Cornelis Lay, Tautan Politik 97 sebagian besar pembatik adalah perempuan
Cornelis Lay, Tautan Politik 97 sebagian besar pembatik adalah perempuan
berusia kepala empat. Selain itu, dalam hal pembuatan canting motif nitik pun, ada ancaman regenerasi. Dewasa ini, hanya ada empat orang di dusun itu yang mampu membuat canting khusus motif nitik. Persoalan regenerasi juga terjadi di kelompok Berkah Lestari di Wukir- sari, desa yang dijadikan sebagai desa wisata batik. Dompet Dhuafa yang mendampingi kelompok itu menyatakan bahwa tidak banyak anak muda yang tertarik dalam dunia perba- tikan. Dari total 50 anggota kelompok Berkah Lestari, hanya 5 orang yang benar-benar bisa membatik halus. Perhatian pada persoalan regenerasi batik justru diberikan oleh dinas pemerintah dan Paguyuban Pecinta Batik Sekar Jagad. Salah satu program kerja sama kedua lembaga itu adalah pelatihan membatik bagi siswa-siswi sekolah di Yogyakarta.
Namun, isu regenerasi batik tidak menjadi perhatian anggota dewan, terlebih partai politik. Bentuk perhatian partai politik dan wakil di parlemen lebih pada konteks nasionalisme bahwa batik merupakan warisan budaya yang harus dilestarikan dan bangga bahwa batik telah diakui Unesco sebagai warisan budaya dunia. Rasa nasionalisme dan kebanggaan akan batik ditunjukkan dengan menjadi konsumen; sebatas memakai busana berbahan batik. Kurangnya perhatian politisi terhadap batik ju-
ga dikonfirmasi oleh Ibu Haniwinotosastro dari Paguyuban Pecinta Batik Sekar Jagad. Menu- rutnya, politisi tidak tahu banyak mengenai batik dan hanya mengangkat batik dengan cara menggunakan baju batik, yang tidak selalu batik tulis namun batik cap atau printing. Padahal, penghargaan dari Unesco dan World Craft Council diberikan untuk produksi batik tulis, bukan batik cap dan printing. Posisi parlemen sebagai pengambil kebijakan dan menggalang aspirasi rakyat, tidak digunakan oleh anggota dewan untuk membuat kebijakan pemberda- yaan komunitas batik, termasuk kebijakan untuk melindungi eksistensi batik tulis.
Terkait regenerasi, komunitas batik juga menghadapi persoalan pemasaran. Temuan
penelitian tahun 2009 menyebutkan bahwa masifikasi produk batik dengan teknologi printing menjadi “pembunuh nomor satu” batik tradisional berbasis industri rumahan (home- industry). Akibat dari menjamurnya batik printing dan cap, pengrajin batik tulis harus bersaing sangat keras dalam memasarkan produk batik tulis. Situasi tersebut kian mem- buruk karena hingga kini tidak ada kebijakan yang mengatur pasar batik di Indonesia.
Bagi kelompok Sekar Nitik di Dusun Kem- bangsongo, pemasaran menjadi kendala ter- besar. Karena mengalami masalah pemasaran, kelompok itu lebih banyak mengandalkan juragan batik yang berasal dari Kota Yogyakarta dan menjual batik dalam bentuk mentah tanpa pewarnaan. Saat pengrajin batik menjual batik dalam kondisi mentah, maka keuntungan ter- besar justru dinikmati oleh pedagang yang umumnya adalah para juragan. Selain bergan- tung pada juragan, kelompok itu juga mengan- dalkan kerja sama dengan pemandu wisata yang menawarkan batik Sekar Nitik kepada wisatawan. Bantuan dari dinas pemerintah dalam hal pemasaran pun masih sangat ter- batas. Bantuan dan program-program yang tersentralisasi di sentra produksi batik tertentu menyebabkan banyak kelompok batik di desa lain tidak mendapatkan perhatian.
Kondisi berbeda dengan kelompok Sekar Nitik dialami oleh komunitas batik di Desa Giriloyo. Pengorganisasian kelompok batik dan paguyuban yang baik serta banyaknya bantuan yang datang dari berbagai pihak menjadi bagian pendorong kemajuan komunitas dalam me- masarkan batik. Komunitas di Desa Giriloyo tidak lagi menjual batik mentah sebagaimana terjadi saat sebelum gempa 2006. Para pembeli diharapkan datang langsung ke workshop atau ke kelompok batik tanpa melalui, atau memi- nimalisasi keterlibatan, tengkulak. Meskipun sudah cukup baik dalam memasarkan, or- ganisasi masyarakat sipil seperti Dompet Dhuafa ingin lebih memberdayakan kelompok Berkah Lestari dengan pemasaran berbasis internet.