Pengelolaan Tanah Sultan Ground Berdasarkan Kebijakan Pertanahan Nasional

C. Pengelolaan Tanah Sultan Ground Berdasarkan Kebijakan Pertanahan Nasional

Secara hukum adat tanah-tanah di Yogyakarta adalah hak Sultan, sedangkan rakyat hanya mempunyai hak pakai secara berkesinambungan. Rakyat tidak dapat menjual tanahnya kepada pihak lain, tanah yang dimiliki dengan hak pakai terlebih dahulu harus dikembalikan kepada Sultan. Untuk pengawasan terhadap tanah yang sangat luas itu, sultan menyerahkan kepada kerabatnya dan para pegawai (priyayi) yang ditunjuk oleh Sultan. Dengan demikian, tanah yang luas di Yogyakarta itu sebagian dikuasakan kepada kerabat Sultan dan para pegawainya (abdi dalem). Sedangkan tanah yang dikuasakan kepada mereka disebut tanah kepatuhan atau tanah lungguh. Atas tanah lungguh (apanage) itu para abdi dalem dapat memungut pajak sebagai penghasilan mereka.

Para abdi dalem dan pembantunya memiliki kekuasaan yang besar atas tanah yang dikuasakan kepada mereka, sedangkan rakyat tidak memilki hak atas tanah itu. Mereka hanya diizinkan untuk menggunakan dan menempatinya, sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh penguasa tanah. Sebagai tanah apanage tidak ada ketentuan jangka waktu pemakaian. Selama rakyat yang memakai tanah itu tidak dapat memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya mereka dibiarkan memakai tanah yang telah ditentukan. Akan tetapi, apabila rakyat tidak dapat memenuhi kewajiban yang dibebankan, maka hak pakai atas tanah dicabut untuk diberikan kepada yang menginginkan memakai tanah itu dengan syarat bersedia memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh abdi dalem. Pada umumnya tanah-tanah apanage para bangsawan membawahi seorang kepala district (lurah) untuk mengurus atau menarik pajak. Tanah di Yogyakarta yang langsung dikuasai oleh sultan disebut tanah sultan ground yang digunakan untuk mendirikan rumah-rumah abdi dalem, keluarga sultan dan digunakan penduduk Yogyakarta sebagi hak pakai turun temurun atau hak magersari (Nur Aini, 2001: 109-110).

Kekuasaan sultan atas tanah-tanah di wilayah kekuasaannya memungkinkan sultan mengatur sistem pemilikan dan penggunaan tanah sesuai dengan kedudukan dan fungsinya, diantaranya tanah keraton (Sultan Ground) , tanah yang digunakan untuk kepentingan umum, dan tanah yang diberikan kepada penduduk. Pengaturan hak milik tanah kasultanan Yogyakarta diwujudkan dalam undang-undang, adat kebiasaan, praktik-

praktik yang mengatur hak dan kewajiban, serta hubungan orang dengan tanah. Dengan penguasaan seperti ini seharusnya tanah Sultan Ground dapat diberi status langsung sebagai hak milik sultan / raja yang dimiliki secara utuh dan dapat dibuktikan dengan bukti otentik. Sehingga perlu adanya persertifikatan tanah yang jelas yang diberikan negara kepada sultan.

Pada awal abad XX sultan memilki tanah yang sangat luas dan sekaligus memiliki kekuasaan yang besar atas tanah-tanah di Yogyakarta. Pada waktu itu, sultan dianggap sebagai penguasa dan pemilik atas tanah Pada awal abad XX sultan memilki tanah yang sangat luas dan sekaligus memiliki kekuasaan yang besar atas tanah-tanah di Yogyakarta. Pada waktu itu, sultan dianggap sebagai penguasa dan pemilik atas tanah

a. Tanah yang dipakai sendiri oleh sultan yaitu keraton;

b. Tanah-tanah yang oleh sultan diserahkan dengan cuma-cuma untuk dipakai sebagai sarana prasarana di Yogyakarta;

c. Tanah-tanah dengan eigendom atau opstal yang diberikan kepada orang-orang Tioghoa dan Belanda;

d. Tanah yang diserahkan untuk dipakai pegawai-pegawai sultan yang dikelola secara berkelompok yang disebut tanah golongan;

e. Tanah yang diserahkan kepada kerabat/sentana sultan dengan status hak pakai yang disebut tanah kasentanan;

f. Tanah-tanah pekarangan bupati yang semula termasuk tanah golongan, tetapi lambat laun dilepaskan dari ikatan golongan dan menjadi tanah pekarangan dari pegawai-pegawai tinggi lainnya;

g. Tanah-tanah pekarangan dan perkebunan terletak di luar pusat kota yang diberikan dengan hak pakai kepada pepatih dalem yang disebut kebonan dan tanh kepentingan umum;

h. Tanah-tanah pekarangan rakyat jelata, termasuk tanah yang ada di bawah kekuasaan sultan.

i. Sawah-sawah yang diurus oleh bekel yang disebut dengan tanah

maosan (Notoyudo, 1975: 10-12). Berdasarkan Rijksblad Nomor 2 Tahun 1931, pencabutan hak atas tanah

sultan yang telah diberikan kepada penduduk dapat dilakukan berdasarkan peraturan pencabutan tanah. Pelaksanaan pencabutan tanah itu tidak dapat dilakukan secara sewenang-sewenang, tetapi harus memilki alasan-alasan yang kuat dan didasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Akan tetapi, sultan dapat mencabut hak kepemilikan tanah penduduk tanpa didasarkan pada peraturan-peraturan yang berlaku karena sultan mempunyai kekuasaan yang besar atas tanah-tanah tersebut. Pencabutan hak kepemilikan tanah penduduk dapat dilaksanakan karena tanah akan diperlukan untuk kepentingan masyarakat dan untuk disewakan kepada yayasan atau orang- orang non-pribumi untuk tempat tinggal.

Salah satu pengelolaan tanah keraton (Sultan Ground) adalah dimanfaatkan untuk tempat tinggal rakyat Yogyakarta dengan status magersari. Rakyat boleh memanfaatkan tanah, dengan kesadaran penuh Salah satu pengelolaan tanah keraton (Sultan Ground) adalah dimanfaatkan untuk tempat tinggal rakyat Yogyakarta dengan status magersari. Rakyat boleh memanfaatkan tanah, dengan kesadaran penuh

Paniti Kismo merupakan lembaga adat yang mengurusi pertanahan keraton yang meliputi pengaturan dan perizinan yang memiliki struktur organisasi yang tertata apik hingga tingkat desa. Tanda bukti izin tersebut adalah dikeluarkannya Surat Kekancingan Magersari yang di dalamnya memuat klausul bahwa pemegang magersari dilarang mendirikan bangunan permanen, tanah magersari tidak bisa diperjual belikan, dan bersedia mengembalikan tanah bila sewaktu-waktu diminta. Namun, perizinan dan syarat administrasi tetap tunduk pada aturan pemerintah setempat dalam hal ini Pemerintah Kabupaten walaupun untuk magersari tidak dimungkinkan mendapatkan sertifikat atas tanah tersebut.

Paniti Kismo memiliki otoritas mengelola pemanfaatan tanah keraton untuk berbagai kepentingan dan kesejahteraan rakyat Yogyakarta. Tetapi sampai sekarang, belum ada peraturan yang menjelaskan secara rinci substansi pengelolaan tanah yang menyatakan, Kasultanan sebagai bagian dari Parardhya mempunyai hak milik atas tanah keraton atau Sultan Ground. Pengelolaan dan pemanfaatan Sultan Ground ditujukan untuk sebesar- besarnya kepentingan pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kepentingan publik demi kesejahteraan rakyat. Keberadaan tanah milik keraton tidak akan terusik karena tanah kasultanan bukan tanah milik pemerintah. Sultan Ground telah digunakan atau ditempati oleh rakyat, di antaranya untuk mendirikan rumah tinggal, gedung sekolah, dan perkantoran, tetapi tidak bisa mengambil alih hak kepemilikan tanah tersebut.

(http://www.antaranews.com/berita/1291877753/yogyakarta-dalam-ancaman- kisruh-pengelolaan-tanah ).

Untuk tanah keraton yang telah bersertifikat hak milik, tentu saja menurut Hukum Agraria yang berlaku, permohonan hak atas tanah tersebut tunduk pada ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) serta ketentuan lain yang meliputi ketentuan administratif. Hal ini menandakan Hukum yang berlaku mengenai tanah di Daerah Istimewa Yogayakarta (DIY) masih bersifat dualisme. Di samping itu, terdapat tanah-tanah yang telah bersertifikat dan dimiliki oleh perseorangan. Tanah tersebut merupakan tanah yang pada kenyataannya tidak dapat diganggu gugat oleh pihak keraton karena telah ada alas hak yang sah. Jika pihak lain ingin menguasai tanah tersebut, tidak perlu izin penggunaan lahan seperti magarsari kepada Paniti Kismo. Namun jika ingin mendirikan bangunan, harus memenuhi persyaratan untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB) dan harus ada persetujuan dari Penghageng Wahono Sarto Kriyo untuk kawasan Kraton maupun

(http://www.slemankab. go.id/index.php?hal=detail_berita.php&id=958). Pengakuan terhadap tanah Sultan Ground selama ini dapat dilihat adanya pengajuan permohonan izin atau palilah dari kasultanan, yang selanjutnya dikabulkan akan dikenakan kewajiban yang sangat ringan yang hanya dimaksudkan sebagai bentuk pengakuan terhadap bentuk kasultanan. Besarnya mengingat lokasi, luas penggunaanya, serta kondisi pemohon, dengan alas hak yaitu :

a. Hak Guna Bangunan (HGB) Adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah Sultan Ground dengan jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang.

b. Hak Pakai (HP) Adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dai tanah Sultan Ground yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukn dalam perjanjian antara kasultanan dengan yang b. Hak Pakai (HP) Adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dai tanah Sultan Ground yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukn dalam perjanjian antara kasultanan dengan yang

c. Hak Ngindung Adalah hak yang diberikan kepada yang berkepentingan atau yang menempati/menggunakan tanah Sultan Ground dengan membuat suatu perjanjian antara kasultanan dengan membuat suatu perjanjian antara kasultanan dengan yang berkepentingan dengan jangka waktu yang disetujui bersama.

d. Hak Magersari Adalah hak yang diberikan kepada yang berkepentingan sebagai penghuni tanah kasultanan dan yang antara penghuni tanah tersebut ada ikatan/terdapat ikatan historis dan diberikan hanya kepada Warga Negara Indonesia (WNI) pribumi dengan jangka waktu selama mereka menghuni.

Proses pemberian wewenang atau hak dilakukan atas permohonan yang berkepentingan dengan mengadakan perjanjian antara yang berkepentingan dengan pihak kasultanan. Khusus untuk pemberian hak guna bangunan (HGB) atau Hak Pakai (HP) di atas tanah Sultan Ground, mendasarkan perjanjian di atas dan selanjutnya diproses oleh Kantor Pertanahan untuk diterbitkan sertifikatnya. Sedangkan tanah Sultan Ground yang dilaksanakan oleh pemerintah dapat diberikan hak Pinjam Pakai (HPP) di atas tanah Sultan Ground atas nama instansi pemerintah yang bersangkutan, untuk jangka waktu selama tanah tersebut dipergunakan (Suyitno, 2009: 34-36).

Hak-hak tersebut adalah penggunaan tanah di atas tanah Sultan Ground, yang ternyata pelaksanaanya selama ini tidak bertentangan dengan ketentuan- ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang sudah diberlakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemberian kewenangan penggunaan tanah Sultan Ground semula mendasarkan pada hukum selanjutnya telah disesuaikan dengan ketentuan hukum tanah nasional (UUPA) yang juga dilakukan oleh Kawedanan Penghageng Wahono Sarto Kriyo. Pemanfaatan Hak-hak tersebut adalah penggunaan tanah di atas tanah Sultan Ground, yang ternyata pelaksanaanya selama ini tidak bertentangan dengan ketentuan- ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang sudah diberlakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemberian kewenangan penggunaan tanah Sultan Ground semula mendasarkan pada hukum selanjutnya telah disesuaikan dengan ketentuan hukum tanah nasional (UUPA) yang juga dilakukan oleh Kawedanan Penghageng Wahono Sarto Kriyo. Pemanfaatan

oleh siapa pun (perorangan/instansi) yang berada di wilayah DIY melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh Paniti Kismo. Bagi pemakai tanah Sultan Ground yang telah mempunyai surat kekancingan diberi kewajiban biaya penggunaan pinjam pakai pisungsung dan penanggalan. Pisungsung wajib dihaturkan ke keraton sekali pada saat penerbitan kekancingan dan penanggalan dibayarkan sekali setahun. Besarnya pisungsung dan penanggalan ditetapkan oleh keraton berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Mulai tanggal 1 Nopember 2005 Panitikismo menetapkan tarif baru penanggalan magersari yang dapat dihitung dengan cara :

a. Untuk luasan tanah kurang dari 150 m 2 , besar penanggalan setiap

tahun adalah

1 % x luas tanah x NJOP bumi

b. Untuk luasan tanah lebih dari 150 m 2 , besar penanggalan setiap

tahun adalah 1,50 % x luas tanah x NJOP bumi

Persyaratan permohonan baru hak ngindung (magersari) Sultan Ground adalah sebagai berikut :

a) Mengajukan Surat Permohonan Magersari ditujukan kepada KGHP (Kanjeng Gusti haryo Pangeran) Hadiwinoto Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo Keraton Yogyakarta;

b) Surat Keterangan dari lurah setempat/di lokasi tersebut yang menyatakan tanah tersebut adalah tanah keraton (Sultan Ground)

c) Apabila perseorangan melampirkan fotocopy Kartu Tanda

Penduduk (KTP);

d) Apabila instansi melampirkan susunan pengurus dan penanggung

jawab.

Hak magersari yang telah disetujui umumnya berlaku sampai 10 tahun dan dapat diperpanjang lagi. Permohonan perpanjangan hak magersari dapat Hak magersari yang telah disetujui umumnya berlaku sampai 10 tahun dan dapat diperpanjang lagi. Permohonan perpanjangan hak magersari dapat

b) Fotocopy Surat Magersari Lama beserta gambar peta;

c) Surat bukti pembayaran penanggalan;

d) Surat pemberitahuan pajak tahunan PBB (NJOP SPPT);

e) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP); dan

f) Foto hitam putih/berwarna 4x6 sebanyak 3 lembar.

Tanah Sultan Ground yang telah mempunyai hak magersari bisa dialihkan kepada orang lain dengan seijin keraton melalui Paniti Kismo. Ada dua macam peralihan hak yaitu liyeran dan lintiran. Liyeran yaitu peralihan hak atas tanah Sultan Ground yang diberikan kepada orang lain atau dijual. Permohonan liyeran dapat dilakukan dengan syarat :

a) Mengajukan Surat Permohonan Magersari ditujukan kepada KGHP (Kanjeng Gusti haryo Pangeran) Hadiwinoto Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo Keraton Yogyakarta;

b) Surat kerelaan dari ahli waris yang diketahuii RT/RW setempat;

c) Fotocopy surat magersari lama beserta gambar peta;

d) Surat bukti pembayaran penanggalan;

e) Kwitansi Liyeran;

f) Surat pemberitahuan pajak tahunan PBB (NJOP SPPT);

g) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP); dan

h) Foto hitam putih/berwarna 4x6 sebanyak 3 lembar. Sedangkan lintiran yaitu peralihan hak atas tanah Sultan Ground yang

diberikan kepada ahli warisnya. Permohonan lintiran dapat dilakukan dengan syarat :

a) Mengajukan Surat Permohonan Magersari ditujukan kepada KGHP (Kanjeng Gusti haryo Pangeran) Hadiwinoto Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo Keraton Yogyakarta;

b) Fotocopy surat magesari beserta gambar peta;

c) Fotocopy kwitansi penanggalan terakhir;

d) Surat kerelaan ahli waris diketahui RT/RW setempat;

e) Surat kematian;

f) Surat pemberitahuan pajak tahunan PBB (NJOP SPPT);

g) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP); dan

h) Foto hitam putih/berwarna 4x6 sebanyak 3 lembar.

Sampai saat ini Pemerintah Propinsi DIY belum mengambil kebijakan yang jelas mengenai status tanah bekas swapraja. Meskipun, menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan daerah Istimewa Yogyakarta ditentukan bahwa :

“Segala milik baik berupa barang tetap maupun berupa tidak tetap dan perusahaan-perusahaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebelum dibentuknya menurut undang-undang ini, menjadi milik Daerah Istimewa Yogyakarta, yang selanjutnya dapat menyerahkan sesuatunya kepada daerah-daerah bawahannya.”

Menindaklanjuti kebijakan tersebut maka pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melakukan pendataan tanah Sultan Ground sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1987/1988 sebagaimana tersebut di atas, melalui inventarisasi dan pengukuran tanah swapraja. Tetapi karena inventarisasi dan pengukuran hanya dapat menyajikan data sepotong-sepotong, maka diadakan pendataan yang serentak dan menyeluruh. Hingga kini belum ada pendataan resmi berapa luas Sultan Ground sebenarnya, meski selama ini pengelolaannya dilakukan oleh desa. Berdasarkan pengolahan data dari desa/ kelurahan se-Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tanah swapraja yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) seluas 3.675 Ha, dengan perincian sebagai berikut :

Tabel I : Luas Wilayah

No.

Kabupaten / Kotamadya

3. Kulon Progo

1.038 Ha

4. Gunung Kidul

Sumber : BPN Propinsi DIY Berdasarkan data yang telah ada telah dilaksanakan pengukuran tanah

Sultan Ground dan Pakualam Ground dari tahun 1993/1994 sampai dengan tahun 2002 adalah sebagai berikut :

Tabel II : Jumlah Tanah

Kulon Progo

Kulon Progo

Kulon Progo

Sumber : Biro Tata Pemerintahan Propinsi DIY

Dilihat dari kedua tabel tersebut maka dapat dihitung jumlah tanah Sultan Ground maupun Pakualam Ground dengan hasil sebagai berikut : Jumlah tanah total

: 3.675,0000 Ha

= 100 % Jumlah yang sudah mempunyai status : 1.816,6149 Ha

= 49,93 % Jumlah yang belum mempunyai status : 1.858,3851 Ha

Penghambat dalam pelaksanaan pendataan tanah terdapat faktor penghambat Sultan Ground antara lain adalah :

1. Adanya penggabungan kelurahan sekitar tahun 1948, sehingga desa hasil gabungan kesulitan mengumpulkan bekas buku-buku administrasi pertanahan. Hal ini menyulitkan pengisian data.

2. Terdapat beberapa desa yang Buku Daftar Letter A hilang sehingga kesulitan dalam mengisi data tanah swapraja.

3. Peta desa / kelurahan lama tidak seluruhnya dapat ditemukan jikalau masih ada pun bentuknya telah usang.

4. Teradapat beberapa desa yang tidak lengkap dalam mengisi perincian penggunaan tanah swaparaja, sehingga menyulitkan akurasi data antara jumlah dengan perincian penggunaanya.

5. Jumlah tanah swapraja di luar perkiraan sehingga kesulitan pembuatan buku hasil pendataan.

6. Tanah Sultan Ground dan tanah Paku Alam tersebar luas dan tidak merata di seluruh DIY.

Polemik pengelolaan tanah Sultan Ground mendapat perhatian besar dari Pemerintah Pusat yang akhirnya menindaklanjutinya berdasarkan surat dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 570.34-2493 yang ditujukan kepada Kepala Kanwil BPN Propinsi DIY, yang tembusannya disampaikan kepada Gubernur DIY, Kepala kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Propinsi DI, Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman, yang isinya adalah menyampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Bahwa yang menjadi permasalahan adalah status hukum hak atas tanah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat / Puro Pakulaman, terletak di wilayah Propinsi DIY.

2. Bahwa terhadap permasalahan dimaksud, sebelum berlakunya UUPA di DIY (1984) telah dilaksanakan pegadministrasikan berupa tanda bukti hak atas tanah oleh Direktorat Agraria Propinsi DIY atas pemakaian atau penggunaan oleh pihak ketiga terhadap tanah Kasultanan/Puro Pakualaman dan hal tersebut tidak menimbulkan masalah sampai dengan saat ini.

3. Bahwa terhadap permohonan hak atas tanah Kasultanan dan Puro Pakualaman oleh pihak ketiga, sambil menunggu tentang status tanah Kasultanan / Puro Pakualaman Yogyakarta oleh Presiden, hendaknya diambil sikap sebagai berikut :

a. Membentuk team peniliti terhadap permohonan hak atas tanah yang diajukan oleh pihak ketiga yang terdiri dari KantorPertanahan setempat dan Kasultanan / Puro Pakualaman, apabila benar tanah a. Membentuk team peniliti terhadap permohonan hak atas tanah yang diajukan oleh pihak ketiga yang terdiri dari KantorPertanahan setempat dan Kasultanan / Puro Pakualaman, apabila benar tanah

b. Dalam buku tanah dan sertifikat hak atas tanahnya, dicatat bahwa tanah tersebut diterbitkan diatas tanah Kasultanan/Puro Pakualaman.

Tanah-tanah hak milik Keraton Kasultanan Yogyakarta (Sultan Ground ) yang selama ini belum pernah dilepaskan, masih menjadi hak milik atau merupakan domein bebas dari Kasultanan Yogyakarta, yang hingga kini belum terjangkau oleh ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hal ini juga diperkuat lagi dengan telah ditetapkannya keberadan Keraton Kasultanan Yogyakarta yang diakui sebagai cagar budaya yang didasarkan atas historis, sosiologis dan yuridis yang harus dijaga dan dipelihara keberadaan dan pendukungnya. Untuk itu, perlu adanya penetapan Keraton Kasultanan Yogyakarta sebagai subyek hukum yang nantinya dapat diterbitkan dalam Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Mengingat Undang-Undang Nomor 3 athun 1950 sudah tidak relevan lagi dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga tanah Sultan Ground yang sudah secara yuridis menjadi hak milik keraton dapat dibebani hak guna bangunan atau hak pakai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam hal ini, keraton dapat memberikan ijin penggunaan tanah atau dengan bentuk perjanjian antara pihak keraton dengan warga masyarakat yang memerlukan, sedangkan yang menyelenggarakan administrai pertanahannya, termasuk pendaftarannya dilakukan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga tercapai adanya kepastian hukum yang sangat penting baik bagi warga masyarakat yang memerlukan pihak keraton maupun Pemerintah Propinsi daerah Istimewa Yogyakarta.