1 Operasionalisasi Konsep
Tabel 3.1 Operasionalisasi Konsep
Variabel Pengertian
1 Jumlah Modal Yang Dibutuhkan Nominal
2 Sumber Modal
Nominal 3 Sumber-sumber Pembiayaan
Nominal
mempengaruhi Sarana
Faktor
yang
4 Nominal pemilihan sumber pembiayaan penyediaan dana
Nominal Sarana
adalah sumber- 5 Agunan
sumber
yang
Penyediaan dapat
diakses
Nominal oleh UMKM untuk
6 Jangka Waktu Pinjaman
Dana mendapatkan pembiayaan bagi
Nominal pengembangan
7 Suku bunga Pinjaman
usahanya
8 Penggunaan Pinjaman
Nominal
9 Pembayaran Pinjaman
Nominal Kesulitan dalam Pengembalian
10 Ordinal
Pinjaman 11 Akses informasi
Ordinal Fasilitator
Fasilitator
Interval Manajemen
1 Pengurusan Izin Usaha
Variabel Pengertian
Manajemen adalah Lembaga pembiayaan
2 Pengurusan Kredit/Pinjaman Interval mendampingi dan
membantu UKM
Interval dalam
3 Pelatihan pengelolaan SDM
hal
manajemen
4 Pelatihan penggunaan IT
Interval 5 Manajemen Usaha lebih bagus
Inteval
Interval Fasilitator Pasar
6 Pembuatan Rencana Bisnis
Interval dan Pemasaran
1 Pencarian Pelanggan
adalah Lembaga pembiayaan
Interval Fasilitator
2 Penyertaan dalam pameran
mendampingi dan Pasar dan membantu
Interval Pemasaran
3 Promosi pada pihak lain
UMKM memperluas
Interval pasar
4 Penyediaan tempat usaha
dan
pemasaran 5 Pendampingan Inovasi Produk
Interval Produknya
Fasilitator Keuangan adalah
Interval Lembaga
1 Pembuatan Pembukuan
Fasilitator pembiayaan 2 Pembuatan Laporan Keuangan Interval membantu
Keuangan UMKM
Interval mengelola
dalam
3 Pelatihan Perpajakan
keuangan
Pendampingan pengelolaan Dana 4 Interval efektif
lebih
pinjaman
BAB IV
ANALISIS PERAN LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM
PENGEMBANGAN UMKM
4.1. Program Pengembangan UMKM Melalui Lembaga Pembiayaan
4.1.1. Kebijakan Pemerintah Terkait Dengan Pengembangan UMKM Melalui Lembaga Pembiayaan
Pemerintah baik pusat maupun daerah berupaya selalu memberikan dukungan kepada UMKM untuk mewujudkan UMKM yang mandiri dan tangguh. Pemerintah mengharapkan UMKM yang mandiri dan tangguh dapat berkembang dan mendorong perekonomian regional dan nasional. Dukungan terhadap UMKM ini tidak hanya dilakukan oleh satu atau dua lembaga Kementerian saja, melainkan berbagai lembaga, seperti Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Bappenas. Tidak terbatas hanya pada lembaga kementerian, dukungan kepada UMKM juga diberikan oleh lembaga non kementerian seperti Bank Indonesia, BUMN dan lembaga keuangan non bank. Berbagai wujud dukungan diberikan kepada UMKM seperti pembinaan, pendampingan dan pemberian pembiayaan.
Terkait dengan dukungan pembiayaan, pemerintah selalu berusaha menfasilitasi UMKM untuk mendapatkan akses pembiayaan dari instansi atau lembaga keuangan baik bank maupun non bank. Fasilitasi ini meliputi subsidi bunga kredit perbankan, penjaminan lembaga non bank, modal ventura, pembiayaan dari penyisihan laba BUMN, hibah dan lainnya.
4.1.2. Kebijakan Pengembangan UMKM Sektor Perdagangan Melalui Lembaga Pembiayaan Bank
Seperti yang telah dikemukakan di atas, pemerintah bersama dengan instansi terkait - dalam hal ini perbankan - melakukan koordinasi untuk memberikan solusi atas permasalahan UMKM di bidang permodalan. Adapun kebijakan pembiayaan melalui lembaga pembiayaan bank, antara lain:
a. Kredit Usaha Rakyat
Pada tahun 2007, pemerintah menggulirkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang bertujuan untuk mendorong peningkatan akses UMKM dan koperasi kepada pembiayaan dari perbankan melalui peningkatan kapasitas
Program KUR merupakan tindaklanjut dari penandatanganan MOU pada tanggal 9 Oktober 2008 tentang Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada UMKM dan Koperasi antara Pemerintah (Menteri Negara Koperasi dan UKM, Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian, Perusahaan Penjamin - perum Sarana Pengembangan Usaha dan PT. Asuransi Kredit Indonesia) dan Perbankan (Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri). KUR ini didukung oleh Kementerian Negara BUMN, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian serta Bank Indonesia (www.depkop.go.id, 2013). Kementerian tersebut di atas sekaligus menjadi instansi pembina, bank pelaksana dan perusahaan penjamin program KUR. Pada perkembangannya, bank pelaksana KUR ditambah 13 BPD yaitu Bank DKI, Bank Nagari, Bank Jabar Banten, Bank Jateng, BPD DIY, Bank Jatim, Bank NTB, Bank Kalbar, BPD Kalsel, Bank Kalteng, Bank Sulut, Bank Maluku dan Bank Papua.
KUR memiliki skema kredit dengan maksimal Rp. 500 juta per debitur dengan bunga maksimal 16% per tahun (efektif). Peran pemerintah dalam KUR adalah sebagai penyedia dana subsidi bunga kredit perbankan, sedangkan dana penyaluran pembiayaan 100% dari bank pelaksana. Untuk risiko kredit macet yang akan dihadapi oleh perbankan, terjadi pembagian risiko antara bank pelaksana dengan perusahaan penjaminan. Perusahaan penjaminan menanggung 70% dan bank pelaksana 30%. Meskipun terdapat perusahaan penjaminan, UMKM dan koperasi tidak dikenakan imbal jasa penjaminan (IJP).
KUR diberikan kepada UMKM atau Koperasi yang tidak sedang menerima pembiayaan dari Perbankan dan/atau yang tidak sedang menerima Kredit Program dari Pemerintah, pada saat permohonan Kredit/Pembiayaan diajukan, yang dibuktikan dengan hasil sistem informasi debitur dikecualikan untuk jenis KPR, KKB, Kartu Kredit dan Kredit Konsumtif lainnya ( www.bi.go.id ). Program KUR terbagi dua yaitu KUR mikro dan KUR ritel. KUR Mikro pada awalnya memiliki plafon maksimal Rp. 5 juta dengan bunga 22% per tahun (efektif), sejak Oktober 2013 KUR mikro memiliki plafon maksimal 20 juta dengan bunga yang sama dengan sebelumnya. Sedangkan KUR Retail memiliki plafon
Program ini memiliki permasalahan baik dari sisi UMKM maupun dari sisi perbankan. Permasalahan tersebut antara lain (www.bi.go.id, 2013) : 1. Bagi UMKM: Sosialisasi kepada masyarakat masih kurang, suku bunga KUR masih dirasakan cukup tinggi; 2. Bagi Perbankan: keterlambatan pembayaran klaim dari lembaga penjamin, kesulitan mencari debitur yang sesuai dengan kriteria dan persyaratan dan terdapat dispute terhadap beberapa ketentuan KUR.
b. Kebijakan Bank Indonesia
Seperti yang telah dikemukakan pada bab II, bahwa pemberlakukan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 menjadikan peranan Bank Indonesia dalam pengambangan UMKM menjadi tidak langsung. Pendekatan pengembangan UMKM yang dilakukan oleh Bank Indonesia tidak lagi menggunakan pendekatan memberikan subsidi kredit dan bunga murah, melainkan lebih menitikberatkan pada kegiatan pelatihan kepada petugas bank, penelitian dan penyediaan informasi. Untuk itu kebijakan Bank Indonesia lebih difokuskan pada penguatan lembaga pendamping UMKM melalui capacity building dalam bentuk pelatihan dan kegiatan penelitian yang menunjang pemberian kredit kepada UMKM.
Selain itu, berbagai kebijakan dikeluarkan oleh Bank Indoesia untuk mendorong pemberian kredit bagi UMKM. Kebijakan tersebut antara lain:
a. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3/2/PBI/2001 tentang pemberian Kredit Usaha Kecil. Kebijakan ini menganjurkan bank menyalurkan sebagian kreditnya kepada usaha kecil
b. PBI No. 6/25/PBI/2004 sebagaimana telah diubah oleh PBI No. 12/21/PBI/2010 perihal rencana bisnis bank umum dalam penyaluran kredit UMKM Setiap bank umum baik konvensional maupun syariah wajib mencantukan realisasi kredit usaha mikro, kecil dan menengah dalam rencana bisnisnya. Hal ini untuk mengetahui komitmen bank dalam merealisasikan kredit untuk UMKM.
c. PBI No. 14/22/PBI/2012 tentang pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah
Kebijakan ini mewajibkan Bank Umum untuk memberikan Kredit atau pembiayaan kepada UMKM. Jumlah pembiayaan ditetapkan paling rendah 20% dari total kredit yang disalurkan oleh bank tersebut yang dilakukan secara bertahap dari tahun 2013 hingga 2018. Pemberiaan kredit tersebut dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Apabila target ini tidak terpenuhi pada akhir tahun, maka bank umum wajib menyelenggarakan pelatihan kepada UMKM yang tidak sedang dan/atau belum pernah mendapatkan pembiayaan UMKM dengan jumlah paling besar Rp. 10 milyar atau berdasarkan persentase tertentu dari selisih antara rasio pembiayaan UMKM yang wajib dipenuhi. Untuk memperlancar akses pemberian kredit kepada UMKM, Bank Indonesia dapat memberikan bantuan teknis berupa penelitian, pelatihan, penyediaan informasi dan fasilitasi
4.2. Perkembangan Pembiayaan UMKM
4.2.1. Lembaga Pembiayaan Bank
a. Profile Pembiayaan UMKM di Indonesia
Berdasarkan Laporan Perkembangan Kredit UMKM Bank Indonesia Triwulan I tahun 2013, pada triwulan I 2103 net ekspansi kredit UMKM mencapai Rp. 3,4 triliun atau 2,35% dari Rencana Bisnis Bank (RBB) yang sebesar Rp 145 triliun. Realisasi RBB kredit UMKM tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan realisasi total kredit perbankan yang telah mencapai 63,8 triliun. Untuk baki debet kredit UMKM mencapai Rp. 555,6 triliun, tumbuh 15,5% (yoy). Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 15,1% (yoy). Pertumbuhan kredit UMKM terutama terjadi di sektor jasa perorangan yang melayani rumah tangga dan pertanian, perburuan dan kehutanan masing-masing sebesar 43,4% (yoy) dan 43,1% (yoy).
Menurut klasifikasi usaha, sebagian besar kredit UMKM disalurkan pada kredit usaha menengah yaitu 49,2% dan selebihnya kepada kredit usaha kecil 23,9% dan kredit usaha mikro sebesar 20,9%
Gambar 4.1
Kredit UMKM Berdasarkan Klasifikasi Usaha
Sumber : BI (2013)
Menurut jenis penggunaan, kredit UMKM terutama disalurkan untuk membiayai kredit modal kerja sebesar 77,4% sedangkan untuk kredit investasi tercatat 22,6%
Gambar 4.2
Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Penggunaan
Sumber : BI (2013)
Menurut kelompok bank, kredit UMKM sebagian besar disalurkan oleh kelompok Bank Persero sebanyak Rp 254,3 triliun
(45,8%), diikuti kelompok Bank Swata Nasional Devisa Rp 196,7 triliun (35,4%) BPD Rp. 53,1 triliun (7,8%), BPR 26,2 triliun.
Gambar 4.3
Kredit UMKM Menurut Kelompok Bank
Sumber : BI (2013)
Menurut sektor ekonomi, penyaluran kredit kepada usah mikro, kecil dan menengah masih didominasi oleh sektor perdagangan besar dan eceran, industri pengolahan, dan sektor pertanian, perburuan dan kehutanan masing-masing sebesar 49,0%, 10,5% dan 8,5%
Gambar 4.4
Kredit UMKM Berdasarkan Sektor Ekonomi
Sumber : BI (2013)
Menurut lokasi proyek, provinsi DKI Jakarta masih merupakan provinsi dengan pemberian kredit UMKM terbesar (16,3%), diikuti Jawa Barat (13,0%) dan Jawa Timur (13,0%)
Gambar 4.5
Kredit UMKM Menurut Lokasi Proyek
Sumber : BI (2013)
b. Profile Pembiayaan UMKM di Jawa Barat
Berdasarkan Data Statistik Ekonomi dan Keuangan Daerah bulan Oktober tahun 2013 Posisi kredit mikro, kecil dan menengah yang diberikan bank umum di Jawa barat pada bulan Oktober 2013 adalah sebesar Rp. 75,6 triliun. Menurut klasifikasi usaha, sebagian besar kredit UMKM disalurkan pada kredit usaha kecil yaitu 48% dan selebihnya kepada kredit usaha menengah 33% dan kredit usaha mikro sebesar 19%
Gambar 4.6
Kredit UMKM di Jawa Barat Berdasarkan Klasifikasi Usaha
Sumber : BI (Oktober 2013)
Menurut jenis penggunaan, kredit UMKM terutama disalurkan untuk membiayai kredit modal kerja sebesar 76% sedangkan untuk kredit investasi tercatat 24%.
Gambar 4.7
Kredit UMKM di Jawa Barat Berdasarkan Jenis Penggunaan
Sumber : BI (2013)
Menurut kelompok bank, kredit UMKM sebagian besar disalurkan oleh kelompok Bank Pemerintah dan BPD sebanyak Rp 41,6 triliun (55%), diikuti kelompok Bank Swata Nasional Rp 32,8 triliun (45%), Bank Asing dan Bank Campuran Rp 1,1 triliun (2%)
Gambar 4.8
Kredit UMKM di Jawa Barat Menurut Kelompok Bank
Sumber : BI (2013)
Menurut sektor ekonomi, penyaluran kredit kepada usaha mikro, kecil dan menengah masih didominasi oleh sektor perdagangan besar dan eceran, industri pengolahan, dan sektor jasa-jasa masing-masing sebesar 56%, 16% dan 8%
Gambar 4.9
Kredit UMKM di Jawa Barat Menurut Sektor Ekonomi
Sumber : BI (2013)
Menurut lokasi proyek, Kota Bandung masih merupakan wilayah dengan pemberian kredit UMKM terbesar (18%), diikuti Kabupaten Bekasi (12%) dan Kota Bandung (13,0%)
Gambar 4.10 Kredit UMKM di Jawa Barat Menurut Lokasi Proyek
Sumber : BI (2013)
c. Profile Pembiayaan UMKM di Yogyakarta
Berdasarkan Data Statistik Ekonomi dan Keuangan Daerah bulan Oktober tahun 2013 Posisi kredit mikro, kecil dan menengah yang diberikan bank umum di Yogyakarta pada bulan Oktober 2013 adalah sebesar Rp. 8,1 triliun. Menurut klasifikasi usaha, sebagian besar kredit UMKM disalurkan pada kredit usaha menengah yaitu 47% dan selebihnya kepada kredit usaha kecil 33% dan kredit usaha mikro sebesar 20%
Gambar 4.11
Kredit UMKM di Yogyakarta Berdasarkan Klasifikasi Usaha
Sumber : BI (Oktober 2013)
Menurut jenis penggunaan, kredit UMKM terutama disalurkan untuk membiayai kredit modal kerja sebesar 68% sedangkan untuk kredit investasi tercatat 32%
Gambar 4.12
Kredit UMKM di Yogyakarta Berdasarkan Jenis Penggunaan
Sumber : BI (2013)
Menurut kelompok bank, kredit UMKM sebagian besar disalurkan oleh kelompok Bank Pemerintah dan BPD sebanyak Rp 5,6 triliun (69,3%), diikuti kelompok Bank Swata Nasional Rp 2,5
Gambar 4.13 Kredit UMKM di Yogyakarta Menurut Kelompok Bank
Sumber : BI (2013)
Menurut sektor ekonomi, penyaluran kredit kepada usaha mikro, kecil dan menengah masih didominasi oleh sektor perdagangan besar dan eceran, jasa-jasa, dan sektor Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan masing-masing sebesar 63%, 10% dan 8%
Gambar 4.14
Kredit UMKM di Yogyakarta Menurut Sektor Ekonomi
Sumber : BI (2013)
Menurut lokasi proyek, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman merupakan wilayah dengan pemberian kredit UMKM terbesar masing-masing 32%, diikuti Kabupaten Bantul (19%), Kabupaten Gunung Kidul 10% dan Kabupaten Kulon Progo 7%.
Gambar 4.15
Kredit UMKM di Yogyakarta Menurut Lokasi Proyek
Sumber : BI (2013)
4.3. Peran Lembaga Pembiayaan Dalam Pengembangan UMKM di Provinsi Jawa Barat dan Yogyakarta
Analisis Peran Lembaga Pembiayaan dalam Pengembangan UMKM dilakukan di 2 (dua) daerah penelitian, yaitu Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Barat. Pemilihan daerah didasarkan dengan pertimbangan bahwa lokasi kajian merupakan daerah yang memiliki jumlah UMKM cukup banyak. Populasi dalam penelitian ini adalah UMKM pada sektor perdagangan dan lembaga pembiayaan. Untuk populasi UMKM, penelitian ini mengambil sampel sebanyak 60 responden yang dibagi rata pada kedua propinsi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah convinience sampling dengan alasan tidak ada adanya kerangka sampel dalam penelitian ini.
Teknik pengumpulan data lapangan yang digunakan terbagi menjadi dua yaitu survei dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam. Survei digunakan pada populasi UMKM dengan asumsi bahwa jumlah responden yang
Pengumpulan data dilakukan pada minggu pertama Bulan Oktober 2013 selama lima hari dari tanggal 8 Oktober – 13 Oktober 2013. Pengumpulan data dilakukan di Kota Bandung yang mewakili provinsi Jawa Barat dan Kota Yogyakarta yang mewakili provinsi Yogyakarta. Bagian selanjutnya pada analisis ini membahas mengenai peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM dari sudut UMKM sebagai pelaku usaha.
4.3.1. Karakteristik Responden UMKM
Setelah melakukan pengumpulan data selama lima hari di Bandung dan Yogyakarta, maka didapat hasil sebagai berikut. Sebagian besar responden merupakan UMKM yang memiliki jenis usaha di bidang makanan yaitu sebesar 41,7% dari total responden seluruhnya, 13,3% merupakan pedagang sembako, 10% responden menjual kelontong dan peralatan rumah tangga, dan 8,3% menjual pakaian jadi, sedangkan sisanya merupakan jenis usaha lainnya. Secara rinci, jenis usaha yang dilakukan oleh responden dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.1 Jenis Usaha Responden
Kumulatif Jenis Usaha
Frekuensi
Persentase
Persentase Angkringan
Makanan Beku
Makanan Kering
Makanan Ringan
Masakan Padang
Kumulatif Jenis Usaha
Frekuensi
Persentase
Persentase Minuman
Pakaian Jadi
Perakitan Komputer
Tangga Peternakan
Plastik & Bahan Kue
Rental Playstation
Sepatu, Sendal dan
Tas Sewa Alat Outdoor
Telor & Ikan Pindang
Warung Makan
Sumber: Data Olahan, 2013
Banyaknya UMKM yang berjualan makanan dikarenakan jenis usaha ini adalah usaha yang prospek dan paling cepat menghasilkan keuntungan, meskipun para pedagang juga harus siap menghadapi kerugian apabila makanan yang dijual tidak laku. Selain itu pedagang makanan tidak membutuhkan modal yang besar seperti halnya jenis usaha lainnya misalnya jenis usaha kelontong.
Sebagian besar responden (55% responden) memiliki omzet di atas 5 juta per bulan. Omzet ini 8,3% dimiliki oleh responden yang memiliki jenis usaha menjual sembako. Rata-rata omzet yang bisa didapatkan oleh responden dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.16 Omzet Responden Per Bulan
Sumber: Data Olahan, 2013
Tidak hanya memiliki omzet yang lebih dari 10 juta rupiah per bulan, 68% responden sudah berusaha lebih dari 6 tahun dan hanya 7% responden yang baru memulai usahanya. Meskipun sebagian besar responden sudah menjalankan usahanya lebih dari 6 tahun, bukan berarti responden memulai usaha dari awal. Beberapa responden menjelaskan usaha yang dimilikinya sekarang adalah usaha lanjutan dari orang tuanya. Selain usaha lanjutan, usaha yang dijalankan dapat juga merupakan pengembangan dari usaha sebelumnya atau orang tua. Rincian lama usaha responden dapat dilihat pada gambar di bawah.
Meskipun sudah memiliki usaha lebih dari 6 tahun, hampir 90% lebih responden tidak memiliki pegawai dalam melakukan usahanya. Sebagian besar responden memilih untuk menggunakan keluarga dalam menjalankan usaha. Selain lebih efisien, penggunaan anggota keluarga juga menimbulkan rasa aman ketika responden meninggalkan usahanya untuk keperluan lain. Sedangkan 10% responden memiliki karyawan kurang dari 10 orang. Jenis usaha ini memang tidak memungkinkan responden tidak memiliki karyawan, seperti penyewaan playstation, penyewaan futsal, penyewaan alat-alat outdoor.
Gambar 4.17 Lama Usaha
Sumber: Data Olahan, 2013
4.3.2. Peran Lembaga Pembiayaan
Pada bagian ini akan dibahas peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM. Peran lembaga pembuayaan dalam pengembangan UMKM pada analisis ini terbagi menjadi dua bagian. Peran pertama yaitu sebagai lembaga pembiayaan sebagai sumber alternatif pembiayaan. Sedangkan peran kedua yaitu lembaga pembiayaan menampung dan menyalurkan aspirasi dan minat masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan khususnya di bidang ekonomi. Peran kedua yang dijalankan oleh lembaga pembiayaan diterjemahkan menjadi pemberian bantuan teknis kepada UMKM untuk mengembangkan usahanya. Bantuan teknis yang diberikan dalam aspek manajemen, pemasaran dan pengelolaan keuangan.
4.3.3. Peran Lembaga Pembiayaan Sebagai Sumber Alternatif Pembiayaan
Dalam menjalankan usahanya, modal merupakan modal awal bahkan dapat dikatakan sebagai penentu bagi UMKM dalam memilih jenis usaha dan menjalankan usaha yang sudah dipilihnya. Jumlah modal yang dibutuhkan oleh
UMKM bervariasi tergantung dari jenis usahanya. Makin besar dan kompleks usahanya, maka semakin besar modal yang dibutuhkan.
a. Gambaran Umum Pembiayaan UMKM
Bagian ini menggambarkan pembiayaan yang selama ini digunakan oleh UMKM untuk mencukupi modal yang dibutuhkan. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar UMKM yang menjadi responden membutuhkan dana kurang dari
50 juta. Bahkan, 46% responden membutuhkan modal kurang dari Rp. 10 juta. Jumlah kebutuhan modal dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.18 Jumlah Modal Yang Dibutuhkan
Sumber: Data Olahan, 2013 Sumber dana untuk memenuhi kebutuhan tersebut bervariasi. Ada UMKM yang 100% menggunakan modal sendiri. Ada juga yang menggunakan modal sendiri sebagian dan sebagian lagi menggunakan pinjaman. Terdapat berbagai sumber pinjaman, antara lain keluarga/kerabat, teman dan lembaga pembiayaan. Biasanya, pada saat memulai usaha, UMKM menggunakan modal sendiri dan pinjaman dari orang terdekat (keluarga/kerabat atau teman). Setelah usahanya mulai berkembang dan akan dikembangkan, UMKM kemudian akan mencari pinjaman ke lembaga pembiayaan dengan harapan mendapatkan pinjaman yang lebih besar.
Berdasarkan gambar di bawah, dapat dilihat bahwa UMKM yang menjadi responden cenderung menggunakan modal sendiri dan pinjaman dari lembaga pembiayaan. Responden yang menggunakan modal sendiri sebanyak 68% dan menggunakan pinjaman dari lembaga pembiayaan 93%. Modal
Gambar 4.19 Sumber Dana Usaha
Sumber Dana Usaha; Sumber: Data Olahan, 2013
Jika meminjam dari lembaga pembiayaan, UMKM cenderung meminjam pada bank umum baik bank umum nasional. Hal ini disebabkan antara lain karena adanya promosi yang gencar dari lembaga pembiayaan bank untuk menggulirkan dana yang dimiliki dalam bentuk kredit. Selain itu juga strategi bank yang mendekati tempat-tempat usaha seperti mall, pasar, sekolah dan sebagainya. Pada gambar di bawah, dapat dilihat bahwa 79% responden memilih lembaga pembiayaan bank sebagai sumber alternatif pembiayaannya.
Selain lembaga pembiayaan bank, UMKM (18%) memilih koperasi sebagai sumber alternatif pembiayaan apabila UMKM tidak dapat memenuhi persyaratan yang dituntut oleh bank. Untuk mendapatkan pinjaman dari koperasi, UMKM terlebih dahulu harus menjadi anggota koperasi setempat, baru UMKM bisa mengajukan pinjaman kepada koperasi. Saat ini, koperasi telah dikelola lebih profesional sehingga anggotanya dapat menikmati berbagai fasilitas yang terkait dengan pendanaan dari koperasi.
Gambar 4.20
Lembaga Pembiayaan yang Digunakan
Sumber: Data Olahan, 2013
Sebagaimana dapat dilihat pada gambar di atas, lembaga pembiayaan non bank juga menjadi alternatif sumber pembiayaan. Responden memilih BMT sebagai sumber pembiayaan. Sistem syariah yang diterapkan oleh BMT menjadi daya tarik bagi UMKM untuk mendapatkan sumber pembiayaan dari lembaga ini dibandingkan dengan sistem konvensional.
Selain itu, lembaga pembiayaan yang resmi, sumber alternatif pembiayaan UMKM juga berasal dari perseorangan. Sumber pembiayaan perseorangan biasa disebut juga dengan “bank keliling” yang ada di pasar- pasar. Sumber pembiayaan ini pernah populer karena kemudahan pencairan dana yang ditawarkan. Selain itu sumber pembiayaan ini tidak memerlukan agunan pada saat meminjam.
Pada saat melakukan pemilihan lembaga pembiayaan, terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan antara lain akses pinjaman, agunan, prosedur, suku bunga/sistem bagi hasil, informasi, kepercayaan dan lainnya. Gambar di bawah menunjukkan alasan pemilihan lembaga pembiayaan sebagai alternatif sumber pembiayaan.
Gambar 4.21 Alasan Pemilihan Sumber Pembiayaan
Sumber: Data Olahan, 2013
Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa kemudahan akses pinjaman menjadi prioritas UMKM dalam memilih lembaga pembiayaan. Karakteristik UMKM yang berada pada sektor perdagangan berbeda dari karakteristik UMKM pada sektor lainnya. Para pedagang memiliki penghasilan secara harian, sehingga jika pedagang meninggalkan tempat usahanya terlalu lama atau sering maka akan mengalami kerugian. Oleh sebab itu, bagi UMKM sektor perdagangan, kemudahan akses pinjaman menjadi hal yang utama.
Alasan kedua adalah suku bunga yang rendah. Meskipun akses pinjaman mudah tetapi suku bunga tinggi membuat UMKM tidak memilih lembaga pembiayaan tersebut. Tetapi ada juga UMKM yang tidak terlalu memikirkan suku bunga yang tinggi karena yakin dapat membayar bunga tersebut.
Alasan ketiga adalah prosedur yang tidak berbelit-belit. Hampir sama dengan alasan pertama, bagi para pedagang waktu adalah uang. Prosedur yang berbelit-belit dan lama menyebabkan UMKM kehilangan kesempatan dalam mendapatkan keuntungan.
Meskipun hanya 12% yang memilih alasan ini, tetapi kadang kala alasan ini yang menjadi penghambat UMKM tidak memperoleh pembiayaan dari lembaga pembiayaan. Alasan keempat adalah agunan. Hampir seluruh lembaga pembiayaan mensyaratkan adanya agunan. Apabila UMKM baru mulai berusaha dan tidak memiliki agunan, maka alasan ini menjadi alasan
Jika tidak terdapat agunan, seringkali rasa tanggung jawab dari UMKM dalam menjalankan usahanya kurang karena tidak memiliki tanggung jawab materiil. Hal ini menyebabkan banyak terjadi kredit macet karena UMKM tidak bisa membayar atau bahkan menolak untuk membayar.
Berdasarkan yang diperoleh, sebagian besar (68%) UMKM mengemukakan bahwa terdapat agunan yang harus diserahkan kepada lembaga pembiayaan. Responden yang menyerahkan agunan adalah responden yang meminjam kepada lembaga pembiayaan bank dan non bank. Sedangkan yang tidak ada agunan, responden yang meminjam kepada koperasi, LSM, lembaga pembiayaan non bank dan perseorangan.
Gambar 4.22 Agunan
Sumber: Data Olahan, 2013
Bentuk agunan bermacam-macam tergantung dari jumlah pembiayaan yang diperlukan. Semakin besar jumlah pembiayaannya, maka semakin besar bentuk agunan yang diberikan. Agunan dapat berupa sertifikat tanah, sertifikat rumah, sertifikat kios atau STPB (Surat Tanda Pemilikan Bangunan) bila berada
Gambar 4.23 Bentuk Agunan Sebagai Jaminan
Sumber: Data Olahan, 2013
Alasan pemilihan yang lainnya adalah informasi yang diberikan oleh lembaga pembiayaan banyak, adanya hubungan kekerabatan sehingga tercipta rasa percaya, lembaga pembiayaan dapat dipercaya, sistem pembayaran dapat dilakukan harian, dapat menerima pensiunan, lembaga pembiayaan memberikan plafon pinjaman besar.
Lembaga pembiayaan ada yang mengenakan bunga (untuk yang konvensional) atau sistem bagi hasil (untuk sistem syariah) dalam pemberian pinjaman, ada juga yang tidak mengenakan bunga atau sistem bagi hasil. Sebagian besar responden (87%) menyatakan membayar bunga, sebagian lagi menyatakan membayar bagi hasil. Membayar bunga kepada lembaga pembiayaan atau berbagi hasil dengan lembaga pembiayaan bukan merupakan masalah bagi UMKM. Permasalahan terjadi ketika bunga yang dibayarkan terlalu tinggi atau terlalu besar sehingga memberatkan UMKM.
Berdasarkan hasil penelitian, tingkat bunga atau sistem bagi hasil yang dikenakan oleh lembaga pembiayaan 54% responden di atas 15% per tahun efektif. Tingkat bunga ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan program Kredit
Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga 8,5% efektif per tahun. Terdapat 23% responden yang menyatakan bahwa membayar bunga kurang dari 10% per tahun. Hal ini menunjukkan terdapat variasi tingkat bunga yang ditawarkan dan diberikan kepada UMKM, tergantung dari lembaga pembiayaan. Tingkat bunga secara lengkap dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.24
Tingkat Bunga atau Bagi hasil Per tahun
Sumber: Data Olahan, 2013 Meskipun demikian, pengenaan tingkat bunga dan sistem bagi hasil yang terdapat pada gambar di atas, setengah lebih responden (56%) menganggap tingkat bunga yang dikenakan ringan dan tidak memberatkan. Walaupun ada juga responden yang beranggapan bahwa tingkat bunga yang dikenakan agak memberatkan atau bahkan sangat memberatkan. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.25
Keberatan akan Tingkat Bunga/Bagi Hasil
Sumber : Data Olahan, 2013
Berat atau tidaknya UMKM dalam membayar bunga tergantung dari kemampuan membayar dari masing-masing UMKM dan bukan dari tingkat bunga. Hal ini ditunjukkan bahwa responden yang merespon bahwa tingkat bunga sangat memberatkan adalah responden yang dikenakan tingkat bunga >5-10% efektif per tahun dan >20-25% per tahun. Tetapi dengan tingkat bunga yang sama, responden lainnya menyatakan bahwa bunga yang dikenakan agak memberatkan atau ringan. Hal ini menunjukkan terdapat variasi kemampuan membayar dari masing-masing UMKM atau juga kemampuan dalam pengelolaan usaha sehingga mampu membayar pengembalian beserta bunganya.
Apabila diasumsikan UMKM menggunakan seluruh dana pinjamannya untuk kepentingan usaha, dan UMKM menjalankan usaha dengan baik, maka UMKM tidak akan mengalami masalah dalam melakukan pembayaran. Sebab pada dasarnya, UMKM meminjam dana untuk memulai, menjalankan dan mengembangkan usahanya. Tetapi pada kenyataannya tidak, sebab ada juga UMKM yang meminjam dana dari lembaga pembiayaan tidak hanya digunakan untuk usahanya tetapi juga untuk kebutuhan pribadi.
Tujuan pinjaman UMKM kepada lembaga pembiayaan adalah untuk memperluas usaha, mengembangkan produk yang sudah dimiliki, mencukupi biaya produksi, menggaji karyarwan. Hal ini semua berhubungan dengan usaha yang dilakukan. Selain tujuan yang berhubungan dengan usaha, terdapat juga tujuan lainnya seperti mencukupi kebutuhan sehari-hari dan lainnya seperti untuk membayar biaya sekolah, konsumsi lebaran, membeli rumah, membuat rumah, dan menutup pinjaman.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pinjaman yang diberikan oleh lembaga pembiayaan untuk usaha, kadang kala sebagian atau bahkan seluruhnya digunakan untuk kegiatan konsumtif dan bukan produktif. Kondisi ini yang seringkali menyebabkan UMKM tidak dapat mengembalikan dana yang dipinjam berikut bunganya (bila ada), seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.26 Tujuan Pinjaman
Sumber: Data Olahan, 2013
Penggunaan dana pinjaman untuk kebutuhan konsumtif kadang kala digunakan sebaga i “insentif” bagi UMKM terhadap dirinya sendiri. Insentif ini digunakan untuk memotivasi diri sendiri agar menjalankan usahanya lebih tekun lagi. Tetapi ada juga UMKM yang memang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tujuan inilah yang sering kali menimbulkan masalah di kemudian hari.
Untuk mengatasi hal ini, maka diperlukan peranan lembaga pembiayaan untuk memberikan dampingan kepada UMKM dengan tujuan dana digunakan untuk kebutuhan produktif dan bukan konsumtif. Pendampingan kepada UMKM dapat berupa pendampingan formal maupun pendampingan informal. Pendampingan formal dapat berupa pemanggilan dan pemberian konsultasi secara berkala pada UMKM. Sedangkan pendampingan informal dilakukan melalui coaching atau pendekatan dari tenaga collector kepada UMKM pada saat UMKM melakukan pembayaran.
Seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah, sebagian besar UMKM (78%) melakukan pembayaran pinjaman secara bulanan kepada lembaga pembiayaan. Tetapi untuk mengurangi adanya kredit macet, saat ini lembaga pembiayaan memiliki program pick up harian. Program ini biasanya berada di pasar-pasar yang banyak pedagang dan merupakan market dari lembaga pembiayaan. Pick up harian sebenarnya merupakan program tabungan harian dimana lembaga pembiayaan dalam hal ini bank dan koperasi
Gambar 4.27 Pembayaran Pinjaman
Sumber: Data Olahan, 2013
Program ini sangat membantu UMKM di sektor perdagangan. Dengan adanya program ini, UMKM tidak perlu meninggalkan tempat usahanya hanya untuk membayar pinjaman sehingga tidak ada waktu yang terbuang. Selain itu dengan adanya sistem pick up harian, meringankan UMKM dalam melakukan pembayaran. Seperti yang telah dijelaskan di atas, penghasilan UMKM sektor perdagangan diperoleh secara harian, dengan adanya pembayaran harian, maka beban yang ditanggung oleh UMKM menjadi lebih kecil dibandingkan jika dibayar pada akhir bulan. Keuntungan lainnya adalah dapat terjalin komunikasi yang baik antara lembaga pembiayaan dengan UMKM, sehingga apabila UMKM menemukan kendala dalam usaha yang menyebabkan tidak dapat melakukan pembayaran, dapat diatasi dengan segera.
Dalam melakukan pembayaran, sebagian besar UMKM tidak pernah mengalami kesulitan membayar. Hal ini salah satunya disebabkan karena adanya sistem pick up harian. Tetapi ada juga UMKM yang kadang-kadang mengalami kesulitan pembayaran, yang disebabkan karena pendapatan yang naik turun serta kondisi yang tidak menentu. Ada juga UMKM yang selalu
Gambar 4.28 Kesulitan Pembayaran
Sumber: Data Olahan, 2013
Informasi mengenai lembaga pembiayaan lebih banyak diperoleh oleh UMKM : Pertama dari sales lembaga pembiayaan itu sendiri. Kedua, informasi diperoleh dari teman/keluarga yang sudah terlebih dahulu memanfaatkan jasa dari lembaga pembiayaan itu sendiri. Ketiga dari media cetak yang memberikan informasi adanya fasilitas pinjaman bagi UMKM. Informasi lainnya diperoleh dari media online, dinas maupun karena kedekatan tempat usaha dengan kantor lembaga pembiayaan tersebut. Sumber informasi mengenai lembaga pembiayaan dapat dilihat pada gambar di bawah berikut.
Gambar 4.29 Sumber Informasi
Sumber: Data Olahan, 2013 Karena banyaknya sumber informasi yang dapat memberikan
penjelasan mengenai pinjaman yang dapat diperoleh UMKM, maka 96% responden menganggap informasi tentang pinjaman mudah untuk ditemukan. Meskipun demikian ada juga responden yang merasa informasi tersebut sulit didapat atau terbatas terutama informasi lembaga pembiayaan yang dapat memberikan pinjaman tanpa agunan dan dengan bunga yang rendah. Respon kemudahan informasi diperlihatkan pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.30 Kemudahan Informasi
Sumber: Data Olahan, 2013
Berdasarkan gambaran pembiayaan UMKM yang telah dijelaskan pada bagian A, maka peranan lembaga pembiayaan sebagai alternatif sumber pembiayaan sangat besar. Peranan ini telah dijalankan oleh sebagian besar lembaga pembiayaan terutama lembaga pembiayaan bank. Bukan hanya bank, tetapi koperasi juga mulai melakukan pembenahan manajemen guna memenuhi kebutuhan ini.
Adapun peran lembaga pembiayaan sebagai alternatif sumber pembiayaan dapat dilihat pada: 1). Sumber modal yang dimiliki UMKM, pada umumnya terdiri dari dua sumber yaitu modal sendiri dan pinjaman. Lembaga pembiayaan mampu mencukupi kekurangan modal yang diperlukan oleh UMKM dalam menjalankan usahanya. Lembaga pembiayaan dapat memberikan batas (plafon) pinjaman yang besar dengan tetap memperhatikan prinsip 5C. Bahkan untuk kasus tertentu, lembaga pembiayaan hanya memperhatikan prinsip 3C yaitu Character, Capability dan Collateral.
2). Kemudahan akses dan prosedur yang tidak berbelit-belit. Slogan waktu adalah uang sangat kental pada UMKM di sektor perdagangan yang penghasilannya berasal dari penjualan harian. Kemudahan akses yang ditawarkan dengan prosedur yang jelas telah
membantu UMKM untuk mendapatkan tambahan modal yang diperlukan. Untuk beberapa kasus, UMKM tidak perlu mendatangi kantor lembaga pembiayaan karena terdapat sales yang menangani hal ini. Sedangkan untuk waktu pengurusan, beberapa lembaga pembiayaan menetapkan maksimal 3 hari kerja dari berkas lengkap dana sudah dapat dicairkan.
3) Suku Bunga atau Sistem Bagi Hasil kompetitif Suku bunga atau sistem bagi hasil yang tinggi merupakan hal yang ditakutkan oleh UMKM untuk mendapatkan pembiayaan. Beberapa lembaga pembiayaan menawarkan suku bunga atau sistem bagi hasil yang kompetitif. Suku bunga atau sistem bagi hasil ini diharapkan tidak memberatkan UMKM dalam melakukan pembayaran. Untuk UMKM yang baru memulai usaha, tersedia kredit usaha rakyat yang menawarkan suku bunga yang rendah. Tetapi karena plafon pinjaman
4) Sistem Pembayaran Fleksibel Inovasi sistem pembayaran juga merupakan peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM. Sistem pick up harian yang diterapkan bagi pedagang di pasar membawa keuntungan bagi kedua pihak. Bagi lembaga pembiayaan, sistem ini dapat menekan angka Non Performing Loan karena menjamin ketersediaan dana untuk membayar cicilan pada akhir bulan. Bagi UMKM, sistem penarikan harian meringankan cicilan pembayaran dan menghemat waktu dan tenaga untuk melakukan pembayaran.
5) Informasi Mudah Didapat UMKM mudah mendapatkan informasi mengenai produk pinjaman yang ditawarkan oleh lembaga pembiayaan bank ataupun lembaga pembiayaan non bank. Informasi yang paling banyak adalah dari sales dan teman/keluarga. Kemudahan akses informasi dan fasilitasi untuk mendapatkan pinjaman menunjukkan peran lembaga pembiayaan telah dijalankan sebagai alternatif sumber pembiayaan.
Meskipun peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM telah dijalankan, tetapi terdapat kendala bagi sebagian UMKM untuk mendapatkan akses tersebut. Kendala yang utama adalah persyaratan agunan. Memang untuk beberapa program dari pemerintah, agunan tidak dipersyaratkan, tetapi plafon yang diberikan juga tidak terlalu besar. Jika UMKM menginginkan mendapatkan dana yang besar, maka UMKM harus menyediakan agunan sebagai jaminan pembayaran pinjaman. Jika UMKM membutuhkan dana yang besar tetapi tidak memiliki agunan, maka UMKM terpaksa mengambil produk kredit tanpa agunan atau meminjam kepada bank keliling. Hal ini menimbulkan konsekuensi UMKM harus membayar bunga yang lebih tinggi, yang akan menjadi masalah di kemudian hari.
4.3.4. Fasilitator dalam Pengembangan UMKM
Peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM kedua adalah sebagai fasilitator dalam pengembangan UMKM. Peran ini menuntut lembaga pembiayaan berperan aktif untuk menampung dan memberikan pendampingan kepada UMKM dalam menjalankan dan mengembangkan
Lembaga pembiayaan diharapkan tidak hanya menggulirkan dana saja tetapi juga memberikan bantuan teknis kepada UMKM pada tiga aspek di atas. Dengan adanya bantuan teknis yang diberikan kepada UMKM, diharapkan usaha UMKM dapat berjalan dan berkembang lebih baik.