Prisma Vol. 36, No. 1, 2017 tidak membangun jaringan kerja ke partai
96 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017 tidak membangun jaringan kerja ke partai
politik. Hal itu terkait dengan persepsi yang mengarah pada ketidaknetralan dan bekerja dengan partai politik bisa menghadirkan konflik serta memunculkan klaim sepihak. Bahkan, persepsi itu sedemikian kuat sehingga OMS lebih memilih untuk menghindari partai politik. Dompet Dhuafa, misalnya, lebih memilih fokus ke program penguatan kelompok yang masih menghadapi problem seperti pemasaran mau- pun regenerasi dibandingkan membawa per- soalan batik ke aras kebijakan pemerintah. 34 Tampaknya fenomena ketidaktertarikan timbal- balik atau bahkan kecurigaan timbal-balik yang terbentuk merupakan penjelas penting kealpaan tautan politik di antara keduanya.
Pada tingkat normatif, narasumber dalam penelitian ini pada umumnya menyepakati batik merupakan sumber daya yang potensial se- bagai pendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Ketua DPRD DIY Yoeke Indra Agung Laksana dalam wawancara
dengan peneliti, 35 misalnya, melihat prospek pengrajin batik di Yogyakarta yang menjanjikan karena pangsa pasar luas tidak kalah bersaing dengan batik Solo maupun Pekalongan. Watak dari kerja membatik yang melibatkan tenaga dengan keahlian beragam secara hipotetis memungkinkn aktivitas ini menjadi tulang- punggung ekonomi sebuah masyarakat. Untuk menghasilkan selembar kain batik tulis dibu- tuhkan banyak orang dalam setiap prosesnya mulai dari menggambar motif, menyanting, mewarnai sampai menjahit. Batik juga meru- pakan jenis pekerjaan yang tidak mengenal batas usia. Sebagaimana karakter kerajinan berbasis industri rumah tangga, membatik tetap bisa dilakukan oleh pengrajin berusia lanjut. Ironinya, keyakinan bahwa batik mampu men- jadi salah satu potensi ekonomi dan budaya Yogyakarta tidak terwujud dalam program
pemberdayaan yang dapat mengangkat pro- duktivitas dan keberlangsungan komunitas pengrajin batik. Batik telah dijadikan ikon daerah, namun banyak pihak perlahan-lahan membiarkan komunitas batik berjalan sendiri. Nasib batik yang sepenuhnya berada di tangan para pengrajin gagal mendapatkan dukungan kebijakan politik yang diperlukan.
Sebagaimana telah disebutkan, Indonesia mendapatkan pengakuan dari Unesco yang memutuskan batik tulis Indonesia sebagai warisan pusaka dunia pada 2009. Menyusul pada 2014, Yogyakarta dinobatkan sebagai World City Batik oleh World Craft Council. Baik pengakuan dari Unesco maupun peno- batan World City Batik mendapatkan dukungan penting dari Paguyuban Pecinta Batik Sekar Jagad dan pihak keraton Yogyakarta. Dukungan tidak diberikan oleh politisi, baik anggota le- gislatif maupun partai politik. Padahal, untuk menjadi World City Batik dilakukan dengan cara tidak mudah, karena ada beberapa kriteria untuk menjadi kota batik dunia, antara lain, memiliki historical value, cultural value, transgeneration value, economic value, green value, global value, dan consistency value. Artinya, untuk tetap menjaga Yogyakarta se- bagai kota batik dunia, maka Yogyakarta harus tetap memenuhi tujuh kriteria tersebut. Pada 2015, ancaman pencabutan World City Batik terjadi karena persoalan regenerasi: minat generasi muda pada dunia perbatikan berada pada titik sangat mengkhawatirkan.
Regenerasi memang menjadi persoalan yang tidak bisa dianggap kecil. Ketika tidak ada generasi penerus dalam dunia perbatikan, maka lambat-laun batik akan hilang dari basis sentra batik. Kekhawatiran itu dirasakan oleh Ibu Aminah dari Kelompok Sekar Nitik yang me- lihat kian berkurangnya niat generasi muda untuk menjadi pembatik. Karakter batik yang membutuhkan kesabaran dan waktu dalam proses produksinya, dianggap tidak lebih po- tensial dibanding dengan bekerja di pabrik yang dengan cepat mampu mendatangkan uang. Di dusun yang menjadi sentra motif nitik ini,
34 Wawancara dengan Mas Bambang Edi Prasetyo, Yogyakarta, 21 September 2016.
35 Wawancara dengan Bapak Yoeke Indra Agung Laksana, Yogyakarta, 19 September 2016.