Eksistensi Tanah Sultan Ground Setelah Lahirnya UUPA

2. Eksistensi Tanah Sultan Ground Setelah Lahirnya UUPA

Diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 belum dapat diberlakukan secara penuh di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggariskan pembenahan agraria sebagai kewenangan dekosentrasi sesuai dan serupa dengan propinsi-propinsi lain. Pembenahan yang ditempuh oleh Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah mencabut semua peraturan perundang-undangan dalam bidang agraria yang telah ada untuk memberlakukan Undang-Undang Pokok

Agraria (UUPA) secara penuh di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu pada tanggal 9 Mei 1984 dikeluarkanlah Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang berlaku surut sejak tanggal 1 April 1984. Kemudian dikeluarkanlah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 1984 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menurut Keputusan Dalam Negeri tersebut pemberlakuan sepenuhnya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara bertahap dimulai tanggal 24 September 1984.

Guna memenuhi ketentuan tersebut Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berbenah diri dengan mengadakan peninjauan serta mencabut peraturan perundangan daerah dalam bidang agraria yang telah dikeluarkan, yaitu antara lain :

a. Rijksblaad Kasultanan Nomor 16 dan 18 Tahun 1918;

b. Rijksblaad Kasultanan Nomor 11 Tahun 1928 juncto Nomor 2 dan Rijksblaad Paku Alaman Nomor 13 Tahun 1928 juncto Nomor 1 Tahun 1931;

c. Rijksblaad Kasultanan Nomor 2 Tahun 1925 dan Riksblaad Paku Alaman Nomor 25 tahun 1925;

d. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1954 tentang Hak-Hak Atas Tanah di Daerah istimewa Yogyakarta (DIY);

e. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1954 tentang pelaksanaan keputusan desa mengenai hak andarbae dari kelurahan dan hak

anganggo turun temurun atas tanah dan perubahan jenis tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta, beserta aturan Perautaran Daerah Yogyakarta Nomor 3 Tahun 1956 yang merupakan perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1954;

f. Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1954 tentang Peralihan Hak Milik Perseorangan Turun Temurun Atas Tanah; dan f. Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1954 tentang Peralihan Hak Milik Perseorangan Turun Temurun Atas Tanah; dan

Dengan dicabutnya peraturan-peraturan daerah tersebut, mengakibatkan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria (Agung Murhandjanto, 1999: 40-41).

Keberadaan tanah-tanah Kasultanan (Sultan Ground) dalam sistem hukum mendapat pengakuan. Pengakuan tersebut bukan hanya karena norma-norma dalam Rijksblad dan kelembagaan pendukungnya (Paniti Kismo) masih ada dan fungsional, dalam Keppres Nomor 33 Tahun 1984 juncto Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 66 Tahun 1984 tidak menuntut pemberlakuan UUPA sepenuhnya secara otomatis terhadap semua kelompok tanah. Dalam Kepmendagri tersebut dinyatakan “karena masih terdapat hal-hal yang memerlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut agar pelaksanaan pemberlakuan tersebut berdaya guna dan berhasil guna, maka pelaksanaan pemberlakuan itu dilaksankan secara bertahap”. Hubungan Kasultanan (Sultan Ground) sebagai pihak yang mempunyai kewenangan atas tanah-tanahnya dengan warga masyarakat yang menggunakan sebagian dari tanah-tanah tersebut berlangsung secara tertib berdasarkan hubungan hukum yang jelas seperti magersari atau persewaan atau bentuk hubungan kerja sama lainnya. Dengan kata lain, sampai saat sekarang Kasultanan (Sultan Ground) tetap menjalankan peranannya sebagai pihak yang berwenang atas tanah-tanahnya tetap berlangsung dan tidak pernah terputus yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan hukum tersebut.

Tanah-tanah Kasultanan (Sultan Ground) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta baik sebelum dan sesudah berlakunya UUPA berbeda dengan daerah bekas swapraja lainnya. Kasultanan (Sultan Ground) hingga saat ini masih diakui eksistensinya dan keberadaanya baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Hal-hal yang menjadi acuan dan dasar dari eksistensi Tanah-tanah Kasultanan (Sultan Ground) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta baik sebelum dan sesudah berlakunya UUPA berbeda dengan daerah bekas swapraja lainnya. Kasultanan (Sultan Ground) hingga saat ini masih diakui eksistensinya dan keberadaanya baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Hal-hal yang menjadi acuan dan dasar dari eksistensi

1. Rijksblad Kasultanan Yogyakarat Nomor 16 tahun 1918 dan Rijksblad Pakualaman Nomor 18 Tahun 1918;

2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah DIY untuk mengatur rumah tangganya sendiri termasuk menyangkut urusan keagrariaan (Pasal 4 ayat (4)) dan selanjutnya dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5, 10, 11, dan 12 Tahun 1954.;

3. Tambahan Lembaran Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 28 Tahun 1956 alinea III menyatakan “sebagian besar dari tanah diberikan kepada kalurahan denga hak andarbe, diberikan kepada rakyat dengan hak anganggo turun temurun. Sedangkan ada sebagian kecil dari tanah-tanah yang dikuasai oleh Kasultanan (Sultan Ground) dan Pakualam Ground (PAG)”. Hal ini menunjukkan bahwa tanah-tanah Kasultanan (Sultan Ground) dan Pakualam Ground masih tetap dipertahankan;

4. Surat Gubernur DIY Nomor K1/1.5/849/80 tanggal 24 Maret 1980 perihal permohonan Status tanah Sultan Ground oleh KHP Wahono Sarto Kriyo;

5. Makalah tentang Pelaksanaan UUPA di Propinsi DIY oleh Kepala Direktirat Agraria, setahun setelah diberlakukannya UUPA di DIY pada tanggal 14 September 1985, menegaskan bahwa pemberlakuan UUPA di Propinsi DIY Kasultanan (Sultan Ground) dan Pakualam Ground tidak hapus dan beralih menjadi tanah negara;

6. Peraturan Daerah Kotamadya Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1991 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kotamadya, ditentukan bahwa setiap peruntukkan lahan di wilayah Kotamadya Yogyakarta harus sesuai dengan Peraturan Daerah ini dan mendapat ijin dari Kepala Daerah serta adanya rekomendasi dari KHP Wahono Sarti Kriyo yaitu oleh Paniti Kismo Keraton Yogyakarta;

7. Peraturan Daerah Kotamadya Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1988 tentang Ijin Membangun Bangun-bangunan dan Ijin Penggunaan Bangun-bangunan, bahwa permohonan IMBB yang diantaranya harus melampirkan salinan surat bukti hak atas tanah/sertifikat tanah dan surat persetujuan pemilik tanah/bangun-bangunan apabila tanah/bangun-bangunan bukan milik sendiri harus sesuai dengan Peraturan Daerah ini dan mendapat ijin dari Kepala Daerah serta adanya rekomendasi dari KHP Wahono Sarti Kriyo yaitu oleh Paniti Kismo Keraton Yogyakarta;

8. Peraturan daerah Kotamadya Yogyakarta Nomor 9 Tahun 1977 tentang Ijin Tempat Usaha juncto Surat Keputusan Walikotamadya Yogyakarta Nomor 137/KD/1988 tentang Tata Cara Pemberian Ijin Tempat Usaha.

9. Surat Kepala BPN Pusat Nomor 570.34-2493 tanggal 21 Oktober 2003, yang pada intinya menyatakan bahwa terhadap hak atas tanah Kasultanan dan Puro Pakualaman oleh pihak ketiga, apabila tanah yang dimohonkan tersebut adalah tanah Kasultanan dan Puro Pakualaman, maka perlu melampirkan surat pernyataan bahwa tanah yang dimohon adalah tanah Kasultanan atau tanah Pakualaman. Kemudian dalam buku tanah dan sertifikat hak atas tanahnya, dicatat bahwa tanah tersebut diterbitkan di atas tanah Kasultanan atau Pakualaman.

10. Meskipun Pemerintah Keraton Yogyakarta sudah berintegrasi dengan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 1945, namun pada kenyataannya sampai saat ini pengaruh dan wibawa keraton masih sangat terasa dimasyarakat, di lingkungan birokrasi pemerintahan daerah dan swasta. Pengakuan terhadap eksistensi tanah-tanah keraton yang ada di DIY masih dipegang teguh oleh masyarakat Yogyakarta yang sampai saat ini masih mengakui bahwa tanah keraton yang mereka tempati adalah Kagungan Dalem. Ketaatan masyarakat dan mereka yang menggunakan fasilitas tanah/bangunan keraton dapat dilihat dari secara rutin mereka membayar uang penanggalan dan pisungsung (uang sewa) atas fasilitas yang telah diberikan keraton tersebut. (Hendro Prabowo : 64-66).

Menurut Penghageng Kawedanan Hageng Wahono Sarto Kriyo Keraton Yogyakarta, KGPH Hadiwinoto, keberadaan Sultan Ground di Yogyakarta merupakan satu-satunya di Indonesia sehingga merupakan asset sosial dan ekonomi yang harus dijaga dan dipertahankan tetapi hingga kini tidak memiliki kepastian hukum. Aturan hukum keraton Kasultanan Yogyakarta, sejak dahulu tidak mengatur secara khusus mengenai tanah Sultan Ground . Hukum tanah diatur bersama-sama, baik dengan tanah kas desa, tanah penduduk, maupun tanah keraton itu sendiri. Tanah keraton sebagai tanah yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa kerena masih merupakan milik keraton. Berpedoman pada Pasal 33 UUD 1945 maka tanah Sultan Ground tetap dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat terutama masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dengan keraton sebagai pemilik tanah tersebut menjadi perantara/fasilitator sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak keraton. Selama ini pemberian hak atas tanah di atas tanah Keraton kepada pihak ketiga melalui Menurut Penghageng Kawedanan Hageng Wahono Sarto Kriyo Keraton Yogyakarta, KGPH Hadiwinoto, keberadaan Sultan Ground di Yogyakarta merupakan satu-satunya di Indonesia sehingga merupakan asset sosial dan ekonomi yang harus dijaga dan dipertahankan tetapi hingga kini tidak memiliki kepastian hukum. Aturan hukum keraton Kasultanan Yogyakarta, sejak dahulu tidak mengatur secara khusus mengenai tanah Sultan Ground . Hukum tanah diatur bersama-sama, baik dengan tanah kas desa, tanah penduduk, maupun tanah keraton itu sendiri. Tanah keraton sebagai tanah yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa kerena masih merupakan milik keraton. Berpedoman pada Pasal 33 UUD 1945 maka tanah Sultan Ground tetap dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat terutama masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dengan keraton sebagai pemilik tanah tersebut menjadi perantara/fasilitator sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak keraton. Selama ini pemberian hak atas tanah di atas tanah Keraton kepada pihak ketiga melalui

Sertifikat tanah tidak pernah ada dengan status kepemilikan yang ada hanya dibuktikan dengan Surat Kekancingan yang dikeluarkan Keraton. Selain itu, tanah adat tersebut juga tidak dijamin dalam UUPA walaupun secara nyata diakui pemerintah. Sehingga status tanah yang hanya dibuktikan dengan surat keraton (kekancingan) memiliki kelemahan. Kelemahan tersebut adalah karena keraton bukan sebuah badan hukum yang dalam hukum positif Indonesia berhak untuk menerbitkan alat bukti kepemilikan atas tanah. Walaupun pihak keraton mengizinkan masyarakat dengan mengeluarkan surat magersari untuk memanfaatkan tanah tersebut, tetapi tidak bisa menjadi hak milik.