengan telah diterapkan hukuman mati oleh Socrates tahun 399 SM dengan metode minum racun. Selain racun, eksekusi hukuman mati dilakukan

  dengan metode 21 :  Suntik mati dengan tiga kombinasi zat yang digunakan

  terdiri dari sodium thiopental (sejenis obat tidur, shingga si terhukum mati menjadi tidak sadar), pancuronium bromide (berfungsi untuk melumpuhkan otot perut dan paru-paru), dan potassium klorida (menyebabkan jantung berhenti).

   Setrum, terpidana ditempatkan pada kursi khusus dan

  disetrum selama 4 (empat) menit menggunakan 2000V, 7 (tujuh) menit berikutnya 1000V dan 2 (dua) menit terakhir 208V.

   Kamar Gas dengan diairi gas hydrocyanic yang berfungsi

  menghancurkan kemampuan memproses hermaglobin darah hingga meninggal

   Digantung yang berdiri diatas lantai berlubang seperti

  jendela dengan leher dijerat tali, lalu jendela lantai dibuka, terpidana akan meluncur jatuh dan terjerat

   Penggalpancung, terpidana dipenggal lehernya. Metode

  ini biasa dilakukan eksekutor manusia dan juga dengan bantuan alat khusus seperti di Perancis disebut guillotine. Metode ini banyak digunakan di Eropa dan negara-negara islam sebelum abad ke-17.

  20 Lihat SEMA NO. 21 TAHUN 1983 ttg Batas Waktu Pengiriman Salinan

  Putusan Pada Jaksa

  21 Lilik Mulyadi, Op.Cit, hal 288

  Kemudian perkembangannya di Indonesia, dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan pidana mati maka pelaksanaannya dilakukan menurut ketentuan undang-undang tidak dimuka umum (Pasal 271 KUHAP). Sebelumnya ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi yang diatur dalam Pasal 11 KUHP menyatakan bahwa; “ Hukuman mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan, dengan menggunakan

  sebuah

  jerat dileher terhukum

  dan

  mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri”.

  Ketentuan yang diatur dalam KUHP tersebut sejak tanggal 27 April 1964 sudah tidak berlaku lagi 22 karena

  ketentuan tersebut tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta jiwa revolusi Indonesia, maka diganti dengan Undang-undang No. 2PNPS1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yakni pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai

  mati. 23 Tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan

  22 http:www.academia.edu7612356Eksekusi_pidana, diakses 3 Agustus 2016 23 Lihat Pasal 1 UU No.21964 22 http:www.academia.edu7612356Eksekusi_pidana, diakses 3 Agustus 2016 23 Lihat Pasal 1 UU No.21964

  ditentukan bahwa tata cara proseduralnya 24 sebagai berikut :

  a. Dalam jangka waktu tiga kali dua puluh empat jam saat pidana mati dilaksanakan Jaksa TinggiJaksa yang bersangkutan harus memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakan pidana mati tersebut dan apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, keterangannya atau pesannya itu diterima oleh Jaksa Tinggi atau Jaksa tersebut (Pasal 6 ayat (1), (2));

  b. Apabila terpidana sedang hamil, pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan (Pasal 7);

  c. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman yaitu di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat (1));

  d. Kepala Kepolisian dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan pidana mati tersebut setelah mendengar nasihat dari Jaksa TinggiJaksa yang telah melakukan penuntutan pidana mati pada peradilan tingkat pertama (Pasal 3 dan Pasal 4);

  e. Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh regu penembak yang terdiri dari seorang Bintara, 10 orang Tamtama, dibawah pimpinan seorang Perwira yang semuanya dari Brigade Mobile (Pasal 10 ayat (1));

  f. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira yang ditunjuk) dan Jaksa TinggiJaksa yang bertanggung jawab harus menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut (Pasal 4);

  g. Sebelum pelaksanaan pidana mati, maka terpidana dapat disertai rohaniawa (Pasal 11 ayat (1). Kemudian terpidana dapat menjalani pidana mati secara berdiri, duduk atau berlutut (Pasal 12 ayat(1)) dan pelaksanaan pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara

  24 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoreti, Praktik dan

  Permasalahannya, Cet ke-1, edisi pertama, PT Alumni, Bandung, 2007, hal.290 Permasalahannya, Cet ke-1, edisi pertama, PT Alumni, Bandung, 2007, hal.290

  h. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana kecuali berdasarkan kepentingan umum Jaksa TinggiJaksa yang bersangkutan dapat menetukan lain (Pasal 15);

  i. Kemudian setelah pelaksanaan pidana mati dilaksanakan, Jaksa TinggiJaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara mengenai pelaksanaan pidana mati dan isi dari berita acara tersebut kemudian harus dicantumkan didalam surat keputusan dari pengadilan yang bersangkutan (Pasal 16 ayat (1) dan (2))

  Pengaturan lebih lanjut mengenai eksekusi pidana mati juga diatur dalam Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010

  tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. 25 Dalam Pasal 4 Perkapolri No. 12 tahun 2010 ditentukan tata cara

  pelaksanaan pidana mati yang terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut:

  a. persiapan;

  b. pengorganisasian;

  c. pelaksanaan; dan

  d. pengakhiran.

  Mengenai proses pelaksanaan pidana mati, lebih spesifik diatur dalam Pasal 15 Perkapolri No. 12 Tahun 2010 sebagai berikut :

  25 http:www.hukumonline.comklinikdetailcl441hukuman-mati, diakses 15

  Agustus 2016 Agustus 2016

  b) pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang rohaniawan;

  c) regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 (dua) jam sebelum waktu pelaksanaan pidana mati;

  d) regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 (satu) jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan;

  e) regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 (lima) meter sampai dengan 10 (sepuluh) meter dan kembali ke daerah persiapan;

  f) Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan ”LAPOR, PELAKSANAAN PIDANA MATI SIAP”;

  g) Jaksa Eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati;

  h) setelah pemeriksaan selesai, Jaksa Eksekutor kembali ke tempat semula dan memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan ”LAKSANAKAN” kemudian Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan ”LAKSANAKAN”;

  i) Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 (dua belas) pucuk senjata api laras panjang dengan 3 (tiga) butir peluru tajam dan 9 (sembilan) butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 (satu) butir peluru, disaksikan oleh Jaksa Eksekutor;

  j) Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2

  dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh Jaksa; dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh Jaksa;

  diri paling lama 3 (tiga) menit dengan didampingi seorang rohaniawan;

  l) Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain

  hitam, kecuali jika terpidana menolak; m) Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju

  terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan, kemudian Dokter dan Regu 2 menjauhkan diri dari terpidana;

  n) Komandan Regu 2 melaporkan kepada Jaksa Eksekutor

  bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati;

  o) Jaksa Eksekutor memberikan tandaisyarat kepada

  Komandan Pelaksana untuk segera dilaksanakan penembakan terhadap terpidana;

  p) Komandan Pelaksana memberikan tandaisyarat kepada

  Komandan Regu penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana;

  q) Komandan Pelaksana mengambil tempat di samping

  kanan depan regu penembak dengan menghadap ke arah serong kiri regu penembak; dan mengambil sikap istirahat di tempat;

  r) Pada saat Komandan Pelaksana mengambil sikap

  sempurna, regu penembak mengambil sikap salvo ke atas; s) Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat

  bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana;

  t) Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan

  setinggi dagu sebagai isyarat kepada Regu penembak untuk membuka kunci senjata;

  u) Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah

  pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak;

  v) Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana

  menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata;

  w) Komandan Pelaksana, Jaksa Eksekutor, dan Dokter

  memeriksa kondisi terpidana dan apabila menurut Dokter bahwa terpidana masih menunjukkan tanda-tanda memeriksa kondisi terpidana dan apabila menurut Dokter bahwa terpidana masih menunjukkan tanda-tanda

  x) Komandan Pelaksana memerintahkan komandan regu

  penembak untuk melakukan penembakan pengakhir dengan menempelkan ujung laras senjata genggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga;

  y) Penembakan pengakhir ini dapat diulangi, apabila

  menurut keterangan Dokter masih ada tanda-tanda kehidupan;

  z) Pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila

  dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda- tanda kehidupan pada terpidana;

  aa) Selesai pelaksanaan penembakan, Komandan regu penembak memerintahkan anggotanya untuk melepas magasin dan mengosongkan senjatanya; dan

  bb) Komandan Pelaksana melaporkan hasil penembakan kepada

  Jaksa

  Eksekutor

  dengan ucapan

  ”PELAKSANAAN PIDANA MATI SELESAI”.

  Eksekusi pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum surat Keputusan Presiden yang menyatakan tentang penolakan grasi tersebut diterima oleh terpidana (pemohon grasi).

B. Tujuan Pemidanaan

  Negara (pemerintahan) dalam menjalankan hukum pidana senantiasa dihadapkan dengan suatu paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut: Pemerintah negara harus menjalankan kemerdekaan individu,

  menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tetapi, kadang-kadang sebaliknya pemerintah Negara menjatuhkan hukuman dan justu menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi tersebut oleh pemerintah Negara diserang misalnya, yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi, pada satu pihak, pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapa menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tetapi, kadang-kadang sebaliknya pemerintah Negara menjatuhkan hukuman dan justu menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi tersebut oleh pemerintah Negara diserang misalnya, yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi, pada satu pihak, pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapa

  Tujuan pemidanaan yang merupakan pembenaran atas penggunaan atau penjatuhan pidana mempunyai banyak variasi dengan dasar-dasar pembenarannya (rechtvaardigingsgrond). Teori yang dikenal dengan pembenaran tersebut dikenal dalam 3 golongan utama, yaitu :

  1) Teori Pembalasan atau Teori Absolute (RetributiveVergeldings Theorien) Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana. Tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Bahan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau, maksudnya memperbaiki penjahat tidak dipersoalkan. Jadi seorang penjahat mutlak harus dipidana, ibarat pepatah yang

  mengatakan : Darah bersabung darah, nyawa bersabung nyawa. 27

  2) Teori Tujuan atau Teori Relatif (UtilitarianDoeltheorien)

  26 Utrecht, hukum pidana 1, Bandung : universitas, 1967 , hal 158

  27 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

  Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1982, hal.59

  Teori-teori yang yang termasuk golongan teori tujuan membenarkan pemidanaan berdasarkan atau tergantung pada tujuan pemidanaan yaitu : untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan (ne peccetur). Perbedaan dari beberapa teori yang termasuk teori tujuan, terletak pada caranya untuk mencapai tujuan dan penilaian terhadap kegunaan pidana. Diancamkannya suatu pidana dan dijatuhkannya suatu pidana, dimaksudkan untuk menakut-nakuti calon penjahat atau penjahat yang bersangkutan, untuk memperbaiki penjahat, untuk menyingkirkan penjahat, atau prevensi umum. Teori tujuan lebih mempersoalkan akibat-akibat dari pemidanaan kepada penjahat

  atau kepada kepentingan masyarakat. 28

  3) Teori Gabungan (Verenegings Theorien) Kemudian timbul golongan ketiga yang berdasarkan pemidanaan kepada perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan, yang disebut sebagai teori gabungan. Dasar pemikiran teori gabungan adalah pemidanaan bukan saja untuk masa lalu tetapi juga untuk masa yang akan datang, karenanya pemidanaan harus dapat member kepuasan bagi hakim, penjahat itu sendiri maupun

  28 Ibid., hal. 61 28 Ibid., hal. 61

  

  tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat. 30

  Selanjutnya secara umum, legitimasi bagi pengenaan pidana dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu legitimasi teleologis (teleological legitimacy) dan legitimasi deontologist (deontological legitimacy). Legitimasi teleologis mencakup alasan- alasan yang difokuskan pada tujuan pemidanaan untuk kepentingan masa depan, sedangkan legitimasi deontologis lebih dititikberatkan pada pemidanaan sebagai konsekuensi dari pelanggaran hukum pidana. Sekarang ini pembenaran terhadap pembinaan umumnya disandarkan baik pada legitimasi teleologis maupun legitimasi deontologis, sebagaimana terlihat dari teori tentang pemidanaan yang mencakup aspek pembalasan (retribution), pencegahan (deterrence), pelumpuhan (incapacitation), perbaikan diri pelaku (rehabilitation),

  31

  29 Erdianto Effendi, Suatu Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika aditama, Bandung, 2011

  30 Leden Merpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,

  2005, hal.107

  31 PEMAHAMAN AWAL, 2014, hal 12-16

  1) Pembalasan (retribution) Pembalasan barangkali merupakan legitimasi yang tertua bagi pengenaan pidana. Menurut gagasan deontologis yang dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Immanuel Kant ini, sudah merupakan hal yang layak apabila seseorang mendapatkan pembalasan setimpal atas pelanggaran hukum pidana yang sudah mereka lakukan. Pengenaan pidana sekaligus dianggap sebagai pengakuan bahwa pelaku pelanggaran adalah pribadi yang memiliki kemanusiaan secara utuh (full personhood) yang mampu menjadi moral agent, mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, mampu bertanggungjawab, serta pada akhirnya layak mewujudkan tanggungjawabnya melalui pemidanaan. Terkait dengan hal tersebut, dalam wujudnya yang ekstrem, gagasan ini beranggapan bahwa pengenaan pidana untuk tujuan lain, semisal tujuan untuk merehabilitasi pelaku, justru merupakan penyangkalan terhadap pelaku yang pada hakikatnya adalah manusia utuh yang mampu bertanggungjawab serta menanggung konsekuensi hukum untuk apa yang dilakukannya.

  2) Pencegahan (deterrence)

  Legitimasi penjatuhan pidana sebagai sarana untuk melakukan pencegahan kejahatan banyak dipengaruhi oleh gagasan utilitarianistik dari Jeremy Bentham. Berbeda dari alasan retribusi yang lebih bersifat ontologis, alasan pencegahan kejahatan lebih bernuansa teleologis. Menurut alasan ini, penjatuhan pidana difokuskan pada manfaat pemidanaan dalam upaya untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik di masa mendatang, yakni pencegahan kejahatan. Melalui penjatuhan pidana diharapkan bahwa masyarakat akan berpikir ulang sebelum memutuskan untuk melakukan kejahatan seperti kejahatan yang dijatuhi pidana. Dalam kalimat sederhana, penjatuhan pidana kepada seorang pelaku kejahatan dilakukan supaya orang lain takut meniru perbuatan salah yang dilakukan pelaku kejahatan itu.

  3) Pelumpuhan (incapacitation) Melucuti kemampuan pelaku kejahatan melalui pemidanaan merupakan rationale yang ada dibalik tujuan incapacitation ini. Ketika seorang pelaku kejahatan dijatuhi pidana, khususnya berupa pidana pembatasan kebebasan fisik (penjara), terdapat kehendak agar si pelaku tidak bisa melakukan lagi kejahatan.

  4) Perbaikan diri pelaku (rehabilitation) Dalam teori tentang pemidanaan (sentencing theory),tujuan rehabilitasi mewakili pandangan yang kontemporer. Berdasarkan sudut pandang ini, seorang pelaku kejahatan dijatuhi pidana sebagai bagian dari sebuah proses yang secara teleologis diharapkan bermuara pada perubahan pada diri pelaku kejahatan sedemikian rupa sehingga ia dapat menjadi warga masyarakat yang baik. Oleh karena itu, dari perspektif ini pembinaan terhadap seorang terpidana menjadi factor yang amat penting. Secara implisit, sudut pandang ini juga tidak kompatibel dengan eksistensi pidana mati (capital punishment), karena secara hakiki pidana mati menghilangkan peluang bagi terpidana untuk direhabilitasi.

  5) Penegasan kesalahan (denunciation) Perspektif pemidanaan ini termasuk sebagai perspektif yang relative baru didalam member dasar pembenaran bagi pengenaan pidana. Pemidanaan sebagai bentuk penegasan kesalahan juga diadopsi didalam hukum pidana internasional. Berdasarkan sisi pandang ini, keseluruhan sistem hukum pidana internasional procedural dan juga pemidanaan dipandang sebagai kesempatan untuk mengkomunikasikan 5) Penegasan kesalahan (denunciation) Perspektif pemidanaan ini termasuk sebagai perspektif yang relative baru didalam member dasar pembenaran bagi pengenaan pidana. Pemidanaan sebagai bentuk penegasan kesalahan juga diadopsi didalam hukum pidana internasional. Berdasarkan sisi pandang ini, keseluruhan sistem hukum pidana internasional procedural dan juga pemidanaan dipandang sebagai kesempatan untuk mengkomunikasikan

  Dalam Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dalam Bab III dengan judul : Pemidanaan, Pidana dan Tindakan. Rancangan KUHP Tahun 2015 dalam Pasal 54 ayat (1) menetapkan ada 4 (empat)

  tujuan pemidanaan 32 , antara lain :

  a. Pemidanaan bertujuan :

  i. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

  ii. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

  32 Rancangan KUHP Nasional Tahun 2015 Pasal 54 32 Rancangan KUHP Nasional Tahun 2015 Pasal 54

  memulihkan

  keseimbangan, dan

  mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan iv. Membebaskan rasa bermasalah pada terpidana.

  Menurut Barda Nawawi Arief, perumusan tujuan pemidanaan didalam Konsep Rancangan KUHP Nasional bertolak dari pokok- pokok pemikiran antara lain :

  a) Pada hakikatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan (purposive system) sehingga dirumuskannya pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana

  untuk mencapai tujuan. 33

  b) Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretisasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka

  diperlukan perumusan tujuan pemidanaan. 34

  33 M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,

  Jakarta , 2007, hal. 127

  34 Ibid, h.128 34 Ibid, h.128

  pemidanaan yang jelas dan terarah. 35 Pernyataan ini juga terlihat dalam pendapat Romli

  Atmasasmita, yang menegaskan bahwa perumusan empat tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP Nasional tersimpul pandangan social defence, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana, pandangan hukum adat dan tujuan yang bersifat spiritual

  berlandaskan pancasila. 36 Tujuan pemidanaan tersebut dipertegas kembali dengan mencantumkannya pada Pasal 54 ayat (2) RUU

  KUHP yang menyebutkan bahwa: “pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

C. Hambatan-Hambatan Dalam Eksekusi Pidana Mati

  Dalam eksekusi pidana mati tidak selalu berjalan sesuai aturan. Hal ini juga disebabkan karena masih adanya hak-hak terpidana berupa pengajuan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan kembali dan Grasi. Namun dalam penggunaan upaya hukum ini juga tidak selalu berjalan konsisten karena terdapat juga

  35 Ibid. 36 Ibid.

  hambatan-hanbatan didalamnya. Adapun hambatan yang terkait dengan eksekusi pidana mati diantaranya :

a) Grasi

  Grasi merupakan upaya hukum istimewa, yang dapat dilakukan atas sesuatu putusan pengadilan yang telah mempunyai

  kekuatan hukum tetap, termasuk putusan Mahkamah Agung. 37 Dasar hukum pemberian grasi oleh presiden dapat dilihat dalam

  Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 bahwa: “Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2002 Jo UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi, dikatakan bahwa ; Grasi adalah “Pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh

  Presiden”. 38

  Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama. Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, maka panitera yang mendampingi hakim

  37 Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, ed, Panduan Bantuan Hukum

  Indonesia : Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2014, hal.246

  38 Lihat UU Grasi 38 Lihat UU Grasi

  grasi terhadap terpidana yang dijatuhi hukum pidana mati sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 6 UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi, yang berhak mengajukan grasi adalah :

  1) Terpidana atau kuasa hukumnya;

  2) Keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana;

  3) Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa

  persetujuan terpidana. 40

  Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2), Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa:

  a) Peringanan atau perubahan jenis pidana;

  b) Pengurangan jumlah pidana; atau

  c) Penghapusan pelaksanaan pidana.

  Sebelumnya pengaturan tentang batas waktu permohonan grasi tidak diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan sampai dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi. Dimana dalam Pasal 2 ayat (3)

  39 Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, Loc. Cit 40 Lihat Pasal 6 UU Grasi 39 Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, Loc. Cit 40 Lihat Pasal 6 UU Grasi

  Kemudian mengenai batas waktu maksimal pengajuan Grasi sebelumnya diatur dalam Pasal 7 ayat (2) bahwa: “Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap”, namun dalam perkembangannya pasal tersebut sudah dihapus dengan putusan MK No 107PUU-XIII2015. Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang Penolakan Pemohonan

  grasi diterima oleh terpidana. 41

b) Peninjaun Kembali

  Peninjauan Kembali (PK) yang dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah Herziening adalah suatu upaya hukum luar

  41 Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, Op.Cit., hal. 247 41 Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, Op.Cit., hal. 247

  gewjisde). 42 Peninjauan Kembali (PK) merupakan salah satu tugas dari Mahkamah Agung yang tertuang dalam Pasal 28 ayat

  (1) huruf c UU No. 14 Tahun 1985 Jo UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, yang berbunyi: “MA bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” ketentuan diatas juga diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa: “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung (Pasal 263 ayat (1) KUHAP).

  Mengenai alasan mengajukan peninjauan kembali sebagaimana ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, dilakukan atas dasar:

  42 Referensi Hukum dan Politik ;

  www.gresnews.comberitatips1731208...peninjauan-kembali-pk-perkara-pidana, diakses 2 Agustus 2016 www.gresnews.comberitatips1731208...peninjauan-kembali-pk-perkara-pidana, diakses 2 Agustus 2016

  b) Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;

  c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

  Terkait upaya hukum luar biasa, pengajuan peninjauan kembali, Pasal 268 ayat (3) membatasi bahwa “Permintaan

  peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat

  dilakukan satu kali saja”. Dalam hal ini, telah dilakukan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh Antazari Azhar (Mantan Ketua KPK). Dalam Putusan MK No. 34PUU-XI2013, Majelis Hakim Konstitusi menyatakan, dilakukan satu kali saja”. Dalam hal ini, telah dilakukan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh Antazari Azhar (Mantan Ketua KPK). Dalam Putusan MK No. 34PUU-XI2013, Majelis Hakim Konstitusi menyatakan,

  Peninjauan Kembali diajukan oleh terpidana Antasari Azhar, yang didakwa turut serta menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu. Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 11 Februari 2010, No perkara 1532Pid.B2009PN.Jkt.Sel, Antasari Azhar merasa tidak pernah melakukan pembunuhan berencana terhadap Nasruddin Zulkarnaen dan mengajukan Banding, Kasasi hingga PK pada tanggal 13 Februari 2011 dengan Putusan Nomor 117 PKPID2011 namun ditolak. Antasari Azhar merasa hak konstitusionalnya dibatasi karena tidak bisa mengajukan upaya hukum lain sebagaimana Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat diajukan satu kali saja”. Oleh karena itu Antasari dan keluarga mengajukan uji materiil ke MK dengan Putusan Nomor 34PUU-XI2013

  yang mengabulkan permohonan 44 .

  43 Muhammad Yasin dan Herlambang Perdana, Op.Cit., hal. 245 44 ejournal.unesa.ac.idarticle1510943article.pdf , diaskes 7 Juni 2016

  Adapun

  yang

  menjadi alasan bagi Mahkamah

  Konstitusi untuk membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP)

  45 antara lain yaitu :

  1. Dengan dalih keadilan, MK membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali;

  2. MK berpendapat upaya hukum luar biasa PK secara historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana;

  3. Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya hukum luar biasa (PK) hanya dapat diajukan satu kali. Mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan saat PK sebelumnya belum ditemukan;

  4. Syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah sangat materiil atau syarat yang sangat mendasar terkait

  45 http:www.hukumonline.comklinikdetaillt55281d1ec53eealasan-peninjauan-

  kembali-boleh-berkali-kali, diakses 18 Agustus 2016 kembali-boleh-berkali-kali, diakses 18 Agustus 2016

  5. Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP haruslah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan. MK menegaskan upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi. Namun, tak demikian upaya pencapaian keadilan. Sebab, keadilan kebutuhan manusia yang sangat mendasar lebih mendasar daripada kepastian hukum.

  Putusan Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 34PUU-XI2013, dalam Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sudah tentu menimbulkan dampak dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yakni khususnya pada upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali yang dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dinyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tidak mengikat dan berkekuatan hukum, artinya bahwa peninjauan kembali dapat Putusan Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 34PUU-XI2013, dalam Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sudah tentu menimbulkan dampak dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yakni khususnya pada upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali yang dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dinyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tidak mengikat dan berkekuatan hukum, artinya bahwa peninjauan kembali dapat

  penghujung Tahun 2014, Mahkamah Agung (MA) membuat terobosan baru terkait dengan Permohonon Pengajuan Kembali dalam Perkara Pidana. Terobosan tersebut dibuat dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)

  Nomor 7 Tahun 2014. 47

  Diterbitkannya SEMA ini, telah menegaskan sikap dan pendirian Mahkamah Agung beserta jajaran pengadilan (pidana) dibawahnya, yaitu bahwa permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali saja. Nampaknya Mahkamah Agung berpegangan pada asas kepastian hukum (rechtzakerheid) dan asas bahwa setiap perkara harus ada akhirnya (litis finiri oportet). Lahirnya SEMA No. 7 Tahun 2014 ini kemudian menuai pro dan kontra baik didalam (sebagian) internal MA maupun dari kalangan di luar MA. Diluar MA, beberapa ahli hukum tata Negara berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34PUU-XI2013, yang telah menyatakan Pasal

  268 ayat (3) KUHAP tentang aturan PK atas perkara pidana

  46 Lilik Mulyadi, Hukum acara pidana normatif, teoritis, praktik dan

  permasalahannya, Bandung:Alumni, 2007, hal. 277

  47 http:nartocalonlegislator.blogspot.co.id201501pro-kontra-sema-nomor-7-

  tahun-2014_7.html, diakses 17 Agustus 2016 tahun-2014_7.html, diakses 17 Agustus 2016

  berhak mengajukan Peninjaun kembali juga menjadi permasalahan. Seperti yang sudah tertuang dalam Pasal 263 ayat (1) disebutkan baha pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali adalah Terpidana atau ahli warisnya. Namun dalam perkembangannya Jaksa pun dapat mengajukan Peninjauan kembali.

  Pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa dan kemudian diterima oleh Mahkamah Agung, diyakini telah merusak tatanan hukum Indonesia hingga kini. Rumusan dan latar belakang historis KUHAP sudah jelas bahwa Peninjauan Kembali mestinya merupakan hak terpidana atau ahli warisnya. Putusan Mahkamah Agung yang telah menerima PK oleh jaksa dalam kasus Muchtar Pakpahan dan beberapa perkara sesudahnya. Mantan Hakim Agung Laica Marzuki berpendapat bahwa putusan PK dalam kasus Muchtar termasuk kasus lain seperti Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin dimana PK diajukan oleh jaksa, bisa saja merupakan kekeliruan peradilan (rechtelijke dwaling). Langkah jaksa

  48 Albert Aries,Menguji Efektivitas SEMA Nomor 7 Tahun 2014 ,

  http:www.hukumonline.com, diakses 17 Agustus 2016 http:www.hukumonline.com, diakses 17 Agustus 2016

  wenangan hukum. 49 Sehingga jika Mahkamah Agung mengabulkan PK oleh jaksa, maka terpidana atau ahli

  warisnya pun berhak untuk mengajukan PK. Alhasil, muncullah PK di atas PK atau PK kedua. Solusinya adalah

  PK atas PK. 50

D. Fenomena Deret Kematian (Death Row Phenomenon)

  Penundaan eksekusi yang berlarut-larut oleh Negara terhadap para narapindana mati sering disebut sebagai Fenomena Deret Kematian. Fenomena ini seringkali terjadi di negara yang masih mempraktekkan hukuman mati dan dipandang sebagai pelanggaran

  konstitusi di berbagai Negara. 51 Dalam praktiknya kemudian setiap kasus dimana eksekusi dilaksanakan setelah 5 (lima) tahun

  penjatuhan pidana dan belum dilakukan eksekusi, dimungkinkan adanya dasar yang kuat dan meyakinkan bahwa penundaan tersebut merupakan tindakan tidak manusiawi atau perlakuan merendahkan

  49 http:www.hukumonline.comberitabacahol22482pk-oleh-jaksa-rusak-tatanan-

  hukum-indonesia, diaskes 3 Agustus 2016

  50 ibid

  51 Penghapusan Hukuman Mati dalam Praktik Pengadilan Internasional dan

  Nasional,

  Lihat;

  http:referensi.elsam.or.idwp-contentuploads201412Penghapusan-

  Hukuman-Mati-dalam-Praktik-Pengadilan-Internasional-dan-Nasional.pdf,

  diakses 13

  Agustus 2016 Agustus 2016

  Fenomena penungguan eksekusi pidana mati dalam literatur Barat ditulis sebagai wujud penderitaan para terpidana mati yang disebabkan masa penantian yang panjang serta praktik isolasi yang dikenakan terhadap mereka sejak hakim menjatuhkan hukuman mati hingga hari eksekusi. Kalangan yang anti hukuman mati menganggap fenomena tersebut sebagai penzaliman ganda oleh negara. Pasalnya, setelah hakim memutuskan terdakwa diganjar hukuman mati, penghukuman terhadap terpidana justru sudah berlangsung akibat kepastian nasib bahwa dia akan dimatikan, namun tanpa kepastian kapan eksekusi dilaksanakan. Prosesi kematian seakan bukan lagi misteri dan masa tunggu menjelang prosesi itu diselenggarakan bisa

  mencapai bilangan puluhan tahun. 53

  Fenomena deret kematian (Death Row Phenomenon) merupakan kombinasi dari keadaan yang ditemukan pada saat terpidana menunggu eksekusi mati yang menghasilkan trauma mental yang berat dan kemunduran kondisi fisik dalam tahanan. Fenomena ini didapat dari kondisi menunggu hukuman mati yang lama dan kecemasan menunggu eksekusi itu sendiri ditambah dengan

  52 ibid

  53 www.jawapos.combacaopinidetail13892tembak _ diakses 8 Juni 2016 53 www.jawapos.combacaopinidetail13892tembak _ diakses 8 Juni 2016

  

  terisolasi dari orang lain. 54 Dalam konteks itu, korban eksekusi

  pidana mati sesungguhnya tidak hanya mengalami satu bentuk hukuman berupa hukuman mati, tetapi juga menjalani hukuman lain berupa hukuman penjara. Disini, para korban sesungguhnya mendapatkan hukuman ganda dan berlipat, yakni hukuman mati plus hukuman penjara. Tak hanya itu, para terpidana mati juga mengalami penyiksaan sebagai akibat dari fenomena deret kematian. Persoalan ini memberikan tekanan psikologis tersendiri bagi mereka. Setiap waktu mereka dihadapkan pada penantian kematian yang tidak pasti. Setiap pagi dan setiap malam para terpidana mati membayangkan peristiwa kematian dan hal itu tentunya jadi bentuk penyiksaan tersendiri. Kondisi ini mereka alami bertahun-tahun. Meski sejumlah terpidana mati telah menyesali kesalahannya pada masa lalu dan menunjukkan perbaikan diri, hal itu tidak dijadikan dasar

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100

Kesesuaian konsep islam dalam praktik kerjasama bagi hasil petani desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur

0 86 111

Upaya guru PAI dalam mengembangkan kreativitas siswa pada mata pelajaran pendidikan agama islam Kelas VIII SMP Nusantara Plus Ciputat

48 349 84

Konsep kecerdasan ruhani guru dalam pembentukan karakter peserta didik menurut kajian tafsir Qs. 3/Ali-‘Imran: 159

9 101 103